• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUGAS KHUSUS PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI

PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK

1.1 Latar Belakang

Asuhan kefarmasian (Pharmaceutical care) adalah tanggung jawab langsung apoteker pada pelayanan yang berhubungan dengan pengobatan pasien dengan tujuan mencapai hasil yang ditetapkan yang memperbaiki kualitas hidup pasien. Asuhan kefarmasian tidak hanya melibatkan terapi obat tapi juga keputusan tentang penggunaan obat pada pasien. Termasuk keputusan untuk tidak menggunakan terapi obat, pertimbangan pemilihan obat, dosis, rute dan metode pemberian, pemantauan terapi obat dan pemberian informasi dan konseling pada pasien (Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2008).

Masalah terkait obat (Drug-Related Problems / DRPs) oleh Pharmaceutical Care Network Europe (PCNE) didefinisikan sebagai setiap kejadian yang melibatkan terapi obat yang secara nyata atau potensial terjadi akan mempengaruhi hasil terapi yang diinginkan. Suatu kejadian dapat disebut masalah terkait obat bila pasien mengalami kejadian tidak diinginkan baik berupa keluhan medis atau gejala dan ada hubungan antara kejadian tersebut dengan terapi obat.

PCNE mengidentifikasi permasalahan yang terkait dengan obat, yaitu : (1) masalah efektivitas terapi, (2) masalah Reaksi Obat yag Tidak Dikehendaki (ROTD), (3) masalah biaya, (4) masalah lainnya (Pharmaceutical Care Network Europe, 2010).

Penggunaan obat pada penyakit Tuberkulosis dan Pneumonia cukup kompleks sehingga kemungkinan terjadinya masalah terkait obat semakin besar.

Salah satu cara mengatasi masalah tersebut adalah dengan menggunakan obat secara rasional, melakukan monitoring dan evaluasi penggunaan obat secara sistematis, terstandar dan dilaksanakan secara teratur di rumah sakit maupun di pusat-pusat kesehatan masyarakat, dan melakukan intervensi untuk mengoptimalkan penggunaan obat tersebut.

1.2 Tujuan

Tujuan pembuatan tugas khusus ini adalah :

a. Mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat pada pasien terpilih.

b. Memberikan rekomendasi intervensi untuk masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat yang dapat terjadi.

2.1 Tuberkulosis

2.1.1 Pengertian Tuberkulosis

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2009).

2.1.2 Patogenesis

Penyebaran TB Paru dari penderita terjadi melalui nuklei droplet infeksius yang keluar bersama batuk, bersin dan bicara dengan memproduksi percikan yang sangat kecil berisi kuman TB. Kuman ini melayang-layang di udara yang dihirup oleh penderita lain. Faktor utama dalam perjalanan infeksi adalah kedekatan dan durasi kontak serta derajat infeksius penderita dimana semakin dekat seseorang berada dengan penderita, makin banyak kuman TB yang mungkin akan dihirupnya (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2009).

2.1.2.1 Tuberkulosis Primer

Penyebaran tuberkulosis ini terjadi pada penderita yang belum pernah terinfeksi sebelumnya. Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni disebut sarang primer (afek primer). Peradangan akan kelihatan dari sarang primer saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal) yang diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfangitis regional). Limfangitis regional bisa sembuh tanpa mengalami cacat, sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas dan mengalami penyebaran. Penyebarannya dengan beberapa cara yaitu (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2009):

a. Perkontinuitatum adalah penyebaran kuman tuberkulosis di sekitar paru yang terserang kuman tuberkulosis tersebut.

b. Bronkogen adalah penyebaran baik di paru bersangkutan maupun ke paru

c. Hematogen dan limfogen adalah penyebaran yang berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat apabila tidak terdapat imunitas yang adekuat. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya.

2.1.2.2 Tuberkulosis Post-Primer

Tuberkulosis post primer akan muncul bertahun-tahun setelah tuberculosis primer. Penyebaran tuberkulosis ini dimulai dengan sarang dini yang umumnya terletak di segmen apikal lobus superior maupun lobus inferior. Sarang ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonia kecil yang bisa sembuh tanpa meninggalkan cacat, meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan penyebukan jaringan fibrosis tetapi bisa juga meluas dan membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa) (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2009).

2.1.3 Klasifikasi Tuberkulosis 2.1.3.1 Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan pemeriksaan mikroskopis TB paru dapat dibagi, yaitu (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2009) :

a. TB Paru BTA (Basil Tahan Asam) Positif yaitu:

1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan BTA positif.

2) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.

3) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif.

b. TB Paru BTA (Basil Tahan Asam) Negatif

1) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif.

2) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan menunjukkan tuberkulosis positif.

2.1.3.2 Tuberkulosis Ekstra Paru

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru (misalnya selaput otak, kelenjar limfe, pleura, pericardium, persendian, tulang, kulit, usus, saluran kemih, ginjal, alat kelamin dll). Berdasarkan tingkat keparahannya, TB ekstra paru ini dibagi menjadi TB ekstra paru berat (severe) dan TB ekstra paru ringan (not/less severe). Contohnya adalah tuberkulosis milier dimana patogen ke seluruh paru-paru dan memberikan gambaran bintik-bintik kecil seperti mutiara (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2009).

