• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.2 Hasil Penelitian

4.2.1 Hasil Penelitian Fakta Cerita

4.2.1.2 Hasil Penelitian Alur

4.2.1.2.2 Hasil Penelitian Alur (versi Nur)

Bagian Akhir (versi Widya)

Bagian akhir, menceritakan bahwa Widya akhirnya mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Lalu Mbah Buyut menceritakan bahwa Bima dan Ayu telah melanggar larangan/pantangan di Desa Penari dan jatuh sakit. Setelah mendengar berita tersebut dari Pak Prabu, pihak kampus dan orangtua dari para mahasiswa datang ke desa. Bu Anggi marah karena mendengar bahwa Bima dan Ayu berbuat hal yang tidak pantas yang akan menodai reputasi kampus. Bu Anggi membatalkan KKN Widya dan kawan-kawan. Akhirnya Widya dan kawan-kawan pun meninggalkan Desa Penari. Beberapa minggu kemudian Bima dan Ayu pun meninggal dunia.

(K.123)

“Saya tidak bisa berjanji, tapi bila benar ceritamu, artinya temanmu Bima dipaksa menikahi anak-anak Badarawuhi. Ular-ular besar itu adalah anaknya, dan ia terjebak di sana. Badarawuhi tidak akan melepaskan anak lelaki itu,” nada Mbah Buyut gemetar. “Kemudian temanmu Ayu, sepertinya, ia tengah menari untuk menggantikan tugas Badarawuhi yang sejak awal adalah penari di hutan ini. Ia akan terus menari, sejengkal demi sejengkal tanah, sampai mengelilingi keseluruhan hutan ini. Temanmu tidak akan pernah mereka lepaskan (Simpleman, 2019: 118).

4.2.1.2.2 Hasil Penelitian Alur (versi Nur)

Hasil penelitian Alur versi Nur dibagi menjadi tiga yaitu bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir.

Bagian Awal (versi Nur)

Bagian awal cerita dalam novel KKN Di Desa Penari, dimulai dengan memperkenalkan tokoh utama yaitu Nur. Nur adalah seorang mahasiswa yang akan melakukan KKN disebuah desa. Namun sebelumnya, Nur akan mengobervasi

48

lokasi KKN bersama dengan Ayu sahabatnya. Selanjutnya menceritakan tentang kejadian-kejadian yang terjadi selama mereka mengobservasi Desa Penari.

(K.124)

Selepas salat, gadis itu kembali ke kamar, merapikan tempat tidur, kemudian berdandan seadanya. Bila mengingat hari ini, ia menjadi terbayang saat pertama datang ke tampat ini. Hidup di kos, jauh dari orangtua demi mengejar cita dan mimpinya, belajar di salah satu universitas terbaik di negara ini seakan masih menjadi buah mimpi ketika tidur.

Nur Azizah Ulfia, gadis cantik berperawakan kecil itu tersenyum penuh syukur atas segala nikmat yang ia dapat selama tinggal di sini. Salah satunya sahabat-sahabat baik yang ia kenal di kampus ini. Ia teringat, malam ini salah satu sahabatnya akan datang menjemput. Ia meyakinkan Nur bahwa ada jalan untuk melaksanakan tugas KKN mereka bersama (Simpleman, 2019: 125126).

(K.125)

Rupanya Nur baru tahu, sebenarnya Pak Prabu menolak diadakan kegiatan KKN di desa ini. Bukan bermaksud apa-apa tapi, Pak Prabu menjelaskan betapa sulit akses dan medan lingkungan desa ini, sehingga sangat tidak memungkinkan bila diadakan kegiatan KKN yang bertujuan untuk mengabdikan diri sebagai mahasiswa kepada masyarakat (Simpleman, 2019: 132133).

(K.126)

“Ya sudah, ayo kembali. Kasihan Masmu, Ilham. Dia pasti sudah menunggu. Lagipula hari sudah siang. Kalian harus kembali, kan.” Ayu dan Nur mengangguk. Ahirnya pun mereka kembali. “Kamu kenapa? Kok, pucat sekali, Nur?” tanya Ayu. “Nggak apa-apa, Cuma kurang enak badan saja. Mungkin kecapean,“ sahut Nur, yang disambut anggukan oleh Ayu. Ia pun membantu Nur berjalan pergi meninggalkan desa itu setelah berpamitan dengan Pak Prabu dan beberapa warga. Nur yakin sosok yang ia lihat adalah sosok penunggu tempat itu (Simpleman, 2019: 136137). (K.127)

Setelah pembekalan kegiatan KKN selesai, hari yang dinantikan pun tiba. Widya, Ayu, Nur, Bima, Wahyu, dan Anton berkumpul menunggu kedatangan mobil yang akan membawa mereka menuju ke lokasi KKN (Simpleman, 2019: 142).

Bagian Tengah (versi Nur)

Pada bagian tengah, Nur dan kawan-kawan sudah melakukan KKN selama beberapa minggu di Desa Penari. Namun di sela-sela pengerjaan proker bersama

49

Anton, Nur mendengar cerita darinya bahwa Bima sering melakukan hal-hal aneh. Selanjutnya Nur memergoki Bima dan Ayu sedang berada di sebuah bangunan tua.

