• Tidak ada hasil yang ditemukan

4   KONDISI UMUM PERIKANAN SERO DI KABUPATEN WAJO 45

5.3   HASIL PENELITIAN 60

Pada ekosistem lamun ditemukan jenis lamun yang paling dominan yaitu Enhalus acoroides dan juga ditemukan jenis Halodule pinifolia dan Cymodocea rotundata dalam sebaran yang jumlahnya sedikit. Jenis substrat di daerah lamun yaitu berpasir halus, berbeda pada substrat di sekitar mangrove dan muara sungai yaitu berpasir campur lumpur. Vegetasi yang tumbuh di sekitar mangrove yaitu didomonasi oleh tumbuhan mangrove jenis Rhizophora sp, Avicennia sp, dan Sonneratia sp. Pada sekitar muara sungai didapatkan tumbuhan mangrove yang jumlahnya sangat sedikit, namun pada sepanjang tepi sungai lebih dominan tumbuh jenis mangrove yaitu Rhizophora sp. Untuk kondisi lingkungan lokasi pemasangan sero di Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo di setiap habitat selama penelitian disajikan pada Tabel 8. Berikut penjelasan singkat dari setiap parameter tersebut dan perbandingannya di antara ketiga kawasan tempat pemasangan sero yang masing-masing dicirikan oleh habitat muara sungai, mangrove dan lamun.

Tabel 8 Nilai rata-rata, standar deviasi (SD) 11 parameter fisika-kimia dan biologi di muara sungai, mangrove dan lamun tempat pemasangan sero selama penelitian

No Parameter Muara sungai Mangrove Lamun

1 Suhu perairan (oC) 28,28b ±0,62 28,79a ±0,60 29,00a ±0,66 2 Kecepatan arus (m/dtk) 0,26a ±0,29 0,22b ±0,38 0,16c ±0,32 3 Salinitas (o/oo) 29,60b ±1,21 30,99a ±0,96 31,15a ±0,84 4 pH 6,92b ±0,13 6,95ab ±0,15 7,01a ±0,12 5 Kadar DO (ppm) 5,75b ±0,44 5,96ab ±0,43 6,14a ±0,50 6 Nitrat (µg/L) 0,21a ±0,09 0,19a ±0,09 0,13b ±0,07 7 Fosfat (µg/L) 0,12a ±0,02 0,11a ±0,03 0,09b ±0,03 8 Silikat (µg/L) 0,008 ±0,003 0,007 ±0,003 0,007 ±0,003 9 Klorofil a (µg/m3) 0,835b ±0,282 0,687ab ±0,192 0,976a ±0,162 10 Fitoplankton (sel/liter) 11773a±6341 6711b ±3,861 13011a±4473 11 Zooplankton (ind/liter) 1010a ±961 368b ±260 936a ±582

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (α = 0,05) berdasarkan uji beda rerata Tukey

5.3.2 Karakteristik Habitat

Persebaran spasiotemporal parameter lingkungan berdasarkan habitat dan waktu pengamatan dianalisis dari rata-rata 3 kali pengukuran menggunakan analisis PCA (24 observasi). Parameter lingkungan yang dianalisis sebanyak 8 (delapan) parameter yaitu : suhu, salinitas, kecepatan arus, pH, kadar oksigen terlarut (DO), nitrat, fosfat, dan silikat. Hasil analisis PCA menunjukkan bahwa besarnya ragam terjelaskan pada 3 (tiga) sumbu utama pertama sebesar 78,93% dengan akar ciri masing-masing secara berurut masing-masing sumbu 1 (F1) = 3,211, sumbu 2 (F2) = 1,814, dan sumbu 3 (F3) = 1,289. Parameter lingkungan yang berpengaruh besar pada sumbu utama diantaranya DO, pH, dan fosfat yang berkorelasi positif dengan sumbu 1 (F1). Nitrat dan suhu berkontribusi besar dalam pembentukan sumbu utama kedua (F2) (Lampiran 13).

