• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektifitas Sabun Kalsium Melindungi Asam Lemak Poli Tak Jenuh

Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari efektifitas sabun kalsium melindungi asam lemak poli tak jenuh (PUFA) dari biohidrogenasi mikro-organisma rumen. Penelitian ini terdiri dari dua kegiatan yaitu : 1) Pembuatan sabun kalsium dengan bahan dasar minyak ikan lemuru dan minyak sawit kasar (CPO). Parameter yang diukur adalah bilangan iod, bilangan penyabunan, rendemen dan kandungan asam lemak pada minyak ikan lemuru dan CPO. 2) Percobaan in vitro untuk mempelajari efektifitas sabun kalsium melindungi asam lemak poli tak jenuh dari bio-hidrogenasi mikroorganisme rumen. Parameter yang diukur adalah kandungan asam lemak dari minyak ikan lemuru dan CPO di rumen dan pasca rumen serta kandungan asam lemak dari sabun kalsium minyak ikan dan CPO di rumen dan pasca rumen.

Bilangan Iod

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bilangan iod pada minyak ikan lemuru adalah 10,4112 gram dan CPO adalah 4,2225 gram (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa minyak ikan lemuru mempunyai ikatan rangkap yang lebih banyak dari CPO. Ini berarti bahwa minyak ikan lemuru lebih banyak mengandung asam lemak poli tak jenuh dibanding CPO.

Bilangan Penyabunan

Minyak ikan lemuru dan CPO untuk pembuatan sabun kalsium diukur bilangan penyabunannya guna mengetahui bobot NaOH optimum untuk reaksi penyabunan pada perlakuan penelitian ini. Pada Tabel 3 dapat dilihat nilai bilangan penyabunan pada bahan yang digunakan adalah : 294.5488 mg KOH untuk minyak ikan lemuru dan 281. 2237 mg KOH untuk CPO. Melalui perbandingan bobot molekul, dapat diketahui keperluan penambahan NaOH dan CaCl2 dari bobot bahan dasar yang digunakan.

Tabel 3 Bilangan iod, bilangan penyabunan dan rendemen dari Minyak Ikan Lemuru dan CPO

Parameter Minyak ikan

lemuru

CPO

Bilangan Iod (gram)

Bilangan Penyabunan (mg KOH) Rendemen (%) 10.41 294.55 46.58 4.22 281.22 45.50 Sumber : Data Primer.

Rendemen

Pengukuran terhadap rendemen produk sabun kalsium dimaksud-kan untuk mengetahui tingkat efisiensi formula sabun kalsium tersebut. Nilai rendemen dari sabun kalsium pada penelitian ini adalah 46,58% untuk minyak ikan lemuru dan 45,50% untuk CPO (Tabel 3). Nilai rendemen dari hasil penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian Waskito (1996) yang menggunakan minyak ikan lemuru sebagai bahan dasar pembuatan sabun kalsium yaitu sebesar 40%.

Kandungan Asam Lemak

Hasil analisis kandungan asam lemak dari minyak ikan lemuru dan CPO pada Tabel 4 menunjukkan bahwa perbandingan kandungan asam lemak antara minyak ikan lemuru dan CPO mempunyai perbedaan yang cukup tinggi yaitu 348.9049 mg/gram untuk minyak ikan dan 56.3150 mg/gram untuk CPO.

Tingginya kandungan asam lemak dari minyak ikan ini disebabkan karena kandungan jenis asam lemak dari minyak ikan lebih banyak dari kandungan jenis asam lemak pada CPO. Selain itu minyak ikan mem-punyai rantai hidrokarbon dengan jumlah atom karbon yang memmem-punyai ikatan rangkap lebih banyak yaitu sampai 22:6 (DHA) sedangkan pada CPO, rantai hidrokarbon dengan jumlah atom karbon yang mempunyai ikatan rangkap hanya sampai pada 18:3 (linolenat).

Tabel 4 Kandungan asam lemak dari minyak ikan lemuru dan CPO.

