• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUGAS KHUSUS PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

4.1.1 Hasil Analisis Masalah yang Berkaitan dengan Obat Menggunakan PCNE

Tabel 4.1. Hasil Analisis Masalah yang Berkaitan dengan Obat Menggunakan PCNE

Penyebab Pemilihan obat Duplikasi kelompok

Penyebab Pemilihan obat Banyak obat (kelompok

3. Berdasarkan hasil Masalah Efektivitas Obat tidak Saran agar

No Kasus Kode Domain

Penyebab Pemilihan obat Pemilihan obat tidak tepat

Penyebab Pemilihan obat Pemilihan obat tidak tepat Penyebab Pemilihan obat Kombinasi

obat-obat atau obat-makanan

No Kasus Kode Domain

4.1.2 Hasil Analisis Penggunaan Antibiotik Menggunakan Gyssens

Tabel 4.2. Hasil Analisis Penggunaan Antibiotik Menggunakan Gyssens

No. Nama Antibiotik Kategori Gyssens

1. Ethambutol Kategori 0 = Penggunaan antibiotik tepat / bijak

2. Streptomisin Kategori 0 = Penggunaan antibiotik tepat / bijak

3. Cotrimoksasol Kategori IVA = Ada antibiotik lain yang lebih efektif

4. Ceftriaxone Kategori IVA = Ada antibiotik lain yang lebih efektif

5. Levofloksasin Kategori IVA = Ada antibiotik lain yang lebih efektif

6. Ofloksasin Kategori V = tidak ada indikasi penggunaan antibiotik

7. Meropenem Kategori 0 = Penggunaan antibiotik tepat / bijak

8. Amikasin Termasuk kategori IIA = penggunaan

antibiotik tidak tepat dosis

4.2 Pembahasan

4.2.1 Pembahasan Hasil Analisis Masalah Terkait Obat Menggunakan PCNE Pasien Tn. KA (65 tahun) masuk ke RSUP Fatmawati pada tanggal 4 Mei 2014 dengan mengeluhkan batuk berdahak kurang lebih 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengeluhkan batuk dengan dahak berwarna kekuningan, tetapi tidak ada darah. Pasien mengalami sesak, demam pada siang dan malam hari dan juga mengalami mata kuning. Pasien juga mengalami mual dan muntah, buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK) tidak ada keluhan. Pada 2 bulan sebelumnya, pasien pernah mengalami operasi dada karena tumor mediastinum di RSUP Fatmawati, selain itu pasien memiliki riwayat TBC, Hepatitis, dan Tumor Paru.

Pemeriksaan umum yang dilakukan pertama kali dirawat yaitu tekanan darah 180/110 mmHg, frekuensi nadi 104 x/menit, frekuensi nafas 26 x/menit, suhu 36,5˚C, tinggi badan 158 cm dan berat badan 43 kg. Pasien mengalami penurunan berat badan 5% dalam 3 bulan terkahir. Pasien kemudian dibawa ke ruang perawatan lantai V Selatan Gedung Teratai untuk dirawat lebih lanjut.

Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya, pasien Tn. KA didiagnosis mengalami sepsis yang disebabkan oleh Hospital Acquired Pneumonia (HAP), TB Paru aktif BTA negatif, Ikterus Obstruktif, Candidiasis Oral, Malnutrisi berat, Hipokalemia, dan Hipernatremia.

Selama dirawat di RSUP Fatmawati, pasien mendapatkan pengobatan yang cukup banyak. Beberapa masalah dalam pengobatan pasien Tn. KA dapat dilihat pada tabel 4.1. Pada tanggal 4 – 8 Mei 2014, pasien mendapatkan obat Sistenol dan Fluimucil. Obat Sistenol itu sendiri mengandung N-acetylsistein dan paracetamol, sedangkan Fluimucil mengandung n-asetylsistein. Kedua obat sama-sama mengandung asetilsistein. Indikasi asetilsistein adalah sebagai mukolitik pada pasien dengan sekresi lendir yang abnormal atau lengket pada penyakit bronkopulmonalis akut dan kronis (American Pharmacists Association, 2013).

Asetilsistein sebenarnya cukup tepat diberikan kepada pasien Tn KA, tetapi sebaiknya hanya diberikan salah satu obat saja yaitu Fluimucil, sebab Sistenol juga mengandung Paracetamol dimana paracetamol ini tidak perlu selalu diberikan karena suhu badan pasien juga tidak selalu tinggi, selain itu paracetamol

juga tidak tepat digunakan untuk pasien dengan gangguan hati. Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 5 Mei 2014 diketahui pasien mengalami gangguan fungsi hati yaitu SGOT pasien 146 u/l, SGPT 164 u/l, bilirubin total 4,90 mg/dl, bilirubin direk 4,40 mg/dl dan bilirubin indirek 0,50 mg/dl. Intervensi yang dilakukan untuk masalah ini adalah memberitahukan kepada apoketer penanggung jawab dan selannjutnya diberitahukan kepada dokter penanggung jawab pasien. Saran diterima dan obat yang diberikan adalah Fluimucil.