Observasi di muara sungai (MS7 dan MS5), mangrove (MG7 dan MG8), dan lamun (LM8) berkontribusi besar dalam pembentukan sumbu utama pertama dan berkorelasi negatif dengan sumbu utama pertama. Observasi (MS6), (MG4 dan MG6), dan (LM3, LM4, dan LM5) berkontribusi besar dan berkorelasi positif

dalam pembentukan sumbu utama pertama. Observasi (MS4), (MG4), dan (LM4) berkontribusi besar dan berkorelasi negatif dalam pembentukan sumbu utama kedua, sedangkan observasi (MS6) (MG6) dan (LM6) berkontribusi besar dan berkorelasi negatif dalam pembentukan sumbu utama kedua (Lampiran 13). Berdasarkan plot dan observasi dan parameter lingkungan (Gambar 10 & 11) menunjukkan bahwa sebagian besar observasi dari lamun dan mangrove beragregat pada sumbu satu positif. Observasi-observasi tersebut dicirikan oleh suhu, salinitas, pH, dan DO yang tinggi. Dalam arah yang berlawanan di sumbu 1 negatif tersebar sebagian besar observasi di muara sungai. Kelompok observasi ini dicirikan oleh kadar nitrat dan fosfat serta kecepatan arus yang lebih tinggi.

Berdasarkan hasil sidik gerombol (cluster analysis) pada skala jarak similiritas 50% terdapat 3 (tiga) kelompok besar observasi yaitu kelompok satu (MS6, MG1, MG3, MG6, LM1, LM3, LM4, dan LM8) dan kelompok (MS2, MS7, dan MG7), dan lainnya kelompok tiga (Gambar 8).

Gambar 8 Diagram gerombol (cluster) untuk 24 contoh pengamatan terhadap 8

parameter fisika kimia lingkungan lokasi pemasangan sero di Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo selama penelitian.

Gambar 9 Plot stasiun dan waktu pengamatan parameter fisika kimia lingkungan selama lokasi pemasangan sero di Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo selama penelitian.

Gambar 10 Konfigurasi dua komponen utama untuk 24 contoh pengamatan terhadap 8 parameter fisika kimia lingkungan lokasi pemasangan sero di Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo selama penelitian.

Gambar 11 Kekuatan 8 parameter fisika kimia lingkungan dalam membentuk

konfigurasi dua komponen utama untuk 24 contoh pengamatan di lokasi pemasangan sero di Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten

Wajo selama penelitian.

5.4 PEMBAHASAN 5.4.1 Deskripsi Habitat

Perubahan rata-rata suhu perairan selama penelitian menujukkan fluktuasi dan pola yang sama diantara ketiga habitat. Terjadi perbedaan suhu yang signifikan menurut habitat. Suhu di muara sungai (28,28 oC) lebih rendah dibanding suhu di sekitar mangrove dan lamun (Tabel 8 & Lampiran 12). Rendahnya suhu di muara sungai sangat besar kemungkinan dipengaruhi oleh limpasan air tawar yang bersuhu relatif lebih rendah dibandingkan suhu air di perairan pantai. Faktor limpasan air tawar memang merupakan pemicu menurunnya suhu perairan di sekitar muara sungai, seperti hasil penelitian yang didapatkan oleh Wahyudewantoro (2009) ternyata suhu di estuari Binuaengeun Banten akibat limpasan air tawar. Berbeda yang didapatkan oleh Andriani (2004) di perairan pantai Kabupaten Luwu Teluk Bone yang kisaran suhunya lebih tinggi (30,0-32,0 oC) hal ini dikarenakan lokasinya semi tertutup dan terisolasi sehingga tidak ada percampuran massa air tawar yang bersuhu lebih dingin. Hal yang sama

juga didapatkan oleh Zainuddin (2011) di perairan Palopo dan sebelah timur Teluk Bone (Perairan Kolaka).

Nilai salinitas di daerah lamun tidak berbeda dengan di mangrove, tetapi kedua daerah tersebut berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan di muara sungai (Tabel 8 & Lampiran 12). Rendahnya salintas di muara sungai dikarenakan pada muara sungai dipengaruhi oleh daratan, dimana dari daratan masuk aliran air tawar melalui sungai menuju muara sungai yang menyebabkan penurunan salinitas di daerah muara sungai tersebut, atau pada muara sungai terjadi proses percampuran air tawar dari sungai. Salinitas yang tinggi di daerah mangrove dan lamun karena terletak di wilayah yang jauh dari muara sungai. Semakin jauh dari muara sungai ke arah laut, salinitas akan bertambah (Duxburry 2002). Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai (Nontji 2005).

