• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.3 Pembahasan

4.3.1 Pembahasan Fakta Cerita

4.3.1.2 Pembahasan Alur

4.3.1.2.2 Pembahasan Alur (versi Nur)

Pembahasan Alur (versi Nur) terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir.

Bagian Awal (versi Nur)

Bagian awal sebuah cerita merupakan bagian perkenalan. Pada bagian ini biasanya akan memperkenalkan karakter, latar, dan berbagai hal yang penting

104

lainnya yang terdapat dalam novel. Bagian awal cerita dalam novel KKN Di Desa Penari, dimulai dengan memperkenalkan tokoh utama yaitu Nur. Nur adalah seorang mahasiswa yang akan melakukan KKN disebuah desa. Namun sebelumnya, Nur akan mengobervasi lokasi KKN bersama dengan Ayu.

(K.124)

Selepas salat, gadis itu kembali ke kamar, merapikan tempat tidur, kemudian berdandan seadanya. Bila mengingat hari ini, ia menjadi terbayang saat pertama datang ke tampat ini. Hidup di kos, jauh dari orangtua demi mengejar cita dan mimpinya, belajar di salah satu universitas terbaik di negara ini seakan masih menjadi buah mimpi ketika tidur.

Nur Azizah Ulfia, gadis cantik berperawakan kecil itu tersenyum penuh syukur atas segala nikmat yang ia dapat selama tinggal di sini. Salah satunya sahabat-sahabat baik yang ia kenal di kampus ini. Ia teringat, malam ini salah satu sahabatnya akan datang menjemput. Ia meyakinkan Nur bahwa ada jalan untuk melaksanakan tugas KKN mereka bersama (Simpleman, 2019: 125126).

Pak Prabu mempersilahkan mereka menuju ke rumahnya. Sesampainya di rumah Pak Prabu, Ilham mengutarakan maksud dan tujuan mereka datang ke sini. Ilham ingin agar Ayu dan kawan-kawannya diizinkan mengadakan kegiatan KKN di desa tersebut. Namun hal itu ditolak Pak Prabu.

(K.125)

Rupanya Nur baru tahu, sebenarnya Pak Prabu menolak diadakan kegiatan KKN di desa ini. Bukan bermaksud apa-apa tapi, Pak Prabu menjelaskan betapa sulit akses dan medan lingkungan desa ini, sehingga sangat tidak memungkinkan bila diadakan kegiatan KKN yang bertujuan untuk mengabdikan diri sebagai mahasiswa kepada masyarakat (Simpleman, 2019: 132133).

Akhinya Pak Prabu mengizinkan mereka KKN di desa. Pagi itu Pak Prabu langsung mengajak Nur dan Ayu berkeliling untuk lebih mengenal desa. Pak Prabu menjelaskan tentang letak sendang yang bernama Sendang Sinden. Namun Nur melihat ada sesuatu yang sedang mengintip dari balik candi. Tiba-tiba tubuh Nur

105

menjadi berat sampai ia hampir jatuh. Saat Pak Prabu mengajak mereka ke tempat lain, Nur meminta izin untuk kembali karena merasa tidak enak badan.

(K.126)

“Ya sudah, ayo kembali. Kasihan Masmu, Ilham. Dia pasti sudah menunggu. Lagipula hari sudah siang. Kalian harus kembali, kan.” Ayu dan Nur mengangguk. Ahirnya pun mereka kembali. “Kamu kenapa? Kok, pucat sekali, Nur?” tanya Ayu. “Nggak apa-apa, Cuma kurang enak badan saja. Mungkin kecapean,“ sahut Nur, yang disambut anggukan oleh Ayu. Ia pun membantu Nur berjalan pergi meninggalkan desa itu setelah berpamitan dengan Pak Prabu dan beberapa warga. Nur yakin sosok yang ia lihat adalah sosok penunggu tempat itu (Simpleman, 2019: 136137). Beberapa hari Setelah observasi Nur dan kawan-kawan pergi ke lokasi KKN yang sudah pernah Nur dan Ayu kunjungi.

(K.127)

Setelah pembekalan kegiatan KKN selesai, hari yang dinantikan pun tiba. Widya, Ayu, Nur, Bima, Wahyu, dan Anton berkumpul menunggu kedatangan mobil yang akan membawa mereka menuju ke lokasi KKN (Simpleman, 2019: 142).

Bagian Tengah (versi Nur)

Pada bagian tengah cerita berisi pertikaian/akar permasalahan. Pengarang cerita menampilkan pertentangan dan konflik yang semakin lama semakin meningkat dan menegangkan. Hal itu membuat pembaca semakin tertarik. Konflik dapat berupa konflik internal maupun konflik eksternal. Bagian tengah cerita merupakan bagian terpenting karena pada bagian ini ditemukanlah inti cerita.

Pada bagian tengah, menceritakan Nur dan Anton sedang mengerjakan proker. Mereka sedang mengejakan proker dekat Sinden. Nur tidak merasakan tubuhnya berat lagi ketika mengerjakan proker bersama Anton. Di sela-sela pengerjaan, Anton menceritakan kalau Bima mempunyai gerak-gerik yang aneh.