(K.128)

“Aneh?” ucap Nur. “Siapa?” “Siapa lagi kalau bukan si Bima,” sahut Anton. “Aneh bagaimana?” tanya Nur. “Aku sering lihat dia tersenyum kadang tertawa sendirian. Tidak Cuma itu, kadang dia bicara sendiri di dalam kamar. Dan mohon maaf ya Nur, aku sering dengar dia kayak onani.” Awalnya, Nur menolak apa yang Anton katakan. “Halah, mana mungkin,” bantah Nur. “Serius Nur, sumpah. Aku sering ngelihat dia melakukannya,” kata Anton. “Janji tolong jangan bilang siapa pun,” katanya lirih. “Temanmu sering membawa pulang sesajen ke dalam kamar. Ia selalu menaruhnya di bawah ranjang tempat tidurnya.” Nur masih diam. Ia mencoba menahan diri. Apa yang diucapkan Anton, terdengar terlalu mengada-ada. “Lalu di atas sesajen itu ada sebuah foto. Foto temanmu, Widya. Menurut kamu apa maksudnya coba hubungannya foto Widya sama sesajen yang ia bawa?” (Simpleman, 2019: 190191).

(K.129)

Tidak ada yang menarik perhatian Nur, kecuali tata letak gamelan yang tersusun rapi. Meski terlihat kotor dann tidak terjamah, Nur begitu penasaran kenapa intrumen musik Jawa ini ditinggalkan begitu saja di tempat seperti ini (Simpleman, 2019: 203).

(K.130)

“Bim...” panggil Nur lirih. “Kira-kita bagaimana perasaan Abah sama Umi ya, bila tahu kelakuanmu?” ucap Nur. Air matanya mulai menetes, tak kuasa menahan apa yang baru saja terjadi. Nur semakin yakin karena sedari tadi tidak ada satu pun dari mereka yang mencoba mengelak. “Nur, tolong,” sahut Ayu. Ia mencoba menyentuh tangan Nur, tapi Nur menepisnya. “Aku gak ngomong sama kamu ya, Yu. Tolong kamu diam saja!!” bentak Nur, ia tidak pernah semarah ini. Bima masih diam, ia tidak menjawab pertanyaan Nur sama sekali, seakan tidak tahu harus menjawab apa kepada Nur. Saat itu juga, dengan keras Nur menampar wajah Bima, hingga Bima tidak dapat lagi berkata-kata. Ia memilih diam membisu saat Nur terus mencercanya dengan kalimat tidak percaya (Simpleman, 2019: 204205).

Bagian Akhir (versi Nur)

Pada bagian akhir, Nur melihat kondisi Ayu dan Bima yang mengenaskan dan aneh. Pak Prabu dan Mbah Buyut menjelaskan bahwa di Desa Penari ini mempunyai sejarah yang kelam. Desa Penari mempunyai larangan yang tidak

50

boleh dilanggar. Apabila melangar larangan itu, para lelembut hutan akan marah dan memberikan kutukan. Mbah Buyut bercerita juga kepada Nur bahwa Bima dan Ayu telah melakukan hal yang tidak pantas. Akibatnya mereka berdua jatuh sakit. Mendengar berita itu dari Pak Prabu, Bu Anggi dan para orangtua mahasiswa datang ke Desa Penari. Karena marah, Bu Anggi lalu membatalkan KKN Nur. Akhirnya Nur dan kawan-kawan pergi dari desa itu dan kembali ke kota. Beberapa minggu kemudian Ayu dan Bima meninggal dunia karena penyakit yang aneh.

(K.131)

Namun tiba-tiba Nur tercekat saat melihat Ayu. Anak itu tampak aneh. Mata Ayu terus terbuka dengan mulut terus menganga lebar. Melihat itu, Nur berteriak histeris membuat Wahyu dan Anton terbangun dari tidurnya (Simpleman, 2019: 228).

(K.132)

Warga masuk dengan membopong Bima. Kondisi Bima tampak seperti orang yang terkena epilepsi. Warga denga hati-hati menidurkan Bima di samping Ayu. Mereka berdua tampak mengenaskan. Nur menangis sejadi-jadinya (Simpleman, 2019: 235).

(K.133)

“Dari mana saja kamu, Wid? Ayu dan Bima tiba-tiba jadi seperti ini!” (Simpleman, 2019: 236).

(K.134)

“Sebenarnya ada yang tidak saya ceritakan dan alasan kenapa saya menolak kalian untuk melaksanakan kegiatan KKN di sini. Ini semua karena desa ini memiliki sejarah panjang sejak dulu, dan semua itu tidak dapat lepas dari adat istiadat milik nenek moyang kami. Dulu, nenek moyang kami menggunakan anak perawan sebagai tumbal tarian bagi mereka yang tinggal di hutan ini agar desa kami dijauhkan dari kemalangan,” cerita Pak Prabu. Nur yang mendengarnya tercengang tidak percaya (Simpleman, 2019: 239240).

(K.135)

Kepulangan anak mengakhiri kegiatan KKN tersebut. Mereka meninggalkan desa dan hutan itu dalam keadaan kacau balau. Bima sempat dirawat di beberapa rumah sakit, tapi setelah menempuh pengobatan selama dua minggu, akhirnya Bima menghembuskan napas terakhirnya (Simpleman: 2019: 243).

(K.136)

Setelah sujud kepada kedua orangtuanya, Ayu memeluk Ilham, menangis dan menyampaikan salam perpisahan terakhir, sebelum akhirnya, Ayu

51

mengembuskan napas terakhirnya untuk selamanya (Simpleman, 2019: 245).

(K.137)

“Mbah Dok,” kata Si Mbah, “itukan yang mau kamu tanyakan Nduk?” Nur terkejut, gurunya memang luar biasa, lantas Nur mengangguk. “Seharusnya saya memberitahumu sejak dulu ya. Jadi begini,” ucap si Mbah Langsa, “Memang ada yang mengikuti kamu, ia sudah sangat lama mengamati lalu menyukaimu. Ia mengatakan kepada saya bahwa ia dan kamu memiliki keterikatan yang tidak dapat dijelaskan. Saat saya akan mengusirnya, ia berjanji akan menjagamu” (Simpleman, 2019: 251).