Kecepatan arus berbeda pada setiap stasiun. Kecepatan arus tertinggi dijumpai pada daerah muara sungai (0,26 m/detik) (Tabel 8 & Lampiran 12). Hal ini kemungkinan besar disebabkan besarnya arus yang mengalir karena derasnya aliran sungai yang masuk ke perairan muara sungai. Tidak jauh berbeda yang didapatkan di perairan pantai Kabupaten Luwu yaitu 0,19 m/detik (Andriani 2004). Namun relatif kuat yang didapatkan di Teluk Kotania pada pasang dan surut masing-masing 0,7 m/detik (Supriyadi 2009), di Selat Bangka yaitu lebih dari 50 cm/detik (Nurhayati 2007), dan di perairan Berau memiliki nilai tertinggi adalah sebesar 115,3 cm/detik dan kecepatan arus permukaan terendah diperoleh nilai sebesar 5,4 cm/detik (Aryawati 2007).

Nilai pH cenderung lebih rendah didapatkan di muara sungai karena adanya pengaruh masukan massa air tawar dari sistem sungai yang bermuara. (Tabel 8 & Lampiran 12). Secara umum kisaran pH yang didapatkan yaitu 6,7-7,2 jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian Andriani (2004) di perairan pantai Kabupaten Luwu Teluk Bone yaitu 8,0-8,1. Kisaran yang didapatkan selama penelitian masih menunjang kehidupan fitoplankton yaitu berada pada kisaran 6,5-8,5 (Prescod 1973). Lebih lanjut Sachlan (1982) bahwa fitoplankton dapat hidup subur pada pH 7-8 bilamana terdapat cukup mineral di dalam perairan tersebut.

Nilai kandungan oksigen terlarut berbeda berdasarkan habitat. Kadar oksigen terlarut di daerah lamun berbeda dengan di muara sungai, tetapi kedua daerah tersebut tidak berbeda nyata dengan di daerah mangrove (Tabel 8). Kadar oksigen terlarut yang didapatkan di ketiga habitat berada pada kisaran 5,0-6,1 ml/l (Lampiran 12). Salmin (2005) mengemukakan bahwa perairan yang kadar oksigen terlarutnya (DO) > 5 maka perairan tersebut tingkat pencemarannya rendah dan bisa dikategorikan sebagai perairan yang baik. Kadar oksigen terlarut rata-rata yang didapatkan dalam penelitian ini tidak jauh berbeda dengan yang terdapat di perairan Berau Kalimantan Timur berkisar antara 4,77–6,14 ml/l (Aryawati 2007), di perairan pantai Kabupaten Pinrang Selat Makassar 3,8-8,7 ppm (Umar 2009), dan di Selat Makassar Kabupaten Barru berkisar antara 3,9-7,9 (Hatta 2010).

Kandungan nitrat berbeda setiap habitat. Kandungan nitrat di muara sungai (0,209 µg/L) lebih tinggi dibandingkan di daerah mangrove dan lamun. Rata-rata kandungan nitrat (0,175 µg/L) (Tabel 8 & Lampiran 12) secara umum di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone sedikit lebih rendah ambang batas kebutuhan oftimal pertumbuhan fitoplankton. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mackentum (1969) bahwa kadar nitrat yang dibutuhkan oleh fitoplankton laut adalah 0,203-0,790 µg–at/l, bila kurang dari nilai tersebut maka menyebabkan nitrat sebagai faktor pembatas di perairan tersebut.

