• Tidak ada hasil yang ditemukan

7 EKOWISATA DAN EKONOMI MIKRO DI WAKATOB

3. Struktur Nafkah Rumahtangga Lapisan Bawah

Struktur nafkah rumahtangga lapisan bawah tidak berbeda dengan struktur nafkah lapisan menengah. Sektor pertanian serta non pertanian dan non pariwisata yang berperan besar dalam membentuk pendapatan rumahtangga. Sementara pariwisata mempunya nilai yang paling kecil dalam struktur nafkah rumahtangga lapisan bawah. Bahkan rumahtangga lapisan bawah Bajo Mola sama sekali tidak ada yang memperoleh pendapatan dari sektor pariwisata artinya lapisan ini tidak memperoleh keuntungan secara ekonomi dari aktivitas ekowisata yang mengalami kemajuan di Bajo Mola.

Secara keseluruhan hasil penelitian ini berkebalikan dari penelitian Januarti (2013) yang meneliti struktur dan strategi nafkah rumahtangga di kawasan wisata alam gunung salak endah bogor menemukan bahwa pariwisata merupakan sektor yang memberikan kontribusi terbesar dalam struktur pendapatan diseluruh tingkatan lapisan rumahtangga, sebaliknya sektor pertanian berkontribusi sangat kecil dan masyarakat telah menganggapnya sebagai sektor yang sudah tidak terlalu penting untuk mendukung perekonomian rumahtangga. peranan sektor pertanian yang semakin kecil ini disebabkan oleh sempitnya lahan pertanian dan larangan membuka lahan di kawasan Taman Nasional. Hal ini terjadi karena terdapat perbedaan kondisi wilayah antara TN Gunung Salak dan TN Wakatobi. TN gunung salak merupakan kawasan hutan yang dulu digunakan masyarakat sekitar hutan sebagai salah satu sumber pendapatan rumahtangga tetapi ketika kawasan ini ditetapkan sebagai TN maka akses dan lahan semakin kecil, sehingga masyarakat disekitar TN Gunung salak beralih ke sektor pariwisata. Semenatra TN Wakatobi merupakan taman nasional laut, sehingga

sumber pendapatan dari pertanian subsistem masih terjaga meskipun kegiatan ekowisata sedang dikembangkan.

Hadirnya kegiatan ekowisata belum berkontribusi signifikan dalam membentuk struktur nafkah di semua lapisan, menunjukkan ketidaktergantungan rumahtangga terhadap kegiatan wisata. Kondisi seprti ini memiliki sisi baik mengingat perputaran ekonomi dalam kegaitan wisata sangat bergantung pada wisatawan yang sulit dikontrol dan dipengaruhi oleh banyak variabel. Kehadiran kegiatan wisata pada dasarnya memang bukan ditujukan untuk merubah matapencaharian ruamahtangga, tetapi memberikan ruang dan peluang baru untuk memperoleh pendapatan tambahan. Pariwisata sangat penting melengkapi sumber mata pencaharian bukan menggantikan yang telah ada untuk mengarah kepada diversifikasi strategi penghidupan (Tao dan Wall 2009). Oleh sebab itu persoalan mendasar yang terjadi di Wakatobi adalah akses terhadap perbaikan dan peningkatan pendapatan dari sektor pariwisata yang belum merata diseluruh lapisan rumahtangga kondisi ini perlu diperbaiki. Harus ada mekanisme untuk mendorong akses yang merata di seluruh lapisan rumahtangga. Selain itu harus ada sebuah kebijakan yang mampu mendorong peningkatan pendapatan perkapita di seluruh sektor pada setiap lapisan rumahtangga.

Tingkat Kemiskinan Rumahtangga

Pelapisan rumahtangga belum mampu menggambarkan secara keseluruhan tingkat kesejahteraan. Karena hanya memisahkan kelompok rumahtangga berpendapatan tinggi, sedang dan rendah. Sementara tujuan akhir dari proses pembangunan adalah kesejahteraan (well-being).

