• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.2 Hasil Penelitian

4.2.2 Hasil Penelitian Sarana Sastra

Hasil penelitian sarana sastra meliputi: hasil penelitian judul, hasil penelitian sudut pandang, hasil penelitian gaya dan tone, hasil penelitian simbolisme dan hasil penelitian ironi.

4.2.2.1 Hasil Penelitian Judul

Pada hasil penelitian judul, penulis menemukan beberapa kutipan yang berkaitan dengan judul pada novel yaitu “KKN Di Desa Penari” karya Simpleman. Kutipan-kutipan tersebut yaitu:

(K.159)

Pagi itu, Widya segera menyelesaikan proposal akhir tentang siapa saja yang akan terlibat dalam pelaksanaan tugas ini. Ia semakin bersemangat karena berhasil melakukan pencarian desa sebagai landasan tugas KKN mereka secara mandiri (Simpleman, 2019: 4).

(K.160)

Widya, Ayu, Nur, Bima, Wahyu, dan Anton bersiap menuju desa yang akan dijadikan tempat melaksanakan KKN selama satu setengah bulan ke depan (Simpleman, 2019: 8).

(K.161)

Tampaknya Wahyu sudah selesai mengisi bahan bakar. Widya segera berpamitan pada si pedagang Cilok. “Mohon maaf ya Pak, saya harus pergi, kembali ke desa tempat kami KKN,” ucap Widya sopan. “Jauh Pak, masuk ke hutan. Di sana ada desa bernama Banyu Seliro, harus sedikit ke pelosok,” jawab Widya (Simpleman, 2019: 77).

56

“Nak, sebenarnya ada yang harus kamu tahu tentang desa ini, salah satunya, aturan dasar desa ini. Desa ini dulu dikenal dengan nama desa penari, sebuah desa yang banyak melahirkan penari-penari yang terkenal di daerah ini” (Simpleman, 2019: 116).

(K.163)

“Pak Prabu kemudian mengajak Ilham, Ayu, dan Nur untuk menaiki motor yang sudah siap dikendarai oleh penduduk desa. Di sini Nur baru tahu, desa tempat KKN mereka rupanya masuk ke dalam hutan. Ayu tidak pernah memberitahu ini sebelumnya” (Simpleman, 2019: 131)

(K.164)

“Dulu desa ini dikenal luas oleh orang-orang sebagai desa yang menghasilkan para sinden dan penari daerah” (Simpleman 2019: 135).

4.2.2.2 Hasil Penelitian Sudut Pandang

Penulis menemukan beberapa kutipan yang berhubungan dengan sudut pandang dari novel “KKN Di Desa Penari” karya Simpleman. Kutipan-kutipan tersebut yaitu:

(K.165)

“Menarik,” ucap Widya berkali-kali. Sekarang ia mengerti alasan kenapa mobil tidak bisa melintas. Baru masuk ke gapura desa itu saja, medan tanah yang harus mereka lewati langsung menanjak naik (Simpleman, 2019: 16). (K.166)

Hari sudah mulai petang. Dari cela-cela pohon di kiri kanan Widya bisa melihat pemandangan menakjubkan sekaligus mengerikan. Kegelapan hutan seakan berjalan lambat, menyapu sayup-sayup dedaunan dan kokohnya ranting besar, seakan memberitahu bahwa pepohonan itu sudah berdiri ratusan tahun (Simpleman, 2019: 16).

(K.167)

Selain pemandangan hutan yang mulai gelap, widya juga bisa merasakan suhu dingin yang kian menurun drastis, membuatnya harus mengencangkan jaket. Ia sadar, suhu seperti ini memang sudah biasa di tempat yang banyak dipenuhi pepohonan seperti ini, jadi ia tidak terlalu kaget dan memakluminya (Simpleman, 2019: 16).

(K.168)

Nur yang mendengarnya tampak kaget, ia berharap Pak Prabu bisa menahan sedikit berita ini agar jangan sampai keluar lebih dulu sebelum tahu kejelasan nasib Ayu dan Bima. Namun tampaknya Pak Prabu sudah putus asa (Simpleman, 2019: 239).

