• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Lokasi Penelitian Letak Geografis

Kelurahan Situgede merupakan salah satu kelurahan yang terletak di Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor yang menjadi salah satu lokasi penelitian mewakili daerah perkotaan. Kelurahan Situgede memiliki luas wilayah 232,47 Ha dan terdiri dari 33 RT dalam 10 RW. Secara geografis, Kelurahan Sitgede dibatasi oleh Kelurahan Bubulak di sebelah timur, Desa Cikarawang di sebelah barat, Kali Cisadane di sebelah utara, dan Kali Sindangbarang di sebelah selatan.

Desa Sukajadi memiliki luas wilayah 304,139 Ha yang terbagi kedalam 3 Dusun, dan 32 RT dalam 11 RW. Secara geografis, Desa Situgede berbatasan dengan Desa Purwasari, Desa Petir, dan Desa Sukadami Kecamatan Dramaga disebelah utara, Desa Sukajaya disebelah timur, Gunung Salak disebelah selatan, dan Desa Gunung Malang Kecamatan Tenjolaya disebelah barat.

Sosio Demografi

Umur dan Jenis Kelamin. Jumlah penduduk Kelurahan Situgede adalah 7.941 jiwa yang terdiri dari 4.048 orang laki-laki dan 3.893 orang perempuan dengan 2.228 kepala keluarga. Jumlah penduduk paling banyak tersebar pada kelompok umur 20-29 tahun.

Jumlah penduduk Desa Sukajadi adalah 7.828 jiwa yang terdiri dari 3.915 orang laki-laki dan 3.913 orang perempuan dengan 1.805 kepala keluarga. Jumlah penduduk paling besar tersebar pada kelompok umur 0-4 tahun.

Pendidikan Penduduk. Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan pada Kelurahan Situgede yang terbanyak berada pada lulusan Sekolah Dasar atau sederajat, yaitu sebanyak 3.121 orang. Lulusan akademi dan perguruan tinggi mencapai 133 orang.

Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan pada Desa Situgede yang terbanyak berada pada lulusan Sekolah Dasar atau sederajat, yaitu sebanyak 2.523 orang dan sebanyak 4.572 orang tidak tamat Sekolah Dasar atau sederajat.

Pekerjaan Penduduk. Jumlah penduduk menurut mata pencaharian pada Kelurahan Situgede terbanyak bermata pencaharian sebagai buruh tani, yaitu sebanyak 1.134 orang. Jenis pekerjaan lain yang banyak ditekuni oleh

penduduk yaitu petani (357 orang), swasta/BUMN/BUMD (165 orang), wiraswasta/pedagang (137 orang) dan jasa (132 orang).

Jumlah penduduk menurut mata pencaharian pada Desa Sukajadi terbanyak bermata pencaharian sebagai buruh tani, yaitu sebanyak 1.422 orang. Pekerjaan lain yang banyak ditekuni adalah pedagang (637 orang), pengrajin (629 orang) dan swasta (362 orang).

Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana yang terdapat di Kelurahan Situgede terdiri dari : saran dan prasarana kesehatan berupa poliklinik (1 buah), praktek bidan (1 buah), balai pengobatan (2 buah), posyandu (11 buah). Sarana dan prasarana peribadatan berupa masjid (10 buah) dan mushola (9 buah). Sarana dan prasarana pendidikan umum negeri berupa sekolah dasar (5 buah) dan SMP (1 buah). Sarana dan prasarana pendidikan umum swasta berupa TK (3 buah), RA (7 buah), SMP (1 buah), dan MA (1 buah). Sarana dan prasarana pendidikan luar sekolah berupa PAUD (3 buah) dan kejar paket B (1 buah).

Sarana dan prasarana yang terdapat di Desa Sukajadi terdiri dari : Sarana pendidikan umum berupa TK (1 buah), SD/MI (2 buah) dan SLTP (1 buah). Sarana pendidikan Islam, yaitu PAUD (4 buah), RA/TK Al-Qur’an (1 buah), MTs (1 buah), Pondok Pesantren (2 buah), dan Majelis Taklim (11 buah). Sarana dan prasarana peribadatan yang ada berupa masjid (12 buah) dan mushola (32 buah). Sarana dan prasarana kesehatan dan tenaga medis yang melaksanakan praktek di desa, yaitu puskesmas (1 buah), posyandu (11 buah), bidan desa (1 orang), dukun beranak tak terlatih (3 orang), dan kader posyandu (33 orang).