Jenis Asam Lemak

Kandungan Asam Lemak (mg/g) Minyak Ikan CPO

Laurate (12:0) 2.9556 0.4645 Myristate (14:0) 27.7000 0.3153 Myristoleic (14:1) 11.8181 Pentadecanoate (15:0) 2.4674 Palmitate (16:0) 83.7968 5.6571 Poelmitoleic (16:1) 23.0066 Heptadecanoate (17:0) 4.0112 3.9936 Stearate (18:0) 25.2417 7.2013 Oleat (18 : 1) 73.8502 20.3291 Linoleate (18:2) 11.1597 13.5496 Linolenat (18:3) 5.4373 4.8045 Arrachidate (20:0) 2.1810 Eicosenoate (20:1) 2.1310 (20 : 4) 5.0147 (20 : 5) 1.9616 Behenate (22:0) 28.2790 Erucic Acid (22:1) 14.8484 (22:6) 23.0445 Total 348.9049 56.3150

Sumber : Data Primer

Hasil analisis kandungan asam lemak dari sabun kalsium dengan bahan dasar minyak ikan lemuru dan CPO menunjukkan bahwa kandungan asam lemak pada produk sabun kalsium yang dihasilkan mengalami penurunan yaitu 89.1211 mg/gram untuk sabun kalsium dengan bahan dasar minyak ikan lemuru dan 14.4753 mg/gram untuk sabun kalsium dengan bahan dasar CPO (Tabel 5). Hal ini disebabkan karena adanya penambahan NaOH, CaCl2 dan akuades yang mengakibatkan kandungan asam lemak dari produk sabun kalsium yang dihasilkan lebih rendah dibanding bahan dasarnya.

Tabel 5 Kandungan Asam Lemak (mg/g) dari Sabun Kalsium dengan bahan dasar minyak ikan lemuru dan CPO.

Jenis Asam Lemak

Sabun Kalsium Minyak Ikan CPO

Laurate (12:0) 0.5053 0.0936 Myristate (14:0) 4.2339 0.0815 Myristoleic (14:1) 4.2105 Pentadecanoate (15:0) 0.2992 Palmitate (16:0) 12.9084 2.1197 Poelmitoleic (16:1) 4.7102 Heptadecanoate (17:0) 3.3025 3.3883 Stearate (18:0) 4.1574 0.2006 Oleat (18:1) 17.2261 3.1588 Linoleate (18:2) 22.0143 4.2537 Linolenat (18:3) 6.3012 1.1791 Arrachidate (20:0) 0.4763 Eicosenoate (20:1) 0.5424 (20:4) 0.0104 (20:5) 0.1375 Behenate (22:0) 2.8957 Erucic Acid (22:1) 2.8935 (22:6) 2.2964 Total 89.1211 14.4753

Sumber : Data Primer

Perlindungan Asam Lemak (Percobaan In Vitro).

Setelah memperoleh sabun kalsium dari penelitian tahap I (pembuatan sabun kalsium), maka dilanjutkan dengan uji fermentablitas (in vitro) untuk mempelajari efektifitas sabun kalsium melindungi asam lemak poli tak jenuh (PUFA). Pada penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap kandungan asam lemak terutama asam lemak poli tak jenuh di rumen dan pasca rumen.

Asam lemak poli tak jenuh (PUFA) merupakan asam lemak yang sangat penting karena termasuk asam lemak esensial yaitu berasal dari makanan dan tidak dapat disintesis di dalam tubuh. Ada dua jenis asam lemak ini yang penting ialah asam lemak omega-3 dan asam lemak omega-6. Asam lemak omega-6 seperti asam lemak linoleat (18:2) merupakan asam lemak esensial sedangkan asam lemak linolenat (18:3)

dan arakidonat (20:0) dapat disintesa dari asam lemak linoleat (Piliang dan Djojosoebagio, 2002).

