• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tahap III : Percobaan In Vivo

JANGAN DIPRINT

63

GAMBAR 19

64

GAMBAR 20

65

GAMBAR 21

66

Penampilan Pertumbuhan

Penelitian ini dilakukan untuk mengaplikasikan hasil penelitian in vitro yaitu pemberian ransum penggemukan kepada ternak domba yang disuplementasikan dengan sabun kalsium yang berbahan dasar minyak ikan lemuru. Pada penelitian ini dilakukan dua tahap kegiatan penga-matan yaitu : 1) Penampilan pertumbuhan. Parameter yang diukur adalah konsumsi dan kecernaan bahan kering dan bahan organik, fermentasi mikroba rumen (pH , VFA Total dan N-NH3 cairan rumen), pertambahan bobot badan harian, efisiensi penggunaan ransum dan feed cost/ gain. 2) Karakteristik karkas dan daging domba. Parameter yang diukur adalah bobot potong, bobot karkas, persentasi karkas, luas urat daging mata rusuk, tebal lemak punggung, lemak intramuskuler, kandungan asam lemak dan kandungan kolesterol.

Konsumsi Bahan Kering dan Bahan Organik

Pemberian pakan kepada ternak perlu diketahui kemampuan hewan tersebut untuk mengkonsumsinya dimana pemberian pakan yang terlalu sedikit atau terlalu banyak akan merugikan. Pakan harus tersedia secara cukup baik kuantitas maupun kualitasnya karena pemberian pakan bagi ternak dimaksudkan untuk dapat memenuhi kebutuhan ternak akan hidup pokok dan berproduksi.

Jumlah pakan yang dapat dikonsumsi oleh seekor ternak mempunyai kaitan yang erat dengan bobot badannya dimana bobot badan yang tinggi mampu mengkonsumsi makanan relatif lebih banyak dari pada bobot badan yang lebih rendah. Umumnya pakan untuk ternak ruminansia diperkirakan sebanyak ± 3% BK dari bobot badannya. Menurut Haryanto dan Djajanegara (1993) bahwa kebutuhan bahan kering utnuk ternak domba di Indonesia dengan bobot badan 14-16 kg dan pertambahan berat badan harian sebesar 50 - 100 gram adalah 3.2% dari bobot badan.

Konsumsi adalah faktor esensial yang merupakan dasar untuk hidup dan menentukan produksi. Hal ini antara lain disebabkan karena

67

dari segi ekonomis, dengan fixed maintenance cost, tingkat konsumsi penting dimaksimumkan guna memaksimumkan produksi. Konsumsi bahan kering domba periode pertumbuhan yang baru disapih yakni sebesar 600 (gram/ekor/hari) (NRC 1985).

Hasil penelitian pada tabel 10, menunjukkan bahwa tingkat konsumsi ransum adalah 521.51; 645.74 dan 650.42 (gram/ekor/hari), masing-masing untuk perlakuan RA, RB dan RC. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa tingkat konsumsi bahan kering tidak ada perbedaan antar perlakuan. Hal ini disebabkan karena pemberian ransum bagi ternak domba dalam penelitian ini adalah sama yaitu 3.8% dari bobot badan hidup. Konsumsi bahan kering selama penelitian ini setelah dianalisis setara dengan 3% bobot badan. Walaupun konsumsi bahan kering ini tidak berbeda nyata namun konsumsim bahan kering pada perlakuan RC cenderung lebih tinggi, kemudian RB dan RA. Hal ini menunjukkan bahwa suplementasi sabun kalsium ternyata dapat meningkatkan kualitas ransum sehingga konsumsinya meningkat. Parakkasi (1995) menyatakan bahwa ransum yang berkualitas baik, tingkat konsumsinya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan ransum berkualitas inferior.

Nilai rataan konsumsi bahan kering yang dilaporkan oleh Mathius et al. (1997) yaitu berkisar dari 640.0 dan 703.0 (g/ekor/hari), dan juga oleh Kaunang (2004) yaitu berkisar dari 609.64 dan 741.20 (g/ekor/hari), serta Uhi (2005) yitu berkisar dari 543.93 dan 572.98 (g/ekor/hari).

