• Tidak ada hasil yang ditemukan

7   SELEKTIVITAS MATA JARING EXPERIMENTAL CRIB

7.4   PEMBAHASAN 117

7.4.1 Komposisi dan Proporsi Layak Tangkap pada Experimental Crib Jenis ikan yang dominan tertahan pada experimental sero di perairan pantai Pitumpanua, Teluk Bone umumnya adalah ikan demersal, yaitu: (1) biji nangka (Upeneaus sulphureus), (2) baronang lingkis (Siganus canaliculatus), (3) kerong-kerong (Therapon jarbua), (4) kapas-kapas (Gerres kapas), (5) lencam (Lethrinus lentjam), (6) pepetek (Leiognathus splendens), (7) kuwe (Caranx sexfaciatus), (8) baronang (Siganus guttatus), dan (9) barakuda (Sphyraena sphyraena) (Tabel 16). Spesies nomor 9 adalah jenis ikan pelagis. Dominasi ikan demersal tersebut berkaitan dengan daerah pengoperasian sero, yaitu perairan dangkal. Hal ini diperkuat oleh pernyataan oleh Widodo dan Suadi (2008) bahwa perairan dangkal dengan kedalaman kurang dari 100 meter dengan dasar perairan yang berlumpur serta relatif datar merupakan daerah penangkapan demersal yang baik. Dipertegas Yusof (2002) bahwa hasil tangkapan dari perairan berkedalaman 5-18 meter di perairan Peninsular Malaysia berupa 62-89 jenis ikan demersal.

Jenis ikan yang tertangkap sero ini pada umumnya memiliki aktivitas relatif rendah, gerak ruaya tidak terlalu jauh dan membentuk gerombolan yang tidak terlalu besar, sehingga sebarannya relatif lebih terkonsentrasi jika dibandingkan dengan ikan-ikan pelagis (Boer et al. 2001). Ikan barakuda yang merupakan ikan pelagis satu-satunya dominan tertangkap di perairan pantai Pitumpanua, kemungkinan jenis ikan ini merupakan ikan predator yang mengejar mangsanya sehingga ikut tertangkap.

Jumlah ikan yang tertahan pada experimental crib jaring dipengaruhi oleh berbagai faktor; salah satunya adalah bentuk tubuh ikan. Ikan yang berukuran besar cenderung tertangkap oleh alat penangkapan ikan yang dioperasikan dengan metode menyaring air (filtering) sehingga jika ukuran mata jaring relatif kecil maka ragam ukuran ikan dapat menjadi lebih tinggi, yaitu mulai dari yang berukuran kecil hingga besar. Hal ini berbeda dari alat penangkapan ikan yang dirancang untuk menangkap ikan secara menjerat tubuh ikan (gilling), seperti pada jaring insang. Jika ukuran ikan lebih kecil atau lebih besar dari ukuran optimum maka peluang tertangkapnya menjadi lebih rendah sehingga ragam ukuran menjadi lebih rendah (Nielsen dan Lampton 1983). Selain ukuran tubuh,

bentuk badan dan tingkah laku ikan juga merupakan faktor yang menentukan ikan tertangkap (Pope 1975).

Tingginya proporsi hasil tangkapan yang tertahan di experimental crib (Tabel 15) bukan berarti ikan-ikan tersebut secara biologi layak tangkap. Hal ini lebih cenderung disebabkan oleh jenis spesies ikan yang tertangkap. Dalam penelitian ini ada 5 spesies ikan dengan proporsi layak tangkap di atas 50,0%, yaitu pepetek, kapas-kapas, barakuda, kerong-kerong, dan biji nangka (Tabel 16 & Gambar 20).

Tingginya proprosi pepetek yang layak tangkap disebabkan ikan ini cepat mencapai dewasa pada ukuran yang relatif kecil (Saadah 2000 dalam Novitriana et al. 2004). Sebaliknya, semua ikan kuwe yang tertangkap berstatus tidak layak tangkap. Hal ini kemungkinan disebabkan habitat ikan kuwe dewasa adalah perairan terumbu karang atau yang lebih dalam dan perairan pantai tempat penelitian adalah habitat untuk ikan-ikan muda, seperti dilaporkan Rudi et al. (2011) dari penelitiannya di perairan Sabang. Ikan kuwe yang tertangkap di perairan pantai Pitumpanua tidak berbeda jauh didapatkan oleh Mardjudo (2002) di perairan pantai Palu yang didapatkan berukuran sangat kecil, sehingga diduga bahwa jenis ikan ini pada masa juvenil lebih banyak menghuni daerah pantai.

7.4.2 Nilai L50% Setiap Jenis Ikan yang Tertangkap pada Experimental Crib Nilai L50% dari experimental crib bermata-jaring 4 cm untuk setiap jenis ikan dominan tidak selalu sama pada setiap habitat (Tabel 17). Seharusnya nilai L50% untuk suatu jenis ikan adalah sama karena spesifikasi bahan jaring pembentuk crib. Perbedaan-perbedaan nilai tersebut kemungkinan besar ditentukan oleh nilai-nilai proporsi ikan pada setiap kelas ukuran ikan yang tertahan pada crib. Nilai-nilai L50% dari sembilan jenis ikan dominan umumnya lebih kecil dari panjang (TL) ikan ketika matang gonad pertama kali (Lmat). Tujuh dari sembilan jenis ikan tersebut memiliki Lmat kurang dari 20 cm (TL); ikan kwe adalah ikan dengan Lmat terbesar (30 cm).