Cara paling sederhana untuk mengetahui apakah rumahtangga telah sejahtera atau belum adalah keluar dari garis kemiskinan. Banyak indikator mengenai kemiskinan salah satu yang dapat digunakan adakah indikator dari bank dunia (World Bank) mengukur kemiskinan melalui pendapatan perkapita yaitu USD 2 $ atau setara dengan Rp.27.000,0012 perhari. Ini berarti setiap orang dalam suatu rumahtangga harus mempunyai pendapatan sama dengan lebih dari Rp.27.000,00 perhari jika kurang dari ini maka masih termaksud dalam kategori miskin. Cara memperoleh pendapatan perkapita yaitu pendapatan total rumahtangga dibagi dengan jumlah rumahtangga, lalu dibagi jumlah hari dalam setahun sebanyak 365 hari. Gambar 24 menunjukkan tingkat kemiskinan rumahtangga Bajo Mola dan Pulau Kapota berdasarkan pendapatan perkapita perhari tiap lapisan rumahtangga.

Secara jelas gambar di atas memperlihatkan bahwa mayoritas rumahtangga belum sejahtera. Secara umum rata-rata pendapatan perkapita rumahtangga berada di bawah garis kemiskinan. Seluruh lapisan menengah dan bawah masih terkategori miskin. Hanya lapisan atas yang memiliki pendapatan melampaui garis kemiskinan namun belum dalam kondisi stabil, bahkan di Pulau Kapota perbedaan antara pendapatan perkapita harian anggota rumahtangga lapisan atas dan garis kemiskinan sangat kecil. Kondisi ekonomi yang cukup baik hanya lapisan atas rumahtangga Bajo Mola namun jumlahnya sangat sedikit hanya sekitar 20 %.

Gambar 24 Posisi pendapatan perkapita pertahun berdasarkan lapisan rumahtangga Pulau Kapota dan Bajo Mola terhadap garis kemiskinan menurut

bank dunia 2015

Sumber : Hasil penelitian 2015

Perkembangan aktiftas ekowisata secara umum belum mampu menarik keluar rumahtangga dari lingkaran kemiskinan. Sebagian besar masyarakat masih kesulitan memenuhi kebutuhan dasar hal ini merupakan alasan mengapa aktivitas ekowisata belum berkontribusi besar, karena untuk melakukan peralihan kerja dari sektor pertanian ke sektor pariwisata tentu membutuhkan akses atau modal yang dapat mendukung usaha dan mayoritas rumahtangga tidak mempunyai kedua hal ini. Rumahtangga tentu lebih memilih strategi aman lebih dulu (safety First Politics), Scott (1981) untuk memastikan keberlangsungan hidup mereka daripada melakukan peralihan penggunaan modal diluar kebiasaan. Mengalihkan modal kejenis usaha baru masih dianggap berisiko tinggi bagi rumahtangga miskin yang bahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar saja sulit.

Kemiskinan merupakan salah satu gambaran bahwa pembangunan yang berlangsung selama ini belum mampu mensejahterakan masyarakat. Meningkatkan pendapatan perkapita bersifat sangat urgen untuk mengatasi kemiskinan dan agar kebutuhan dasar rumahtangga dapat terpenuhi dengan baik. Namun perlu menjadi catatan penting dalam proses peningkatan pendapatan perkapita bukan mengajari masyarakat menjadi pragmatis dan berorientasi uang (money oriented) dalam segala lini kehidupan. Tetapi sebuah usaha, rezim kebijakan yang secara sistematis mampu mendorong peningkatan kualitas hidup seluruh lapisan rumahtangga. Hal ini sangat ditekankan terutama di sebuah wilayah pengembangan kegiatan wisata untuk menghindari ekonomi yang membaik ditengah kebudayaan yang seringkali terdegradasi.

Strategi Nafkah Rumahtangga

Kehadirian ekowisata membuka peluang usaha bagi rumahtangga. Beragam aktivitas terkait dengan kegiatan wisata merupakn strategi nafkah baru. Namun hal ini masih menyisahkan beberapa persoalan diantaranya adalah (1)

Manfaat ekonomi yang diperoleh rumahtangga melalui kegiatan ekowisata masih tergolong sangat rendah, (2) berpotensi membuat ketimpangan pendapatan yang semakin lebar karena lapisan rumahtangga yang paling mungkin memperoleh banyak manfaat dari kegiatan wisata berasal lapisan atas dan menengah; dan (3) aktivitas wisata sebelum mampu menjadi solusi utama untuk menciptakan kesejahteraan karena mayoritas rumahtangga masih hidup di bawah garis kemiskinan.