Hasil yang sama juga terjadi pada konsumsi bahan organik. Konsumsi bahan organik pada perlakuan RA, RB dan RC seperti yang terlihat pada Tabel 10, berturut-turut adalah 479.41; 562.95 dan 555.10. Peningkatan konsumsi bahan kering dan bahan organik yang terjadi pada perlakuan RB dan RC diduga karena adanya suplementasi sabun kalsium. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan lemak dalam bentuk sabun kalsium dapat meningkatkan palatabilitas ransum sehingga konsumsi meningkat, dan hal ini sesuai dengan pendapat Parakkasi (1995) yang menyatakan bahwa salah satu sifat positif dari penambahan lemak dalam

68

ransum ruminan adalah dapat meningkatkan palatabilitas ransum, dengan demikian tingkat konsumsi ransum dapat ditingkatkan dengan segala akibatnya terhadap penampilan ternak bersangkutan. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa tingkat konsumsi bahan organik tidak ada perbedaan antar perlakuan.

Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik

Kualitas ransum ditentukan juga oleh tingkat kecernaan zat-zat makanan yang terkandung dalam ransum tersebut. Tingkat kecernaan zat-zat makanan dapat memberikan gambaran tentang kualitas ransum yang digunakan, karena bagian yang dicerna merupakan selisih antara kandungan zat makanan dalam ransum tersebut dengan zat makanan yang keluar melalui feses.

Tabel 10 Pengaruh perlakuan terhadap konsumsi dan kecernaan bahan kering ternak domba jantan lokal

Parameter RA RB RC

Konsumsi BK (g/ekor/hari) 525.51 645.74 650.42 Konsumsi BO (g/ekor/hari) 479.41 562.95 555.10

Kecernaan BK (%) 58.40 61.83 64.83

Kecernaan BO (%) 59.36 63.27 61.15

Sumber : Data Primer

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan nilai kecernaan bahan kering (KCBK) pada perlakuan RA, RB dan RC adalah 58.40;61.83 dan 64.83 sedang rataan nilai kecernaan bahan organik (KCBO) pada perlakuan RA, RB dan RC adalah 59.36; 63.27 dan 61.15 (Tabel 10). Menurut Parakkasi (1995) bahwa penambahan lemak dalam ransum ternak ruminan dapat meningkatkan konsumsi, tapi bila berlebihan dapat berakibat negatif dan mengganggu pencernaan. Kadar lemak ransum ruminan yang melebihi 7–8% dapat menyebabkan gangguan pencernaan, terutama penurunan konsumsi yang disebabkan oleh gangguan fungsi mikroorganisme dalam rumen.

69

Hasil analisis kandungan nutrien ransum penelitian (tabel 5) menunjukkan bahwa kandungan lemak pada perlakuan RB dan RC yang ditambah sabun kalsium masing-masing 5% dan 10% adalah 9.18 dan 10.67 %.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan lemak dalam bentuk sabun kalsium pada perlakuan RB dan RC masing-masing 5% dan 10% ternyata dapat meningkatkan konsumsi dan kecernaan baik bahan kering maupun bahan organik. Hal ini berarti bahwa suplementasi lemak pada ransum ruminan dalam bentuk sabun kalsium, dapat melindungi lemak dari sistem pencernaan dalam rumen sehingga dapat meningkatkan konsumsi dan kecernaan ransum.

pH Cairan Rumen

Nilai pH cairan rumen memegang peran penting dalam mengatur beberapa proses dalam rumen, baik dalam mendukung pertumbuhan mikroba rumen maupun dalam menghasilkan produk berupa asam lemak atsiri atau Volatile Fatty Acid (VFA) dan amonia (NH3). Kondisi normal pH cairan rumen adalah antara 5.5 - 7. Kisaran pH cairan rumen yang ideal untuk proses pencernaan selulosa adalah 6.4 - 6.8 dimana pada pH rumen yang lebih rendah dari 6.2 maka proses pencernaan serat mulai terganggu. Bakteri celullolitic dalam rumen yang mencerna serat tanaman, sensitif dalam lingkungan asam. Jika pH rumen menurun, bakteri-bakteri ini akan terhambat perkembangannya. Sebaliknya bakteri amylolitic yaitu bakteri pencerna pati menjadi asam laktat meningkat. Asam laktat dalam jumlah tertentu dalam rumen dapat termetabolisme lebih lanjut secara sempurna. Problema akan timbul bila asam laktat terakumulasi dalam jumlah yang banyak terutama asam laktat bentuk d-isomer yang dikenal dengan lactic acidosis (Joseph 1996).

