• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produksi, Karakteristik dan Pengelolaan Limbah Kelapa Sawit

Pengolahan TBS (Tandan Buah Segar) di PKS (Pabrik Kelapa Sawit)

selain menghasilkan produk utama berupa CPO (Crude Palm Oil) dan kernel juga

menghasilkan by products (hasil samping) berupa limbah padat dalam bentuk

cangkang, serabut, dan janjangan kosong (JJK) dan limbah cair atau biasanya

dikenal dengan istilah POME (Palm Oil Mill Effluent). Dengan teknologi yang

tepat limbah tersebut memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan pembenah tanah dan penyumbang hara di perkebunan kelapa sawit. Potensi pemanfaatan masing- masing limbah disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Jenis, Produksi, dan Potensi Pemanfaatan Limbah Pabrik Kelapa Sawit

Jenis Produksi per ton TBS

(%) Potensi Pemanfaatan

Tandan kosong 23

Pupuk Kompos, pulp, kertas, papan partikel, energy

Wet Decanter

Solid 4 Pupuk, Kompos, pakan ternak

Cangkang 6,5

Arang, karbon aktif, papan partikel

Serabut 13

Energi, pulp krtas, papan partikel

Limbah cair 50-60 Pupuk, air irigasi

Sumber: PT Salim Indoplantation (2000)

Jumlah limbah (baik padat maupun cair) yang di hasilkan oleh pabrik kelapa sawit (PKS) bergantung pada kapasitas olah pabrik, rencana jam olah, sistem pengolahan dan keadaan peralatannya (efisiensi alat). Pabrik kelapa sawit

(PKS) yang beroperasi di PT LSI (Angsana Factory/ASF) memiliki kapasitas 60

ton TBS/jam dengan rencana jam olah pabrik 20 jam per hari, mulai beroperasi sejak tahun 2004.

Berdasarkan pengamatan selama bulan april 2011, rata-rata total TBS yang diolah oleh ASF mencapai 887.523 ton per hari nya dan menghasilkan produksi berupa CPO sebesar 200.326 ton/hari atau sekitar 22.6% dari TBS diolah,

janjangan kosong 182.36 ton/hari atau sekitar 20.57% dari TBS diolah, dan

limbah cair (POME) sebesar 571 m3/hari atau sekitar 64.35% dari TBS diolah.

Pengelolaan limbah pabrik kelapa sawit (PKS) mengacu pada empat pendekatan yaitu, mengurangi volume dan daya cemar limbah pada sumbernya

(reduce), mendaur ulang limbah sebagai masukan pada proses yang sama

(recycle), menggunakan kembali limbah pada proses yang berbeda (reuse), dan

mengolah limbah untuk mengambil komponen yang dapat dimanfaatkan

(recovery) (Darnoko dan L. Emingpraja, 2005).

Pengelolaan hasil samping (by products) dilakukan berlandaskan pada

komitmen untuk menjaga kelestarian lingkungan. Cangkang dan serabut (fiber) dimanfaatkan kembali untuk bahan bakar boiler untuk pengolahan TBS di PKS, janjangan kosong (JJK) dan limbah cair (POME) diaplikasikan sebagai pupuk organik ke lapangan dengan metode dan dosis yang tepat sesuai dengan rekomendasi Departemen Riset.

Janjangan Kosong (JJK)

Janjangan kosong (JJK) adalah sisa buah tandan kelapa sawit yang berasal

dari stasiun bantingan (thresher) di (PKS). Produksi JJK cukup besar yaitu

sekitar 23 % dari tiap ton TBS yang diolah, sehingga pemanfaatan JJK ditinjau dari segi ekonomis dinilai dapat meningkatkan profit margin perusahaan melalui peningkatan produksi dan dari segi efektifitas penting untuk menjaga kebersihan/kelestarian lingkungan dan kelancaran proses pengolahan di PKS.