106 (K.128)

“Aneh?” ucap Nur. “Siapa?” “Siapa lagi kalau bukan si Bima,” sahut Anton. “Aneh bagaimana?” tanya Nur. “Aku sering lihat dia tersenyum kadang tertawa sendirian. Tidak Cuma itu, kadang dia bicara sendiri di dalam kamar. Dan mohon maaf ya Nur, aku sering dengar dia kayak onani.” Awalnya, Nur menolak apa yang Anton katakan. “Halah, mana mungkin,” bantah Nur. “Serius Nur, sumpah. Aku sering ngelihat dia melakukannya,” kata Anton. “Janji tolong jangan bilang siapa pun,” katanya lirih. “Temanmu sering membawa pulang sesajen ke dalam kamar. Ia selalu menaruhnya di bawah ranjang tempat tidurnya.” Nur masih diam. Ia mencoba menahan diri. Apa yang diucapkan Anton, terdengar terlalu mengada-ada. “Lalu di atas sesajen itu ada sebuah foto. Foto temanmu, Widya. Menurut kamu apa maksudnya coba hubungannya foto Widya sama sesajen yang ia bawa?” (Simpleman, 2019: 190191).

Di puncak Tapak Tilas, Nur melihat sebuah bangunan sanggar yang sangat besar. Nur menaiki tangga sanggar dan ia menemukan tata letak gamelan yang tersusun rapi.

(K.129)

Tidak ada yang menarik perhatian Nur, kecuali tata letak gamelan yang tersusun rapi. Meski terlihat kotor dann tidak terjamah, Nur begitu penasaran kenapa intrumen musik Jawa ini ditinggalkan begitu saja di tempat seperti ini (Simpleman, 2019: 203).

Tiba-tiba ia mendengar suara familier yang memanggilnya, itu adalah Ayu. Beberapa saat kemudian, Bima melangkah keluar. Nur merasa heran, apa yang mereka lakukan di tempat ini. Nur merasa kecewa, ia merasa Ayu dan Bima pasti melakukan hubungan terlarang di tempat itu.

(K.130)

“Bim...” panggil Nur lirih. “Kira-kita bagaimana perasaan Abah sama Umi ya, bila tahu kelakuanmu?” ucap Nur. Air matanya mulai menetes, tak kuasa menahan apa yang baru saja terjadi. Nur semakin yakin karena sedari tadi tidak ada satu pun dari mereka yang mencoba mengelak. “Nur, tolong,” sahut Ayu. Ia mencoba menyentuh tangan Nur, tapi Nur menepisnya. “Aku gak ngomong sama kamu ya, Yu. Tolong kamu diam saja!!” bentak Nur, ia tidak pernah semarah ini. Bima masih diam, ia tidak menjawab pertanyaan Nur sama sekali, seakan tidak tahu harus menjawab

107

apa kepada Nur. Saat itu juga, dengan keras Nur menampar wajah Bima, hingga Bima tidak dapat lagi berkata-kata. Ia memilih diam membisu saat Nur terus mencercanya dengan kalimat tidak percaya (Simpleman, 2019: 204205).

Bagian Akhir (versi Nur)

Bagian akhir merupakan bagian penyelesaian. Pengarang menampilkan cerita sebagai akibat dari klimaks. Pertanyaan yang muncul dari pembaca tentang akhir dari cerita akhirnya terjawab.

Pada bagian akhir menceritakan malam itu semua orang sedang tertidur. Nur yang sedang bermimpi buruk tiba-tiba terbangun dan sangat terkejut melihat kondisi Ayu.

(K.131)

Namun tiba-tiba Nur tercekat saat melihat Ayu. Anak itu tampak aneh. Mata Ayu terus terbuka dengan mulut terus menganga lebar. Melihat itu, Nur berteriak histeris membuat Wahyu dan Anton terbangun dari tidurnya (Simpleman, 2019: 228).

Bima dan Widya juga menghilang. Hal itu membuat Pak Prabu meminta semua warga desa mencari mereka. Beberapa lama kemudian Bima ditemukan.

(K.132)

Warga masuk dengan membopong Bima. Kondisi Bima tampak seperti orang yang terkenan epilepsi. Warga denga hati-hati menidurkan Bima di samping Ayu. Mereka berdua tampak mengenaskan. Nur menangis sejadi-jadinya (Simpleman, 2019: 235).

Ketika hari sudah mulai gelap, terdengar warga ramai. Mereka menemukan Widya. Widya yang masih bisa berjalan lantas melangkah masuk. Nur menatap Widya yang matanya sayu, letih, dan berantakan. Widya seperti orang linglung. Nur bertanya pada Widya.

108 (K.133)

“Dari mana saja kamu, Wid? Ayu dan Bima tiba-tiba jadi seperti ini!” (Simpleman, 2019: 236).

Pagi dini hari itu, Pak Prabu mengumpulkan Nur, Widya, Wahyu, dan Anton dan mengatakan bahwa ia sudah memberitahukan kejadian ini kepada pihak kampus dan keluarga mereka. Nur tampak kaget mendengarkannya. Beliau juga menceritakan alasan mengapa ia menolak Nur dan kawan-kawan agar melaksanakan KKN di desa ini. Ini semua karena sejarah panjang desa yang tidak bisa lepas dari adat istiadat nenek moyang.