Hasil penelitian pada Tabel 11 menunjukkan bahwa rataan nilai pH cairan rumen yang relatif sama yaitu 6.26; 6.68 dan 6.56 masing-masing untuk perlakuan RA, RB dan RC. Rataan nilai pH cairan rumen dalam penelitian ini masih berada dalam kisaran normal.

70

Salah satu sifat negatif dari penambahan lemak dalam ransum ruminan adalah lemak dan minyak dapat menurunkan kecernaan dalam rumen. Analisis sidik ragam menunjukkan tidak ada perbedaan antar perlakuan. Hal ini berarti bahwa dengan penambahan lemak pada ransum ternak domba dalam bentuk sabun kalsium pada perlakuan RB dan RC tidak memberikan suatu kondisi yang negatif. Sebaliknya dengan penambahan sabun kalsium ternyata dapat meningkatkan kecernaan dan pH cairan rumen dibanding perlakuan RA (kontrol).

Tabel 11 Pengaruh perlakuan terhadap fermentasi mikroba rumen pada ternak domba jantan lokal

Parameter RA RB RC

pH Cairan Rumen 6.26 6.68 6.56

Produksi VFA Total (mM) 122.8b 141.6b 170.0a

Produksi N-NH3 (mM) 7.66 8.35 7.27

Sumber : Data Primer

Produksi VFA Total Cairan Rumen

Pakan ternak ruminansia mengandung sejumlah nutrien seperti protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral. Di dalam alat pencernaan, bahan makanan tersebut mengalami perombakan bentuk dan sifat-sifat fisik dan kimianya melalui proses pencernaan mekanik di mulut, pencernaan mikroba (fermentatif) di rumen serta pencernaan enzimatik dengan bantuan enzim dalam saluran pencernaan pasca rumen. Pencernaan fermentatif merupakan usaha merombak senyawa yang komplek menjadi bahan mudah diserap dengan bantuan mikroba rumen dan menghasilkan asam lemak volatile (Volatille Fatty Acid, VFA) yang telah diketahui merupakan sumber energi utama bagi ternak ruminansia.

Hasil rataan nilai VFA Total pada penelitian ini adalah 122.8; 141.6 dan 170.0 (mM) masing-masing untuk perlakuan RA, RB dan RC (Tabel 11). Produksi VFA Total yang layak bagi kelangsungan hidup yang

71

normal adalah 80 - 160 (mM) (Sutardi 1980). Hasil penelitian ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Kook et al. (2002) bahwa pada ternak Sapi Korean yang mendapat tambahan minyak ikan dalam ransumnya mempunyai produksi VFA Total yang lebih tinggi yaitu 70.20 (mM) dibanding yang tidak mendapat tambahan minyak ikan (kontrol) yaitu 49.86 (mM). Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa produksi VFA Total antar perlakuan mempunyai perbadaan yang nyata (P < 0.01). Uji lanjut (Duncan) menunjukkan bahwa produksi VFA Total pada perlakuan RA (kontrol) lebih rendah (P < 0.01) dibanding perlakuan RC, sedang antara perlakuan RA dan RB tidak berbeda nyata. Tingginya produksi VFA Total pada perlakuan RC disebabkan karena penambahan lemak dalam bentuk sabun kalsium sebanyak 10% pada perlakuan sehingga dapat meningkatkan energi ransum. Hal ini membuktikan bahwa dipandang dari segi energi, lemak mengandung energi 2.25 kali lebih tinggi dari energi karbohidrat sehingga dalam jumlah sedikit saja yang ditambahkan dalam ransum ruminan dapat meningkatkan kadar energi ransum. Selain itu peningkatan produksi VFA Total diduga karena ada peningkatan fraksi-fraksi dalam VFA yaitu asetat, propionat dan butirat. Pemberian minyak ikan meningkatkan produksi propionat. Peningkatan propionat yang merupakan fraksi dari VFA mengakibatkan peningkatan VFA secara keseluruhan (Parakkasi 1995).