Hasil penelitian (in-vitro) menunjukkan bahwa kandungan asam lemak poli tak jenuh dari minyak ikan lemuru (tanpa sabun kalsium) pada rumen dan pasca rumen mengalami penurunan (Gambar 13). Asam lemak oleat (18:1) dan linoleate (18:2) mengalami penurunan dari 11.20 dan 63.36 mg/gram menjadi 0.26 dan 0.95 mg/gram. Sedangkan asam lemak linolenate (18:3) dan DHA (22:6) mengalami penurunan dari 10.84 dan 4.14 mg/gram menjadi sangat kecil (trace) dan tidak terdeteksi.

Hasil analisis kandungan asam lemak dari sabun kalsium dengan bahan dasar minyak ikan lemuru pada rumen dan pasca rumen menunjuk-kan bahwa menunjuk-kandungan asam lemak juga mengalami penurunan dari rumen ke pasca rumen (Gambar 14). Asam lemak oleat (18:1) dan linoleate (18:2) mengalami penurunan dari 12.04 dan 34.54 mg/gram menjadi 1.53 dan 5.31 mg/gram. Sedangkan asam lemak linolenate (18:3) dan DHA (22:6) juga mengalami penurunan tetapi masih dapat terdeteksi yaitu dari 3.46 dan 6.18 mg/gram menjadi 1.95 dan 2.52 mg/gram.

Pola yang sama juga terjadi pada kandungan asam lemak dari CPO dan sabun kalsium dengan bahan dasar CPO. Hasil analisis kandungan asam lemak dari CPO (tanpa sabun kalsium) pada rumen dan pasca rumen menunjukkan bahwa kandungan asam lemak mengalami penurunan dari rumen ke pasca rumen (Gambar 15). Asam lemak oleat (18:1) dan linoleate (18:2) mengalami penurunan dari 11.0 dan 2.50 mg/gram menjadi 0.34 dan 0.40 mg/gram. Sedangkan asam lemak linolenate (18:3) mengalami penurunan dari 1.54 mg/gram menjadi sangat kecil (trace) dan tidak terdeteksi.

Hasil analisis kandungan asam lemak dari sabun kalsium dengan bahan dasar CPO pada rumen dan pasca rumen menunjukkan bahwa kandungan asam lemak juga mengalami penurunan dari rumen ke pasca rumen (Gambar 16). Asam lemak oleat (18:1) dan linoleate (18:2) mengalami penurunan dari 15.95 dan 11.39 mg/gram menjadi 12.80 dan

3.72 mg/gram. Sedangkan asam lemak linolenate (18:3) juga mengalami penurunan tetapi masih dapat terdeteksi yaitu dari 2.30 mg/gram menjadi 1.02 mg/gram.

Tabel 4. Kandungan asam lemak (mg/g) dari minyak ikan dan CPO tanpa proses penyabunan

Jenis Asam Lemak

Minyak ikan CPO Rumen Pasca Rumen Rumen Pasca Rumen Laurate (12:0) 3.62 0.38 Myristate (14:0) 33.54 0.74 0.42 Myristoleic (14:1) 12.01 Pentadecanoate (15:0) 2.42 Palmitate (16:0) 110.32 2.27 13.99 1.51 Poelmitoleic (16:1) 28.93 0.60 Heptadecanoate (17:0) 2.61 2.44 2.53 2.14 Stearate (18:0) 32.79 0.75 1.72 0.31 Cis-9-Oleic (18:1) 9.89 0.23 9.71 0.30 Linoleate (18:2) 63.36 0.95 2.50 0.40 Linolenat (18:3) 10.84 1.54 Arrachidate (20:0) 1.98 Eicosenoate (20:1) 3.10 Behenate (22:0) 6.77 (22:6) 4.14 326.33 7.98 32.79 4.65