Menurut data laporan bulanan UPTD puskesmas Sindangbarang 2011, jumlah bayi lahir di Kelurahan Situgede hingga bulan Maret 2011 adalah 44 bayi, 43 diantaranya ditolong oleh bidan atau tenaga kesahatan dan 1 bayi ditolong oleh dukun beranak. Total balita yang diberikan ASI eksklusif hingga usia 6 bulan sebanyak 26 balita. Jumlah bayi lahir yang tercatat di UPTD Tamansari hingga bulan Maret 2011 adalah 30 bayi, 18 diantaranya ditolong dukun beranak dan 12 bayi ditolong oleh bidan atau tenaga kesehatan. Total pemberian ASI eksklusif hingga usia 6 bulan sebanyak 15 balita.

Karakteristik Batita

Sebagian besar batita baik di perkotaan maupun perdesaan berjenis kelamin laki-laki dengan persentase sebesar 59,7% dan 40,3% berjenis kelamin perempuan. Di perkotaan sebesar 67,7% batita berjenis kelamin laki-laki dan 32,3% berjenis kelamin perempuan. Sedangkan di perdesaan persentase batita yang berjenis kelamin laki-laki sebesar 51,6% dan perempuan sebesar 48,4%.

Umur batita dari contoh penelitian berkisar antara 12-35 bulan. Rata-rata umur batita di perkotaan dan perdesaan adalah 23,5 bulan. Sebesar 58,1% batita di perkotaan berusia antara 24-35 bulan dan 41,9% batita berusia 12-23 bulan. Pada daerah perdesaan sebesar 48,4% batita berusia antara 24-35 bulan dan 51,6% batita berusia antara 12-23 bulan. Masa batita (bawah tiga tahun) merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang manusia. Pertumbuhan dan perkembangan di masa itu menjadi penentu keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini merupakan masa yang berlangsung cepat dan tidak akan pernah terulang, karena itu sering disebut golden age atau masa keemasan (Sutomo & Anggraini 2010). Uji t yang dilakukan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata antara umur bayi di perkotaan dan perdesaan (p>0,05).

Berat bayi lahir dikatan rendah jika berat badan lahir < 2500 gram. Rata- rata berat bayi lahir di perkotaan dan perdesaan adalah 3200 gram. Sebesar 96,8% batita di perkotaan dan perdesaan memiliki berat badan lahir diatas 2500 gram dan 3,2% batita memiliki berat badan lahir kurang dari 2500 gram. Hasil uji t menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata (p>0,05) antara berat bayi lahir di perkotaan dan perdesaan. Tidak adanya perbedaan antara berat bayi lahir dikedua lokasi diduga karena ibu dikedua daerah telah memiliki pengetahuan yang cukup mengenai kehamilan dan dapat menjaga janinnya selama masa kehamilan

Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin, umur, dan berat bayi lahir

Variabel Perkotaan Perdesaan Total

n % n % n % Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 21 10 67,7 32,3 16 15 51,6 48,4 37 25 59,7 40,3 Umur (bulan) 12-23 24-35 13 18 41,9 58,1 16 15 51,6 48,4 29 33 46,8 53,2

Tabel 4 (Lanjutan)

Variabel Perkotaan Perdesaan Total

n % n % n %

Berat bayi lahir < 2500 gram ≥ 2500 gram 30 1 3,2 96,8 1 30 3,2 96,8 2 60 3,2 96,8

Rata-rata berat badan lahir 2,9 2,9 2,9

Karakteristik Ibu Umur ibu

Sebaran umur ibu dikelompokkan menjadi empat, yaitu remaja (< 20 tahun), dewasa awal ( 20-40 tahun), dewasa tengah ( 41-65 tahun), dan dewasa

akhir ( ≥ 65 tahun). Harlock (1998) menyatakan bahwa orang tua khususnya ibu yang terlalu muda (< 20 tahun) cenderung kurang mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang cukup dalam mengasuh anak dan lebih cenderung menjadikan ibu lebih memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anaknya sehingga kulitas dan kuantitas pengasuhan anak kurang terpenuhi. Sebaliknya, pada ibu yang memiliki usia yang telah matang (dewasa) akan cenderung menerima perannya dengan sepenuh hati.

