• Tidak ada hasil yang ditemukan

Amra mendadak sangat gelisah. Ia terus memikirkan Evan. Apakah ia baik-baik saja? Ia rajin memantau berita-berita namun tak ada berita apa pun yang ada hubungannya dengan aksi kelompok Said di hutan timur. Hanya ada beberapa berita tentang kejadian pelemparan granat pada beberapa pos militer yang tidak diketahui pelakunya di kawasan utara, pembakaran rumah dan gedung sarana umum juga kabar tentang penambahan jumlah tentara nasional yang kembali dilakukan.

Amra tak bisa terus berada di rumah Said, ia harus kembali ke Banda Aceh melakukan aktivitasnya. Haris yang juga tak tahu apa pun tentang kegiatan abangnya di hutan menyimpan rasa khawatir hanya untuk dirinya sendiri. Ia telah terbiasa bertahun-tahun seperti ini. Said pulang menginap beberapa malam, lalu pergi untuk beberapa waktu yang tidak pasti. Ia tanpa setahu Said, menyiapkan mental dan hatinya, bisa saja suatu saat Said akan kembali ke rumah dalam bentuk serupa Abu mereka dulu. Remuk redam dan kalah. Meninggalkan ia sebatang kara.

Hari-hari belakangan ini, Amra semakin merasa tak nyaman. Hampir setiap pagi ia merasa mual, muntah, dan kelelahan pada aktivitas ringan. Ia tak sanggup mencium bau-bauan yang mencolok dan kehilangan selera makan. Segumpal daging telah bersemayam di rahimnya, menunggu waktu untuk diberikan nyawa oleh sang pencipta. Ia belum memeriksakan diri ke bidan, hanya mengecek sendiri dengan test pack sederhana untuk lalu menemukan dua garis merah muda berderet rapi di alat kecil itu. ‘Evan belum

tahu kalau ia akan menjadi seorang ayah’ bisiknya pada angin, tangannya

Ia sangat mengharapkan keberadaan Evan di sampingnya untuk menghadapi masa-masa tak nyaman seperti ini. Apa ia baik-baik saja di hutan? Adakah yang terjadi tanpa sepengetahuannya. Ia juga kesal kenapa Evan yang merasa belum lagi cukup berada di belantara sana.

Tapi Amra tak bisa menyalahkan Evan. Sejak awal ia sadar tujuan utama Evan ke Aceh ini adalah untuk penelitian tesis dan kepentingan jurnalistiknya. Dan pernikahan mereka sebenarnya adalah satu hal yang tentu tak ada dalam perencanaan laki-laki itu. Cinta datang memang tak selalu bisa direncanakan. Amra tahu Evan mencintainya. Dari sorot matanya, dari sikap manisnya, dan dari kelembutan suara ketika berkata-kata. Meki ia juga sadar, ada sesuatu yang tersembunyi dari karakter lelaki asing itu. Berada jauh dalam waktu lama seperti ini menghadirkan pendar-pendar khawatir. Apa Evan memang laki-laki seperti yang ia kenal? Atau ia terbutakan cinta dan bisa saja dibuat kecewa?

Amra mendesah, ia tahu sejak awal kisah mereka tak akan mudah. Ia merasa telah menyiapkan mentalnya menjalani hal itu, namun nyatanya, ia melemah. Ayo Amra, tetap kuat!

Ia lalu tersenyum pada wajahnya sendiri di cermin, mencoba membangun pikiran positif tentang hidupnya. Semua akan baik-baik saja, ucapnya berulang-ulang. Ia kembali mengelus perutnya yang belum terlalu kentara. Akan ada makhluk manis yang menemaninya sebentar lagi. Sosok kecil menggemaskan yang akan membuat dirinya berharga, menjadi seorang ibu.

Ayah dan Ummi telah berkali-kali menanyakan Evan. Jawabannya macam-macam. Evan ke Medan menjumpai seorang teman, lalu langsung ke Bogor mengunjungi kerabat. Ia menjadi terbiasa berbohong. Setelah kebohongan-kebohongan terdahulu ia masih belum bisa menghentikan kebohongan yang lain. Terus bertumpuk dan tumpang tindih mencipta dosa tak ringan. Alasan terakhirnya Evan ke Jakarta, memperpanjang visa. Namun ia tahu, kali ini mereka tak akan percaya begitu saja.

