• Tidak ada hasil yang ditemukan

DUSTY TRAIL (JEJAK DEBU) Sebuah Novel oleh: H AYA N U F US SYIAH KUALA UNIVERSITY PRESS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DUSTY TRAIL (JEJAK DEBU) Sebuah Novel oleh: H AYA N U F US SYIAH KUALA UNIVERSITY PRESS"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

DUSTY TRAIL

(JEJAK DEBU)

Sebuah Novel oleh:

(2)

DUSTY TRAIL

(3)

Sanksi Pelanggaran Pasal 113

Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

1. Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf i untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) ta-hun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

2. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta se-bagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/ atau huruf h untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

3. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta se-bagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda pa-ling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

4. Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana pen-jara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

(4)

S Y I A H K U A L A U N I V E R S I T Y P R E S S

Sebuah Novel oleh:

HAYA NUFUS

DUSTY TRAIL

(5)

Judul Buku: DUSTY TRAIL (JEJAK DEBU) Penulis: Haya Nufus Editor: Nana Diana

Cover dan Tata Letak:

Iqbal Ridha

ISBN: 978-623-264-304-8 ISBN: 978-623-264-305-5 (PDF) Pracetak dan Produksi:

SYIAH KUALA UNIVERSITY PRESS

Penerbit:

Syiah Kuala University Press

Jln. Tgk Chik Pante Kulu No.1, Kopelma Darussalam 23111, Kec. Syiah Kuala. Banda Aceh, Aceh

Telp: 0651 - 8012221

Email: upt.percetakan@unsyiah.ac.id

Website: http://www.unsyiahpress.unsyiah.ac.id

Cetakan Pertama, 2020

vi + 174 (16 X 23)

Anggota IKAPI 018/DIA/2014 Anggota APPTI 005.101.1.09.2019

Dilarang keras memfotokopi atau memperbanyak sebagian atau seluruh buku ini tanpa seizin tertulis dari penerbit.

(6)

DAFTAR ISI ... iii

PRAKATA ... v

PROLOG: PENJARA! ... 1

FRAKSI I AWAL DARI PETUALANGAN ...5

FRAKSI II PUTROE ITU BERNAMA AMRA ...15

FRAKSI III KENANGAN ...41

FRAKSI IV MELAPOR ...53

FRAKSI V CURIGA ...63

FRAKSI VI MENUJU PIDIE ...65

FRAKSI VII INI CINTA ...73

FRAKSI VIII MELAMAR ...79

FRAKSI IX MENUNGGU ...85

FRAKSI X DUA HATI YANG MENYATU ...91

FRAKSI XI AKAD ...97

FRAKSI XII HUTAN TIMUR ...105

FRAKSI XIII PENGKHIANAT ... 117

FRAKSI XIV SANG PANGLIMA ...125

FRAKSI XV DISERANG! ...133

FRAKSI XVI KEBOHONGAN YANG TERUNGKAP ... 141

FRAKSI XVII KALAH ...147

FRAKSI XVIII JEJAK DEBU ...153

FRAKSI XIX PENJARA ... 161

FRAKSI XX MAHADUKA ...169

EPILOG ...173

(7)
(8)

Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT, yang memberi saya kesehatan dan kemampuan untuk menyelesaikan naskah Dusty Trail ini. Ide-ide cerita telah ada di kepala sejak saya masih mahasiswi di Universitas Syiah Kuala. Sayang sekali, saya tak segera menuliskannya ketika itu.

Setamat kuliah, dengan aktivitas yang lebih bebas, saya lalu mulai mencari referensi dengan membaca banyak artikel, opini, berita juga naskah-naskah lama tentang konflik Aceh. Butuh motivasi kuat untuk menyelesaikan kisah ini. Saya sempat ragu dan lama berpikir, apakah yang saya tulis akan mendatangkan kebaikan atau malah menimbulkan prasangka? Naskah awal itu sempat saya biarkan lama mengendap di laptop bertahun-tahun, sementara saya menulis naskah lain.

Namun, setelah banyak kejadian terlewati, saya pikir, tak ada salahnya membiarkan cerita ini sampai ke pembaca. Saya sangat mencintai Aceh, tanah kelahiran saya. Telah bertahun-tahun saya meninggalkan Aceh, bermukim berpindah-pindah; Jakarta, Depok, Madagaskar, dan kini Kuwait, membuat rasa cinta dan rindu terhadap nanggroe muncul semakin hebat. Maka, anggaplah naskah ini sebagai bukti betapa saya memikirkan Aceh di mana pun saya berada.