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa teknologi sabun kalsium dapat melindungi asam lemak poli tak jenuh dari proses biohidrogenasi mikro-organisme rumen. Kandungan asam lemak poli tak jenuh yang lolos dari proses pencernaan di rumen dan masuk ke proses pencernaan pasca rumen pada perlakuan dengan teknologi sabun kalsium lebih tinggi dibanding dengan tanpa penggunaan sabun kalsium. Pada perlakuan dengan teknologi sabun kalsium kehilangan asam lemak poli tak jenuh adalah 60.35% sedangkan pada perlakuan tanpa sabun kalsium yaitu 95.91%. Hal ini menunjukkan bahwa asam-asam lemak yang masuk ke rumen akan mengalami biohidrogenasi oleh mikroorganisme rumen. Sebaliknya sabun kalsium tidak mengalami proses biohidrogenasi oleh mikroorganisme rumen (mekanisme : rumen by-pass), dan ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Parakkasi (1995) bahwa lemak

by-pass merupakan sumber energi yang tidak mempunyai efek terhadap fermentasi rumen dan siap diasimilasi oleh ternak dalam sistem pencernaannya dan lolos atau terpintas dari proses degradasi mikroba dalam retikulo rumen atau disebut lemak terlindung.

Tabel 5. Kandungan asam lemak (mg/g) dari Sabun kalsium dengan bahan dasar minyak ikan lemuru dan CPO.

Jenis Asam Lemak

Minyak ikan CPO

Rumen Pasca Rumen Rumen Pasca Rumen Laurate (12:0) 2.18 0.38 0.39 Myristate (14:0) 23.33 4.11 0.52 0.41 Myristoleic (14:1) 8.44 1.23 Pentadecanoate (15:0) 1.61 Palmitate (16:0) 78.53 13.54 21.95 11.67 Poelmitoleic (16:1) 25.90 4.31 Heptadecanoate (17:0) 2.53 2.46 2.46 2.43 Stearate (18:0) 28.81 4.83 2.31 1.09 Cis-9-Oleic (18:1) 10.63 1.35 14.08 11.30 Linoleate (18:2) 34.54 5.30 11.39 3.72 Linolenat (18:3) 3.46 1.95 2.30 1.02 Arrachidate (20:0) 1.84 0.73 Eicosenoate (20:1) 2.97 1.18 Behenate (22:0) 7.85 3.12 (22:6) 6.18 2.52 238.81 46.65 55.39 32.04

Jenkins (1993) mengatakan bahwa lemak akan dihidrolisis dalam rumen menjadi asam lemak terbang (Free Fatty Acid, FFA) dan glycerol. Selanjutnya Chalupa et al., (1986) mengatakan bahwa asam lemak poli tak jenuh akan mengalami biohidrogenasi oleh mikro-organisme rumen menjadi asam lemak jenuh dan glyserol kemudian glyserol ini akan dikonversikan menjadi asam lemak volatyl (Volatile Fatty Acid, VFA). Penelitian ini juga menunjukkan bahwa sabun kalsium dapat memproteksi asam lemak poli-tak jenuh dari biohidrogenasi oleh mikroorganisme rumen. Hasil penelitian Kook, et al., (2002) yang menggunakan suplementasi minyak ikan tanpa proteksi pada ternak sapi menunjukkan bahwa kandungan asam lemak terutama oleat, linoleate dan linolenate

pada otot longissimus dorsi tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan minyak ikan tanpa diproteksi tidak akan berpengaruh terhadap kandungan asam lemak poli tak jenuh pada daging ternak ruminansia.

Dari penelitian tahap I ini dapat disimpulkan bahwa kandungan asam lemak poi tak jenuh (PUFA) pada minyak ikan lemuru lebih tinggi dibanding pada CPO. Teknologi sabun kalsium (Ca-Soap) efektif melindungi/memproteksi asam lemak poli tak jenuh (PUFA) dari biohidro-genasi mikroorganisme rumen. Selanjutnya disarankan untuk perlu dilakukan penelitian in-vivo yang menggunakan sabun kalsium dengan bahan dasar minyak ikan lemuru untuk mengetahui inkorpoasi asam lemak poli-tak jenuh ke dalam karkas ternak ruminansia.