Masalah lainnya mengenai duplikasi obat yang terjadi adalah pemberian Metoklopramid dan Ondansentron. Metoklopramid dan Ondansentron merupakan obat antiemetik yang indikasikan untuk mual dan muntah yang dialami oleh pasien Tn. KA. Untuk pemberian antiemetik sebaiknya dipilih salah satu obat saja sebab dengan duplikasi obat, dosis untuk menjadi berlebih, efek samping dan biaya pengobatan pun semakin meningkat,. Metoklopramid dan Ondansentron, keduanya dimetabolisme di hati menjadi metabolit yang inaktif. Pemberian obat ini dapat memperberat kerja hati sehingga dapat memperburuk kondisi hati pasien (American Pharmacists Association, 2013).

Pasien Tn. KA didiagnosa mengalami sepsis yang disebabkan oleh HAP dan pasien diberikan obat Ceftriaxone dan Cotrimoksasol. Kedua obat ini diberikan sebagai antibiotik awal secara empirik sambil menunggu hasil kultur bakteri keluar. Dari pemeriksaan laboratorium tanggal 14 Mei 2014 mengenai pemeriksaan biakan dan resistensi, didapatkan hasil pembiakan dari sputum yaitu Klebsiella pneumoniae dan hasil uji sensitivitas yaitu Cefriaxone dan Cotrimoksasol resisten. Berdasarkan data laboratorium ini, dokter mengganti Ceftriaxone dengan Meropenem dan Amikasin, sedangan Cotrimoksasol tidak diganti ataupun dihentikan. Pemberian Cotrimoksasol ini sebaiknya dihentikan sebab bakteri Klebsiella pneumonia sudah resisten tehadap Cotrimoksasol sehingga obat tidak efektif lagi untuk digunakan. Selain itu juga dapat menambah biaya pengobatan pasien bila obat tetap diberikan.

Pemberian Meropenem dan Amikasin untuk pengobatan HAP sudah tepat sesuai dengan terapi antibiotik yang direkomendasikan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia yang juga mengacu pada American Thoracic Society (ATS) tahun 2004 (lihat tabel 2.6), namun pemberian dosis Amikasin masih belum tepat. Dosis

Amikasin yang direkomendasikan adalah 20 mg/kg BB/hari, sedangkan dosis Amikasin yang diberikan adalah 750 mg/hari. Pemberian dosis antibiotik yang kurang (under dose) dapat menyebabkan peningkatan resistensi dan memperlambat proses penyembuhan.

Masalah yang ditemukan dalam pengobatan Tn. KA ini tidak hanya dari pemilihan obat dan dosis, tetapi juga dari proses penggunaan obat. Nistatin drop yang seharusnya diberikan 4 x sehari 1 cc hanya diberikan oleh perawat 3 x 1 cc.

Pemberian dosis yang kurang menyebabkan proses penyembuhan menjadi lebih lambat dan peningkatan resistensi, oleh sebab itu Apoteker penanggung jawab perlu memantau pemberian obat oleh perawat agar lebih mengoptimalkan pengobatan pasien.

Masalah dari proses penggunaan obat berikutnya adalah obat yang diresepkan tidak tersedia yaitu pada tanggal 14 dan 15 Mei 2014, KSR yang seharusnya diberikan 3 x sehari 1 tablet, tetapi hanya diberikan 1 x sehari 1 tablet.

Hal ini disebabkan karena tidak ada persediaan (TAP) di depo farmasi.

Ketersediaan obat di depo perlu menjadi perhatian penting, sebab dengan tidak tersedianya obat, pasien tidak dapat meminum obatnya yang akhirnya berdampak pada tidak efektifnya pengobatan pasien.

Interaksi obat yang terjadi pada pengobatan Tn. KA tergolong dalam kategori Serious – Use Alternative yaitu Ofloksasin dan Ondansentron. Ofloxacin dan Ondansentron keduanya meningkatkan Interval QTc. Sindroma Long QT adalah kelainan pada sistem elektrikal jantung, yang bisa menyebabkan hilangnya kesadaran atau kematian mendadak sehingga perlu pemantauan EKG, kelainan elektrolit, CHF, atau bradyarrhytmia. Kategori interaksi obat lainnya yaitu Significant – monitor closely (Trimethoprim dan Potasium Klorida).