Harapan saya, Syiah Kuala University Press bisa menjadi penghubung saya dengan para pembaca dan intelektual Aceh.

Terima kasih kepada kedua orang tua, ibu mertua, dan saudara yang selalu mendukung dan menjadi penyemangat. Terima kasih kepada suami yang telah membawa saya melihat dunia juga terima kasih kepada anak-anak yang manis yang memahami kegiatan mama mereka yang bekerja di rumah. Saya merasa terberkahi dengan kehadiran mereka.

Terakhir terima kasih kepada Nana Diana, sang editor baik hati yang telah menangani naskah ini dengan baik. Teman-teman dari komunitas kepenulisan, juga teman-teman sesama penulis yang tak bisa saya sebut satu per satu.

(9)

Saya berharap, kisah Dusty Trail ini bisa diterima dan dinikmati dengan hati yang lapang.

Salam Literasi.

(10)

Lelaki berpostur tinggi dengan rambut berwarna emas sebahu acak-acakan itu tak bertenaga menapaki lorong beraroma pengap sebuah rumah tahanan, di negeri yang jauhnya bermil-mil dari tanah kelahirannya. Kakinya terseret lunglai mengikuti langkah tegap dua lelaki berpakaian militer yang sedari tadi tak berbicara sepatah pun. Mereka menggiringnya menuju lorong sempit yang di kiri kanannya berderet ruang-ruang berterali besi. Meski mereka tak mengarahkan moncong senjata ke bagian tubuhnya, tapi ia tak punya nyali untuk melawan dan melarikan diri.

Sekilas ia teringat aksi heroik para aktor film-film Hollywood yang begitu lihai membebaskan diri meski diberondong berbagai jenis senjata. Dalam film-film action itu, selalu ada celah untuk melumpuhkan musuh, segenting apa pun kondisinya. Meski tak yakin, apakah ia berperan sebagai tokoh protagonis dalam kisah ini, tapi ia tahu ia bukan orang jahat. Setidaknya ia belum pernah membunuh satu orang pun. Tidak seperti mereka yang tentu telah sangat akrab dengan aroma mesiu dan anyir darah.

Setelah melewati tatapan para tahanan lain yang berdiri di balik sel mereka, ia digiring ke bagian ujung bangunan, yang ternyata memiliki lorong penghubung dengan bangunan lain. Bangunan yang lebih sepi dan gelap, ia tak lagi bisa mendengar suara para tahanan yang mereka lewati tadi. Ia pasrah ketika tubuhnya didorong ke dalam sel yang berukuran tiga kali tiga meter. Pasrah yang berasal dari rasa letih yang sangat.

“Komandan kami akan menemui Anda,” kalimat pertama dan terakhir dari prajurit itu untuknya. Mereka mengunci pintu besi itu lalu pergi meninggalkan gema dari langkah kaki yang menjauh.

Sebuah bohlam redup tergantung pada plafon di tengah-tengah ruangan, menghadirkan bayangan tubuhnya pada dinding kusam yang tentu telah bertahun-tahun tak kena cat. Aroma lumut lembap dari lantai yang ia pijak menyeruak indra penciuman.

(11)

Ia lalu duduk pada satu dari dua kursi kayu di ruangan itu, menghadap meja besar yang kosong. Ruang ini sepertinya difungsikan sebagai ruangan interogasi. Ia membayangkan bercak-bercak kotor di dinding itu adalah bekas darah orang-orang yang pernah diinterogasi di sini. Apa mereka akan menyiksanya demi membuatnya buka mulut?

Menit berlalu terasa lambat. Ia tak suka rasa sepi yang menghantam, menghantarkan rasa takut menggerogoti hatinya. Bagaimana jika mereka tak memberi kesempatan padanya untuk membela diri. Bagaimana jika mereka memperlakukannya sebagai tawanan perang, menyiksa lalu membunuh dan menghilangkan mayatnya tanpa memberi kabar pada keluarganya.