Sebesar 96,8% umur ibu di perkotaan tergolong ke dalam dewasa awal (20-40 tahun) dan 3,2% tergolong ke dalam dewasa tengah (41-65 tahun). Sedangkan di perdesaan sebesar 3,2% umur ibu tergolong ke dalam remaja (< 20 tahun), 93,5% tergolong ke dalam dewasa awal (20-40 tahun), dan sebesar 3,2% tergolong ke dalam dewasa akhir (41-65 tahun). Rata-rata umur ibu di perkotaan sebesar 31 tahun sedangkan di perdesaan sebesar 28 tahun. Hasil uji t test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata (p>0,05) antara ibu di perkotaan dan perdesaan. Tabel 5 menunjukkan sebaran umur ibu.

Tabel 5 Sebaran umur ibu

Kategori umur Perkotaan Perdesaan Total

n % n % n %

Remaja (< 20) 0 0 1 3,2 1 1,6

Dewasa awal (20-40) 30 96,8 29 93,5 59 95,2

Dewasa tengah (41-65) 1 3,2 1 3,2 2 3,2

Rata-rata umur ibu ± SD 28,4 30,7 29,5

Pendidikan ibu

Pendidikan ibu dibagi kedalam 6 kategori yaitu tidak tamat SD, tamat SD, tamat SMP, tamat SMA, Akademik/D1/D2/D3, Universitas/Sarjana. Secara keseluruhan pendidikan ibu di kedua daerah tergolong cukup baik. Sebesar

46,8% ibu tergolong tamatan SD, 29% tergolong tamatan SMP, 22,6% tergolong tamatan SMA dan 1,6% tergolong tamatan akademik.

Tingkat pendidikan ibu di perkotaan lebih baik dibandingkan di perdesaan. Sebesar 29% ibu di perkotaan tergolong tamatan SD, 32,3% ibu tergolong tamatan SMP, 35,5% tergolong tamatan SMA dan sebesar 3,2% tergolong kedalam tamatan Akademik. Sedangkan di daerah perdesaan sebesar 64,5% ibu tergolong tamatan SD, 25,8% tergolong tamatan SMP, dan 9,7% tergolong tamatan SMA. Gunarsa dan Gunarsa (2000) menyatakan bahwa tingkat pendidikan orang tua baik secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi komunikasi antara orang tua dan anak di dalam lingkungan keluarga. Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan lebih mudah menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi (Atmarita & Fallah 2004).

Hasil uji beda menunjukkan terdapat berbedaan nyata antara tingkat pendidikan di perkotaan dan perdesaan (p<0,05), dimana tingkat pendidikan ibu di perkotaan lebih baik dibandingkan di perdesaan. Hal ini diduga karena masih terbatasnya akses akan pendidikan di daerah tersebut serta serta tingkat ekonomi di perdesaan yang lebih rendah menyebabkan mereka lebih cenderung untuk bekerja dibandingkan bersekolah. Tabel 6 menunjukkan sebaran tingkat pendidikan ibu.

Tabel 6 Sebaran tingkat pendidikan ibu

Tingkat pendidikan Pendidikan ibu Total Perkotaan Perdesaan n % n % n % Tamat SD 9 29 20 64,5 29 46,8 Tamat SMP 10 32,3 8 25,8 18 29 Tamat SMA 11 35,5 3 9,7 14 22,6 Akademik/D1/D2/D3 1 3,2 0 0 1 1,6 Pekerjaan ibu

Sebagian besar ibu baik di perkotaan maupun perdesaan merupakan ibu rumah tangga dengan persentase sebesar 93,5%, hanya 6,5% yang bekerja sebagai wiraswasta. Sebagian besar ibu di perkotaan (90,3%) dan perdesaan (96,8%) yang tidak bekerja. Persentase ibu yang bekerja di perkotaan lebih besar dibandingkan perdesaan. Sebesar 9,7% ibu di perkotaan bekerja sebagai wiraswasta. Tingginya persentase ibu yang tidak bekerja dikedua daerah diduga karena sebagian besar ibu memilih untuk merawat dan meluangkan waktu bagi

batitanya dengan memperhatikan perkembangan dan status gizi batitanya. Hal ini dapat memberikan dampak yang baik status gizi batita mereka.

