• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Wilayah Penelitian

Kecamatan Cibinong sebagai kawasan pusat pemerintahan Kabupaten Bogor, secara administratif terbagi dalam 12 kelurahan yaitu: Kelurahan Pabuaran, Harapan Jaya, Cibinong, Pakansari, Tengah, Pondokrajeg, Sukahati, Karadenan, Nanggewer, Nanggewer Mekar, Cirimekar, dan Ciriung. Kecamatan Cibinong merupakan daerah yang berkembang pesat, meliputi pengembangan wilayah perumahan, industri, perdagangan, perkantoran, dan jasa. Di mana banyak terdapat pabrik garmen, industri rumah tangga dan dekat dengan pusat pemerintahan daerah Kabupaten Bogor. Potensi pengembangan Kecamatan Cibinong didukung oleh letak geografi yang berdekatan dengan akses jalan tol menuju Kota Bogor dan Propinsi DKI Jakarta sehingga memudahkan transportasi distribusi barang dan jasa .

Kelurahan Karadenan merupakan lokasi penelitian terletak di dalam wilayah kerja Kecamatan Cibinong dengan luas wilayah 404 Ha. Wilayah-wilayah yang membatasi Kelurahan Karadenan adalah: sebelah utara Kelurahan Sukahati Kecamatan Cibinong, sebelah selatan adalah Desa Pasir Jambu Kecamatan Sukaraja, sebelah barat berbatasan dengan dua wilayah yaitu Desa Cilebut Timur Kecamatan Sukaraja dan Desa Waringin Jaya Kecamatan Bojong Gede dan sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Nanggewer Kecamatan Cibinong dan Desa Cimandala Kecamatan Sukaraja. Gambaran lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2. Lokasi Kelurahan Karadenan cukup srategis karena letaknya berdekatan dengan Ibu Kota Propinsi dan Ibu Kota Negara RI, dapat di lihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Jarak Kelurahan Karadenan ke pusat pemerintahan

Pusat Pemerintahan Jarak

Kecamatan Cibinong ± 8 km

Kabupaten Bogor ± 5 km

Ibu Kota Propinsi Jawa Barat ± 105 km

Ibu Kota Negara RI ± 60 km

Kondisi Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) mengalami penambahan, di mana Kelurahan Karadenan sejak Desember 2008 terdiri dari 103 RT dan 19 RW, di mana 6 RW ialah perumahan yaitu Perumahan Puri Nirwana, Perumahan Bumi Karadenan Permai, Perumahan Karadenan City dan Perumahan Taman Cibinong Asri. Sementara 13 RW lainnya adalah perkampungan yaitu Kampung Babakan, Kampung Kedung Umpal, Kampung Kaumpandak, dan Kampung Pisang, di mana pada lokasi perkampungan masih banyak terlihat tanaman singkong dan industri rumah tangga yaitu industri kerupuk merah. Gambaran sebaran lokasi perkampungan, RT dan RW dapat dilihat pada Lampiran 3. Jumlah penduduk Kelurahan Karadenan mengalami penambahan yang cukup nyata jika dibandingkan pada tahun 2007 yaitu ± sebanyak 15.272 jiwa. Akibat munculnya perumahan maka bertambah pula jumlah penduduk Kelurahan Karadenan. Berdasarkan data jumlah penduduk di Kelurahan Karadenan per Desember 2008 adalah 16.404 jiwa, terdiri dari 8.435 laki-laki dan 7.969 perempuan. Sebaran penduduk berdasarkan usia dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Sebaran penduduk berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin

No Kelompok Umur Jumlah (jiwa) Jumlah

Pria Wanita 1 0 – 4 1.213 1.239 2.452 2 5 – 9 1.254 1.177 2.431 3 10 – 14 564 897 1.461 4 15 – 19 693 735 1.428 5 20 – 24 890 826 1.716 6 25 – 29 762 602 1.364 7 30 – 34 869 510 1.379 8 35 – 39 718 892 1.610 9 40 – 44 392 350 742 10 45 – 49 292 253 545 11 50 – 54 315 37 352 12 55 – 59 219 199 418 13 60 – 64 132 142 274 14 65 – 69 80 54 134 15 70 – keatas 42 56 98 Jumlah 8.435 7.969 16.404