Memang ia sendiri yang memutuskan untuk datang ke negeri cantik yang diamuk konflik ini. Dengan insting dan kenekatan khas jurnalis yang ia miliki, ia menyepelekan bahaya dan risiko. Namun ketika beberapa hari yang lalu ia terjebak di antara baku tembak sengit, ketika peluru-peluru itu beterbangan di atas kepalanya, ia merasa sangat bodoh mempertaruhkan sepotong nyawanya untuk sebuah ambisi. Apa arti segala yang telah ia lakukan jika akhirnya ia tak bisa kembali, tak bisa menyelesaikan laporannya dan berakhir tragis dalam sel pengap ini. Segala pikiran itu membuatnya tak tenang. Ia berdiri dari duduk, berjalan mondar-mandir dalam sel sempit itu. Hingga kembali suara langkah kaki terdengar terpantul pada dinding lorong. Langkah kaki itu mendekat, sebuah wajah yang pernah ia lihat muncul, sang komandan yang dikawal tiga orang prajurit yang berbeda dengan dua prajurit tadi.

“Evan Brundage, bagaimana kondisi Anda?” pertanyaan yang sebenarnya bukan sekadar basa-basi. Berminggu-minggu sang komandan ikut dipusingkan dengan kabar keberadaan jurnalis asing di antara anggota gerakan terlarang di hutan yang menjadi titik merah di kawasan timur. Ia merasa kecolongan ketika sumber informasi mereka mengatakan lelaki asing itu seorang jurnalis dan peneliti. Ia punya tanggung jawab memastikan lelaki asing ini tak memperkeruh suasana yang memang sedang panas. Lelaki yang ditanya menggerakkan sedikit bibirnya membentuk senyum sinis.

(12)

“Aku baik-baik saja sampai prajurit Anda menahanku.”

“Keberadaan Anda di antara mereka membuat kami bertanya-tanya, ada kepentingan apa Anda di negeri ini?”

Sang komandan tak segan meski tampak jelas ia sangat berhati-hati dalam memilih kata. Berhubungan dengan jurnalis asing bukanlah hal mudah. Apalagi ia berasal dari Amerika negara super power yang sangat melindungi warganya meski warganya berada ribuan mil dari tanah airnya.

“Aku harus menghubungi kedutaan, mereka tentu akan menyediakan pembelaan untukku.”

“Tentu. Kami telah beberapa kali berkomunikasi dengan pihak kedutaan Anda di Jakarta. Tak perlu buru-buru, kami punya banyak pertanyaan.”

Mata lelaki berusia akhir lima puluhan itu menatap tajam pada sang jurnalis asing itu seolah ingin menunjukkan superioritasnya. Pihak Kedutaan Amerika memang telah berkali-kali menghubungi pihaknya, meminta kepastian pihak militer untuk memberikan perlindungan dan memulangkannya dalam keadaan selamat. Namun ia merasa perlu menggali sedikit informasi yang tentu sangat berarti buat kemiliteran.

“Aku punya hak untuk mendapat pembelaan.”

“Anda sendiri yang mencari masalah di sini. Ulah Anda membuat kami resah.”

“Saya hanya jurnalis. Jurnalis memiliki hak untuk dilindungi meski dalam negara konflik.”

“Setuju! Karena itulah Anda sekarang di sini. Berada dalam perlindungan kami.”

Lelaki asing itu spontan mencibir. Diperlakukan bagai pesakitan bukanlah perbuatan melindungi yang ia tahu. Komandan itu tampak menarik napas sejenak.

“Kami telah memeriksa kamera dan semua barang Anda. Hanya, kami butuh penjelasan kronologis. Ceritakan yang sebenarnya, dari awal kedatangan Anda, apa yang Anda cari di sini dan siapa yang membantu Anda!”

(13)

Komandan itu bangkit dari duduk, mencoba mengendalikan emosi yang tersulut karena kearoganan bule itu.

“Anda tak mencoba membela Amra? Meringankan sedikit saja beban hukumannya?” Evan tersentak mendengar pertanyaan itu, sang komandan tampak puas dengan reaksi lawannya.

“Saya sudah mengeluarkan surat penahanan untuk Amra beserta surat pembubaran Darussalam Unity Front, LSM yang ia gagas. Tentu nasibnya akan lebih buruk dari Anda.”

“Kalian akan menangkapnya? Ia tak terlibat!”

“Anda pikir saya percaya? Harusnya saya mencurigai Anda sejak awal pertemuan kita dulu.”

“Kalian tak bisa menahan Amra. Ia bahkan tak memiliki senjata!” Komandan itu menatapnya dengan tatapan tajam, tak ingin bernegosiasi. Jika ia tak bisa membujuk sang jurnalis untuk buka mulut dan menerima semua perintahnya maka ia harus memaksanya. Dan itulah yang ia lakukan kemudian. Semua demi rasa nasionalismenya. Oh, ia sangat mencintai negara ini dan tak akan gentar melawan orang-orang yang berseberangan ide.