Trimethoprim dan Potasium Klorida keduanya meningkatkan kadar serum kalium.

Trimethoprim menurunkan ekskresi potassium urin sehingga dapat menyebabkan hiperkalemia, khususnya dengan dosis tinggi, insufisiensi ginjal, atau bila dikombinasikan dengan obat lain yang menyebabkan hiperkalemia. Penggunaan bersamaan kedua obat ini perlu dipantau karena berpotensi terjadi interaksi (Medscape, 2014).

Cukup banyaknya masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat yang ditemukan dalam pengobatan pasien menuntut peran apoteker untuk lebih aktif berkontribusi bersama dengan tenaga kesehatan lainnya dalam rangka pencegahan masalah dalam pengobatan yang dapat merugikan pasien sehingga pada akhirnya tercapai terapi yang optimal bagi setiap pasien. Peran apoteker dalam evaluasi pengobatan pasien tidak hanya sampai menemukan masalah yang terkait dengan obat, tetapi juga memberikan intervensi untuk menyelesaikan masalah yang ditemukan.

4.2.2 Pembahasan Hasil Analisis Penggunaan Antibiotik Menggunakan Gyssens Antibiotik yang diberikan untuk pengobatan Tn. KA, dianalisis kualitas penggunaannya dengan menggunakan algoritma Gyssens untuk menilai apakah penggunaan antibiotik tersebut tepat atau tidak. Dari analisis tersebut didapatkan hasil :

a. Ethambutol dan Streptomisin

Pemberian Ethambutol dinilai tepat untuk mengobati penyakit TB pasien.

Berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 384/Menkes/SK/V/2009 tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis, disebutkan bahwa Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan TB sangat diperlukan dapat diberikan Streptomisin (S) dan Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6 bulan. Kedua obat ini yg paling dianjurkan sebab hanya ada sedikit laporan hepatotoksisitas dengan Etambutol dalam pengobatan TB dan tidak ada kejadian hepatotoksisitas yang dilaporkan pada penggunaan Streptomisin (Kishore, et al. 2007).

b. Cotrimoksasol

Cotrimoksasol merupakan antibiotik yang diindikasikan untuk pengobatan Hospital Acquired Pneumonia (HAP) yang diderita pasien. Cotrimoksasol merupakan antibiotik kombinasi (Trimethoprim dan Sulfametoksasol) yang diberikan pada pasien dengan kemungkinan terinfeksi kuman MDR, namun pemberian antibiotik ini dinilai tidak tepat (termasuk kategori IVA) yaitu ada

antibiotik lain yang lebih efektif untuk pengobatan HAP. Berdasarkan Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Pneumonia Nosokomial / HAP, terapi antibiotik awal secara empirik untuk HAP atau VAP untuk semua derajat penyakit pada pasien dengan onset lanjut atau terdapat faktor risiko patogen MDR (mengacu ATS / IDSA 2004) yaitu direkomendasikan antibiotik Sefalosporin antipseudomonal (Sefepim, seftasidim, sefpirom) atau Karbapenem antipseudomonal (Meropenem, imipenem) atau ß-laktam / penghambat ß lactamase (Piperasilin – tasobaktam) ditambah Fluorokuinolon antipseudomonal (Siprofloksasin atau levofloksasin) atau Aminoglikosida (Amikasin, gentamisin atau tobramisin). Dari hasil pemeriksaan laboratorium untuk pengujian resistensi, diketahui bahwa pasien sudah mengalami resistensi Cotrimoksasol sehingga sebaiknya antibiotik ini tidak perlu diberikan.

c. Cefriaxone

Ceftriaxone merupakan antibiotik yang diindikasikan untuk pengobatan Hospital Acquired Pneumonia (HAP) yang diderita pasien. Antibiotik ini merupakan antibiotik yang digunakan sebagai terapi awal antibiotik secara empiris. Dari hasil analisis menggunakan Gyssens, pemberian Ceftriaxone dinilai belum tepat, termasuk kategori IVA yaitu ada antibiotik lain yang lebih efektif.

Ceftriaxone merupakan lini pertama untuk membunuh bakteri Klebsiella pneumonia yang ditemukan dari hasil kultur sputum pasien (American Pharmacists Association, 2013), namun dari hasil pemeriksaan laboratorium untuk pengujian resistensi, diketahui bahwa pasien sudah mengalami resistensi Ceftriaxone sehingga ketika hasil laboratorium ini keluar, pemberian Ceftriaxone dihentikan dan diganti dengan antibiotik alternatif yang lebih sensitif membunuh bakteri Klebsiella pneumonia yaitu Meropenem dan Amikasin.

d. Levofloxacin

Levofloxacin merupakan antibiotik yang dikombinasikan dengan Ceftriaxone untuk pengobatan Hospital Acquired Pneumonia (HAP) yang diderita pasien. Dari hasil analisis menggunakan Gyssens, pemberian Levofloxacin dinilai belum tepat, termasuk kategori IVA yaitu ada antibiotik lain yang lebih efektif.

