• Tidak ada hasil yang ditemukan

“Untuk apa kamu kemari?” Evan muncul begitu saja di samping Amra begitu ia keluar dari sekretariat Darussalam Unity Front pada suatu sore yang gerimis.

“Kau tak menjawab teleponku. Aku tak biasa digantung.”

Amra tak ingin menjelaskan alasannya. Ia butuh waktu untuk menjernihkan kepala dan hati. Ia pikir dengan tidak melihat Evan, semua akan normal kembali, rasionalnya akan mendominasi dan ia bisa membuat keputusan terbaik sesuai keinginan ayahnya. Namun ia salah. Ia tersiksa.

“Kau butuh payung.”

Evan membawa payung yang terkembang ke atas kepala mereka berdua. Menghindari titisan air yang tumpah dari langit. Samping tubuhnya bergesek dengan lengan Amra. Menimbulkan lecutan serbuk api yang panas, menjalar ke tubuhnya. Tetesan hujan yang mengenai kulit tak mampu meredam rasa panas itu. Padahal mereka tak bersentuhan langsung, Amra memakai kemeja lengan panjang.

“Ada berita baik. Artikelmu telah dimuat. Tak hanya di majalah tempat aku bekerja namun juga diterbitkan ulang oleh media lain di Amerika dan beberapa negara Eropa. Aku percaya tak lama lagi tulisan itu juga akan tersebar di Asia. Kabar itu membuat Amra berhenti. Ia menatap wajah Evan.

“Itu berita buruk?”

“Tergantung bagaimana kamu melihatnya. Ceritamu akan membuat banyak pihak bersimpati dan ide damai yang kamu inginkan akan menjadi pertimbangan internasional.”

“Jika pihak yang kamu bahas di tulisanmu tak menyukai ide damai itu. Tapi tak perlu khawatir kamu akan dilindungi oleh lembaga internasional jika kisahmu mendapat banyak perhatian.”

“Aku tak bermaksud mencari perhatian. Aku hanya ingin orang-orang di luar sana bisa melihat kejadiannya dari kedua sisi.”

Keduanya terus melangkah. Evan menikmati kebersamaan mereka. Namun ia tak suka perasaan digantung yang tak jelas. Jadi, ia memutuskan bertanya.

“Bagaimana lamaranku?”

“Ayah dan Ummi masih syok, tahu bahwa anaknya dilamar bule.”

“Sepertinya terlalu banyak kejutan yang kamu berikan bagi mereka. Setelah tentang cita-cita dan idealismemu lalu sekarang tentang jodoh.”

“Kau tak mengenal mereka. Sebenarnya mereka bukan tipe orang tua yang suka membatasi gerak anaknya.”

“Berarti mereka menyetujui lamaranku?” tanya Evan cepat membuat Amra tersenyum kecut

“Tidak.”

“Dan kau juga menolakku?” Amra tahu jawabannya tapi mulutnya terkunci. Harusnya lelaki itu dapat membaca isyaratnya.

“Aku akan mengajukan beberapa syarat, dan jika kau bersedia aku akan membelamu di depan orang tuaku.”

“Syarat apa?”

“Salah satunya kau masuk Islam.”

Evan terdiam. Apa sih makna agama baginya? Selain keyakinan akan adanya Tuhan yang menciptakan manusia dan menciptakan setumpuk aturan agar manusia hidup tertib dengan sesama. Evan percaya pada Tuhan, hanya ia tidak yakin Tuhan yang mana. Ada banyak pendapat tentang ketuhanan di dunia ini. Dan Islam, Evan banyak tahu tentang Islam dari pemberitaan-pemberitaan media tentang banyaknya kejadian-kejadian teror yang dilakukan penganutnya. Ia tahu, semua penganut agama, ada yang baik ada pula yang buruk. Bukan agamanya, hanya orangnya yang bermasalah. Evan juga tahu sedikit tentang ajaran Islam dari Yusuf. Namun Yusuf juga bukanlah orang yang terlalu taat pada agamanya. Maksudnya, ia salat namun terkadang ia juga ikut minum wine