Mulyani (1990) menyatakan bahwa semakin bertambah luasnya lapangan kerja maka semakin mendorong banyaknya kaum wanita yang bekerja, terutama di sektor swasta. Di satu sisi, hal tersebut berdampak positif bagi pertambahan pendapatan, namun di sisi lain berdampak negatif terhadap pembinaan dan pemeliharaan anak. Perhatian terhadap pemberian makan anak menjadi kurang, sehingga cenderung dapat menyebabkan anak menderita kurang gizi, yang selanjutnya berpengaruh buruk terhadap tumbuh kembang dan perkembangan otak anak. Tabel 7 menunjukkan sebaran contoh menurut pekerjaan.

Tabel 7 Sebaran contoh menurut pekerjaan

Jenis pekerjaan Ibu Total Perkotaan Perdesaan n % n % n % Tidak bekerja 28 90,3 30 96,8 58 93,5 Wiraswasta 3 9,7 1 3,2 4 6,5 Karakteristik Keluarga Besar Keluarga

Secara keseluruhan rata-rata jumlah anggota keluarga di perkotaan dan perdesaan adalah 5 orang. Sebesar 50% tergolong kedalam keluarga kecil (≤ 4

orang) dan sebesar 16% tergolong ke dalam keluarga besar (≥7 orang). Jumlah

anggota keluarga terbesar yang dimiliki oleh contoh adalah 9 orang dan terkecil sebanyak 3 orang.

Berdasarkan pada hasil penelitian sebesar 45,2% contoh di perkotaan

tergolong kedalam keluarga kecil (≤ 4 orang), 35,3% tergolong kedalam keluarga

sedang (5-6 orang) dan 19,4% tergolong kedalam keluarga besar (≥7 orang).

Sedangkan di perdesaan persentase keluarga kecil (≤ 4 orang) memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan perkotaan, yaitu sebesar 54,8%. Sebanyak 32,3% dari contoh tergolong kedalam keluarga sedang (5-6 orang) dan 12,9% tergolong kedalam keluarga besar (≥7 orang).

Masih rendahnya persentase keluarga kecil di perkotaan diduga karena kurangnya kesadaran warga akan pentingnya program KB yang dianjurkan oleh pemerintah. Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata antara besar keluarga di perkotaan maupun di perdesaan (p>0,05). Tabel 8 menunjukkan sebaran contoh menurut besar keluarga.

Tabel 8 Sebaran contoh menurut besar keluarga

Besar keluarga (orang) Perkotaan Perdesaan Total

n % n % n % Kecil(≤ 4) 14 45,2 17 54,8 31 50 Sedang (5-6) 11 35,3 10 32,3 21 34 Besar (≥7 ) 6 19,4 4 12,9 10 16 Rata-rata (orang) 5 5 5 Pendapatan Keluarga

Pendapatan keluarga dinyatakan dalam pendapatan/kapita/bulan. Pendapatan/kapita/bulan dibandingkan dengan garis kemiskinan Provinsi Jawa Barat tahun 2010 sehingga dapat digolongkan menjadi keluarga miskin (< Rp

198.772) dan tidak miskin (≥ 198.772).

Berdasarkan pada penelitian secara keseluruhan rata-rata pendapatan/kapita/bulan keluarga contoh adalah Rp 249.598. Sebesar 56% keluarga contoh tergolong dalam keluarga tidak miskin dan sebesar 44% tergolong keluarga miskin.

Rata-rata pendapatan/kapita/bulan keluarga di perkotaan lebih besar (Rp 284.884) dibandingkan perdesaan (Rp 214.312). Hasil uji t menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata (p>0,05) antara pendapatan di perkotaan dan perdesaan. Berdasarkan garis kemiskinan, sebesar 41,9% keluarga contoh di perkotaan dan 45,2% di perdesaan termasuk kedalam keluarga miskin dan sebesar 58,1% keluarga contoh di perkotaan dan 54,8% keluarga contoh di perdesaan termasuk kedalam keluarga tidak miskin. Rendahnya pendapatan merupakan kendala yang menyebabkan orang tidak mampu membeli, memilih pangan yang bermutu gizi baik dan beragam. Nasoetion dan Riyadi (1994) menyatakan bahwa tingkat pendapatan merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi. Pendapatan yang tinggi akan meningkatkan daya beli sehingga keluarga mampu membeli pangan dalam jumah yang diperlukan dan akhirnya berdampak positif terhadap status gizi. Tabel 9 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan pendapatan per kapita per bulan.