Dekomposisi JJK akan menghasilkan hara N, P, K, Mg dan hara mikro serta mampu memperbaikai sifat fisika dan kimia tanah yaitu melalui perbaikan struktur tanah, meningkatkan retensi air tanah, meningkatkan kapasitas tukar kation tanah (KTK) dan lain- lain. Aplikasi JJK ke tanah bukan saja dapat memenuhi kebutuhan hara tanaman dalam jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang akan meningkatkan kesuburan tanah sehingga meningkatkan produktivitas tanah. Selain itu, aplikasi JJK juga bermanfaat sebagai mulsa utnuk meminimalkan erosi pada areal lerang serta dapat menekan pertumbuhan gulma.

Aplikasi JJK ke areal pertanaman dilakukan sedemikian rupa sehingga manfaatnya sebagai pupuk organik dapat maksimal serta biaya aplikasi tidak

terlalu mahal. JJK yang diaplikasikan adalah JJK segar yang diangkut langsung dari PKS dan segera di ecer (diaplikasi). JJK yang sudah lama menumpuk di lapangan sebelum diecer (lebih dari 1 minggu) akan kehilangan banyak hara terutama Kalium (hilang tercuci) dan manfaatnya sebagai bahan pupuk akan jauh

berkurang. Di ASE aplikasi JJK yang telah ditumpuk di collection road rata-rata

tidak lebih dari satu minggu meskipun ASE sendiri telah menetapkan JJK yang dari PKS tidak boleh ditumpuk lebih dari tiga hari.

Aplikasi JJK ke lapangan sebagai alternatif pengelolaan limbah yang ekonomis dan efektif sekaligus sebagai bahan pengganti pupuk telah rutin dilakukan di perkebunan-perkebunan di Indonesia. Namun di Minamas Plantation khususnya di ASE, aplikasi JJK ke lapangan masih bersifat sebagai suplemen untuk meningkatkan produktivitas tanah saja, secara luas belum sebagai substitusi pupuk anorganik.

Dari total JJK yang dihasilkan ASF, hanya 45% saja yang diaplikasikan ke ASE, sisanya dikirim ke kebun-kebun tetangga (GSE, PBE, dan MTE). Berdasarkan perkiraan produksi total JJK sebesar 54 708.576 ton/tahun (dihitung dari produksi JJK bulan April 2011 sebesar 4 559.048 ton), maka jumlah JJK yang diterima ASE sebesar 24 618.859 ton/tahun sehingga total luas lahan yang dapat diaplikasi JJK adalah sebesar 656.502 ha/tahun (dosis 37.5 ton/ha dengan

rotasi satu kali setahun) atau hanya sekitar 1/6 dari total luas plant area ASE

(3047.56 ha).

Organisasi pekerjaan aplikasi JJK harus efisien karena biayanya cukup mahal. Prestasi kerja aplikasi JJK di lapangan sekitar 5 HK/ha/rotasi (dosis aplikasi 37.5 ton JJK/ha atau 275 kg JJK/titik) dengan kisaran upah per HK Rp 48 600.00 (per titik Rp 1 800.00) sehingga biaya tenaga kerja aplikasi per hektar untuk satu kali rotasi sebesar Rp 243 000.00.

Organisasi pengangkutan JJK di ASE diatur sedmikian rupa dan merupakan koordinasi antara pihak kebun dan PKS. Manajer kebun berkoordinasi dengan manajer pabrik dalam hal jumlah JJK yang dapat diangkut (45% dari total produksi JJK dikirim ke ASE). Senior asisten bertanggung jawab dalam hal penyediaan alat transportasi dan berkoordinasi dengan asisten divisi untuk peletakan JJK di blok aplikasi. Mandor JJK mengkoordinir pengaplikasian JJK di

lapangan, membuat pancang untuk peletakan JJK di collection road, mengontrol tenaga kerja dan mencatat prestasi kerja. Adapun struktur organisasi pengangkutan JJK di PT LSI seperti terlihat pada Gambar 16.