“Kenapa tak izin pada Ayah dan Ummi?” Ayah yang bertanya dengan rasa curiga yang lebih besar dibanding rasa tersinggung karena tak dipamiti menantu. Amra masih diam dengan raut murung yang tak bisa

FRAKSI XVII

KALAH

Foto tragis itu terpampang di halaman muka harian lokal. Menciutkan nyali siapa pun yang melihat, terlebih Amra. Tajuk berita tercetak dengan huruf kapital mencolok di bawah foto itu: Panglima Syamsul Tertembak di Hutan Timur.

Hutan timur adalah tempat Evan dan Said berada. Kontak senjata terjadi di sana. Amra menolak membayangkan kalau sebutir peluru atau lebih telah mengenai Evan, membuatnya tersungkur di suatu tempat tanpa ada yang menemukan. Amra lebih memilih membayangkan Evan bersembunyi, terjebak di suatu tempat menunggu bantuan. Meski itu juga berat, itu adalah sebuah harapan.

Kepalanya penuh dengan banyak hal, tapi kaki dan tubuhnya terkurung di rumah. Ia tak boleh ke mana pun. Bahkan ke kantornya saja tak lagi boleh. DUF terancam dibubarkan karena ia dituding terlibat membantu anggota Panglima Syamsul. Logistik dan barang-barang yang mereka temukan di hutan, dipercaya berasal dari sumbangan DUF. Bagaimana mereka tahu? Padahal Amra dan relawan lain sangat berhati-hati, tak pernah meninggalkan jejak atau bekas pada bantuan yang mereka berikan.

Sikap Ayah yang terus sinis dan menyudutkannya dengan kalimat-kalimat keras semakin mempersulit geraknya. Ayah benar-benar murka dengan ketidakjujuran Amra tentang identitas Evan.

“Kau bahkan mengarang cerita tentang pertemuan di Youth Exchange itu! Berapa banyak dustamu pada orang tua? Mau kau durhaka? Keterlaluan sekali Amra,” umpatnya.

dengan hal buruk. Sekarang bahkan Ayah menyumpahi Amra melakukan dosa besar. Tuhan, aku tahu aku salah, tapi tolong maafkan aku, semua sudah

terjadi, bukan? Dan cinta ini, bukankah Kau yang menanamkannya dalam hatiku? Cinta yang membuatku harus mampu menerima segala konsekuensi.

Tak ada tempat untuk ia berbagi beban karena meski diam, Amra tahu Ummi juga menyalahkannya. Ummi tak pernah membelanya ketika Ayah terus mencerca. Kediaman Ummi dengan wajah murung mampu membuatnya sedih. Permintaan maafnya tak mendapat jawab.

Suasana rumah berubah murung. Amra memilih mengurung diri di kamar. Berkali-kali ia berdiri di depan jendela menatap ke halaman. Berharap Evan muncul dengan senyuman dan menyelesaikan semua masalah yang seperti palitan benang kusut ini. Ia rindu senyum Evan setengah mati. Namun, di halaman sana tak ada yang datang. Apakah suaminya baik-baik saja? Mengapa Evan tak memberi kabar keberadaannya. Terlukakah ia?

Kontak senjata yang terjadi di hutan timur telah merenggut beberapa korban. Berhari-hari berita itu menjadi tajuk koran-koran. Tak hanya media cetak lokal dan nasional bahkan, saluran televisi pun menjadikannya sebagai headline news. Foto dan video baku tembak di hutan itu diputar berulang-ulang, disorot kentara untuk menakut-nakuti pengikut gerakan yang lain. Disebutkan enam orang meninggal, belasan luka-luka dan puluhan anggota gerakan ditangkap. Namun tak ada yang memberitakan perihal Evan. Tampaknya pihak militer meski telah mengetahuinya, tak membocorkan keberadaan Evan ke media.

Amra menghidupkan komputerya, mengetik artikel opini, entahlah akan ia publikasikan di mana, mungkin ia bisa menghubungi Stephen atau Yusuf. Mereka tentu juga bertanggung jawab akan keselamatan Evan. Ia merasa perlu melakukan sesuatu, sebagai penyeimbang berita yang beredar. Mencoba membela Darussalam Unity Front dan dirinya sendiri sebisanya. Paling tidak sampai pengadilannya sendiri digelar. Pengadilan yang tak bisa ia hindari, kecuali Ayah kembali menyelamatkannya dengan kekuasaan yang ia punya, yang rasanya akan sangat sulit. Ayah memang berhasil mengulur waktu penangkapan Amra dengan menjadikan Amra tahanan rumah. Ayah menyerahkan dirinya sebagai jaminan. Lagi pula, mereka juga

Dokumen terkait