Tabel 9 Sebaran contoh menurut pendapatan per kapita per bulan

Pendapatan/kap/bulan Perkotaan Perdesaan Total

n % n % n %

Miskin 13 41,9 14 45,2 27 44

Tidak miskin 18 58,1 17 54,8 35 56

Pengetahuan Inisiasi Menyusui Dini Ibu

Pengetahuan inisiasi menyusui dini ibu dikategorikan menjadi tiga yaitu pengetahuan inisiasi menyusi dini ibu tergolong baik jika total nilai >80%, sedang jika total nilai antara 60%-80%, dan rendah jika total nilai <60%. Berdasarkan pada hasil penelitian pengetahuan inisiasi menyusui dini ibu di perkotaan dan perdesaan tergolong sedang dan tinggi dengan nilai terkecil adalah 9 dan terbesar 20. Sebesar 58,1% ibu di perkotaan memiliki pengetahuan IMD sedang, 38,7% memiliki pengetahuan IMD tinggi dan 3,2% memiliki pengetahuan IMD rendah. Di perdesaan sebesar 51,6% ibu memiliki pengetahuan IMD sedang, 35,5% memiliki pengetahuan IMD tinggi dan 12,9% memiliki pengetahuan IMD rendah. Tabel 10 menunjukkan sebaran pengetahuan inisiasi menyusui dini ibu

Tabel 10 Sebaran pengetahuan inisiasi menyusui dini ibu Tingkat pengetahuan IMD

ibu

Perkotaan Perdesaan Total

n % n % n %

Rendah (<60%) 1 3,2 4 12,9 5 8,1

Sedang (60%-80%) 18 58,1 16 51,6 34 54,8

Tinggi (≥80%) 12 38,7 11 35,5 23 37,1

Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata antara pengetahuan inisiasi menyusui dini ibu di perkotaan dan perdesan (p>0.05). Pengetahuan inisiasi menyusui dini dapat diperoleh melalui pendidikan formal maupun informal. Banyaknya kegiatan penyuluhan yang dilakukan tenaga kesehatan merupakan salah satu hal yang dapat mempengaruhi tingkat pegetahuan inisiasi menyusui dini ibu.

Pertanyaan tertutup yang digunakan untuk mengukur pengetahuan inisiasi menyusui dini sebanyak 20 pertanyaan yang terbagi kedalam enam kategori pertanyaan yaitu makanan sumber zat gizi, ASI eksklusif, definisi IMD, langkah-langkah IMD, manfaat IMD, dan faktor penghambat IMD. Setiap jawaban benar diberi nilai 1 dan jawaban salah diberi nilai 0, sehingga nilai maksimal yang akan diperoleh adalah 20 dan nilai minimal adalah 0.

Pada hasil penelitian menunjukkan terdapat tiga pertanyaan yang hanya mampu di jawab benar oleh sedikit ibu baik di perkotaan maupun perdesaan yaitu pertanyaan mengenai berat badan lahir minimal untuk bayi, waktu yang tepat untuk melaksanakan IMD serta cara bayi dalam mencari puting susu ibu dalam pelaksanaan IMD, dan terdapat satu pertanyaan yang hanya mampu di jawab benar oleh sedikit ibu di perdesaan yaitu mengenai kelompok bahan

pangan protein nabati. Tabel 11 menunjukkan sebaran pertanyaan yang di jawab benar oleh ibu di perkotaan dan perdesaan.

Tabel 11 Sebaran pertanyaan pengetahuan inisiasi menyusui dini yang dijawab benar oleh ibu diperkotaan dan perdesaan.

