• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep dasar dalam manajemen perikanan tangkap mengacu pada perspektif pengelolaan sumberdaya berkelanjutan yaitu ramah lingkungan dan menguntungkan secara ekonomis. Pengelolaan sumberdaya perikanan sebaiknya menerapkan sistem perikanan berkelanjutan sehingga tidak terjadi eksploitasi yang menyebabkan overfishing. Hal ini dapat ditempuh melalui pemeliharaan ekosistem dan penggunaan alat tangkap yang bersifat ramah terhadap lingkungan. Sebagai suatu sistem usaha apalagi jika berkembang sampai pada tingkat pengembangan industri perikanan maka secara ekonomis sebuah sistem perikanan harus bersifat menguntungkan. Pengelolaan yang sifatnya menguntungkan dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan sebagai obyek pelaku.

Berkaitan dengan konsep manajemen perikanan yang dijelaskan di atas, maka sebaiknya dalam pengelolaan perikanan di wilayah pantai tetap menjaga kelestarian fungsi-fungsi ekosistem yang beragam agar daya dukung lingkungan tetap dapat dipertahankan dan mampu mendukung produksi berbagai sumberdaya yang menjadi target pengelolaan. Sehubungan dengan kemudahan akses wilayah pantai maka sebaiknya dampak aksesbilitas tinggi ini tidak bersifat negatif yaitu merusak ekosistem, sebaliknya harus besifat positif dengan memaksimalkan pemeliharaan habitat-habitat dalam semua ekosistem penyusun pantai. Salah satu aspek penting dan berpotensi merusak ekosistem dan mengganggu kelestarian sumberdaya alam dan biota laut di dalamnya adalah penggunaan alat tangkap yang tidak ramah terhadap lingkungan. Oleh sebab itu sebaiknya alat tangkap yang digunakan dalam mengeksploitasi sumberdaya ikan di wilayah pantai adalah alat tangkap yang selektif dan tidak merusak habitat bilamana alat tangkap tersebut dioperasikan. Selektivitas alat tangkap sebaiknya tidak hanya mengacu kepada kalkulasi besaran populasi yang diloloskan tetapi juga mempertimbangkan aspek dinamika populasi sumberdaya ikan dalam wilayah pantai. Untuk itu sangat diperlukan kajian mengenai sistem rantai dan jaring makanan yang terkait dengan target penangkapan setiap jenis alat yang digunakan.

Selain dicirikan oleh keberadaan vegetasi yang menjadi ciri utama, tiga habitat yang menjadi tempat pemasangan sero dengan experimental crib memiliki

karakteristik kimia fisika lingkungan yang berbeda (Gambar 9 & 10 pada Bab V). Habitat muara sungai mempunyai ciri menonjol dalam hal kandungan nitrat, fosfat, dan kecepatan arus yang tinggi. Sementara itu dua habitat lainnya yaitu lamun dan mangrove mempunyai ciri menonjol dalam hal suhu, DO, pH, salinitas, dan silikat yang tinggi, dan secara statistik kandungan silikat tidak berbeda nyata berdasarkan habitat (Lampiran 8).

Selanjutnya, komunitas ikan yang direpresentasikan sebagai kelompok dari 9 spesies ikan dominan, kepiting rajungan, dan udang putih ternyata memiliki keterkaitan dengan karakteristik habitat. Perbedaan karakteristik lingkungan dan komunitas ikan menunjukkan bahwa komposisi taksa penyusun komunitas ikan berkaitan erat dengan karakteristik habitat. Jenis ikan biji nangka, baronang lingkis, kerong-kerong, kuwe, baronang, dan barakuda lebih berasosiasi dengan habitat lamun. Ikan pepetek, kapas-kapas, dan lencam lebih berasosiasi dengan habitat dekat mangrove sedangkan udang putih dan kepiting rajungan lebih berasosiasi pada habitat muara sungai. Dengan demikian pendekatan atau strategi pengelolaan yang akan diterapkan pada kawasan pesisir harus memperhatikan ragam dari ekosistem yang ada. Adanya ragam dari ekosistem tersebut memberikan konsekuensi bahwa pengelolaan perikanan di kawasan pesisir tropika sebaiknya tidak menerapkan pendekatan single species fisheries management (Widodo dan Suadi 2008).