Rata-rata kandungan fosfat di habitat muara sungai dan mangrove (0,118

µg/L dan 0,110 µg/L) lebih tinggi dibanding pada lamun (Tabel 8 & Lampiran 12). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena adanya masukan dari daratan. Nontji (1984) menyatakan bahwa kandungan fosfat di suatu perairan antara lain dapat disebabkan karena masukan dari darat atau karena terjadinya pengayaan dari lapisan dalam, baik karena penaikan air maupun karena pengadukan. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa proses penaikan air lebih banyak terjadi di perairan dalam sedangkan proses pengadukan lebih banyak berperan di perairan dangkal. Nilai rata-rata kandungan fosfat yang ditemukan di lokasi penelitian masih kondisi yang normal (baik). Hal ini diperkuat oleh Mackentum (1969) bahwa kandungan fosfat yang baik bagi pertumbuhan fitoplankton adalah berkisar 0,09- 1,80 µg/L dan ditambahkan oleh Sumardianto (1985) dalam Andriyani (2004) bahwa kandungan ortofosfat yang optimal bagi pertumbuhan fitoplankton adalah

0,27-5,51 µg/L dan jika kurang dari 0,02 µg/L maka akan menjadi faktor pembatas.

Rata-rata kandungan silikat (0,015 µg/L) di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone tidak menunjukkan adanya perbedaan, baik berdasarkan waktu pengamatan maupun habitat (Tabel 8 dan Lampiran 12). Menurut Cushing dan Walsh (1976) dalam Aryawati (2007) salah satu sumber silikat adalah buangan dari darat melalui run off. Lebih lanjut Millero dan Sohn (1991) menerangkan bahwa pada dasarnya sumber silikat di laut sebagian besar merupakan hasil pelapukan yang terbawa oleh aliran sungai. Hasil penelitian ini sama yang didapatkan di perairan pantai Kabupaten Luwu Teluk Bonen yaitu sebesar 0,011- 0,031 µg/L (Andriani 2004).

Kandungan klorofil-a di perairan pantai Pitumpanua menunjukkan nilai yang sangat fluktuatif dan heterogen. Kandungan klorofil-a di habitat muara sungai dan lamun (0,835 dan 0,976 mg/m3) lebih tinggi dibandingkan di habitat mangrove (0,687 mg/m3) (Tabel 8 & Lampiran 12). Tinggi rendahnya kandungan klorofil-a di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone sangat berhubungan dengan pasokan nutrien yang berasal dari darat melalui aliran sungai-sungai yang bermuara ke perairan tersebut. Afdal & Riyono (2004) mempertegas bahwa tinggi rendahnya kandungan klorophil-a di laut sangat dipengaruhi oleh faktor hidrolgi perairan (suhu, salinitas, nitrat, dan fosfat). Pada kedalaman 0-50 m suhu, salinitas, nitrat, dan fosfat tidak terlalu mempengaruhi kandungan klorofil-a, sedangkan pada kedalaman 100 m mempengaruhi.

Bila dibandingkan dengan kandungan klorofil di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone dengan perairan Barru Selat Makassar maka kandungan klorofil-a di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone memiliki nilai yang lebih tinggi. Menurut Hatta (2010) kandungan klorofil-a di perairan Barru Selat Makassar berkisar 0,015-0,383 mg/m3 dan menurut Alianto et al. (2008) kandungan klorofil-a di perairan Teluk Banten memiliki berkisar 0,069-0,303 mg/m3. Tetapi apabila dibandingkan dengan kandungan klorofil-a di perairan Ujung Watu, Jepara; pantai Kartini, Jepara, dan Teluk Jakarta, nilai kandungan

klorofil-a di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone relatif lebih rendah. Di perairan Ujung Watu, Jepara kandungan rata-rata klorofil-a adalah sebesar 4,68

mg/m3 (Sutomo et al. 1989). Kadar klorofil-a yang tinggi di perairan Indonesia umumnya disebabkan karena penyuburan yang terjadi akibat turbulensi atau pengadukan air di daerah dangkal, aliran dari sungai-sungai (run off) ataupun karena ”upwelling”.