No Pertanyaan Perkotaan Perdesaan

n % n %

1 Kelompok bahan pangan protein hewani 31 100 28 90 2 Kelompok bahan pangan protein nabati 23 74 14 45

3 Pengertian ASI eksklusif 27 87 26 84

4 Pengertian MP ASI 31 100 26 84

5 Lama pemberian ASI eksklusif 31 100 25 81

6 Waktu pemberian ASI pertamakali 25 81 25 81

8 Pengertian kolostrum 31 100 26 84

9 Pengertian IMD 23 74 19 61

10 Waktu yang tepat untuk melaksanakan IMD 16 52 17 55

11 Istilah lain IMD 21 68 24 77

12 Langkah IMD setelah bayi dilahirkan 28 90 26 84 13 Cara bayi dalam mencari puting susu ibu dalam

pelaksanaan IMD 11 35 14 45

14 Posisi bayi dalam melaksanakan IMD 23 74 22 71 15 Persalinan pendukung keberhasilan IMD 30 97 31 100

16 Lama pelaksanaan IMD 26 84 24 77

17 Tindakan bagi ibu dan bayi setelah melahirkan 24 77 25 81

18 Manfaat IMD bagi ibu 24 77 29 94

19 Manfaat IMD bagi bayi 29 94 26 84

20 Penghambat pelaksanaan IMD 26 84 21 68

Pertanyaan mengenai kelompok bahan pangan yang mengandung protein nabati dapat dijawab dengan benar oleh 74% ibu di perkotaan dan 45% ibu di perdesaan. Sebagian besar (55%) ibu di perdesaan yang tidak menjawab dengan benar menjawab daging, ikan, telur dan susu merupakan bahan pagan nabati. Hal ini diduga karena bahan pangan tersebut merupakan bahan pangan yang umum mereka ketahui dan merupakan bahan pangan yang banyak mengandung sumber protein, selain itu para ibu juga tidak dapat membedakan bahan makanan yang mengandung protein hewani dan protein nabati.

Pertanyaan mengenai berat badan lahir minimal untuk bayi sehat tidak mampu dijawab dengan baik oleh ibu di perkotaan maupun di perdesaan. Hanya sebesar 23% ibu di perkotaan dan 35% ibu di perdesaan yang mampu menjawab dengan benar. Ibu yang tidak menjawab dengan benar baik di perkotaan maupun perdesaan sebagian besar menjawab 3 kg adalah berat badan lahir minimal untuk bayi sehat. Hal ini diduga karena ibu tidak mengetahui berat badan minimal bayi lahir sehat sehingga sebagian besar ibu memperkirakan bahwa dengan berat badan lahir bayi lebih besar atau sama dengan 3 kg dikatakan berat minimal berat badan bayi lahir sehat.

Pertanyaan mengenai waktu pelaksanaan IMD hanya dapat dijawab oleh 52% ibu di perkotaan dan 55% ibu di perdesaan. Rata-rata ibu menjawab setelah bayi dibersihkan, diberi tetes mata dan disuntik vitamin K. Hal ini diduga karena sebagian besar ibu yang telah melahirkan menyusui bayinya setelah bayi dalam keadaan bersih. Masih rendahnya pengetahuan ibu mengenai praktek pelaksanaan IMD diduga karena masih rendahnya peran tenaga kesehatan di kedua wilayah dalam memperkenalkan program tersebut sehingga banyak dari ibu yang tidak mengetahui istilah ataupun langkah pelaksanaan IMD.

Pertanyaan mengenai cara bayi dalam mecari puting susu ibu hanya dapat dijawab benar oleh 35% ibu di perkotaan dan 45% ibu di perdesaan. Sebagian besar ibu (65%) di perkotaan dan (55%) di perdesaan yang tidak menjawab benar menjawab langsung diarahkan ke puting susu merupakan cara bayi dalam mencari puting susu ibu. Banyaknya ibu yang menjawab salah diduga karena belum optimalnya pelaksaan IMD di kedua daerah. Dalam mencari puting susu ibu, sebagian besar bayi langsung diarahkan dan mendapatkan bantuan dari tenaga medis, sehingga banyak dari ibu yang tidak mengetahui bagaimana cara bayi mencari puting susu ibu dalam pelaksanaan IMD.

Pelaksanaan Inisiasi Menyusui Dini

Pilar utama dalam proses menyusui adalah inisiasi dini atau lebih dikenal dengan inisiasi menyusui dini (IMD). IMD didefinisikan sebagai proses membiarkan bayi menyusui sendiri setelah kelahiran (Yuliarti 2010). Pada penelitian yang dilakukan di Ghana menunjukkan bahwa sebesar 16% kematian neonatus dapat dicegah bila bayi mendapatkan ASI di hari pertamanya. Angka tersebut meningkat menjadi 22% bila bayi melakukan IMD dalam satu jam pertama setelah lahir (Depkes RI 2008).