Penampilan Pertumbuhan

Penelitian ini dilakukan untuk mengaplikasikan hasil penelitian in vitro yaitu pemberian ransum penggemukan kepada ternak domba yang disuplementasikan dengan sabun kalsium yang berbahan dasar minyak ikan lemuru. Pada penelitian ini dilakukan dua tahap kegiatan penga-matan yaitu : 1) Penampilan pertumbuhan. Parameter yang diukur adalah konsumsi dan kecernaan bahan kering dan bahan organik, fermentasi mikroba rumen (pH , VFA Total dan N-NH3 cairan rumen), pertam-bahan bobot badan harian, efisiensi penggunaan ransum dan feed cost/ gain. 2) Karakteristik karkas dan daging domba. Parameter yang diukur adalah bobot potong, bobot karkas, persentasi karkas, luas urat daging mata rusuk, tebal lemak punggung, lemak intramuskuler, kandungan asam lemak dan kandungan kolesterol.

Konsumsi Bahan Kering dan Bahan Organik

Hasil penelitian pada tabel 10, menunjukkan bahwa tingkat konsumsi ransum adalah 521.51; 645.74 dan 650.42 (gram/ekor/hari), masing-masing untuk perlakuan RA, RB dan RC. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa tingkat konsumsi bahan kering tidak ada

perbedaan antar perlakuan. Hal ini disebabkan karena pemberian ransum bagi ternak domba dalam penelitian ini adalah sama yaitu 3,8% dari bobot badan hidup. Konsumsi bahan kering selama penelitian ini setelah dianalisis setara dengan 3% bobot badan. Walaupun konsumsi bahan kering ini tidak berbeda nyata namun konsumsim bahan kering pada perlakuan RC cenderung lebih tinggi, kemudian RB dan RA. Hal ini menunjukkan bahwa suplementasi sabun kalsium ternyata dapat meningkatkan kualitas ransum sehingga konsumsinya meningkat. Parakkasi (1995) menyatakan bahwa ransum yang berkualitas baik, tingkat konsumsinya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan ransum berkualitas inferior.

Nilai rataan konsumsi bahan kering yang dilaporkan oleh Mathius et al., (1997) yaitu berkisar dari 640.0 dan 703.0 (g/ekor/hari), dan juga oleh Kaunang (2004) yaitu berkisar dari 609.64 dan 741.20 (g/ekor/hari), serta Uhi (2005) yaitu berkisar dari 543.93 dan 572.98 (g/ekor/hari).

Hasil yang sama juga terjadi pada konsumsi bahan organik. Konsumsi bahan organik pada perlakuan RA, RB dan RC seperti yang terlihat pada Tabel 10, berturut-turut adalah 479.41; 562.95 dan 555.10. Peningkatan konsumsi bahan kering dan bahan organik yang terjadi pada perlakuan RB dan RC diduga karena adanya suplementasi sabun kalsium. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan lemak dalam bentuk sabun kalsium dapat meningkatkan palatabilitas ransum sehingga konsumsi meningkat, dan hal ini sesuai dengan pendapat Parakkasi (1995) yang menyatakan bahwa salah satu sifat positif dari penambahan lemak dalam ransum ruminan adalah dapat meningkatkan palatabilitas ransum, dengan demikian tingkat konsumsi ransum dapat ditingkatkan dengan segala akibatnya terhadap penampilan ternak bersangkutan. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa tingkat konsumsi bahan organik tidak ada perbedaan antar perlakuan.

Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik

Kualitas ransum ditentukan juga oleh tingkat kecernaan zat-zat makanan yang terkandung dalam ransum tersebut. Tingkat kecernaan zat-zat makanan dapat memberikan gambaran tentang kualitas ransum yang digunakan, karena bagian yang dicerna merupakan selisih antara kandungan zat makanan dalam ransum tersebut dengan zat makanan yang keluar melalui feses.