Jumlah penduduk di Kelurahan Karadenan didominasi oleh generasi muda (usia 20 – 24 tahun) dengan jumlah laki-laki 890 jiwa dan jumlah wanita 826 jiwa. Dengan demikian, umumnya penduduk Kelurahan Karadenan adalah usia produktif untuk bekerja. Selanjutnya berdasarkan jenis pekerjaan penduduk dapat disimpulkan bahwa pekerjaan utama kepala keluarga ialah pedagang/wiraswasta dan buruh industri (Tabel 6). Hal ini sangat dimungkinkan mengingat lahan pertanian sudah sangat berkurang dan banyaknya pabrik di sekitar Kelurahan Karadenan.

Tabel 6 Sebaran penduduk Kelurahan Karadenan berdasarkan jenis pekerjaan No Pekerjaan Jumlah (Orang) Persentase (%) 1 Petani 188 5,47 2 Pengusaha 33 0,96 3 Pedagang/wiraswasta 1.336 38,88 4 Buruh 914 26,60 5 PNS 428 12,46 6 Pengemudi 74 2,15 7 TNI/POLRI 167 4,86 8 Pensiunan 74 2,15 9 Pegawai swasta 221 6,43 10 Anggota DPRD 1 0,03 Total 3.436 100

Sumber: Kelurahan Karadenan, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor 2009

Sarana dan prasarana kesehatan di wilayah Kelurahan Karadenan cukup baik, karena sarana dan prasarana kesehatan yang ada, sudah mencukupi kebutuhan kesehatan masyarakat, ditambah lagi lokasi RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah) Kabupaten Bogor hanya berjarak 5 Km dari Kelurahan Karadenan. Kelurahan Karadenan memiliki sarana pendidikan yang lengkap karena semua tingkatan sekolah formal terdapat di kelurahan ini (Tabel 7).

Tabel 7 Prasarana pendidikan di Kelurahan Karadenan

No Prasarana Pendidikan Jumlah

1 Sekolah Tinggi Swasta 1 buah

2 SMU Negeri 1 buah

3 SMU Swasta 5 buah

4 SMK Negeri 1 buah

5 SMK Swasta 3 buah

6 TK Swasta 1 buah

7 SD Negeri 1 buah

Faktor-faktor Internal Ibu Bekerja

Faktor internal ibu bekerja adalah faktor yang berasal dari dalam diri ibu bekerja yang dapat mempengaruhi seorang ibu dalam mempersepsikan ASI eksklusif. Tabel 8 memperlihatkan deskripsi faktor internal yang berhubungan dengan persepsi ibu bekerja tentang ASI eksklusif.

Tabel 8 Deskripsi faktor internal ibu bekerja (n = 100)

Faktor internal ibu bekerja Kategori Persentase (%) Tingkat pendidikan ibu Rendah (SD-SMP)

Sedang (SMA-D3) Tinggi (S1-S3)

27 53 20 Jenis pekerjaan ibu Formal

Informal

82 18 Tingkat pendapatan ibu Rendah ( ≤ Rp 873.231)

Tinggi (> Rp 873.231)

38 62 Tingkat pendapatan keluarga Rendah(≤Rp 1.746.462)

Tinggi (> Rp 1.746.462)

42 58 Jumlah anak yang pernah disusui 1 orang

2 orang 3 orang 4 orang 54 31 9 6

Pengetahuan ibu Rendah

Sedang Tinggi

2 31 67

Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan, berada pada kategori sedang di mana responden yang memiliki tingkat pendidikan SMA-D3 berjumlah (53%) atau 53 orang dari 100 responden. Hal ini menunjukkan responden di Kelurahan Karadenan umumnya berpendidikan SMA sampai D3. Responden yang tingkat pendidikannya pada kategori tinggi yaitu yang memiliki jenjang pendidikan dari S1 sampai S3 berjumlah 20 orang atau ( 20%), dan responden yang tingkat pendidikannya masuk pada kategori rendah yaitu SD sampai SMP berjumlah 27 orang (27%). Berdasarkan hasil pengamatan, kesempatan kerja bagi perempuan