(K.134)

“Sebenarnya ada yang tidak saya ceritakan dan alasan kenapa saya menolak kalian untuk melaksanakan kegiatan KKN di sini. Ini semua karena desa ini memiliki sejaran panjang sejak dulu, dan semua itu tidak dapat lepas dari adat istiadat milik nenek moyang kami. Dulu, nenek moyang kami menggunakan anak perawan sebagai tumbal tarian bagi mereka yang tinggal di hutan ini agar desa kami dijauhkan dari kemalangan,” cerita Pak Prabu. Nur yang mendengarnya tercengang tidak percaya (Simpleman, 2019: 239240).

Rombongan kampus yang dipimpin oleh Bu Anggi dan orangtua Bima serta Ayu datang setelah menerima kabar buruk dari Pak Prabu. Bu Anggi meminta penjelasan atas apa yang terjadi. Keluarga Ayu yang tidak terima, mengancam akan memindanakan Pak Prabu. Akhirnya, Nur, Widya, Wahyu, dan Anton bersama dengan rombongan kampus pun pergi meninggalkan Desa Penari.

(K.135)

Kepulangan anak mengakhiri kegiatan KKN tersebut. Mereka meninggalkan desa dan hutan itu dalam keadaan kacau balau. Bima sempat dirawat di beberapa rumah sakit, tapi setelah menempuh pengobatan selama dua minggu, akhirnya Bima menghembuskan napas terakhirnya (Simpleman: 2019: 243).

Setelah kepergian Bima untuk selama-lamanya, Ayu pun meninggal. Hal ini adalah ganjaran yang harus mereka berdua terima.

109 (K.136)

Setelah sujud kepada kedua orangtuanya, Ayu memeluk Ilham, menangis dan menyampaikan salam perpisahan terakhir, sebelum akhirnya, Ayu mengembuskan napas terakhirnya untuk selamanya (Simpleman, 2019: 245).

Setelah tragedi KKN yang dialami oleh Nur dan kawan-kawan, suatu hari Nur pergi ke pesantren tempat Nur belajar dulu. Nur hendak menemui kiai yaitu Mbah Langsa yang dulu menjadi gurunya. Setelah bertemu, Nur dan Mbah Langsa membicarakan hal-hal yang terjadi mulai dari desa penari yang terkutuk, kematian Bima dan Ayu, sampai pada siapa Mbah Dok.

(K.137)

“Mbah Dok,” kata Si Mbah, “itukan yang mau kamu tanyakan Nduk?” Nur terkejut, gurunya memang luar biasa, lantas Nur mengangguk. “Seharusnya saya memberitahumu sejak dulu ya. Jadi begini,” ucap si Mbah Langsa, “Memang ada yang mengikuti kamu, ia sudah sangat lama mengamati lalu menyukaimu. Ia mengatakan kepada saya bahwa ia dan kamu memiliki keterikatan yang tidak dapat dijelaskan. Saat saya akan mengusirnya, ia berjanji akan menjagamu” (Simpleman, 2019: 251). Berdasarkan tahapan-tahapan alur pada versi Widya dan Nur, penulis mengambil kesimpulan bahwa alur dalam novel “KKN Di Desa Penari” karya Simpleman adalah alur maju. Cerita berawal dari perkenalan para tokoh yaitu Widya, Nur, serta para tokoh lain. Menuju permasalahan tentang hal-hal aneh yang dialami oleh Widya dan Nur, klimaks terdapat pada Bima dan Ayu yang melakukan tindakan tidak bermoral dan terkena sakratulmaut, dan penyelesaian berupa kepergian Widya dan Nur serta kawan-kawan dari desa Penari. Serta, Kepergian Bima dan Ayu untuk selama-lamanya.

Persamaan alur cerita dari novel “KKN Di Desa Penari” versi Widya dan versi Nur adalah sama-sama menceritakan pengalaman mistis yang tragis sewaktu mereka melaksanakan tugas KKN di sebuah desa tertinggal yang terletak di

110

pelosok Jawa. Sedangkan perbedaan alur cerita versi Widya dan versi Nur terletak pada penamaan serta beberapa karakter yang muncul hanya pada versi Widya atau versi Nur saja. Si Pedagang cilok, dan lelembut hutan hanya muncul pada cerita versi Widya. Pada versi Nur, karakter tersebut tidak muncul. Sebaliknya, karakter Mbah Dok, Lelaki tua pemanggul karung, Mbah Langsa, Sesosok hitam, dan Nadya hanya muncul pada versi Nur. Pada versi Widya, karakter-karakter tersebut tidak muncul.

Kemudian, Karakter Bu Azrah, Pak Aryo, Pak Waryan (versi Widya), dalam muncul dalam versi Nur, namun dengan penamaan/sebutan yang berbeda. Dalam versi Nur, Bu Azrah hanya sebagai orangtua Widya, sedangkan Pak Ayo dan Pak Waryan hanya sebagai warga desa yang mengantar para mahasiswa.