Berdasarkan kondisi lingkungan secara umum di lokasi penelitian yang dijelaskan (Bab V) menunjukkan perbedaan yang signifikan parameter fisika- kimia dan biologi antara ketiga habitat yang diteliti. Selama penelitian parameter lingkungan mengalami fluktuasi sehingga terlihat adanya variasi temporal berdasarkan waktu pengamatan, meskipun tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam nilai rata-rata nutrien, klorofil-a, dan arus. Kisaran parameter lingkungan pada tiga habitat selama penelitian menunjukkan bahwa perairan pantai di lokasi penelitian masih layak dan dalam batas nilai yang masih ditoleransi untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup beberapa jenis ikan yang tertangkap dengan alat tangkap sero. Selain itu kondisi umum perairan juga masih dalam batas yang layak untuk pertumbuhan dan kelangsungan beberapa biota laut termasuk yang menjadi makanan ikan terhadap ikan yang tertangkap

dengan sero. Hal ini ditunjukkan dari kisaran nilai amatan yang tidak memperlihatkan nilai ekstrim yang jauh di bawah maupun di atas ambang batas kebutuhan biota laut pada umumnya.

Distribusi spasiotemporal parameter lingkungan berdampak pada proses dan kondisi ekologis dalam ekosistem pantai. Karakteristik lingkungan pada setiap habitat yang terlihat dari fluktuasi parameter lingkungannya berimplikasi pada aspek biologis baik terhadap ikan maupun terhadap makanannya. Perbedaan toleransi dan preverensi ikan dan organisme makanan ikan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap kelimpahan ikan yang ada pada setiap habitat dalam suatu waktu tertentu. Lebih lanjut dampak perubahan spasiotemporal parameter lingkungan tersebut menyebabkan perbedaan kelimpahan dan hasil tangkapan beberapa jenis ikan pada masing-masing habitat.

Hasil analisis hubungan antara biomassa ikan hasil tangkapan sero dengan parameter lingkungan yang pada umumnya menunjukkan hubungan linier yang signifikan menguatkan argumen bahwa dampak dari perubahan dan perbedaan parameter lingkungan antar habitat mempengaruhi kelimpahan ikan yang ada pada setiap habitat. Hasil analisis itu juga menjelaskan fakta bahwa keberadaan ikan dalam suatu habitat tertentu dipengaruhi oleh interaksi berbagai faktor lingkungan atau tidak hanya dikontrol oleh salah satu faktor lingkungan saja. Faktor lain yang tidak dianalisis dalam penelitian ini juga memiliki pengaruh terhadap kelimpahan ikan yang ada di setiap habitat. Lebih spesifik dapat dijelaskan bahwa variabilitas faktor lingkungan dominan yang paling mempengaruhi biomassa setiap jenis ikan yang tertangkap menguatkan bahwa setiap jenis ikan memiliki preverensi dan toleransi yang beragam terhadap parameter lingkungan. Hasil ini diperkuat dengan analisis factorial correspondence analysis (FCA) yang menunjukkan bahwa terdapat asosiasi yang kuat antara satu jenis ikan dengan habitat.

Asosiasi antara spesies ikan dengan habitat yang dikaji secara umum tanpa melihat ukuran (menggunakan biomassa total) dalam analisis FCA

menggambarkan secara umum pemilihan tipe habitat setiap jenis ikan. Jika dikaitkan dengan analisis ragam (ANOVA) biomassa dan jumlah ikan

jenis ikan yang mengalami perubahan preverensi habitat berdasarkan ukurannya. Hal ini diperkuat dari hasil analisis ragam yang menunjukkan perbedaan biomassa tetapi tidak berbeda jumlahnya antar habitat atau sebaliknya perbedaan jumlah tetapi biomassa tidak berbeda, dan inkonsistensi dalam perbedaan jumlah dan berat antar habitat. Perubahan dan perbedaan biomassa dan jumlah ikan yang tertangkap berdasarkan habitat ini dapat terjadi karena pengaruh langsung maupun tidak langsung parameter lingkungan baik terhadap ikan maupun terhadap makanannya.