dengan tingkat pendidikan tinggi di Kelurahan Karadenan cukup terbuka lebar, hal ini ditunjang oleh kondisi Kelurahan Karadenan yang cukup banyak pabrik, pusat pemerintahan, swasta, dan jasa yang dapat menampung angkatan kerja wanita, di mana tingkat pendidikan responden memenuhi persyaratan untuk bekerja pada sektor formal maupun informal.

Jenis pekerjaan responden dikategorikan menjadi dua, yaitu pekerjaan di sektor formal dan sektor informal. Berdasarkan data di lapangan jenis pekerjaan ibu yang bergerak di sektor formal berjumlah 82 responden atau (82%). Pembagian kategori jenis pekerjaan ini berdasarkan aturan pembagian kerja dan jumlah jam yang harus dilakukan ibu selama bekerja. Pada pekerjaan di sektor formal umumnya responden terikat pada jumlah jam dan spesialisasi pekerjaan sesuai dengan keahlian yang dimiliki responden dan dibutuhkan oleh pihak perusahaan. Untuk diterima bekerja di sektor formal memerlukan persyaratan khusus, di mana syarat utama adalah ijasah yang menunjukkan tingkat pendidikan dan keahlian yang dimiliki seorang calon pekerja. Dengan tingkat pendidikan inilah maka pihak pemberi kerja dapat menempati pekerja pada posisi berdasarkan keahlian yang dimiliki dan dibutuhkan oleh perusahaan. Responden yang bekerja di sektor formal dengan segala peraturan dan jumlah jam kerja yang diatur undang-undang ketenagakerjaan, menyebabkan cukup banyak alokasi waktu responden berada di luar rumah untuk bekerja dan responden harus meninggalkan bayinya sehingga mengganggu rutinitas menyusui. Kondisi ini memungkinkan responden untuk menggantikan ASI dengan susu formula yang sangat gencar sekali diiklankan di seluruh media baik media cetak maupun media elektronika. Jumlah responden yang bekerja di sektor informal tergolong rendah yaitu 18 orang (18%). Hal ini disebabkan pekerjaan di sektor formal, tidak dapat menampung calon pekerja yang memiliki tingkat pendidikan formal yang rendah yaitu jenjang pendidikan SD. Selain itu pekerjaan di sektor informal tidak menyaratkan ijasah dan tingkat pendidikan sehingga bagi perempuan yang tidak tertampung untuk bekerja di sektor formal maka sektor informal merupakan pilihan alternatifnya. Fenomena ini menggambarkan bahwa bagi perempuan sebagai istri dan perempuan dewasa, bekerja bukan saja untuk

mendapatkan penghasilan tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan psikologis dan harga diri khususnya bagi wanita yang memiliki tingkat pendidikan tinggi. Berdasarkan data di lapangan responden yang bekerja di sektor formal yaitu sebagai pegawai negri sipil (Pemda Kabupaten Bogor dan guru), karyawati perusahaan baik karyawan tetap maupun kontrak, perawat, sales marketing, dan wartawan. Sedangkan wanita yang bekerja di sektor informal yaitu sebagai buruh cuci/pembantu rumah tangga, buruh jemur kerupuk, buruh jins, buruh jemur sagu dan pedagang (Lampiran 4). Dengan demikian pekerjaan di sektor informal saja yang dapat menampung perempuan yang tingkat pendidikannya rendah. Berdasarkan data yang diperoleh, responden yang bekerja di sektor informal menerima upah harian dan mingguan, berbeda dengan responden yang bekerja di sektor formal yang menerima imbalan gaji bulanan. Pada responden yang bekerja di pabrik, perhitungan gaji bulanan berdasarkan jumlah jam kerja responden pada perusahaan.