Rumahtangga lapisan bawah tidak mampu mengakses atau memanfaatkan peluang ekonomi karena keterbatasan sumberdaya yang dimiliki terutama finansial dan kompetensi mengingat komoditas utama dalam aktivitas ekowisata adalah jasa yang membutuhkan keterampilan atau modal untuk terlibat dalam pasar. Sementara lapisan bawah memiliki modal yang sangat terbatas, sehingga kesulitan untuk merekayasa sumber pendapatan baru karena memiliki resiko yang tinggi. Lapisan ruamahtangga menengah dan atas cendrung lebih optimis dan bersemangat merespon kegiatan ekowisata tentu karena kelompok ini menyadari kemungkinan baru untuk memperoleh pendapatan tambahan. Rumahtangga menengah atas dapat mengusahahkan modal untuk mengembangkan usaha baru, sebab kelimpahan modal (available resources) yang dimiliki oleh masing-masing rumahtangga akan mennetukan strategi nafkah yang dipilih ke depan (Mardiyaningsih 2003).

Meskipun terdapat respon yang berbeda atas kegiatan ekowisata dari rumahtangga lapisan bawah dan menengah-atas tetapi secara umum strategi nafkah yang diterapkan masih sama pada setiap lapisan rumahtangga baik di Pulau Kapota maupun di Bajo Mola, karena kondisi hidup yang cendrung masih sama belum berada jauh dari garis kemiskinan. Strategi-strategi nafkah yang digunakan oleh rumahtangga dalam usaha menjaga keberlangsungan hidup antara lain sebagai berikut:

Memanfaatkan Modal Secara Dinamis

Tindakan pilihan rasional merupakan tindakan ekonomi yang melandasi rumah tangga pedesaan pesisir membangun sistem nafkahnya (Abdurrahim 2014). Oleh sebab itu rumahtangga pada dasarnya tidak kaku dalam melihat potensi dan peluang sumber pendapatan yang mungkin diperoleh melalui pemanfaatan modal secara dinamis. Modal beperan penting dalam membentuk sistem nafkah rumahtangga. Chambers et al (1992) pendekatan sistem nafkah berkelanjutan (The Sustainable Livelihoods Approach / SLA) dengan cara melihat lima jenis tipe aset rumahtangga yaitu modal alam, sosial, fisik, dan manusia.

Rumahtangga di Bajo Mola dan Pulau Kapota memanfaatkan kelima modal tersebut secara dinamis sebagai sebuah strategi untuk menjaga keberlanjutan sistem nafkah dengan cara mengkombinasikan berbagai jenis modal. Gambaran modal yang dimiliki rumahtangga Bajo Mola dan Pulau Kapota adalah sebagai berikut :

Nilai modal diklasifikasikan menjadi tiga bagian yaitu tinggi dengan nilai 3, sedang dengan nilai 2 dan rendah dengan nilai 1. Secara kesuluruhan nilai modal rumahtangga baik di Pulau Kapota maupun di Bajo Mola tidak ada yang tinggi, jika dirata-ratakan nilai modal manusia, sosial, finansial, fisik dan alam di Bajo Mola nilainnya sebesar 2,15 dan nilai rata-rata modal untuk Pulau Kapota sebesar 1,86. Hal ini karena jumlah prsentase rumahtangga berdasarkan klasifikasi modal paling banyak masuk dalam kategori modal sedang seperti yang terlihat dalam gambar 26.

Kemampuan rumahtangga mempadu-padankan secara dinamis ke-lima modal yang dimiliki merupakan penentu keberlangsungan hidup anggota keluarga. Sebagaimana makna dari strategi nafkah yang dapat diartikan sebagai taktik dan aksi yang dibangun oleh individu ataupun kelompok untuk mempertahankan struktur sosial, dan sistem nilai budaya yang berlaku (Dharmawan 2007). Taktik dalam hal ini dapat diartikan sebagai kemampuan rumahtangga menkombinasikan penggunaan aset penghidupan (modal alam, fisik, manusia, finansial, dan sosial) dalam berbagai kondisi agar keberlanjutan hidup anggota rumahtangga dapat terjaga. Tingkat kepemilikan modal disetiap lapisan rumahtangga berbeda- beda seperti yang telihat dalam gambar 27.