Gambar 16. Bagan Struktur Organisasi Pengangkutan JJK

Limbah Cair (POME)

Limbah cair (POME) merupakan produk sampingan (by product) dari

pengolahan TBS di PKS yang berasal dari proses perebusan (sterilizer),

pemurnian (clarifier), air cucian pabrik, dan air hydrocyclon (air buangan dari

proses pemisahan cangkang dan inti sawit. Produksi limbah cair kelapa sawit merupakan produk yang paling besar jumlahnya dibandingkan dengan produk limbah lain dan berpotensi sebagai bahan pencemar pada media penerima (air, tanah, dan udara) sehingga menggaunggu kelestarian sumber daya alam. Oleh karena itu harus diolah dan dinetralkan terlebih dahulu sebelum dibuang.

Banyaknya air limbah yang dihasilkan bergantung pada kapasitas pabrik sistem pengolahan, dan efisiensi alat. PKS yang beroperasi di PT LSI (Angsana

Factory/ASF) memiliki kapasitas 60 ton TBS/jam dengan rencana jam olah pabrik

20 jam per hari. Berdasarkan produksi pada bulan april 2011, perkiraan total limbah cair yang dihasilkan sebesar 171 336 ton/tahun sehingga luas total areal yang dapat diaplikasi sebesar 228.45 ha per tahun (dosis 750 ton/ha/tahun).

Limbah cair yang dihasilakn PKS mengandung bahan organik dan

penerima bebas sehingga harus diolah terlebih dahulu sebelum diaplikasikan untuk menurunkan kadar cemarnya terutama nilai BOD dan COD nya. Adapaun beberapa parameter pencemaran limbah cair yang sering digunakan antara lain:

Derajat Keasaman (pH). Keasaman air limbah yang keluar dari fat pit

berkisar 3-5, dimana pada keasaman tersebut tidak semua organisme dapat bekerja optimum sehingga harus dinaikkan hingga kisaran pH 6-9 agar pertumbuhan mikroorganisme berlangsung lebih cepat (fermentasi anaerobik dapat berlangsung dengan baik).

BOD (Biological Oxigen Demand). BOD merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh organisme untuk menguraikan bahan organik secara biologis didalam air buangan pada waktu dan suhu tertentu. Limbah dengan BOD yang tinggi berarti mengandung senyawa organik yang lebih banyak sehingga waktu yang dibutuhkan untuk perombakan akan lebih lama dibandingkan dengan BOD yang rendah.

COD (Chemical Oxigen Demand). COD merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk menguraikan bahan organik dan anorganik secara kimiawi. BOD dan COD yang tinggi sangat mecemari lingkungan karena oksigen yang terlarut digunkan untuk merombak limbah sehingga dapat membunuh organisme yang hidup di badan air yang juga membutuhkan oksigen.

TS (Total Solid) dan TSS (Total Suspended Solid). TS merupakan jumlah seluruh bahan padatan terlarut yang terkandung didalam air limbah sedangkan TSS merupakan jumlah partikel yang tidak larut ataupun mengendap

(mengapung atau melayang didalam air limbah). Pengaruh Suspended solid lebih

nyata terhadap kehidupan biota. Semakin tinggi TSS maka oksigen yang dibutuhkan (BOD) akan lebih tinggi.

Minyak dan lemak, N-total, serta logam be rat. Minyak dan lemak dapat mempengaruhi aktivitas mikroba karena melapisis permukaan air limbah sehingga memperlambat proses oksidasi pada kondisi aerobik. Kandungan nitrogen dalam cairan limbah menyebabkan keracunan pada biota. Logam berat yang umum dicantumkan dalam baku mutu limbah cair kelapa sawit antara lain Kadmium (Cd), Tembaga (Cu), Timbel (Pb), dan Seng (Zn).