(14)

FRAKSI I

AWAL DARI

PETUALANGAN

Banda Aceh, 1998

Bus antarprovinsi berbadan besar merayap memasuki kawasan terminal. Deru putaran rodanya mengangkat beberapa helai daun kering hingga melayang-layang sebentar di udara untuk lalu hinggap kembali di badan jalan. Bus itu lalu berhenti di samping beberapa bus lain, di depan deretan bangunan berlantai dua. Sebatang besar pohon waru yang rimbun tak mampu mengusir gerahnya sekitar. Dari pohon waru itulah daun-daun kering meluruh terserak bercampur bersama debu jalanan. Daun-daun yang masih bergerombol di atasnya pun telah tersepuh debu, hingga tak hijau cemerlang. Musim kering dengan udara panas yang menyengat telah memancing keringat untuk melengketkan baju ke tubuh. Terutama tubuh Evan, yang masih harus beradaptasi dengan iklim tropis.

Evan kerepotan sebentar mencari travel bag-nya di bagian samping bawah badan bus, tertumpuk bersama tas-tas kain penumpang lain, juga barang-barang dalam karung dan kardus yang ia tak tahu apa isinya. Delapan jam perjalanan dari Medan setelah pesawatnya landing di Bandara Polonia membuatnya merasa lelah, tapi ada antusias yang memacu adrenalin. Ia akan berpetualang. Ibu kota provinsi ini bukanlah tujuan akhir, perjalanannya akan panjang karena ia akan mengunjungi banyak tempat dan bertemu dengan ragam manusia. Setidaknya itu yang ada dalam harapannya.

Menginjakkan kaki pertama kali pada negeri jauh, wajar ia merasa asing. Ia tak cukup tahu tentang tanah ini. Buku-buku yang ia baca rasanya tak cukup detail menggambarkan apa yang ia cari, hanya sepotong-sepotong. Satu-satunya

(15)

sumber langsungnya adalah Yusuf.

Awalnya Yusuf bercerita tentang Aceh, tanah kelahirannya, ketika ia rindu atau merasa tak betah. Evan menjadi pendengarnya, ikut berkomentar dan lalu perlahan menemukan dirinya tertarik pada cerita-cerita Yusuf. Cerita tentang gadis-gadis yang memakai kerudung di kepala, tentang ragam budaya ketimuran berbungkus nilai-nilai religi, juga tentang perpecahan yang terjadi di antara orang-orangnya. Semua itu membuat Evan serius mengatakan ingin ke Aceh.

“Untuk apa?” tanya Yusuf.

“Berpetualang!“ Evan menjawab yakin.

“Kamu tak mungkin ke sana hanya untuk main-main.”

“Tentu tidak, aku bisa menulis berita yang sensasional. Konflik Aceh bisa mendapat perhatian dunia dan aku akan terkenal.”

“Jangan macam-macam! Pemerintah setempat tak akan suka.” “Akan kutemukan cara ke sana.”

Dan caranya adalah dengan mengajukan proposal penelitian yang erat kaitan dengan Studi Antropologi Politik yang sedang diambilnya. Ia mempersiapkannya selama setahun, sambil menyelesaikan mata kuliah lain dan menjadi jurnalis freelance di sebuah media cetak Amerika. Semangatnya melambung begitu proposalnya disetujui oleh pejabat penelitian kampus.

Namun, Aceh bukanlah tempat yang aman untuk dikunjungi orang asing. Tidak pada masa-masa konflik tengah memanas. Yusuf berusaha menghentikannya, Evan berkeras dan tak mau mundur lagi. Dengan berat hati, Yusuf lalu memberikan nama dan alamat seorang teman yang akan membantu penelitian Evan. Seseorang bernama Said. Lelaki yang ia kontak melalui email itu akan menjemputnya di terminal kota.

“Excuse me, are you Evan from John Hopkins?” seorang wanita muda berumur awal dua puluhan menyapa dari belakangnya. Ia berbalik untuk menemukan seraut wajah dengan senyum tipis. Wanita itu menutup kepalanya dengan selembar kain berwarna biru pucat. Ia ragu untuk bereaksi sejenak. Wanita ini adalah wanita Asia yang terkenal dengan adab dan sopan santun dalam balutan budaya timur, tak bisa ia hadapi dengan gaya baratnya.