Beberapa hal menarik dari gambar di atas adalah nilai modal tertinggi yaitu modal sosial dan sama di seluruh lapisan ruamahtangga. Kondisi modal finansial sangat berbeda dari modal sosial. Lapisan rumahtangga atas mempunyai modal finansial yang paling tinggi, sedang untuk lapisan menengah dan rendah untuk lapisan bawah. Modal fisik lapisan rumahtangga atas lebih tinggi dibandingkan dua lapisan lainnya namun modal alam hampir memiliki nilai yang sama diseluruh lapisan rumahtangga. Penjelasan lebih rinci mengenai kondisi modal di setiap lapisan rumahtangga di Pulau Kapota dan Bajo Mola serta keterkaitanya dengan sratgei nafkah adalah sebagai berikut :

2.10 1.83 2.00 1.93 2.90 1.67 1.93 2.03 1.93 1.73 Human Capital Financial Capital Natural Capital Physical Capital Social Capital

Bajo Mola Kapota

Gambar 25 Rata-rata nilai modal manusia, sosial, finansial, fisik dan alam rumahtangga Pulau Kapota dan Bajo Mola 2015

10 10 17 33 13 47 60 70 40 40 43 30 13 27 47 Human Capital Financial Capital Natural Capital physical Capital Social Capital Tinggi Sedang Rendah

30 20 0 30 90 50 47 100 33 10 20 33 0 37 0 Human Capital Financial Capital Natural Capital physical Capital Social Capital Tinggi Sedang Rendah

A. Pulau Kapota B. Bajo Mola Gambar 27 Presentase rumahtangga Pulau Kapota dan Bajo Mola

berdasarkan klasifikasi kepemilikan modal 2015 Sumber: Hasil penelitian 2015

1.85 2.00 2.00 1.69 2.92 1.50 2.01 2.09 1.64 1.46 Human Capital Financial Capital Natural Capital Physical Capital Social Capital

Lapisan Rumahtangga Menengah

Bajo Mola Kapota

2.83 3.00 2.00 2.67 3.00 1.50 3.00 2.14 2.14 1.71 Human Capital Financial Capital Natural Capital Physical Capital Social Capital

Modal RumahtanggaLapisan Atas

Bajo Mola Kapota

2.00 1.00 2.00 1.82 2.82 2.08 1.01 1.92 2.26 2.24 Human Capital Financial Capital Natural Capital Physical Capital Social Capital

Modal Lapisan Rumahtangga Bawah

Bajo Mola Kapota

Gambar 26 Modal Sosial, Finansial, Fisik, Alam dan Manusia berdasarkan lapisan Rumahtangga di Pulau Kapota dan Bajo Mola 2015

Modal lapisan rumahtangga atas

Perbedaan modal finansial adalah ciri yang mendasar antara setiap lapisan rumahtangga. Modal finansial merupakan modal rumahtangga lapisan atas yang paling jauh berbeda dengan kedua lapisan rumahtangga lainnya. Lapisan atas mempunyai nilai modal finansial yang tinggi, dan menjadi penopang utama dalam pengaturan strategi nafkah lapisan atas.

Kondisi modal finansial berbeda dengan modal sosial masyarakat lapisan atas yaitu modal sosial Bajo Mola lebih tinggi dibandingkan pulau Kapota. Lapisan atas rumahtangga Bajo Mola merupakan orang yang dipandang bukan hanya dari segi ekonomi tetapi juga dari segi ketaatan atas norma dan adat istiadat yang berlaku, selain itu tingkat kepercayaan terhadap anggota masyarakat Bajo Mola lainnya masih tinggi. Mereka masih menganggap sebagai satu kesatuan (keluarga) yang harus saling tolong menolong dan membantu. Lapisan atas rumahtangga Pulau Kapota pada dasarnya merupakan kelompok yang mapan danmandiri secara ekonomi sehingga ketergantungan secara sosial-ekonomi terhadap rumahtangga lain rendah. Kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan modal sosial antara rumahtangga lapisan atas Bajo Mola dan Pulau Kapota.

Modal alam dan fisik antara Bajo mola dan Pulau Kapota sama yaitu berada dalam posisi sedang. Lapisan atas mempunyai peralatan yang cukup untuk melakukan berbagai macam pekerjaan, selain itu terdapat modal fisik lainnya berupa barang-barang bernilai ekonomi yang suatu waktu dapat dimanfaatkan seperti kendaraan, peralatan elektronik, emas dan lain-lain. Kedua kelompok masyarakat ini memandang alam sebagai sebuah berkah terlebih dengan pengembangan kegiatan ekowisata, mereka menyadari bahwa hal tersebut merupakan sebuah peluang keonomi baru.