Tabel 10 Pengaruh perlakuan terhadap konsumsi dan kecernaan bahan kering ternak domba jantan lokal

Parameter RA RB RC

Konsumsi BK (g/ekor/hari) 525.51 645.74 650.42 Konsumsi BO (g/ekor/hari) 479.41 562.95 555.10

Kecernaan BK (%) 58.40 61.83 64.83

Kecernaan BO (%) 59.36 63.27 61.15

Sumber : Data Primer

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan nilai kecernaan bahan kering (KCBK) pada perlakuan RA, RB dan RC adalah 58.40;61.83 dan 64.83 sedang rataan nilai kecernaan bahan organik (KCBO) pada perlakuan RA, RB dan RC adalah 59.36; 63.27 dan 61.15 (Tabel 10). Menurut Parakkasi (1995) bahwa penambahan lemak dalam ransum ternak ruminan dapat meningkatkan konsumsi, tapi bila berlebihan dapat berakibat negatif dan mengganggu pencernaan. Kadar lemak ransum ruminan yang melebihi 7–8% dapat menyebabkan gangguan pencernaan, terutama penurunan konsumsi yang disebabkan oleh gangguan fungsi mikroorganisme dalam rumen.

Hasil analisis kandungan nutrien ransum penelitian (tabel 5) menunjukkan bahwa kandungan lemak pada perlakuan RB dan RC yang ditambah sabun kalsium masing-masing 5% dan 10% adalah 9.18 dan 10.67 %.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan lemak dalam bentuk sabun kalsium pada perlakuan RB dan RC masing-masing 5% dan 10% ternyata dapat meningkatkan konsumsi dan kecernaan baik bahan kering maupun bahan organik. Hal ini berarti bahwa suplementasi lemak pada ransum ruminan dalam bentuk sabun kalsium, dapat melindungi lemak dari sistem pencernaan dalam rumen sehingga dapat meningkatkan konsumsi dan kecernaan ransum.

pH Cairan Rumen

Nilai pH cairan rumen memegang peran penting dalam mengatur beberapa proses dalam rumen, baik dalam mendukung pertumbuhan mikroba rumen maupun dalam menghasilkan produk berupa asam lemak atsiri atau Volatile Fatty Acid (VFA) dan amonia (NH3). Kondisi normal pH cairan rumen adalah antara 5.5 – 7. Hasil penelitian pada Tabel 11 menunjukkan bahwa rataan nilai pH cairan rumen yang relatif sama yaitu 6.26; 6.68 dan 6.56 masing-masing untuk perlakuan RA, RB dan RC. Rataan nilai pH cairan rumen dalam penelitian ini masih berada dalam kisaran normal.

Salah satu sifat negatif dari penambahan lemak dalam ransum ruminan adalah lemak dan minyak dapat menurunkan kecernaan dalam rumen. Analisis sidik ragam menunjukkan tidak ada perbedaan antar perlakuan. Hal ini berarti bahwa dengan penambahan lemak pada ransum ternak domba dalam bentuk sabun kalsium pada perlakuan RB dan RC tidak memberikan suatu kondisi yang negatif. Sebaliknya dengan penambahan sabun kalsium ternyata dapat meningkatkan kecernaan dan pH cairan rumen dibanding perlakuan RA (kontrol).

Produksi VFA Total Caiarn Rumen

Pakan ternak ruminansia mengandung sejumlah nutrien seperti protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral. Di dalam alat pencernaan, bahan makanan tersebut mengalami perombakan bentuk dan sifat-sifat fisik dan kimianya melalui proses pencernaan mekanik di

mulut, pencernaan mikroba (fermentatif) di rumen serta pencernaan enzimatik dengan bantuan enzim dalam saluran pencernaan pasca rumen. Pencernaan fermentatif merupakan usaha merombak senyawa yang komplek menjadi bahan mudah diserap dengan bantuan mikroba rumen dan menghasilkan asam lemak volatile (Volatille Fatty Acid, VFA) yang telah diketahui merupakan sumber energi utama bagi ternak ruminansia.