Hanya dua jenis ikan yang memiliki Lmat lebih kecil dari L50%, yaitu pepetek dan barakuda. Hal ini berarti sero dengan crib bermata-jaring 4 cm cocok untuk kedua jenis ikan ini karena menangkap ukuran yang layak tangkap secara

biologis. Kondisi hasil tangkapan ini mirip dengan hasil tangkapan pepetek di Teluk Labuan, Banten yang didominasi oleh ikan-ikan pepetek berukuran 9,5- 16,2 cm (lebih dari 80%), seperti dilaporakan oleh Sjafei dan Saadah (2001).

Nilai L50% experimental crib ikan biji nangka dan kapas-kapas mendekati ukuran Lmat jenis ikan tersebut (Tabel 17). Pada ikan biji nangka, L50% pada habitat lamun lebih besar dibandingkan pada muara sungai dan mangrove. Nilai L50% ini hampir sama dengan yang didapatkan di perairan Teluk Palu antara 7,8- 9,9 cm (Mardjudo 2002). Faktor penyebab perbedaan ini kemungkinan adalah morfologi ikan yang berkaitan dengan lingkar tubuh ikan (body girth). Pada panjang yang sama, ikan-ikan biji nangka di muara sungai dan mangrove diperkirakan lebih ”gemuk” sehingga lebih mudah ditangkap (tidak dapat meloloskan dibandingkan dengan yang berada di lamun. Faktor komposisi jenis kelamin ikan tampaknya sulit dianggap sebagai penyebab perbedaan nilai L50% di antara ketiga habitat tersebut meskipun Saputra et al. (2009) dari penelitiannya di perairan Demak melaporkan bahwa L50% cantrang untuk biji nangka jantan adalah 15,7 cm sedangkan untuk betina adalah 16,4 cm. Penelitian di Demak ini dapat diinterpretasikan bahwa ikan jantang lebih ”gemuk” dari ikan betina.

Nilai L50% untuk empat jenis ikan lainnya, yaitu baronang lingkis, kerong- kerong, lencam, dan baronang adalah lebih rendah dari Lmat (Tabel 17). Hal ini merupakan indikasi kuat bahwa semua jenis ikan ini tertangkap experimental sero dalam keadaan masih muda (juvenile) sehingga dapat disimpulkan bahwa sero ini tidak cocok bagi keempat jenis ikan tersebut. Ukuran ikan baronang lingkis yang didapatkan di perairan pantai Pitumpanua tidak berbeda dengan yang ditangkap di perairan Kecamatan Bua, Kabupaten Luwu, yaitu antara 6,2-17,0 cm (Jalil et al. 2003). Kesamaan ini kemungkinan disebabkan oleh kesamaan kondisi ekologi perairan pantai Pitumpanua dan perairan Kecamatan Bua, keduanya saling berdekatan di Teluk Bone.

Perbedaan nilai L50% setiap habitat tidak menunjukkan perbedaan yang terlalu tinggi (Tabel 17). Hal ini kemungkinan disebabkan karena faktor parameter lingkungan perairan dan sumber makanan bagi ikan pada ketiga habitat tersebut hampir sama. Terbukti setelah dibuatkan kurva selektivitas setiap jenis ikan secara keseluruhan (tanpa berdasarkan habitat), nilai L50% pun diperlihatkan

tidak jauh berbeda yang didapatkan di ketiga habitat tersebut (Gambar 23). Hal ini menunjukkan bahwa nilai ukuran kelas panjang ikan yang tertangkap di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone lebih seragam (homogen).

Penelitian ini memberikan gambaran bahwa rekomendasi tentang spesifikasi alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan untuk suatu jenis ikan belum tentu cocok untuk ikan lain, terutama pada perikanan yang memiliki sumber daya yang bersifat multispecies. Berdasarkan nilai L50% dan Lmat, sero dengan bunuhan (crib) bermata jaring 4 cm ini cocok untuk meloloskan ikan pepetek dan barakuda namun tidak cocok untuk ikan-ikan lainnya. Perbaikan bisa dilakukan lagi dengan memperbesar mata jaring sehingga nilai-nilai L50% akan meningkat dan peluang ikan-ikan muda untuk meloloskan diri menjadi semakin tinggi. Pilihan ukuran mata jaring ini akhirnya ditentukan oleh keberpihakan nelayan dalam menentukan karakteristik ikan-ikan yang menjadi sasarannya (target species). Sangat diharapkan para nelayan bersikap menyetujui ide bahwa meloloskan ikan agar tumbuh menjadi lebih besar adalah lebih baik dari menangkap ikan ketika masih berukuran kecil.

7.5 KESIMPULAN DAN SARAN