Berdasarkan Tabel 8 ( halaman 34 ), responden memiliki pendapatan tinggi yaitu di atas UMR Kabupaten Bogor Rp 873.231 berjumlah 62 orang (62%). Berdasarkan data di lapangan responden yang bekerja di sektor formal mendapatkan gaji di atas UMR Kabupaten Bogor. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendapatan responden di Kelurahan Karadenan termasuk tinggi. Dengan tingginya pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Berdasarkan data di lapangan, responden yang memiliki tingkat pendapatan yang tinggi memiliki keleluasaan untuk membeli makanan yang berkualitas seperti susu untuk ibu menyusui, makanan yang bergizi, karena umumnya ibu bekerja memberikan ASI kepada bayinya sepulang dari bekerja. Responden yang memiliki tingkat pendapatan rendah yaitu di bawah UMR Kabupaten Bogor berjumlah 38 orang (38%) yaitu responden yang bekerja di sektor informal di mana responden mendapat gaji tiap bulannya berkisar Rp. 300.000 sampai Rp. 500.000. Dengan demikian, terdapat perbedaan pendapatan yang cukup besar antara responden yang bekerja di sektor formal dengan informal.

Pendapatan keluarga adalah jumlah pendapatan dari istri dan suami yang bekerja dalam satu bulan di mana bagi keluarga yang memiliki pendapatan baik dari

suami maupun istri cenderung lebih longgar dalam mengatur arus keluar masuknya uang dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dibandingkan pada keluarga yang pendapatannya berasal dari satu sumber pendapatan. Berdasarkan Tabel 8 terlihat bahwa jumlah responden yang tingkat pendapatan keluarganya tinggi ditemukan sebanyak 58 persen dan yang tingkat pendapatan keluarganya rendah ada 42 persen. Dapat dikatakan bahwa sebaran tingkat pendapatan responden cukup tinggi yaitu lebih dari Rp 1.746.462. Pendapatan keluarga yang di dukung oleh pendapatan istri yang cukup tinggi dapat memberi kontribusi yang cukup tinggi pula pada pendapatan keluarga sehingga dapat membantu suami dalam menopang kebutuhan rumah tangga. Pada keluarga di mana suami dan istri bekerja dan jumlah pendapatannya memadai maka dapat menunjang pertumbuhan dan perkembangan bayinya, karena dengan pendapatan tersebut orang tua dapat memenuhi kebutuhan bayi baik kebutuhan primer maupun sekunder.

Pengalaman menyusui merupakan suatu riwayat bagi ibu yang dapat mempengaruhi proses menyusui selanjutnya, di mana pada kelahiran berikutnya menentukan bayinya diberi ASI eksklusif atau tidak. Tabel 8 memperlihatkan bahwa responden umumnya memiliki jumlah anak satu orang yaitu 54 orang (54%), yang memperlihatkan bahwa sebaran ibu yang menjadi responden adalah ibu muda yang baru memiliki satu orang anak. Responden yang baru memiliki satu anak, maka pengalaman menyusui baru satu kali, sehingga tidak dapat diketahui apakah ibu akan memberikan atau tidak memberikan ASI eksklusif pada anak kedua dan seterusnya. Sementara responden yang pernah menyusui dua orang anaknya berjumlah 31 persen, responden yang pernah menyusui tiga orang anak berjumlah 9 persen, dan responden yang pernah menyusui empat orang anak berjumlah 6 persen. Hal ini menunjukkan bahwa umumnya semua bayi pernah disusui oleh ibunya hanya saja lamanya menyusui berbeda-beda antar responden.