(16)

FRAKSI II

PUTROE

ITU

BERNAMA AMRA

Berbeda dengan kemarin yang panas dan gerah. Pagi ini titik air menyambutnya di luar. Titik-titik itu lalu berubah menjadi hujan yang membasahi pepohonan, jalanan, dan segala hal yang bisa disapa oleh basahnya. Aroma debu tersapu memberi nuansa berbeda. Hujan ini seperti membiarkan makhluk Tuhan berpesta sejenak. Pepohonan yang berbulan-bulan ini kehausan, menari-nari tertiup angin seakan menyambut siraman air. Hewan-hewan kecil juga bergembira di dalam tanah yang basah. Matahari harus rela mengalah sejenak, bersembunyi di balik awan mendung yang memendam tampungan air. Bagaimanapun matahari tak selalu menjadi pemenang di siang hari, ia ikut terbawa peraturan berputar-berganti, tersembunyi atau tampil, berganti. Itulah hidup

Telanjur keluar dari penginapan, Evan tak ingin menghindari hujan. Ia lalu menyembunyikan kameranya di ransel, merendahkan topinya dan dengan payung pinjaman ibu penjaga penginapan, ia melangkah cepat menyusuri jalan. Pohon-pohon cemara tumbuh di kanan kiri jalan membentuk lorong alami ketika ujung antarpohon saling bersentuh. Penginapan ini jauh dari pusat kota, hanya ada beberapa kendaraan melintas.

Tanah yang ia pijak, bertabur pasir putih. Pantai berada hanya beberapa meter di sebelah kanannya. Namun ia tak ingin ke laut, ia ingin bertemu orang-orang lokal. Meski Said melarangnya, rasanya ia bisa menjaga diri. Evan merasa ajaib bisa mengunjungi tempat yang dulunya tak ia tahu, pun sekadar nama. Jadi, ia tak akan menghabiskan waktunya menatapi tembok-tembok penginapan yang membosankan.

(17)

Ketika di Elementary School ia terbiasa mengamati peta besar hadiah

Mommy yang ia tempel di depan meja belajarnya. Memperhatikan

bentuk-bentuk tak beraturan daratannya dan membaca satu-satu nama tempat yang membuatnya tertantang untuk suatu ketika mengunjunginya. Namun nama tempat ini tak tersebut di peta itu. Karena tempat ini terlalu kecil, hanya bagian kecil dari sebuah negara.

Ia sangat menunggu liburan musim panas. Karena masa liburan itu Mommy yang setelah bercerai dari Daddy akan mengajaknya mengunjungi banyak tempat, melintasi negara bagian, juga menyeberangi samudera.

Mommy telah menikah lagi dengan seorang pilot sebuah maskapai

penerbangan internasional yang memiliki hobi travelling sama dengan

Mommy. Mereka pernah ke negara-negara cantik di Eropa, menyusuri

kota-kota eksotis di Asia juga beberapa negara di Amerika latin. Namun ia tahu Mommy belum pernah menginjakkan kakinya di sini. Ketika umurnya bertambah ia mulai bepergian sendiri. Daddy, lelaki pendiam itu keberatan dengan hobi petualangnya, tapi Evan tak bisa berhenti.

Setelah berjalan sekitar tiga ratus meter, ia melihat kerumunan orang di sebuah kedai berdinding papan. Ia menuju mereka untuk menemukan aroma khas yang menggoda hidungnya, aroma serupa yang ia hirup kemarin di depan Warung Saudara.

Udara dingin, tempias hujan, membuatnya mempercepat langkah untuk masuk dan memilih kursi paling sudut ruangan. Ada sebuah tabung televisi ukuran dua puluh inci yang diletakkan pada sebuah rak kayu setinggi hampir dua meter. Ia mengabaikan mata-mata yang menatapnya, bersikap senormal mungkin.

Evan memerhatikan seorang pemuda yang sedang menjerang bubuk hitam kopi dengan sebuah saringan besar. Gerakan tangan pemuda itu cepat dan cekatan. Tentu telah menjadi rutinitas baginya. Kabarnya negeri ini juga disebut dengan negeri seribu warung kopi, karena memang banyak warung kopi bertebaran di sudut-sudut kota juga di kampung-kampungnya.