Baku mutu limbah cair yang diambil dari kolam aplikasi (kolam No.8) di PKS Angsana (ASF) pada pengamatan bulan Februari 2011dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Hasil Analisa Limbah Cair yang diaplikasikan di PT LSI

Parameter Satuan Titik Sampel

Land Aplication Kolam no.8

pH 7.4 7.62 BOD mg/L 825 525 COD mg/L 1749.9 1199.2 Amoniak mg/L 109.5 86.75 TSS mg/L 721 439 Minyak/Lemak mg/L 32 17 N-Total mg/L 225.85 144.37 Kadmium (Cd) mg/L <0.001 <0.001 Tembaga (Cu) mg/L <0.001 <0.001 Timbal (Pb) mg/L <0.001 <0.001 Seng (Zn) mg/L 0.163 0.121

Su mber: Angsana Factory (2011): Hasil analisa sampel di Lab. Pengujian Ko moditi dan Lingkungan Baristand Banjarbaru, Februari 2011

Berdasarkan hasil analisa sampel limbah cair tersebut bila dibandingkan dengan baku mutu yang disyaratkan yaitu <5 000 mg/L, maka BOD limbah cair yang diaplikasikan ke lahan perkebunan (blok aplikasi) masih di bawah ambang baku yang ditetapkan (<1 000 mg/L). Dari segi keamanan lingkungan hal ini cukup baik, tetapi pada dasarnya nilai BOD menunjukkan banyaknya bahan organik yang terkandung di dalam limbah. Limbah dengan BOD yang sangat rendah berarti miskin bahan organik dan unsur hara bagi tanaman. Hal ini nantinya akan mempengaruhi efektifitas aplikasi limbah terhadap peningkatan produksi tanaman.

Pengolahan limbah cair yang lilakukan di PL LSI adalah dengan sistem kolam. Sistem kolam sampai saat ini dianggap sebagai metode pengolahan yang efektif karena dapat menurunkan BOD hingga di bawah 1 000 mg/L. Limbah cair yang dihasilkan pabrik seluruhnya ditampung pada sistem IPAL (Instalasi Pembuangan Air limbah) di pabrik untuk diolah (diturunkan BOD nya) dan diaplikasikan ke blok-blok aplikasi. Jadi tidak ada air limbah yang dibuang ke media penerima ummu (perairan bebas) secara langsung.

Kolam yang terpasang pada stasiun IPAL di ASF terdiri dari 8 kolam. Desain kolam limbah masing- masing dibuat dengan volume limbah maksimal, masa retensi, dan aspek-aspek keamanan. Kapasitas tiap kolam dihitung 60% dari ukuran total kolam, yang berarti kolam tidak terisi penuh (hanya terisi 60%). Masa retensi (masa penahanan) limbah sampai siap liaplikasikan berkisar antara 89–147 hari. Selain itu untuk menjaga keamanan, dibuat juga satu kolam safety

(safety pound) untuk menahan limpahan atau rembesan air limbah dari

kolam-kolam limbah sehingga tidak mencemari perairan bebas. Adapun spesifikasi kolam limbah di IPAL ASF dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11.Spesifikasi Kolam Limbah di IPAL ASF

No Kolam Ukuran (pxlxt) (m) Kapasitas (m3) Masa Retensi (hari) 1 Cooling Pound 48 x 15 x 5 2 160 4-6 2 Mixing Pound 80 x 20 x 5 4 800 6-10 3 Anaerobik Pound 100 x 20 x 7 8 400 6-10 4 Anaerobik Pound 100 x 20 x7 12 600 9-15 5 Anaerobik Pound 120 x 30 x 7 15 120 14-23 6 Anaerobik Pound 120 x 30 x 5 10 800 14-24 7 Aerobik Pound 50 x 90 x 7 18 900 23-38 8 Aplication Pound 100 x 30 x 5.5 9 900 13-21

Sumber: Kantor Besar ASE (2011)

Keterangan: Kapasitas kola m d ihitung 60% dari volu me kola m

Sistem pengaliran limbah di IPAL adalah dengan konsep under flow,

upper flow dan pemompaan. Limbah dari kolam no. 1 (cooling pound) dialirkan

ke kolam nomor 2 (mixing pound) dengan under flow. Hal ini dilakukan karena

limbah yang tertampung pada kolam no.1 masih mengandung minyak. Karena massa jenis minyak lebih kecil maka minyak akan cenderung berada diatas,

konsep under flow bertujuan agar minyak tidak ikut dialirkan ke kolam nomor 2.