2.1.3.3 Tipe Penderita TB

Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya.

Ada beberapa tipe penderita yaitu (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2009) : a. Kasus baru

Kasus baru adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian)

b. Kasus kambuh (relaps)

Kasus kambuh adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila hanya menunjukkan perubahan pada gambaran radiologik sehingga dicurigai lesi aktif kembali, harus dipikirkan beberapa kemungkinan :

1) Infeksi sekunder 2) Infeksi jamur 3) TB paru kambuh c. Kasus lalai berobat

Kasus lalai berobat adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 minggu atau lebih, kemudian datang kembali berobat.

Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.

d. Kasus Gagal

Kasus gagal adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau penderita dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan dan atau gambaran radiologik ulang hasilnya perburukan.

e. Kasus kronik

Kasus kronik adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik

f. Kasus bekas TB

Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada fasilitas) negatif dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB inaktif, terlebih gambaran radiologik serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT yang adekuat akan lebih mendukung. Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan lesi TB aktif, namun setelah mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan ternyata tidak ada perubahan gambaran radiologik.

2.1.4 Diagnosis

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik atau jasmani, pemeriksaan bakteriologi, pemeriksaan radiologic, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Dengan ditemukannya basil tuberkulosis, dapat dipastikan bahwa proses masih aktif dan perlu diberikan pengobatan yang sesuai (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2009).

2.1.4.1 Gejala Klinik

Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik.

a. Gejala respiratorik Gejala respiratorik yaitu :

1) Batuk ≥ 3 minggu 2) Batuk darah

3) Sesak napas 4) Nyeri dada

Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita terdiagnosis pada saat medical checkup. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka penderita mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.

Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.

b. Gejala sistemik Gejala sistemik yaitu :

1) Demam

2) Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun.

2.1.4.2 Pemeriksaan Jasmani (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2009)

Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex dan segmen posterior , serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum .

Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada

auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.

Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher, kadang-kadang di daerah ketiak.

2.1.4.3 Pemeriksaan Bakteriologi (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2009) Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosa. Bahannya dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar, urin, feses dan jaringan biopsi.

Pemeriksaan bakteriologi dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan mikroskopis dan biakan.

a. Pemeriksaan Mikroskopis

Pemeriksaan ini adalah pemeriksaan hapusan dahak mikroskopis langsung yang merupakan metode diagnosis standar. Pemeriksaan ini untuk mengidentifikasi BTA yang memegang peranan utama dalam diagnosis TB Paru.

Selain tidak memerlukan biaya mahal, cepat, mudah dilakukan, akurat, pemeriksaan mikroskopis merupakan teknologi diagnostik yang paling sesuai karena mengindikasikan derajat penularan, risiko kematian serta prioritas pengobatan.

b. Pemeriksaan biakan kuman

Melakukan pemeriksaan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti dan dapat mendeteksi mikobakterium tuberkulosis dan juga Mycobacterium Other Than Tuberculosis (MOTT).

2.1.4.4 Pemeriksaan Radiologik (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2009) Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral.

Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif yaitu :

1) Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah.

2) Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular.

3) Bayangan bercak milier.

4) Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif yaitu : 1) Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas.

2) Kalsifikasi atau fibrotik.

3) Kompleks ranke.

4) Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura.

2.1.4.5 Pemeriksaan Penunjang

Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik baru yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2009).

1. Polymerase chain reaction (PCR)

Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA M. tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya.

2. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda antara lain : a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)

Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon humoral berupa proses antigen-antibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain adalah kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama.

b. Mycodot

Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia.

Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum penderita, dan bila di dalam serum tersebut

terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadai yang sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada sisir yang dapat dideteksi dengan mudah.

c. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)

Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang terjadi

d. ICT

Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji serologik untuk mendeteksi antibodi M. tuberculosis dalam serum. Uji ICT tuberculosis merupakan uji diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada membran immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung dalam 1 garis) dismaping garis kontrol.

Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 µl diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum mengandung antibodi IgG terhadap M. tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen pada membran.

Dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh, para klinisi harus hati hati karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar antibodi yang terdeteksi. Saat ini pemeriksaan serologi belum bisa dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis.

3. Pemeriksaan BACTEC

Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik. M. tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini.

Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis.

4. Pemeriksaan Cairan Pleura

Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada penderita efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis.

Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah.