Pengetahuan adalah segala macam informasi yang diterima baik dari membaca buku, melihat televisi, mendengarkan radio maupun bertanya kepada orang lain. Informasi tentang ASI eksklusif sangat diperlukan oleh ibu yang sedang atau akan menyusui bayinya. Dari data pada Tabel 8, pengetahuan responden tentang ASI

eksklusif tinggi yaitu 67 persen. Untuk dapat memberikan ASI eksklusif pada bayi maka responden harus cukup memiliki pengetahuan tentang ASI eksklusif karena menyusui adalah suatu pengalaman belajar dan masa penuh tantangan, khususnya pada ibu yang baru pertama kali menyusui yang umumnya banyak menemui kesulitan dalam menyusui bayinya. Menyusui merupakan kegiatan dan kewajiban seorang ibu yang memiliki bayi, karena itu, teknik menyusui yang benar perlu dipelajari dan dikembangkan, sehingga ibu memiliki pengetahuan mengenai tatacara menyusui yang benar dan dapat diimplementasikan. Berdasarkan Tabel 8 (halaman 37), jumlah ibu yang memiliki pengetahuan tentang ASI eksklusif yang masuk pada kategori tinggi ternyata lebih banyak (67%) dibandingkan dengan ibu yang memiliki pengetahuan tentang ASI eksklusif yang tergolong sedang (31%) dan hanya sedikit ibu (2%) yang memiliki pengetahuan tentang ASI eksklusif rendah. Berarti umumnya responden sudah mengetahui manfaat ASI eksklusif jika diberikan kepada bayinya.

Faktor-faktor Eksternal Ibu Bekerja

Faktor eksternal ibu bekerja adalah faktor yang berasal dari luar diri ibu yang dapat mempengaruhi persepsi ibu tentang ASI eksklusif.

Tabel 9 Deskripsi faktor eksternal ibu bekerja (n = 100)

Faktor eksternal ibu bekerja Kategori Persentase (%)

Jumlah jam kerja Pendek (<6,67 jam) Sedang (6,67-10,33 jam) Panjang (>10,33 jam)

26 60 14 Jarak tempat kerja Dekat ( < 1 Km)

Jauh ( ≥ 1 Km)

51 49 Peluang pemberi kerja Tidak memberi peluang

Kurang memberi peluang Memberi peluang

84 11 5

Dukungan suami Rendah

Sedang Tinggi

16 39 45

Tabel 9 berikut ini memberikan gambaran faktor-faktor eksternal persepsi ibu bekerja tentang ASI eksklusif. Berdasarkan data di lapangan jumlah jam kerja adalah

lamanya waktu bekerja yang harus dilalui responden menurut aturan yang berlaku pada perusahaan. Berdasarkan Tabel 9 umumnya responden harus meninggalkan bayinya selama bekerja antara 6,67 sampai 10,33 jam (40%). Untuk responden yang bekerja kurang dari 6,67 jam berjumlah 26 persen, dan jumlah ibu yang bekerja lebih dari 10,33 jam ada 34 persen. Hal ini tentunya dapat mengganggu rutinitas menyusui yang dilakukan oleh ibu ketika cuti berakhir, karena responden harus kembali bekerja dan meninggalkan bayinya di rumah. Jumlah jam kerja yang diberlakukan pada perusahaan tempat responden bekerja bervariasi. Pada responden yang bekerja sebagai PNS khususnya guru hanya bekerja dari jam 7.00 WIB sampai jam 13.00 WIB (6 jam). Sedangkan responden yang bekerja sebagai PNS di Pemda Bogor bekerja mulai jam 8.00 WIB sampai jam 16.00 WIB ( 8 jam). Berbeda dengan responden yang bekerja di perusahaan swasta khususnya pabrik, responden mulai bekerja dari jam 8.00 WIB sampai pukul 17.00 WIB ( 9 jam), dan ada pula responden yang bekerja di perusahaan swasta dari jam 7.00 WIB sampai jam 21.00 WIB (14 jam). Pada responden yang bekerja di sektor informal alokasi waktu bekerja bervariasi dari 3 jam sampai 6 jam dalam sehari. Responden yang bekerja di sektor informal seperti buruh cuci, bekerja dari jam 8.00-11.00 WIB (3 jam), responden yang bekerja sebagai buruh penjemur kerupuk dan sagu total jam kerja 4 jam karena tergantung cuaca, buruh jins bekerja tergantung banyaknya jins yang dikerjakan, rata-rata 3 sampai 4 jam sehari, dan responden yang berdagang rata-rata-rata-rata alokasi waktu untuk bekerja 4-6 jam. Bagi responden yang bekerja di sektor informal alokasi waktu untuk bekerja relatif lebih singkat dari pada responden yang bekerja di sektor formal. Hal ini dikarenakan pada responden yang bekerja di sektor informal jumlah jam kerja tidak terlalu mengikat dan tidak ada aturan yang jelas.