Pemompaan dilakukan untuk mengalirkan air limbah dari kolam yang berjarak cukup jauh, secara topografi tidak lebih tinggi, dan untuk mengalirkan air limbah

yang didominasi oleh endapan lumpur. Limbah dari kolam nomor 8 (aplication

pound) dialirkan ke lahan aplikasi dengan menggunakan pompa. Denah kolam

Berdasarkan pertimbangan efisiensi, lokasi yang dipilih untuk aplikasi adalah blok-blok yang tidak berjarak jauh dari pabrik, tetapi tetap mempertimbangkan segi prioritas tanah dan peluang terjadinya rembesan dan

luapan limbah dari flat bed. Luas areal aplikasi ditentukan berdasarkan banyaknya

limbah yang diproduksi oleh pabrik dibagi dosis aplikasi/ha/tahun.

Berkaitan dengan limbah cair yang diproduksi (60% dari total TBS diolah) per tahun dan kapasitas olah pabrik, limbah cair yang dihasilkan pabrik berkapasitas 60 ton/jam adalah sebesar 216 000 ton/tahun (60 ton x 20 jam x 25 hari x 12 bulan x 60%) maka luas lahan aplikasi yang dibutuhkan adalah seluas 288 ha. Saat ini luas lahan apliksi di PT LSI telah mencapai 291 dengan jumlah

flat bed sebanyak 42 130 buah (Tabel 12).

Tabel 12. Luas Lahan dan Blok Aplikasi Limbah Cair PT LSI

Blok Luas Total

(ha)

Luas Aplikasi (ha)

Pokok Teraplikasi (pokok)

Jumlah Flat Bed

(buah) B21 31 19.6 2 319 2 640 B20 30 23.0 2 988 3 380 B19 31 23.5 3 072 3 510 B18 30 21.5 2 863 3 210 C21 30 21.5 2 831 3 210 C20 30 20.5 2 729 3 030 C19 31 20.9 2 796 3 135 C18 30 19.5 2 255 2 580 C17 34 18.0 2 176 2 400 D21 29 24.0 3 204 3 600 D20 29 21.7 2 926 3 255 D19 30 24.5 3 259 3 680 D18 31 18.0 2 073 2 400 D17 33 15.7 1 904 2 100 Total 429 291 37 395 42 130

Sumber: Kantor Besar ASE (2011)

Pelaksanaan aplikasi limbah cair merupakan tanggung jawab bersama antar pihak pabrik dan pihak kebun. Perencanaan pembangunan IPAL, pemasangan dan perawatan pipa dan pompa untuk aplikasi merupakan tanggung

jawab kebun sedangkan pelaksanaan aplikasi (pengawasan dan perawatan flat

bed) menjadi tanggung jawab pihak kebun. Pengamatan dan pemantauan terhadap

dampak yang mungkin terjadi menjadi tanggung jawab asisten limbah dan laboratorium.

Dampak Aplikasi Limbah terhadap Tanaman

Analisis dampak aplikasi limbah terhadap tanaman dilakukan dengan membandingkan status hara pada daun dan produksi tanaman antara lahan yang mendapat aplikasi limbah dengan lahan yang tidak mendapat aplikasi (kontrol). Blok untuk aplikasi limbah padat (JJK) adalah Blok C24, C25, C26 dengan blok kontrolnya Blok C15, C16, C17 (parameter yang dibandingkan antara lain adalah

unsur N, P, K, Mg, dan Ca yang masing- masing dinyatakan dalam % on dry

matter). Blok untuk aplikasi limbah cair adalah Blok B19, B20, B21 dan blok

kontrolnya Blok D36, D37, D38 (parameter produksi yang dibandingkan yaitu produktivitas tanaman (ton/ha/tahun), jumlah janjang (JJG/ha/tahun), dan bobot janjang rata-rata (BJR/tahun)).