Hasil rataan nilai VFA Total pada penelitian ini adalah 122.8; 141.6 dan 170.0 (mM) masing-masing untuk perlakuan RA, RB dan RC (Tabel 11). Produksi VFA Total yang layak bagi kelangsungan hidup yang normal adalah 80 - 160 (mM) (Sutardi, 1980). Hasil penelitian ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Kook, et al., (2002) bahwa pada ternak Sapi Korean yang mendapat tambahan minyak ikan dalam ransumnya mempunyai produksi VFA Total yang lebih tinggi yaitu 70.20 (mM) dibanding yang tidak mendapat tambahan minyak ikan (kontrol) yaitu 49.86 (mM). Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa produksi VFA Total antar perlakuan mempunyai perbadaan yang nyata (P < 0.01). Uji lanjut (Duncan) menunjukkan bahwa produksi VFA Total pada perlakuan RA (kontrol) lebih rendah (P < 0.01) dibanding perlakuan RC, sedang antara perlakuan RA dan RB tidak berbeda nyata. Tingginya produksi VFA Total pada perlakuan RC disebabkan karena penambahan lemak dalam bentuk sabun kalsium sebanyak 10% pada perlakuan sehingga dapat meningkatkan energi ransum dan ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Parakkasi (1995) bahwa dipandang dari segi energi, lemak mengandung energi 2,25 kali lebih tinggi dari energi karbohidrat sehingga dalam jumlah sedikit saja yang ditambahkan dalam ransum ruminan dapat meningkatkan kadar energi ransum. Selain itu peningkatan produksi VFA Total diduga karena ada peningkatan fraksi-fraksi dalam VFA yaitu asetat, propionat dan butirat. Broster et al., (1965) melaporkan bahwa pemberian minyak ikan meningkatkan produksi propionat. Peningkatan propionat yang merupakan fraksi dari VFA mengakibatkan peningkatan VFA secara keseluruhan.

Tabel 11 Pengaruh perlakuan terhadap fermentasi mikroba rumen pada ternak domba jantan lokal.

Parameter RA RB RC

pH Cairan Rumen 6.26 6.68 6.56

Produksi VFA Total (mM) 122.8b 141.6b 170.0a

Produksi N-NH3 (mM) 7.66 8.35 7.27

Sumber : Data Primer

Produksi N-NH3 Cairan Rumen

Produksi amonia (N-NH3) merupakan produk utama dari proses deaminasi asam amino dan kecukupannya dalam rumen untuk pertumbuhan mikroba merupakan prioritas utama dalam mengoptimalkan fermentasi hijauan (Leng, 1990). Kadar N-NH3 yang mendukung pertumbuhan mikroba dalam rumen adalah 4 sampai 14 mMol, dan apabila nilai N-NH3 kurang dari 4 mMol maka proses fermentasi akan terganggu (Preston and Leng, 1987). Konsentrasi N-NH3 ini antara lain ditentukan oleh tingkat protein pakan yang dikonsumsi, derajat degradabilitasnya, lamanya makanan berada di dalam rumen dan pH rumen (Ørskov, 1982).

Kadar N-NH3 dalam penelitian ini adalah 7.66, 8.35 dan 7.27 (mM) masing-masing untuk perlakuan RA, RB dan RC (Tabel 11). Hal ini menunjukkan bahwa kadar N-NH3 dalam penelitian ini masih berada dalam kisaran normal. Analisis sidik ragam menunjuk-kan bahwa kadar N-NH3 tidak berbeda nyata antar perlakuan. Dengan demikian penambahan lemak pada ransum ternak domba dalam bentuk sabun kalsium tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan mikroba sehingga proses deaminasi asam amino dan fermentasi hijauan dapat berlangsung secara optimal.