“Secangkir Kopi Arabika, ya!” ujarnya dengan bahasa yang tentu dimengerti. Selain menguasai bahasa Inggris dan Perancis ia juga belajar bahasa Melayu. Kursus bahasa Indonesianya selama enam bulan dengan

(18)

FRAKSI III

KENANGAN

Said membuka pintu pagar rumah bergaya kolonial itu dengan canggung. Padahal ia lahir, merangkak, dan tumbuh dalam suasana penuh kasih di sini. Bertahun-tahun mengakrabi segala yang ada di rumah ini sebagai salah seorang penghuninya. Canggung dan asing, sesuatu yang harusnya tak ada.

Jalan setapak yang diapit rumpun mawar menyambutnya, menghadirkan bayang Mak. Mak rajin menyiram, menambahkan pupuk juga menggunting ranting kering mawar putih itu, membuat kuntum baru rajin sekali merekah. Mawar-mawar putih kesukaan Mak itu masih di sana. Miwa, sebutannya untuk istri pamannya, tak menggantinya dengan bunga lain. Namun Mak tak lagi ada.

Lalu matanya menangkap pohon mangga berdahan besar di bagian samping rumah, dulu Abu mengikatkan tali ayunan di sana hingga ia dan anak-anak sekitar rumah bergantian mengayunkan tubuh mereka seusai mengaji di balai. Sebuah sumur tua yang selalu tertutup papan kayu, pohon belimbing wuluh, pohon kari dengan daun-daunnya yang wangi, semua beraroma kenangan yang menghadirkan bayang masa lalu.

Saat Abu Umar, Ayah Said masih ada, ia dan Mak tinggal di rumah ini bersama kakek yang ia panggil Paknek. Beliau rajin sekali menyenandungkan selawat badar di antara banyak kisah yang ia ceritakan. Kisah yang berselang tahun kemudian, ketika Said masuk sekolah dasar ia tahu itu adalah kisah rasulullah dan para sahabat.

Semakin ia menapaki langkah semakin ia merasa ragu. Ia merasa tak disambut di sini, ada alasan kuat bahwa aroma manis kenangan itu tercabut

(19)

secara paksa, membuat hatinya sakit. Rasa sakit itu bermula ketika terjadi perselisihan antara Abu Umar dan Abiwa Hasan setelah Paknek meninggal. Perselisihan yang membuat mereka tersingkir ke desa terpencil di sudut Aceh Pidie dan hingga matinya, Abu dan Mak tak lagi menginjak rumah ini. Tak membicarakannya lagi, kecuali dengan hati tergores.

Ketika itu, ia hampir menamatkan sekolah dasar, dan cukup mengerti apa yang terjadi. Persaudaraan yang meretak selalu tersemai oleh rasa iri dan dengki. Dan itulah yang terjadi antara Abu Umar dan Abiwa Hasan, saudara laki-laki Abu yang kini menguasai rumah ini. Ia tak pernah bisa dekat dengan Abiwanya itu sampai sekarang. Ia membawa sakit hati.

Tiba di hadapan bangunan utama, ia diam lagi. Tak banyak yang berubah, selain bagian depan rumah yang ditinggikan dan penambahan garasi pada sayap kanan. Mereka sepertinya ingin mempertahankan bentuk asli rumah ini karena suatu alasan. Padahal bentuk rumah ini tak lagi digemari sekarang. Said menekan bel yang tertempel di tembok samping pintu. Tak perlu menunggu lama hingga seseorang membukakan pintu.

“Said? Sehat kamu? Masuklah!” Wanita paruh baya itu istri Abiwa Hasan, biasa ia panggil Miwa.

“Aku sehat, Miwa sendiri sehat?” tanyanya sambil masuk ke ruang tamu. Ruangan ini juga masih seperti dulu meski perabotnya telah diganti. Ia berharap melihat Paknek duduk di salah satu kursinya membaca kitab kuning dengan kacamata berantai yang bingkainya tertahan di puncak hidung. Meski tak mengerti, dulu ia senang sekali mendengar intonasi khas suara Paknek. Kalimat-kalimat itu seperti berdengung lagi di ruang memorinya. Paknek, semoga Allah melapangkan kuburmu.

“Miwa sehat, Abiwamulah yang lebih sering sakit sekarang. Hipertensinya sering tak terkontrol. Kau tahu sendiri betapa ia susah untuk memenuhi pantangan makannya.”

Miwa salah, Said tak tahu apa pun tentang laki-laki itu, apalagi

tentang pantangan makannya. Untuk apa tahu tentang dia sedang dia juga tak pernah memperhatikan kehidupan Said dan Haris sejak sebelum Abu dan Mak meninggal. Bahkan mengabaikan permintaannya untuk menolong Abu ketika ditahan tentara. Padahal ia tahu Abiwa Hasan punya

(20)

FRAKSI IV

MELAPOR

“Ini apa?”