Dampak Aplikasi terhadap Status Hara pada Daun

Analisis dampak aplikasi limbah terhadap status hara pada daun dilakukan dengan membandingkan hasil analisa daun antara lahan yang mendapat aplikasi dengan lahan yang tidak mendapat aplikasi (kontrol) masing- masing diambil 3 (tiga) blok sebagai ulangan. Parameter yang dibandingkan antara lain adalah

unsur N, P, K, Mg, dan Ca yang masing- masing dinyatakan dalam % on dry

matter. Hasil analisa daun pada lahan aplikasi dan lahan kontrol untuk aplikasi

effluent dan janjangan kosong disajikan pada Tabel 13 dan 14.

Tabel 13. Hasil Analisa Daun pada Blok Aplikasi JJK dan Blok Kontrol Kandungan Hara dalam Daun

(% On Dry Matter) Lahan Aplikasi (LA) Lahan Kontrol (LK) N 2.7233 a 2.9400 a P 0.1683 a 0.1760 a K 1.1633 a 0.9873 b Mg 0.2357 a 0.2457 a Ca 0.5420 a 0.5860 a

Sumber: Mina mas Research Centre (2009)

Keterangan: Angka pada baris yang sama dan diikuti huruf yang sama menunjukkan hasil tidak berbeda nyata berdasarkan uji t-student pada taraf nyata 5%.

Berdasarkan hasil analisa sampel daun tanaman kelapa sawit terlihat bahwa status hara dalam daun antara lahan aplikasi JJK dan lahan kontrol tidak berbeda nyata kecuali unsur K (Tabel 13). Hal ini terjadi karena JJK belum

diaplikasikan secara maksimal (full blok), artinya dari total luasan satu blok hanya

sebagian saja yang teraplikasi. Sebagai contoh pada tahun 2005/2006 di Blok C25 dari luas total blok 31 ha baru 18.98 ha saja yang diaplikasi JJK. Hal ini juga terjadi pada blok-blok lainnya. Aplikasi yang tidak maksimal ini disebabkan karena kontur lahan yang tidak datar dan sarana dalam blok yang kurang memadai (seperti titi panen dan pasar rintis) sehingga menyulitkan aplikasi yang dilakukan secara manual.

Hanya unsur Kalium (K) yang menunjukkan hasil yang berbeda nyata antara blok aplikasi dengan blok kontrol. Hal ini terjadi karena unsur Kalium merupakan unsur yang persentasenya paling tinggi dalam setiap ton JJK dibandingkan dengan unsur lainnya (Pahan, 2007). Selain itu unsur Kalium merupakan unsur yang paling banyak di temukan di dalam tanah dan diserap oleh tanaman dalam jumlah yang lebih banyak dari yang dibutuhkan (Hardjowigeno, 2003), sehingga ketersediaan unsur hara Kalium pada daun tanaman kelapa sawit di lahan aplikasi lebih tinggi dibandingkan unsur hara lainnya.

Berdasarkan hasil analisa sampel daun tanaman kelapa sawit terlihat bahwa status hara dalam daun pada blok aplikasi limbah cair memiliki status hara yang tidak berbeda nyata dengan blok kontrol (Tabel 14). Hal ini terjadi karena limbah cair yang diaplikasikan memiliki nilai BOD yang rendah (<1 000 mg/L) sehingga kandungan hara dalam limbah cair yang diaplikasikan juga rendah. Nilai BOD yang rendah disebabakan oleh penurunan konsentrasi limbah akibat bercampur dengan air hujan dan air cucian pabrik selama pengolahan limbah di stasiun limbah (IPAL) pabrik. Perusahaan juga telah mengatur sedemikian rupa agar BOD limbah sebelum dialirkan berada di bawah 1 000 mg/L dengan tujuan untuk meminimalisir beban pencemaran jika terjadi rembesan dan atau limpahan

Tabel 14. Hasil Analisa Daun pada Blok Aplikasi Limbah Cair dan Blok Kontrol

Kandungan Hara dalam Daun (% On Dry Matter) Lahan Aplikasi (LA) Lahan Kontrol (LK) N 2.9267 a 2.6933 a P 0.1810 a 0.1700 a K 1.0843 a 1.0430 a Mg 0.2807 a 0.2700 a Ca 0.5337 a 0.6253 a

Sumber: Mina mas Research Centre (2009)

Keterangan: Angka pada baris yang sama dan diikuti huruf yang sama menunjukkan hasil tidak berbeda nyata berdasarkan uji t-student pada taraf nyata 5%.