Levofloxacin merupakan terapi antibiotik awal secara empirik untuk HAP atau VAP untuk semua derajat penyakit pada pasien dengan onset lanjut atau terdapat

faktor risiko patogen MDR (ATS / IDSA, 2004), namun dari hasil pemeriksaan laboratorium untuk pengujian resistensi, diketahui bahwa pasien sudah mengalami resistensi Levofloxacin sehingga ketika hasil laboratorium ini keluar, pemberian Levofloxacin dihentikan.

e. Ofloksasin

Pemberian Ofloksasin merupakan antibiotik golongan fluorokuinolon yang dinilai tidak tepat (kategori V) yaitu tidak ada indikasi penggunaan antibiotik.

Ofloksasin lebih diindikasikan untuk pengobatan Community-Acquired Pneumonia (CAP) (American Pharmacists Association, 2013). Pemberian Ofloksasin sebaiknya dihentikan sebab sudah ada antibiotik lain yang lebih efektif untuk pengobatan HAP.

f. Meropenem

Meropenem merupakan antibiotik yang diindikasikan untuk pengobatan Hospital Acquired Pneumonia (HAP) yang diderita pasien. Dari hasil analisis menggunakan Gyssens, pemberian Meropenem dinilai tepat. Meropenem direkomendasikan oleh ATS / IDSA sebagai terapi antibiotik awal secara empirik untuk HAP atau VAP untuk semua derajat penyakit pada pasien dengan onset lanjut atau terdapat faktor risiko patogen MDR. Meropenem dikombinasikan dengan Amikasin sebagai pengganti antibiotik Ceftriaxone dan Levofloxacin yang sudah resisten. Meropenem juga merupakan antibiotik alternatif untuk membunuh bakteri Klebsiella pneumonia apabila drug of first choice (Ceftriaxone, Cefotaxime, Cefepim, atau Ceftazidime) sudah tidak efektif lagi.

g. Amikasin

Amikasin merupakan antibiotik yang diindikasikan untuk pengobatan Hospital Acquired Pneumonia (HAP) yang diderita pasien. Analisis Pemberian Amikasin menggunakan Gyssens mendapatkan hasil yaitu termasuk kategori IIA (penggunaan antibiotik tidak tepat dosis). Berdasarkan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia yang juga mengacu pada American Thoracic Society (ATS) tahun 2004, dosis Amikasin yang dikombinasikan dengan Meropenem adalah 20 mg/kg BB/hari, sehingga dengan berat badan pasien 43 kg, dosis yang harus diberikan adalah 860 mg/hari, sedangkan dosis Amikasin yang diberikan adalah 750 mg.

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa : a. Masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat dari pasien terpilih meliputi

masalah interaksi, pemilihan, efek samping, dosis, dan penggunaan obat.

b. Intervensi yang dapat diberikan untuk masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat meliputi pemantauan kondisi klinis pasien, perubahan dosis obat, dan penghentian / penggantian obat.

5.2 Saran

Kegiatan pemantauan terapi obat pasien yang telah ada di RSUP Fatmawati sebaiknya terus dilakukan agar dapat selalu teridentifikasi masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat demi tercapainya hasil terapi yang optimal bagi pasien.

American Pharmacists Association. (2013). Drug Information Handbook. Edisi ke-21. Ohio: Lexi-Comp.

American Thoracic Society. (2004). Hospital-acquired pneumonia in adults : Diagnosis, assessment of severity, initial antimicrobial therapy and preventive strategies. Ohio : Am J Respir Crit Care Med.

Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI. (2008). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 Tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit. Jakarta : Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI.

Gyssens, Inge C. (2005). Audits for Monitoring The Quality of Antimicrobial Prescriptions. New York : Kluwer Academic Publishers.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2009). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364/MENKES/SK/V/2009 tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB). Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Kishore, et al. (2007). Drug Induced Hepatitis with Anti-tubercular Chemotheraphy : Challenges and Difficulties in Treatment. Nepal : Khatmandu University Medical Journal Vol 5, No. 2.

Medscape. (2014). http://reference.medscape.com/drug-interactionchecker diakses pada tanggal 17 Mei 2014.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2009). Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2003). Pneumonia Nosokomial : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

Pharmaceutical Care Network Europe. (2010). PCNE Classification for Drug Related Problems. Zuidlaren : Pharmaceutical Care Network Europe Foundation.