57 4.2.2.3 Hasil Penelitian Gaya dan Tone

Pada hasil penelitian gaya dan tone, penulis menemukan beberapa kutipan yang berkaitan dengan gaya dan tone yang pengarang terapkan pada novelnya. Beberapa kutipan tersebut meliputi:

(K.169)

Widya menatap Bima, yang seakan sedikit tersipu ketika gadis itu melihatnya. “Mas Bima, ya? Memangnya mau Mas ikut kami? Soalnya kami akan ambil desa yang paling jauh dibandingan sama anak-anak lain, loh”.

“Nggak apa-apa, sekalian jalan-jalan. Bukannya KKN seperti itu, belajar sambil jalan-jalan?” kata Bima meyakinkan Widya (Simpleman, 2019: 5). (K.170)

Ayu terlihat sedang berbicara dengan Bima, tapi dari semua pemandangan itu, Widya lebih tertuju kepada Wahyu yang sedari tadi terlihat dongkol. Wajahnya muram dan tidak mengenakan. Padahal wajahnya sudah tidak enak dilihat (Simpleman, 2019: 26).

(K.171)

Semua anak memandang Wahyu sengit, seakan apa yang dikatakan oleh pemuda kurus itu benar-benar tidak dipikirkan terlebih dahulu. Sekarang Widya tahu, ternyata benar tidak semua manusia terlahir dengan otak yang waras (Simpleman, 2019: 30).

(K.172)

“Ngapain manggil setan, Mas?” ledek Pak Prabu. “Kalau di depan saya saja kelakuannya kayak setan,” sindir Pak Prabu sambil melirik ke arah Wahyu (Simpleman, 2019: 30).

(K.173)

Wahyu berdiri di depannya, menatapnya dengan ekspresi ganji. “Ngapain Anjing? Nari malam-malam gini? Kayak kurang kerjaan saja kau ini!” (K.174)

“Aku ketemu sama penari yang cuuuuantik sekali. Gila, kembang kampus saja gak ada yang mendekati kecantikannya.” Ucapan Wahyu membuat semua orang tiba-tiba tertarik mendengarkannya.

(K.175)

Tidak ada yang tahu penyebab penyakit Bima. Setiap malam ia mengigau bahwa ia dikelilingi oleh ular. Hal itu membuat kedua orang tuanya sangat sedih, sampai akhirnya ajal menjemput nyawanya dan Bima pergi untuk selama-lamanya (Simpleman 2019: 121).

58 4.2.2.4 Hasil Penelitian Simbolisme

Dari hasil penelitian simbolisme, penulis menemukan dua kutipan yang berkaitan dengan simbolisme pada novel “KKN Di Desa Penari” karya Simpleman. Kutipan-kutipan tersebut adalah:

(K.176)

Mendengar nama desa itu, membuat si pedagang tiba-tiba khawatir, “Mbak, Mas, kalau bisa hari ini cari penginapan saja. Bukan apa-apa, bahaya mas, mbak kalau nekat masuk hutan jam begini, apa lagi tempat desanya itu masuk jauh ke dalam kan? (Simpleman, 2019: 77).

(K.177)

Mendengar hal itu, Widya hanya diam saja, sembari mengamati situasi. Ia tidak tahu apa yang terjadi kepada sahabatnya. Apa mungkin Nur kerasukan?

“Yo opo, Cah Ayu wes kenal karo Badarawuhi?” (bagaimana, Anak cantik sudah kenal sama Badarawuhi?) tanya sosok itu.

Melihat itu, Widya mulai ketakutan (Simpleman, 2019: 9394).

4.2.2.5 Hasil Penelitian Ironi

Penulis menemukan satu kutipan dari penelitian ironi pada novel “KKN Di Desa Penari” karya Simpleman. Kutipan tersebut adalah:

(K.178)

“Air mengalir pasti larinya ke timur, pernah dengar kalimat itu Wid? Di timur masih banyak hal-hal tabu yang kadang tidak masuk akal, karena semuanya itu berkumpul di timur. Dari yang baik, buruk, sampai yang terburuk. Ibu cuma takut anak ibu satu-satunya kenapa-kenapa,” kata bu Azrah yang disambut tatapan lembut Widya. Hal itu membuat ibunya akhirnya luluh (Simpleman, 2019: 910).