Pelaksanaan inisiasi menyusui dini diukur dengan menggunakan 12 pertanyaan mengenai langkah inisiasi menyusui dini. Berdasarkan pada data penelitian ini sebesar 40% contoh dikedua daerah yang tidak melaksanakan IMD dan 60% contoh yang melaksanakan IMD. Terdapat 55% contoh di perkotaan yang tidak melaksanakan inisiasi menyusui dini dan 45% contoh yang melaksanakan inisiasi menyusui dini. Di perdesaan terdapat 65% contoh yang tidak melaksankan inisiasi menyusui dan 35% contoh yang melaksanakan inisiasi menyusui dini. Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata (p>0,05) antara pelaksanaan IMD di perkotaan dan perdesaan. Rendahnya pelaksanaan IMD di kedua lokasi penelitian diduga karena masih terbatasnya

pengetahuan dan keterampilan tenaga kesehatan dalam melaksanakan program tersebut. Berdasarkan pada penelitian Yulianty (2010) menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap peran tenaga kesehatan dalam pelaksanaan inisiasi menyusui dini adalah melatih keterampilan.

Menurut Aprillia (2009) keberhasilan program Inisiasi Menyusui Dini (IMD) sangat dipengaruhi oleh sikap, pengetahuan, dan motovasi bidan atau dokter yang menangani proses persalinan. Selain itu keberhasilan ibu menyusui juga harus didukung oleh suami, keluarga, petugas kesehatan, dan masyarakat. Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan pelaksanaan inisiasi menyusui dini di

perkotaan dan perdesaan

Kategori pelaksanaan IMD Perkotaan Perdesaan Total

n % n % n %

Melaksanakan 14 45 11 35 25 40

Tidak melaksanakan 17 55 20 65 37 60

Pertanyaan yang digunakan untuk mengukur inisiasi menyusui dini terdiri dari dua belas pertanyaan mengenai langkah inisasi menyusui dini, dari dua belas langkah pelaksanaan IMD hanya terdapat enam langkah utama yang menunjukkan proses inisiasi menyusui dini, yaitu meletakan bayi diatas perut ibu, bayi mencari puting susu ibu, bayi meremas daerah puting susu ibu, bayi menendang perut ibu, bayi menjilat puting susu ibu, dan bayi menghisap puting susu ibu. Contoh dianggap melaksanakan Inisiasi Menyusui Dini apabila setelah bayi dilahirkan, bayi diletakkan di atas perut ibu, dan bayi memberikan salah satu respon antara lain mencari puting susu ibu, menendang perut ibu, meremas daerah puting susu, menjilati puting susu, hingga bayi menghisap puting susu. Berdasarkan Tabel 13, dari sejumlah contoh yang diteliti 14 batita (45%) di perkotaan dan 11 batita (35%) yang melaksanakan IMD. Terdapat respon berbeda yang diberikan batita ketika berada di atas perut ibu. Berikut ini adalah respon bayi yang melakukan IMD (Tabel 13).

Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan respon yang diberikan

Respon Perkotaan Perdesaan

n % n %

Bayi mencari puting susu ibu 14 100 11 100

Bayi menendang perut ibu 13 93 10 91

Bayi meremas daerah puting susu ibu 12 86 10 91

Bayi menjilati kulit ibu 14 100 11 100

Bayi menghisap puting susu ibu 14 100 11 100

Berdasarkan tabel diatas terdapat 93% batita di perkotaan dan 91% batita di perdesaan yang memberikan respon menendang perut ibu dan terdapat 86%

batita di perkotaan dan 91% batita di perdesaan yang memberikan respon meremas daerah puting susu ibu. Respon yang berbeda ini diduga dapat disebabkan oleh posisi bayi yang diletakkan diatas perut ibu terlalu dekat dengan puting susu ibu sehingga bayi dengan mudah dapat mencari puting susu ibu.

Pemberian ASI Eksklusif Status pemberian kolostrum

Kolostrum merupakan pencahar yang ideal untuk membersihkan zat yang tidak terpakai usus bayi yang baru lahir dan membersihkan saluran pencernaan makanan bayi bagi makanan yang akan datang (Roesli 2004). Tabel 15 menunjukkan sebesar 72,6% ibu di perkotaan dan perdesaan memberikan kolostrum kepada batitanya dan sebesar 27,4% ibu yang tidak memberikan kolostrum. Adapun alasan contoh di perkotaan tidak memberikan kolostrum kepada batita mereka dikarenakan ASI tidak keluar (90%), dan operasi caesar (10%). Sedangkan alasan ibu di perdesaan tidak memberikan kolostrum

Dokumen terkait