Pertambahan Bobot Badan Harian

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan pertambahan bobot badan harian adalah 74,29; 104,0 dan 106,29 (gram/ekor/hari)

masing-masing untuk perlakuan RA, RB dan RC (Tabel 12). Analisis sidik ragam rataan pertambahan bobot badan harian antar perlakuan menunjukkan tidak ada perbedaan. Hal ini berarti bahwa pemberian sabun kalsium tidak mempunyai pengaruh terhadap pertambahan bobot badan ternak domba. Pertambahan bobot badan harian (PBBH) merupakan manifestasi dari kualitas pakan yang diberikan. Tidak adanya perbedaan pertambahan bobot badan harian antara perlakuan dalam penelitian ini disebabkan karena pemberian pakan yang sama yaitu 3.8% dari bobot badan. Meskipun demikian pertambahan bobot badan harian ternak domba yang mendapat tambahan sabun kalsium 5% dan 10% pada perlakuan RB dan RC memberikan pertambahan bobot badan harian yang lebih baik yaitu 104,0 dan 106,29 (gram/ekor/hari).

Dalam pertumbuhan ternak, sangat dipengaruhi oleh dua faktor penting yaitu genetik dan lingkungannya. Hasil penelitian dari Sabrani dan Levine (1993) tentang ternak kambing dan domba di Indonesia, melaporkan bahwa untuk ternak domba jantan lokal, pertambahan bobot badan akan terjadi dengan cepat sampai umur delapan bulan, dan pada saat itu mencapai berat 23 kg, kemudian sampai umur 17 bulan tidak ada pertambahan bobot badan lagi. Setelah itu berat badan tertinggi adalah 25 kg yang dicapai pada umur 18 bulan.

Tabel 12 Pengaruh perlakuan terhadap penampilan pertumbuhan pada ternak domba jantan lokal

Parameter RA RB RC

PBBH (g/ekor/hari) 74.29 104.0 106.29

EPR 0.1454 0.1653 0.1593

Feed Cost/Gain (Rp) 14.787 17.065 20.615 Sumber : Data Primer

Hasil penelitian Rachmadi (2003), Kaunang (2004) dan Uhi (2005) melaporkan bahwa rataan pertambahan bobot badan tertinggi pada ternak

domba jantan lokal masing-masing adalah 54.97; 61.00 dan 75,89 (gram/ekor/hari).

Tingginya pertambahan bobot badan harian pada perlakuan RB dan RC dalam penelitian ini terkait dengan konsumsi serta kecernaan bahan kering dan bahan organik yang tinggi. Selain itu suplementasi sabun kalsium pada perlakuan RB dan RC meningkatkan produksi VFA Total dibanding RA. Peningkatan VFA Total diduga karena terjadi peningkatan propionat yaitu fraksi dari VFA. Produk akhir berupa VFA ini dalam jaringan tubuh akan dimanfaatkan sebagai sumber energi dan bahan sintesis lemak. Asam propionat diabsorbsi melalui epitel rumen dan masuk ke sirkulasi darah, kemudian dibawa ke hati untuk selanjutnya diubah menjadi glukosa dan bagian cadangan glukosa hati. Pada proses anabolis di dalam tubuh, ternak memerlukan energi dalam bentuk glukosa. Pada ternak ruminansia, glukosa dapat disintesis dari sumber-sumber bukan karbohidrat yaitu dari asam lemak atau asam amino melalui proses glukoneogenesis. Komponen asam lemak atsiri (VFA) yang termasuk glukogenik adalah asam propionate yang dalam proses metabolismenya menjadi precursor glukosa, sedangkan asam asetat dan asam butirat tidak termasuk metabolit glukogenik melainkan metabolit ketogenik.

Disamping itu pertambahan bobot badan harian yang tinggi pada perlakuan RB dan RC disebabkan karena kandungan energi ransum pada kedua perlakuan ini lebih tinggi dibanding perlakuan RA. Hal ini disebabkan karena pada ransum B (RB) dan ransum C (RC) ada penambahan lemak dalam bentuk sabun kalsium sebanyak 5% dan 10%.

Dokumen terkait