Jarak dari rumah ke tempat kerja adalah ukuran jauh tidaknya lokasi tempat ibu bekerja yang dihitung dengan satuan kilometer (Km) dari rumah ibu ke tempat kerja. Bagi ibu yang jarak tempat kerjanya jauh dari rumah maka ibu tersebut harus berangkat lebih awal supaya tidak terlambat sampai ke tempat kerja. Berdasarkan Tabel 9 terlihat bahwa jarak tempat kerja ibu yang harus ditempuh ibu adalah kurang dari 1 Km ada 51 persen sisanya 49 persen harus menempuh jarak lebih dari 1 Km,

sehingga waktu berangkat untuk bekerja harus memperhitungkan jarak dan waktu, terlebih lagi kota Bogor terkenal dengan kemacetannya khususnya pada pagi dan sore hari di mana banyak anak sekolah, orang yang berangkat dan pulang bekerja. Umumnya lokasi pekerjaan responden dekat dari tempat tinggal responden. Hal ini dikarenakan banyaknya responden yang tinggal di perumahan yang lokasinya berdekatan dengan tempat kerja yaitu di sekitar kota Bogor, walaupun ada beberapa responden yang bekerja di Jakarta, tetapi umumnya mereka membawa kendaraan sendiri sehingga waktu tempuh ke tempat kerja relatif lebih cepat.

Peluang pemberi kerja pada ASI eksklusif adalah dukungan pemberi kerja kepada ibu yang bekerja untuk memerah ASI selama ibu berada di perusahaan tempat ibu bekerja. Dukungan pemberi kerja dapat berupa menyediakan ruang memerah ASI, memberikan ijin pada pegawai wanita untuk memerah ASI. atau pun menyediakan sarana tempat penyimpanan ASI. Perusahaan yang tidak memberikan peluang atau dukungan kepada responden untuk memerah ASI berjumlah 84 persen (Tabel 9). Berdasarkan data di lapang, pihak perusahaan yang tidak mendukung dan tidak menyediakan fasilitas responden untuk memerah ASI adalah perusahaan swasta yang memproduksi barang (pabrik). Hal ini karena umumnya perusahaan lebih mementingkan responden dalam memproduksi barang atau jasa. Jika pihak perusahaan memberikan waktu responden untuk memerah ASI selama 1 jam dengan frekuensi memerah 2 kali sehari selama bekerja, berarti cukup banyak waktu yang terbuang dan berdampak pada menurunnya hasil produksi. Oleh sebab itu berdasarkan data di lapangan umumnya pihak pemberi kerja tidak mendukung pemberian ASI eksklusif bagi responden. Pihak pabrik sangat memperhitungkan jumlah jam kerja, maka dukungan terhadap ibu untuk memerah ASI di tempat kerja dianggap akan merugikan perusahaan. Sedangkan pihak perusahaan yang kurang memberi peluang untuk memerah ASI berjumlah 11 persen ( Lampiran 11). Hal ini dikarenakan pihak tempat kerja tidak menyediakan fasilitas untuk memerah ASI seperti ruangan untuk memerah dan termos es atau lemari es, tetapi tidak melarang responden untuk memerah ASI. Sementara pihak perusahaan atau kantor tempat ibu bekerja yang memberikan peluang untuk memerah ASI dan menyediakan fasilitas

untuk memerah hanya 5 responden (5%). Hal ini dikarenakan responden bekerja sebagai perawat pada rumah sakit swasta yang menyediakan ruangan laktasi (2 responden), pegawai BUMN, karyawan Bank swasta, dan Pegawai Pemda Bogor yang memiliki ruangan sendiri dan terdapat tempat untuk menyimpan ASI perahan (3 responden). Dapat dikatakan bahwa kesempatan ibu-ibu bekerja untuk dapat memerah ASI di tempat kerja adalah ibu yang umumnya bekerja pada perusahaan pemerintah. Sedangkan ibu yang bekerja pada industri (pabrik) umumnya tidak mendapatkan izin untuk memerah ASI selama berada di tempat kerja.