Nilai BOD yang diaplikasikan meunjukkan banyaknya kandungan bahan organik yang terkandung dalan tiap ton air limbah. Limbah dengan BOD yang sangat rendah berarti miskin bahan organik dan unsur hara bagi tanaman.sehingga dampaknya terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman tidak signifikan. Berdasarkan penelitian mengenai aplikasi limbah cair yang dilakukan oleh Santoso pada tahun 2008 di PT Agrowiyana, limbah cair dengan nilai BOD 2 850 mg/L dapat meningkatkan prduksivitas tanaman di lahan aplikasi hingga 9.41% dan bobot janjang rata-rat sebesar 6.68% terhadap kontrol.

Dampak Aplikasi terhadap Perolehan Produksi

Analisis dampak aplikasi limbah terhadap produksi dilakukan dengan membandingkan perolehan produksi antara lahan aplikasi dengan kontrol masing-masing diambil 3 (tiga) blok sebagai ulangan selama lima tahun terakhir (2004/2005, 2005/2006, 2006/2007, 2007/2008, dan 2008/2009). Parameter produksi yang dibandingkan yaitu produktivitas tanaman (ton/ha/tahun), jumlah janjang (JJG/ha/tahun), dan bobot janjang rata-rata (BJR/tahun).

Aplikasi JJK dapat meningkatkan produktivitas tanaman kelapa sawit tetapi belum konsisten karena perolehan produksi (ton/ha/tahun dan JJG/ha/tahun) di lahan aplikasi pada tahun 2007/2008 berbeda nyata lebih rendah dibandingkan di lahan kontrol (Tabel 15). Hal ini dapat disebabkan karena aplikasi JJK belum

diaplikasikan secara maksimal (full blok) dan tidak merata sepanjang tahun. Sebagai contoh pada Blok C24, aplikasi JJK tidak dilakukan pada tahun 2006/2007, pada tahun 2007/2008 luas yang diaplikasi JJK seluas 29.59 ha dari luas blok 31 ha tetapi di tahun 2008/2009 pada blok yang sama luas yang diaplikasi JJK berkurang menjadi 10.90 ha. Aplikasi yang tidak maksimal ini disebabkan karena kontur lahan yang tidak datar dan sarana dalam blok yang kurang memadai (seperti titi panen dan pasar rintis) sehingga menyulitkan aplikasi yang dilakukan secara manual.

Tabel 15. Perbandingan Produksi Antara Lahan Aplikasi JJK (LA) dengan Lahan Kontrol (LK)

Parameter Tahun Lahan Aplikasi

(LA) Lahan Kontrol (LK) Ton/ha/thn 2004/2005 17.01 a 14.04 b 2005/2006 26.09 a 24.91 a 2006/2007 17.34 a 14.04 b 2007/2008 17.25 a 22.17 b 2008/2009 15.42 a 17.02 a JJG/ha/thn 2004/2005 1 344 a 1 292 a 2005/2006 2 011 a 1 830 a 2006/2007 1 239 a 981 b 2007/2008 1 145 a 1 386 b 2008/2009 725 a 858 b BJR/thn 2004/2005 12.66 a 10.94 b 2005/2006 12.99 a 13.62 a 2006/2007 14.01 a 14.31 a 2007/2008 15.04 a 16.00 a 2008/2009 21.27 a 19.82 a

Sumber: Kantor Besar ASE (2011)

Keterangan: Angka pada baris yang sama dan diikuti huruf yang sama menunjukkan hasil tidak berbeda nyata berdasarkan uji t-student pada taraf nyata 5%.