FRAKSI XI

AKAD

Acara ijab kabul dilakukan di Masjid Raya Baiturrahman, mesjid terbesar yang menjadi kebanggaan rakyat Aceh. Sebelum ijab kabul, seorang ulama membimbing Evan bersyahadat. Ia mengikuti dengan kalimat patah-patah namun jelas dan tegas. Ketika ijab kabul, tangannya basah dengan keringat, ia harus menjabat tangan Ayah Amra dan mengucapkan akad. Ada getar halus menjalari hatinya. Genggaman erat Ayah Amra menyalurkan beban arti tanggung jawab. Ia melepaskan nasib putrinya ke tangan Evan. Hamdalah bergemuruh. Amra mencium tangannya dan Evan membalas dengan kecupan di kening. Setelahnya keduanya menyalami orang tua. Ummi meneteskan air mata haru dan memeluk Amra, Ayah melakukan hal yang sama. Lalu semua orang menyalaminya.

Menjelang siang, mereka beriringan menuju tempat resepsi. Keduanya duduk tenang di dalam mobil berhias pita dan rangkaian bunga. Acara resepsi dilakukan di aula sebuah hotel besar, dengan mengundang sekitar ratusan tamu. Kebanyakan tamu adalah kolega ayahnya yang termasuk pejabat sipil dan militer. Bapak Arwin Hasbi juga datang dan mengucapkan selamat untuk mereka berdua.

“Aku memberi batas waktu, dan kau telah melewatinya dengan lancang,” sang komandan militer berlagak memarahinya.

“Tapi sekarang tampaknya Anda tak ada pilihan kecuali memberi izin perpanjangan waktu bagi saya, sebagai kado pernikahan kami,” Evan menampakkan cengiran yang memberi kesan anak nakal namun merayu. Menjadi menantu orang penting menaikkan rasa percaya dirinya.

“Salut untuk nyalimu, kau benar-benar meluluhkan hati Amra dan orang tuanya.”

Pernikahannya adalah hal masuk akal yang membuat mereka tidak lagi terlalu mengkhawatirkan keberadaan Evan di sini. Semua yang dikatakan lelaki itu ketika wawancara terbukti. Seperti kebanyakan anak muda yang jatuh cinta, tentu mereka tak kan menghiraukan bahaya lainnya. Pesona sang pujaan hati telah memikat mereka dengan jerat yang sukar dilepaskan. Evan resmi menjadi anggota keluarga salah seorang pejabat, dan mereka tak boleh terlalu mengusiknya.

Orang tua Evan, meski tak bisa hadir menyempatkan diri untuk menelepon dan berbicara dengan Amra, mengatakan akan menyiapkan tiket bagi mereka berdua ke Amerika. Hadiah darinya untuk honeymoon mereka. Tentu Amra senang. Ia belum pernah mengunjungi negeri Paman Sam itu.

“Kamu sangat kami terima dalam keluarga kami, maaf kami tak bisa datang ke negaramu,” Suara Daddy terkesan parau namun ada kesan sayang dalam suara itu.

“Terima kasih banyak, Daddy,” masih canggung lidahnya memanggil lelaki asing di seberang telepon itu dengan panggilan akrab. Ia mengira-ngira rupa dan penampilan Daddy. Miripkah ia dengan Evan? Tentu lelaki itu sudah tidak muda lagi. Evan mengatakan umur Daddy lebih enam puluhan tahun dan ia menderita rematik kronik yang membatasi geraknya. Evan bercerita kalau Daddy adalah seorang pemilik restoran di kota ramai Ohio. Restoran yang harusnya diwarisi kepada Evan. Namun Evan tentu tak ingin terikat pada rutinitas menjemukan. Baginya Daddy memilih hidup monoton. Evan energik dan menyukai kehidupan dinamis seperti Mommy.

Mommy yang tak bisa berdiam pada suatu tempat untuk waktu yang

lama sangat gusar dengan kenyamanan suaminya. Setiap hari memantau para koki di dapur, memeriksa bahan-bahan makanan agar selalu terjamin kualitasnya, menyiapkan menu-menu kombinasi baru agar pelanggannya tak merasa bosan berkunjung juga berada di ruangan tertutup sepanjang hari. Hidup bersama Daddy membuatnya cepat tua, begitu keluh Mommy

FRAKSI XII

Dokumen terkait