Produksi N-NH3 Cairan Rumen

Produksi amonia (N-NH3) merupakan produk utama dari proses deaminasi asam amino dan kecukupannya dalam rumen untuk pertumbuhan mikroba merupakan prioritas utama dalam mengoptimalkan fermentasi hijauan (Leng 1990). Kadar N-NH3 yang mendukung pertumbuhan mikroba dalam rumen adalah 4 sampai 14 mMol, dan apabila nilai N-NH3 kurang dari 4 mM maka proses fermentasi akan terganggu (Preston and Leng 1987). Konsentrasi N-NH3 ini antara lain ditentukan oleh tingkat protein pakan yang dikonsumsi, derajat degradabilitasnya, lamanya makanan berada di dalam rumen dan pH rumen (Ørskov 1982).

72

Kadar N-NH3 dalam penelitian ini adalah 7.66, 8.35 dan 7.27 (mM) masing-masing untuk perlakuan RA, RB dan RC (Tabel 11). Hal ini menunjukkan bahwa kadar N-NH3 dalam penelitian ini masih berada dalam kisaran normal. Analisis sidik ragam menunjuk-kan bahwa kadar N-NH3 tidak berbeda nyata antar perlakuan. Dengan demikian penambahan lemak pada ransum ternak domba dalam bentuk sabun kalsium tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan mikroba sehingga proses deaminasi asam amino dan fermentasi hijauan dapat berlangsung secara optimal.

Pertambahan Bobot Badan Harian

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan pertambahan bobot badan harian adalah 74.29; 104.0 dan 106.29 (gram/ekor/hari) masing-masing untuk perlakuan RA, RB dan RC (Tabel 12). Analisis sidik ragam rataan pertambahan bobot badan harian antar perlakuan menunjukkan tidak ada perbedaan. Hal ini berarti bahwa pemberian sabun kalsium tidak mempunyai pengaruh terhadap pertambahan bobot badan ternak domba. Pertambahan bobot badan harian (PBBH) merupakan manifestasi dari kualitas pakan yang diberikan. Tidak adanya perbedaan pertambahan bobot badan harian antara perlakuan dalam penelitian ini disebabkan karena pemberian pakan yang sama yaitu 3.8% dari bobot badan. Meskipun demikian pertambahan bobot badan harian ternak domba yang mendapat tambahan sabun kalsium 5% dan 10% pada perlakuan RB dan RC memberikan pertambahan bobot badan harian yang lebih baik yaitu 104.0 dan 106.29 (gram/ekor/hari).

Dalam pertumbuhan ternak, sangat dipengaruhi oleh dua faktor penting yaitu genetik dan lingkungannya. Hasil penelitian dari Sabrani dan Levine (1993) tentang ternak kambing dan domba di Indonesia, melaporkan bahwa untuk ternak domba jantan lokal, pertambahan bobot badan akan terjadi dengan cepat sampai umur delapan bulan, dan pada saat itu mencapai berat 23 kg, kemudian sampai umur 17 bulan tidak ada

73

pertambahan bobot badan lagi. Setelah itu berat badan tertinggi adalah 25 kg yang dicapai pada umur 18 bulan.

Tabel 12 Pengaruh perlakuan terhadap penampilan pertumbuhan pada ternak domba jantan lokal

Parameter RA RB RC

PBBH (g/ekor/hari) 74.29 104.0 106.29

EPR 0.1454 0.1653 0.1593

Feed Cost/Gain (Rp) 14.787 17.065 20.615 Sumber : Data Primer

Hasil penelitian Rachmadi (2003), Kaunang (2004) dan Uhi (2005) melaporkan bahwa rataan pertambahan bobot badan tertinggi pada ternak domba jantan lokal masing-masing adalah 54.97; 61.00 dan 75,89 (gram/ekor/hari).