Perbedaan preverensi dan toleransi setiap jenis ikan terhadap parameter lingkungan yang terjadi secara simultan dengan perubahan ukuran ikan mempengaruhi secara langsung kondisi fisiologis setiap jenis ikan dan makanannya. Hasil analisis isi lambung memperlihatkan bahwa jenis-jenis ikan yang tertangkap dengan sero memiliki kebiasaan makanan yang berbeda yang terdiri dari ikan planktivora, omnivora, dan karnivora. Proporsi secara total ikan planktivora, omnivora dan karnivora dan kisaran trofik level <3, 3-4 dan >4 yang hampir berimbang mengindikasikan bahwa secara umum rantai makanan masih cukup efektif ditransfer dari trofik rendah ke trofik yang lebih tinggi. Hal ini mengindikasikan dan menguatkan bahwa kondisi lingkungan di lokasi penelitian masih layak untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup berbagai jenis ikan yang tertangkap dengan sero. Hanya saja jika dikaji lebih mendalam tentang jejaring makanan (food webs) maka nampak bahwa hanya efektif dalam rantai tertentu yang proporsinya jauh lebih besar ke ikan barakuda. Transfer energi dalam rantai makanan yang melalui ikan lencam dan kuwe jauh lebih sedikit dibandingkan ke ikan barakuda. Variasi antar habitat trofik level setiap jenis ikan tersebut terkait dengan adamya perbedaan parameter lingkungan, preverensi habitat, dan perubahan ukuran setiap jenis ikan yang terjadi secara simultan.

Sehubungan dengan ukuran ikan dan alat tangkap sero yang sifatnya pasif dan memiliki ukuran mata jaring maka kajian selektivitas alat tangkap menunjukkan bahwa proporsi antara biomassa ikan yang layak tangkap dengan tidak layak tangkap pada ukuran mata jaring 4 cm bervariasi antara jenis ikan dan habitat. Hasil analisis memperlihatkan bahwa hanya ikan barakuda dan pepetek yang tertangkap sudah memenuhi panjang yang diperbolehkan, ikan kapas-kapas

dan biji nangka mendekati panjang yang diperbolehkan, sedangkan baronang lingkis, baronang, kerong-kerong, dan kuwe masih jauh dari panjang yang diperbolehkan. Bahkan ikan kuwe tidak ada yang tertangkap dengan ukuran panjang yang diperbolehkan (ukuran layak tangkap).

Mengacu pada hasil analisis parameter lingkungan, hasil tangkapan dan hubungannya dengan parameter lingkungan, kajian trofik level dan selektivitas sero mata jaring 4 cm maka dapat dirumuskan alternatif pengelolaan perikanan sero di lokasi penelitian. Fakta bahwa kajian selektivitas alat tangkap yang memperlihatkan bahwa hanya ikan barakuda dan pepetek yang memenuhi panjang yang diperbolehkan maka alternatif yang paling ideal adalah meningkatkan ukuran mata jaring menjadi > 4 cm. Rekomendasi ini didasarkan pada pertimbangan dari nilai ekonomis ikan, keramahan alat tangkap sero, dan daya dukung lingkungan.