“Artikel yang harus kamu terbitkan” “Aku harus memeriksanya dulu,”

“Terserah. Tapi kamu harus memastikan semua diterbitkan tanpa ada yang dipotong.”

“Aku akan membaca dan memutuskan.”

“Well, aku harus tegaskan. Kamu boleh baca tapi aku mau tak ada yang diganti atau dipotong. Cerita itu harus utuh dan begitu adanya. Tak juga boleh dibumbui lagi.”

Evan membuka file yang diberikan Amra di komputer. Untuk menemukan file tulisan Amra. Ada lebih lima puluhan halaman.

“Ini terlalu banyak untuk satu artikel. Ini serupa naskah buku.” “Kamu bisa memuatnya secara berkala?”

“Bukan aku yang memutuskan. Aku harus tanya editorku dulu.” Evan membaca tulisan itu secara cepat, lalu menyadari sesuatu.“Ini menarik … tapi juga berbahaya,” ujarnya sambil terus membaca. “Bisa kupastikan editorku akan senang mendapat cerita serupa ini, tapi tak akan bagus efeknya bagimu.”

“Efek seperti apa?”

“Pemerintahmu tak akan suka. Kamu menulis ini dengan sangat emosional.”

“Yang aku tulis itu cerita nyata. Semua tokoh yang aku sebutkan memang ada. Mereka masih terhitung kerabat.”

(21)

“Jangan. Pakai saja namaku.”

Evan kembali menatap pada Amra untuk menemukan kesungguhan di rautnya.

“Kamu tak takut?”

“Aku akan ikuti permainanmu jika kamu terbukti bisa menerbitkan semua tulisan itu.” Amra dengan tatapan matanya yang tajam menantang Evan. Evan lebih dulu membuang pandang. Ada sesuatu dari sinar mata Amra yang terasa menakutkan. Wanita ini, punya pesona menakutkan.

“Jadi kamu tengah melakukan tawar-menawar?” “Kalau menurutmu begitu, aku tak akan membantah.” “Baik.”

“Baik apa?”

“Akan aku kirimkan email ke redaksi.’ “Kirimkan sekarang!”

“Sekarang? Aku belum baca semua.”

“Setelah kau kirim itu, akan aku antar ke markas militer.” “Dengan usulan yang aku minta? Wah, terima kasih.”

Amra pura-pura tak dengar, ia menyetujui untuk melakukan ini atas bujukan Said.

Ketika Evan dan Amra sampai ke gedung kokoh berbentuk art deco yang dicat hijau muda bergradasi hijau tua, dengan jejeran pohon palem yang menyejukkan mata itu, Amra tak bisa menolak rasa aneh yang menjalar dari hati ke tubuhnya saat mendengar kalimat Evan.

“Be brave, Amra! Any minutes from now, you’ll be mine! Become my

lover!”

Kalimat yang mengaduk hatinya, menimbulkan desir yang rasa-rasanya membuat asam lambungnya naik. Ia tegang, seakan Evan memang menembaknya. Menjadi kekasih laki-laki bule, sesuatu yang tak pernah terlintas di pikirannya. Ini hanya sandiwara Amra! Jangan grogi!

“It seems my personal life is in danger!”

“Oh, come on, I am not that bad. I can be a great lover. Just let yourself

fall to me. Jangan melawan, aku tidak menggigit.” Puffft! Amra ingin

(22)

FRAKSI V

CURIGA

Ketika sore itu Amra pulang, Ayah telah menantinya dengan wajah yang menyiratkan beragam tanya.

“Siapa Evan Brundage?” tanyanya langsung membuat Amra waspada dan merasa harus berhati-hati. Ia harus bersikap dan memilih kata-kata yang tak akan menimbulkan kecurigaan. Tentu saja sulit. Ayah bukan tipe Ayah yang mudah percaya, meski pada anaknya sendiri.

“Kami berkenalan ketika aku mengikuti International Youth Exchange di Australia dulu,” orang ketiga yang ia dustai setelah pak Hasbi dan Ummi. Kebohongan yang harus terus ia ulang, juga ia tambah dengan kebohongan lain agar dramanya sempurna.

“Seberapa dekat kalian?” Amra merona, butuh waktu untuk membuka mulut.