Tingginya pertambahan bobot badan harian pada perlakuan RB dan RC dalam penelitian ini terkait dengan konsumsi serta kecernaan bahan kering dan bahan organik yang tinggi. Selain itu suplementasi sabun kalsium pada perlakuan RB dan RC meningkatkan produksi VFA Total dibanding RA. Peningkatan VFA Total diduga karena terjadi peningkatan propionat yaitu fraksi dari VFA. Produk akhir berupa VFA ini dalam jaringan tubuh akan dimanfaatkan sebagai sumber energi dan bahan sintesis lemak. Asam propionat diabsorbsi melalui epitel rumen dan masuk ke sirkulasi darah, kemudian dibawa ke hati untuk selanjutnya diubah menjadi glukosa dan bagian cadangan glukosa hati. Pada proses anabolis di dalam tubuh, ternak memerlukan energi dalam bentuk glukosa. Pada ternak ruminansia, glukosa dapat disintesis dari sumber-sumber bukan karbohidrat yaitu dari asam lemak atau asam amino melalui proses glukoneogenesis. Komponen asam lemak atsiri (VFA) yang termasuk glukogenik adalah asam propionate yang dalam proses metabolismenya menjadi precursor glukosa, sedangkan asam asetat dan asam butirat tidak termasuk metabolit glukogenik melainkan metabolit ketogenik.

74

Disamping itu pertambahan bobot badan harian yang tinggi pada perlakuan RB dan RC disebabkan karena kandungan energi ransum pada kedua perlakuan ini lebih tinggi dibanding perlakuan RA. Hal ini disebabkan karena pada ransum B (RB) dan ransum C (RC) ada penambahan lemak dalam bentuk sabun kalsium sebanyak 5% dan 10%. Lemak ini disamping sebagai sumber asam-asam lemak esensiel juga berfungsi sebagai sumber energi. Energi yang dikonsumsi oleh ternak, dipergunakan pertama-tama untuk memenuhi kebutuhan untuk mempertahankan metabolisme basal atau untuk hidup pokok dan untuk tumbuh atau berproduksi bila konsumsinya melebihi kebutuhan maintenens. Hal ini sesuai dengan pendapat Fernandez (1999) yang menyatakan bahwa lemak terlindung dalam bentuk sabun kalsium tidak mempunyai efek negatif terhadap keseimbangan mikroba dalam rumen tapi tetap mengantarkan dosis energi yang tinggi untuk membantu produksi ternak ruminansia. Disamping itu sabun kallsium tidak mempengaruhi pencernaan serat walaupun diberikan dalam jumlah yang besar dalam ransum serta akan terhindar dari penjenuhan asam lemaknya oleh bakteri rumen sehingga kandungan lemak susu dan daging dari ternak ruminansia mengandung asam-asam lemak tidak jenuh yang mungkin aman untuk dikonsumsi.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa penambahan lemak dalam bentuk sabun kalsium efektif melindungi asam-asam lemak poli tak-jenuh yang merupakan asam-asam lemak esensiel sehingga dapat diserap dan dimanfaatkan oleh ternak tanpa didegradasi oleh mikroba rumen. Asam lemak esensiel dibutuhkan untuk pertumbuhan dan mempertahankan kesehatan karena asam lemak esensiel merupakan pembangun struktur sel dan integritas struktur membran sel. Defisiensi asam lemak esensiel menyebabkan hiperkeratosis pada usus yang dapat menyebabkan gangguan penyerapan nutrien. Hal ini sesuai dengan pendapat Jenkins dan Palmquist (1984) yang menyatakan bahwa sabun kalsium merupakan bentuk lemak terlindung dan merupakan sumber

75

lemak yang efektif dalam bahan pakan ternak ruminansia, karena sistem fermentasi rumen tetap normal dan kecrnaan asam lemaknya tinggi.