Aplikasi limbah cair ke lahan aplikasi memberikan dampak positif terhadap produksi terutama terhadap peningkatan perolehan jumlah JJG/ha/tahun. Pada tahun 2007/2008 dan 2008/2009 terlihat perolehan jumlah JJG/ha/tahun di lahan aplikasi berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan dengan lahan kontrol (Tabel 16). Hal ini terjadi karena penambahan limbah cair ke lahan aplikasi menambah ketersedian air di lapangan.

Ketersediaan air sangat berpengaruh terhadap nisbah bunga jantan dan bunga betina. Stress air (kekeringan) mengakibatkan jaringan tanaman tidak dapat mempertahankan jumlah air dalam sel, tekanan turgor sel menurun, penyerapan unsur hara dari dalam tanah menurun, proses-proses fisiologis dan distribusi asimilat terganggu serta neto fotosintesis menurun, akibatnya tanaman cenderung memproduksi bunga jantan lebih banyak sehingga produksinya menurun

(Darmosarkoro et al., 2001). Selain itu tanaman yang kekurangan air juga akan

mengalami aborsi atau keguguran bunga betina yang lebih tinggi serta gagal tandan atau kerusakan tandan menjadi buah akan meningkat. Penambahan limbah cair ke lahan aplikasi dapat meningkatkan persentase bunga betina sehingga perolehan jumlah JJG/ha/tahun lebih tinggi dibandingkan dengan lahan kontrol.

Tabel 16. Perbandingan Produksi Antara Lahan Aplikasi Limbah Cair (LA) dengan Lahan Kontrol (LK)

Parameter Tahun Lahan Aplikasi Lahan Kontrol

(LA) (LK) Ton/ha/tahun 2004/2005 9.84 a 12.28 b 2005/2006 20.98 a 21.34 a 2006/2007 15.96 a 16.13 a 2007/2008 21.59 a 18.01 a 2008/2009 19.29 a 16.44 a JJG/ha/tahun 2004/2005 1 319 a 1 179 b 2005/2006 2 141 a 1 976 a 2006/2007 1 306 a 1 323 a 2007/2008 1 443 a 1 285 b 2008/2009 1 090 a 899 b BJR/tahun 2004/2005 7.45 a 10.43 b 2005/2006 9.80 a 10.79 a 2006/2007 12.24 a 12.19 a 2007/2008 15.01 a 14.02 a 2008/2009 17.70 a 18.30 a

Sumber: Kantor Besar ASE (2011)

Keterangan: Angka pada baris yang sama dan diikuti huruf yang sama menunjukkan hasil tidak berbeda nyata berdasarkan uji t-student pada taraf nyata 5%.

Dampak Aplikasi Limbah Cair te rhadap Sifat Tanah

Pengkajian dampak aplikasi limbah cair ke lahan perkebunan kelapa sawit terhadap sifat-sifat tanah (fisika dan kimia tanah) di PT LSI dilakukan setiap tahun. Pada tahun 2010 dilakukan analisa laboratorium terhadap sifat fisik dan kimia tanah pada sampel tanah yang diambil dari lahan pengkajian dengan parameter yang disesuaikan dengan peraturan pemerintah. Pengambilan sampel tanah dilakukan pada tiga lokasi yaitu di lahan kontrol, lahan aplikasi (satu meter

dari pinggir flat bed), dan sampel dari dalam flat bed.

Sifat Fisik Tanah

Penentuan sifat fisik tanah dilakukan dengan mengambil sampel tanah utuh untuk menentukan kelas tekstur tanah, menghitung bobot per volume (B/V), porositas dan permeabilitas tanah. Sampel tanah untuk menentukan tekstur tanah diambil pada kedalaman 0-20 cm, 20-40 cm, 40-60 cm, 60-80 cm, 80-100 cm, dan

Dokumen terkait