5. Pemeriksaan histopatologi jaringan

Bahan histopatologi jaringan dapat diperoleh melalui biopsy paru dengan trans bronchial lung biopsy (TBLB), trans thoracal biopsy (TTB), biopsi paru terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar getah bening dan biopsi organ lain diluar paru. Dapat pula dilakukan biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH = biopsi jarum halus). Pemeriksaan biopsy dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis, terutama pada tuberkulosis ekstra paru Diagnosis pasti infeksi TB didapatkan bila pemeriksaan histopatologi pada jaringan paru atau jaringan diluar paru memberikan hasil berupa granuloma dengan perkejuan

6. Pemeriksaan darah

Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah (LED) jam pertama dan kedua sangat dibutuhkan. Data ini sangat penting sebagai indikator tingkat kestabilan keadaan nilai keseimbangan biologik penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi tingkat penyembuhan penderita. Demikian pula kadar limfosit bisa menggambarkan biologik / daya tahan tubuh penderita, yaitu dalam keadaan supresi / tidak. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.

7. Uji tuberkulin

Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi TB di daerah dengan prevalensi tuberkulosis rendah. Di Indonesia dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi, pemeriksaan uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik kurang berarti, apalagi pada orang dewasa. Uji ini akan

mempunyai makna bila didapatkan konversi dari uji yang dilakukan satu bulan sebelumnya atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali.

Pada pleuritis tuberkulosa uji tuberkulin kadang negatif, terutama pada malnutrisi dan infeksi HIV. Jika awalnya negatif mungkin dapat menjadi positif jika diulang 1 bulan kemudian.

Gambar 2.1. Alur diagnosis TB (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2009)

2.1.5 Pengobatan Tuberkulosis (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2009)

2.1.5.1 Tujuan Pengobatan

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Dalam pengobatan TB digunakan OAT dengan jenis, sifat dan dosis sebagaimana pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Jenis, sifat dan dosis OAT

2.1.5.2 Prinsip pengobatan

Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:

a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif) dan lanjutan.

1) Tahap awal (intensif)

Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

2) Tahap Lanjutan

Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

2.1.5.3 Paduan OAT yang digunakan di Indonesia

WHO dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) merekomendasikan paduan OAT standar, yaitu :

1. Kategori 1

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru : a) Pasien baru TB paru BTA positif.

b) Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif c) Pasien TB ekstra paru

Dosis yang digunakan untuk paduan OAT KDT Kategori 1:

2(HRZE)/4(HR)3 sebagaimana dalam Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1

2. Kategori 2

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya :

a) Pasien kambuh b) Pasien gagal

c) Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

Dosis yang digunakan untuk paduan OAT KDT Kategori 2:

2(HRZE)S/(HRZE)/ 5(HR)3E3 sebagaimana dalam Tabel 2.3.

Tabel 2.3. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2

3. OAT Sisipan (HRZE)

Paduan OAT ini diberikan kepada pasien BTA positif yang pada akhir pengobatan intensif masih tetap BTA positif. Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari) sebagaimana dalam Tabel 4.

Tabel 2.4. Dosis KDT Sisipan : (HRZE)

2.1.5.4 Pengobatan TB Pada Kondisi Khusus (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2009)

a. Kehamilan

Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancer dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB.

b. Ibu menyusui dan bayinya

Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat.

Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.

c. Pasien TB pengguna kontrasepsi

Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk KB), sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut.

Seorang pasien TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal, atau kontrasepsi yang mengandung estrogen dosis tinggi (50 mcg).

d. Pasien TB dengan infeksi HIV/AIDS

Tatalaksana pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama seperti pasien TB lainnya. Obat TB pada pasien HIV/AIDS sama efektifnya dengan pasien TB yang tidak disertai HIV/AIDS. Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah dengan mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan ARV (antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV sesuai dengan standar WHO. Penggunaan suntikan Streptomisin harus memperhatikan Prinsipprinsip Universal Precaution (Kewaspadaan Keamanan Universal) Pengobatan pasien TB-HIV sebaiknya diberikan secara terintegrasi dalam satu sarana pelayanan kesehatan untuk menjaga kepatuhan pengobatan secara teratur. Pasien TB yang berisiko tinggi terhadap infeksi HIV perlu dirujuk ke pelayanan VCT (Voluntary Counceling and Testing = Konsul sukarela dengan test HIV).

e. Pasien TB dengan hepatitis akut

Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan Tb sangat diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6 bulan.

f. Pasien TB dengan kelainan hati kronik

Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan Tb. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali OAT tidak diberikan dan bila telah dalam pengobatan, harus dihentikan. Kalau peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan dapat dilaksanakan atau diteruskan dengan pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati, Pirasinamid (Z) tidak boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE.

g. Pasien TB dengan gagal ginjal

Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi melalui empedu dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik.

OAT jenis ini dapat diberikan dengan dosis standar pada pasien-pasien dengan gangguan ginjal. Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh karena itu hindari penggunaannya pada pasien dengan gangguan ginjal. Apabila

fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Etambutol dan Streptomisin tetap dapat diberikan dengan dosis yang sesuai faal ginjal. Paduan OAT yang paling aman

fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Etambutol dan Streptomisin tetap dapat diberikan dengan dosis yang sesuai faal ginjal. Paduan OAT yang paling aman