Efisiensi Penggunaan Ransum

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan nilai efisiensi peng-gunaan ransum (EPR) adalah 0.1454; 0.1653 dan 0.1593 masing-masing untuk perlakuan RA, RB dan RC (Tabel 12), dan hasil analisis sidik ragam menunjukkan tidak ada perbedaan. Nilai EPR ini jika dikon-versikan akan memperoleh nilai konversi pakan yaitu : 6.88; 6.05 dan 6.28 masing-masing untuk perlakuan RA, RB dan RC. Menurut Speedy (1980), nilai konversi pakan ideal untuk domba yang diberi biji-bijian adalah 7 - 8, sedang untuk sapi potong program finish adalah 7 : 1 (F/G) (Parakkasi 1995). Walaupun nilai EPR ini tidak berbeda nyata antar perlakuan tetapi nilai konversi pakan pada perlakuan RB dan RC lebih baik dibanding perlakuan RA. Hal ini menunjukkan bahwa suplementasi sabun kalsium dapat meningkatkan nilai efisiensi penggunaan ransum.

Feed Cost/Gain

Nilai feed cost per gain (FC/G) dalam penelitian ini adalah untuk perlakuan RA (Rp 14 787,-/kg), RB (Rp 17 065,-/kg) dan RC (Rp 20 615,-/kg). Nilai FC/G dipengaruhi oleh banyaknya konsumsi pakan, harga bahan pakan dan besarnya PBBH yang dihasilkan. Semakin kecil nilai FC/G semakin baik, karena untuk menghasilkan PBBH yang sama dibutuhkan biaya pakan yang relatif lebih murah. Nilai FC/G pada perlakuan RB dan RC lebih tinggi karena harga minyak ikan dan bahan kimia yang mahal sehingga untuk pembuatan 1 kg sabun kalsium dibutuhkan Rp 11 720,-. Nilai FC/G ini hampir sama dengan yang dilaporkan Sukadi et al., (2002) yaitu Rp 11 232,-; Rp 17 940,- dan Rp 21 068,- masing-masing untuk perlakuan kontrol dan penambahan zat pemacu pertumbuhan phytogenic 1 dan 0.5 gram/ekor

76

Komposisi Karkas dan Daging Ternak Domba

Penelitian ini dilaksanakan untuk mengevaluasi kualitas karkas dan daging serta mempelajari inkorporasi asam lemak poli tak jenuh pada karkas dan daging ternak domba penelitian.

Bobot Potong

Hasil penelitian rataan bobot potong, bobot karkas, persentase karkas, luas urat daging mata rusuk dan tebal lemak punggung dapat dilihat pada Gambar 17. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan bobot potong pada ternak domba jantan lokal yang digunakan dalam penelitian ini adalah 19.40 kg, 23.68 kg dan 24.24 kg masing-masing untuk perlakuan RA, RB dan RC. Rataan bobot potong pada perlakuan RB dan RC yang mendapat tambahan sabun kalsium, lebih tinggi dari perlakuan RA, yang tidak mendapat tambahan sabun kalsium, namun analisis sidik ragam menunjukkan tidak ada perbedaan. Hal ini diduga terkait dengan konsumsi dan pertambahan bobot badan harian dimana perlakuan RB dan RC lebih tinggi dibanding perlakuan RA namun tidak berbeda nyata. Hasil penelitin ini hampir sama dengan hasil penelitian Sabrani dan Levine (1993) yang melaporkan bahwa bobot badan tertinggi untuk domba jantan lokal adalah 25 kg, karena itu disarankan agar pemasaran segera dilakukan setelah mencapai bobot badan tersebut. Rataan bobot potong yang dilaporkan oleh Rachmadi (2003) yaitu berkisar dari 18.7 kg dan 19.2 kg.