Dukungan suami tentang ASI eksklusif berdasarkan data di lapangan, seperti suami menggendong bayi dan memberikannya kepada ibu untuk disusui, suami mengantar ibu dan bayi ke dokter untuk memeriksakan kesehatan dan imunisasi, suami ikut membantu mengurus bayi saat terbangun di tengah malam, dan suami menyendawakan bayi setelah disusui ibunya. Dukungan yang diberikan suami dapat memberikan dorongan yang kuat pada ibu untuk memberikan ASI kepada bayinya. Dukungan suami sangat dibutuhkan seorang ibu yang sedang menyusui. Hal ini dikarenakan menyusui membutuhkan rasa tenang, di mana salahsatunya adalah dukungan dari suami. Pada Tabel 9 terlihat bahwa suami yang mendukung pemberian ASI eksklusif kepada bayinya yaitu 45 persen, sedangkan dukungan suami yang masuk kategori sedang berjumlah 39 persen, dan dukungan suami yang masuk kategori rendah dalam mendukung pemberian ASI eksklusif berjumlah 16 persen. Hal ini menggambarkan bahwa dukungan suami turut membantu meningkatkan motivasi ibu untuk memberikan ASI eksklusif. Perhatian suami dapat meningkatkan kapasitas motivasi bagi ibu untuk menyusui. Secara psikologi ASI juga dipengaruhi oleh unsur kejiwaan, oleh sebab itu ibu yang menyusui memerlukan ketenangan jiwa dan juga dorongan dari orang-orang terdekatnya. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, dukungan suami yang sangat dirasakan responden adalah suami turut bangun pada malam hari untuk menggantikan popok bayi yang basah, dan membangunkan responden jika di malam hari bayi menangis karena ingin disusui, hal ini membuktikan bahwa suami adalah orang terdekat dari ibu menyusui. Selain itu, suami diharapkan selalu meyakinkan bahwa ibu pasti mampu menyusui. Hal ini akan

membantu menumbuhkan kepercayaan bagi ibu untuk menyusui bayi semaksimal mungkin. Berdasarkan data di lapangan pada dukungan suami yang tergolong rendah, umumnya adalah suami yang istrinya bekerja di sektor informal. Hal ini di sebabkan karena suami umumnya bekerja sebagai buruh dan menurut responden kegiatan menyusui adalah tanggungjawab seorang ibu kepada bayinya, sedangkan tanggung jawab suami adalah mencari nafkah, sehingga suami tidak pernah menyarankan ibu untuk mengkonsumsi makanan yang dapat memperlancar keluarnya ASI, suami jarang menggendong bayi dan diberikan kepada ibu untuk disusui, suami tidak pernah menyediakan waktu untuk memijat bayinya. Hal ini dikarenakan suami tidak tahu cara memijat bayi dengan baik. Selain itu suami tidak pernah mengajak jalan-jalan bayi ke luar rumah (taman). Pada suami yang istrinya bekerja pada sektor formal di mana didukung dengan tingkat pendidikan yang tinggi, cenderung mendukung ibu untuk memberikan ASI eksklusif (Lampiran 9).

Persepsi Ibu Bekerja tentang ASI Eksklusif

Tabel 10 Persepsi ibu bekerja tentang ASI eksklusif berdasarkan rataan skor Persepsi ibu bekerja Rataan skor*

Manfaat ASI eksklusif bagi bayi 3,62

Manfaat ASI eksklusif bagi ibu 3,34

ASI perahan 3,03

Total rataan skor 3,33

Keterangan: * 1,00-1,75 = buruk, 1,76-2,50 = cukup baik, 2,51-3,25 = baik, 3,26-4,00 = baik sekali

Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi Ibu bekerja tentang ASI

Dokumen terkait