Kelimpahan fitoplankton dan zooplankton di perairan pantai Pitumpanua berbeda secara signifikan berdasarkan waktu pengamatan dan habitat. Rata-rata kelimpahan fitoplankton tertinggi selama penelitian di dapatkan di habitat lamun sebesar 13011 sel/l (Tabel 8 & Lampiran 12). Kelimpahan ini lebih tinggi dibandingkan dengan yang didapatkan oleh Andriyani (2004) di perairan Bua Kabupaten Luwu Teluk Bone (4511 sel/liter) dan yang didapatkan oleh Hatta (2010) di perairan Barru Selat Makassar yaitu berkisar 431-5438 sel/liter. Tingginya kelimpahan yang didapatkan kemungkinan disebabkan karena lokasi pengambilan sampel berada pada daerah pantai yang tersedia banyak unsur hara yang dimanfaatkan oleh fitoplankton untuk pertumbuhan dan perkembangbiakannya. Berbeda yang didapatkan oleh Djokosetiyanto & Rahardjo ( 2006) di perairan pantai Dadap Teluk Jakarta yaitu 21955 sel/liter sangat jauh lebih tinggi dibandingkan di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone. Sedangkan rata-rata kelimpahan tertinggi zooplankton di dapatkan di habitat muara sungai yaitu sebesar 1010 ind/liter (Tabel 8 & Lampiran 12). Bila dibandingkan kelimpahan yang di dapatkan Thoha (2007) di Teluk Gilimanuk, Bali yang mendapatkan kelimpahan zooplankton rata-rata 23938 ind/l, sangat jauh lebih rendah bila dibandingkan yang ditemukan di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone. Kelimpahan zooplankton yang didapatkan selama penelitian berada pada kisaran yang didapatkan oleh Andriyani (2004) di Kabupaten Luwu Teluk Bone yaitu 920-1227 ind/liter dengan rata-rata kelimpahan 1022 ind/liter.

5.4.2 Karakteristik Habitat

Hasil analisis PCA menunjukkan bahwa karakteristik di lokasi penelitian dicirikan oleh parameter DO, pH, salinitas, dan silikat cenderung lebih tinggi di daerah sekitar mangrove dan lamun, sedangkan parameter kadar nitrat, fosfat, dan kecepatan arus cenderung lebih tinggi di daerah muara sungai (Gambar 10 & 11).

Secara umum, kadar nitrat di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone memperlihatkan nilai yang tinggi di daerah muara sungai dibandingkan pada daerah lamun dan sekitar mangrove. Hal ini bisa dimengerti karena lokasi ini dapat disebabkan kondisi sekitar muara sungai, dimana sepanjang pinggiran sungai terdapat mangrove yang dapat menyumbangkan hara dari serasahnya yang membusuk mengalir ke muara sungai. Sesuai dengan pernyataan Wattayakorn (1988) bahwa kandungan nitrat di suatu daerah estuaria selain berasal dari perairan itu sendiri juga tergantung kepada keadaan sekelilingnya antara lain, sumbangan dari daratan melalui sungai yang bermuara ke perairan tersebut, juga tergantung kepada hutan mangrove yang serasahnya membusuk, karena adanya bakteri, terurai menjadi zat hara. Begitu juga dengan kandungan fosfat di muara sungai lebih tinggi dibanding dengan lamun dan mangrove, kemungkinan besar oleh karena adanya masukan dari darat. Nontji (1984) mempertegas bahwa tingginya fosfat di muara karena proses pengadukan lebih banyak terjadi di perairan dangkal. Alasan tersebut sejalan dengan kecepatan arus yang ditemukan di muara sungai juga tinggi. Tingginya kecepatan arus tersebut disebabkan karena derasnya aliran sungai yang mengalir keluar masuk muara sungai sehingga terjadi pengadukan di muara sungai.

Parameter suhu, DO, pH, dan salinitas lebih tinggi ditemukan di daerah lamun dan sekitar mangrove (Gambar 10 & 11). Tingginya kadar oksigen terlarut (DO) kemungkinan disebabkan karena tingginya efek produksi fotosintesis dari lamun, begitupula halnya dengan nilai pH kemungkinan diakibatkan oleh kurangnya proses penguraian bahan organik dibandingkan di muara sungai. Salinitas yang tinggi di lamun dan mangrove diakibatkan tidak adanya percampuran air tawar yang bersalinitas rendah seperti pada di habitat muara sungai. Kandungan silikat secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara ketiga habitat tersebut (α = 0,05, Lampiran 8).

5.5 KESIMPULAN DAN SARAN