Bobot Karkas

Hasil penelitian juga memperlihatkan rataan bobot karkas antar perlakuan yaitu 8.0 kg, 10.24 kg dan 11.16 kg masing-masing untuk perlakuan RA, RB dan RC. Bobot karkas yang diamati dalam penelitian ini adalah bobot karkas panas dimana rataan bobot karkas pada perlakuan RB dan RC yang mendapat tambahan sabun kalsium, lebih tinggi dibanding perlakuan RA, yang tidak mendapat tambahan sabun kalsium, namun analisis sidik ragam tidak menunjukkan adanya

77

perbedaan. Rataan bobot karkas yang dilaporkan oleh Rachmadi (2003), yaitu bahwa pada lama penggemukkan sembilan minggu berkisar dari 6.90 – 7.58 kg. Tingginya bobot karkas pada perlakuan RB dan RC ini sesuai dengan tingginya bobot potong. Hal ini berarti semakin tinggi bobot potong yang diperoleh menyebabkan bobot karkas akan meningkat.

0 10 20 30 40 50 60 BobotPotong (kg) BobotKarkas (kg)

%Karkas Luas Udamaru (cm2) Tebal Lemak Punggung(cm) RA RB RC

Gambar 22 Rataan bobot potong, bobot karkas, persentasi karkas, luas urat daging mata rusuk dan tebal lemak punggung antar perlakuan. (Sumber : Data Primer)

Persentasi Karkas

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan persentasi bobot karkas yaitu 40.82%; 52.24% dan 56.93%. Rataan persentasi bobot karkas pada perlakuan RB dan RC lebih tinggi dibanding RA, namun hasil analisis sidik ragam menunjukkan tidak ada perbedaan. Hasil penelitian Setiyono dan Soeparno (1992) terhadap domba lokal jantan yang dipotong pada berat 12, 14 dan 16 kg melaporkan bahwa perentasi bobot karkas tertinggi diperoleh pada bobot potong 16 kg yaitu 41.88 kg ± 1.98% dan terendah pada bobot potong 12 kg yaitu 38.33 ± 2.37%. Hasil penelitian Rachmadi (2003) terhadap domba lokal jantan dengan lama penggemukkan sembilan minggu melaporkan bahwa persentasi bobot karkas tertinggi adalah 49.68% dan terendah adalah 48.36%. Romans et al. (1994) melaporkan bahwa persentasi karkas domba adalah 50%, sedang menurut Amsar et al. (1984) bahwa persentasi karkas domba lokal adalah 47.5 - 60%. Rataan persentasi bobot karkas dalam penelitian

78

ini sesuai dengan rataan bobot potong dan bobot karkas dimana bobot potong dan bobot karkas yang tinggi akan menghasilkan persentase bobot karkas yang tinggi pula. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Berg dan Butterfield (1976) yang menyatakan bahwa persentasi karkas dipengaruhi oleh bobot potong dan bobot karkas.

Luas Urat Daging Mata Rusuk

Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas urat daging mata rusuk pada perlakuan RC lebih tinggi dibanding perlakuan RA dan RB yaitu 11.83 dibanding 7.48 dan 7.84 (Cm2) dan tidak berbeda nyata antara perlakuan. Hasil penelitian Rachmadi (2003) melaporkan luas urat daging mata rusuk pada ternak domba jantan yaitu 11.27; 11.50 dan 9.88 (Cm2) masing-masing untuk lama penggemukkan 3, 6 dan 9 minggu. Besarnya proporsi urat daging karkas dapat ditentukan dari luas urat daging mata rusuk, yaitu makin luas urat daging mata rusuk berarti makin besar proporsi urat daging pada karkas (Romans et al. 1994).

Tebal Lemak Punggung

Tebal lemak punggung merupakan indikator untuk menentukan per-lemakan tubuh atau karkas. Makin tebal lemak punggung berarti makin besar proporsi lemak karkas (Romans et al. 1994). Soeparno (1992) menyatakan bahwa dengan bertambahnya umur serta konsumsi energi, deposisi lemak juga terjadi di antara otot (lemak intermuskuler), lapisan bawah kulit (lemak sub-kutan) dan terakhir di antara ikatan serabut yaitu lemak intramuskuler atau marbling. Demikian juga Priyanto et al. (1999) menyatakan bahwa daging berlemak mempunyai palatabilitas yang disukai, terutama tenderness dan juiciness karena adanya peningkatan

Dokumen terkait