Berdasarkan nilai ekonomis, kedua jenis ikan ini secara ekonomis bukan merupakan jenis yang memiliki nilai ekonomis tertinggi. Harga satuan ikan pepetek dan barakuda sebesar Rp 3000,- dan Rp 12000,- per kg jauh lebih rendah dibandingkan ikan kuwe dan lencam yang berharga Rp 19000,- dan Rp 20000,- per kg. Dengan meningkatkan mata jaring > 4 cm maka peluang meningkatnya populasi jenis ikan lain yang lebih ekonomis terutama pada trofik lebih tinggi seperti ikan lencam dan kuwe. Peningkatan ukuran mata jaring sero > 4 cm berpeluang meningkatkan populasi ikan kuwe dan lencam pada trofik level yang lebih tinggi melalui 2 mekanisme yaitu peningkatan populasi ikan melalui peningkatan rekruitmen akibat meloloskan ikan yang lebih besar sehingga ikan yang berpeluang memijah lebih besar sehingga tambahan populasi dari kelahiran semakin besar. Mekanisme lain adalah pengaruh tidak langsung terhadap populasi makanan ikan lencam dan kuwe. Penambahan ukuran mata jaring menyebabkan ukuran ikan dan beberapa jenis nekton lainnya yang menjadi makanan ikan lencam yang tertangkap dengan mata jaring 4 sebagian akan diloloskan sehingga meningkatkan daya dukung untuk makanan ikan pada trofik level yang lebih tinggi termasuk ikan lencam dan kuwe.

Alternatif peningkatan mata jaring sero menajdi > 4 cm secara teoritis memang memungkinkan untuk menangkap ikan pada ukuran yang seharusnya

atau diperbolehkan ditangkap dan hal itu ramah terhadap lingkungan. Implementasi di lapangan sangat mungkin mengalami berbagai kendala terutama dalam hal penurunan hasil tangkapan yang drastis dalam jangka pendek. Hal itu jelas akan berdampak penolakan oleh sebagian nelayan yang kehidupannya sepenuhnya bergantung pada hasil tangkapan sero. Masalah ini dapat dipecahkan melalui pendekatan dan alternatif yaitu regulasi ukuran mata jaring berdasarkan habitat dalam jangka pendek sebelum menerapkan ukuran pada semua habitat dalam jangka tertentu.

Mengacu pada keseluruhan hasil analisis dan kajian dalam penelitian ini terlihat bahwa ikan biji nangka, baronang lingkis, kerong-kerong, kuwe, baronang, dan barakuda yang asosiasinya lebih dekat ke lamun maka dapat diterapkan penetapan ukuran mata jaring > 4 cm yang diperbolehkan di lamun. Mengingat pada habitat lamun lebih banyak jenis ikan yang berasosiasi dibanding pada habitat sekitar mangrove dan muara sungai, sedangkan di habitat muara sungai dan sekitar mangrove dalam waktu tertentu diperbolehkan ukuran 4 cm. Berikutnya setelah jangka waktu tertentu (perlu dikaji khusus berapa waktu tepatnya) aturan yang sama diberlakukan di muara sungai dan sekitar mangrove karena di habitat tersebut berasosiasi ikan lencam yang juga bernilai ekonomis penting. Pemberlakuan secara bertahap ini dapat mengatasi masalah penurunan hasil tangkapan yang drastis bagi nelayan dan masih menggunakan alat tangkap yang berukuran 4 cm. Jeda waktu regulasi ini dapat memberikan kesempatan kepada nelayan untuk mempersiapkan alat tangkap baru dan tidak secara drastis mengalami penurunan hasil tangkapan yang dapat mengganggu kehidupan sehari- hari nelayan.

Opsi alternatif rekomendasi dalam regulasi perikanan sero dalam kaitan penerapan ukuran mata jaring > 4 cm secara bertahap berdasarkan habitat didasarkan pada fakta bahwa ternyata kondisi lingkungan di lokasi penelitian masih mendukung dan layak untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan yang tertangkap dengan sero dan makanannya. Hal ini berarti bahwa daya dukung ekologis untuk mendukung populasi ikan masih cukup baik namun terjadi ketimpangan dan ketidakseimbangan transfer biomassa antar rantai dalam jaring makanan dimana rantai ke ikan barakuda yang jauh lebih efektif. Atas dasar

itulah sehingga dengan penerapan ukuran mata jaring > 4 cm secara konseptual berpeluang dapat mengembalikan keseimbangan antar rantai makanan sehingga keseimbangan hasil tangkapan pada trofik level yang lebih tinggi. Pada akhirnya dengan regulasi ini maka dalam jangka panjang proporsi ikan yang bernilai ekonomis lebih tinggi akan semakin meningkat.

10

KESIMPULAN DAN SARAN