“Ia menyukaiku, tapi kami belum memiliki hubungan spesial,” jawab Amra. Ayah menatap tepat di kedua bola mata Amra, mencoba mencari kebenaran dari situ. Amra berusaha menantang tatapan itu meski hatinya berdesir juga. Tak mudah menipu ayahnya sendiri.

“Ia melamarmu? Ingin menjadikan kamu sebagai istrinya?” Apa? melamar? Amra kaget mendapati pertanyaan ayahnya. Skenarionya, mereka hanya saling suka, jatuh cinta dan mungkin akan menjadi kekasih. Bukan seserius menikah untuk menjadi sepasang suami istri.

“Siapa yang memberitahu Ayah mengenai Evan? Apakah panglima militer, Bapak Arwin Hasbi?”

Membalas pertanyaan itu dengan pertanyaan lain adalah cara teraman. Ayahnya mengangguk.

(23)

“Punya suami orang asing. Apa kau gila? Tak ada di keluarga kita yang menikah dengan orang asing. Ayah lebih senang kau dinikahi oleh lelaki Aceh yang taat agama dan mengerti adat budaya kita.”

Menikah? Tunggu dulu, ia jadi curiga dengan yang dikatakan Evan terhadap pewawancaranya di kantor militer. Apa ia menyembunyikan sesuatu dari Amra? Aish, bagaimana untuk tahu, sekarang Evan pasti sudah di Pidie sana.

“Kau menyukainya?”

“Sudah kukatakan bahwa dia menyukaiku, Ayah. Aku tak bisa melarang rasa suka seseorang terhadapku, kan?”

“Jangan bermain api. Dia warga negara asing juga memeluk agama yang berbeda dengan kita. Gadis sepertimu harus pintar-pintar menjaga diri!”

“Dia sopan, dan aku mengerti batasan-batasan dalam pergaulan. Ayah tak perlu khawatir.”

Bagaimana mungkin ayahnya tak khawatir. Amra adalah putri tunggalnya, intan yang harus ia jaga. Ia tak ingin hal buruk yang bisa mempermalukannya terjadi. Laki-laki asing itu bukan tak mungkin bisa menjerumuskan Amra pada pergaulan bebas muda-mudi ala barat. Jelas ia khawatir.

“Tak perlu terlalu pusing, Ayah. Semua ini bukanlah hubungan serius.” Amra salah ucap, ayahnya tak senang mendengarnya.

“Tidak serius bagaimana? Dia bahkan mengatakan kepada petugas militer berencana meminangmu sebagai istrinya!” Mukanya memerah, tampak benar-benar kesal dengan masalah Evan ini. Sial! Evan mengatakan hal yang tidak mereka sepakati. Amra juga sama kesalnya dengan ayahnya, namun ia harus tetap bisa menahan diri dan harus kembali berbohong.

“Ia memang pernah mengatakan hal itu, tapi aku belum menerimanya ayah. Itu hanya keinginannya, bukan aku.” Ayah menatap wajah Amra lama, mencari kebenaran dan keseriusan dalam raut itu. Sekilas ia menangkap keraguan namun sekejap Amra tampak kembali meyakinkan. Yah, Amra harus menolak lamaran laki-laki asing itu dan ia tak ingin masalah ini berlarut.

(24)

FRAKSI VI

MENUJU PIDIE

Evan tak yakin surat izin tinggal itu akan disetujui. Jadi, ia bergerak cepat meninggalkan Kota Banda Aceh. Mereka berangkat dengan sebuah mobil tua bermesin berisik serupa batuk manusia renta yang kronis. Bukan taft yang pernah dilihat Evan, bukan juga kijang tua Amra, entah dari mana Said mendapat mobil yang rasa-rasanya ia takut untuk menyentuhnya. Semua bagian-bagiannya merenggang, menimbulkan suara seakan onderdilnya akan terlepas satu persatu.

Evan meletakkan barang-barangnya pada bak terbuka di bagian belakang mobil, kecuali ransel yang berisi kamera dan peralatan jurnalisnya. Mobil melaju di jalanan yang lengang, bergabung dengan mobil-mobil lain di Jalan Banda Aceh-Medan yang merupakan jalur utama penghubung dua provinsi. Evan senang ketika mobil melewati daerah Hutan Lindung Seulawah. Ia beberapa kali minta mobil berhenti sebentar untuk mengambil gambar dua gunung yang tampak menjulang di kejauhan. Seulawah Inong dan Seulawah Agam, dua gunung merapi yang katanya masih aktif itu masih tampak tenang dan semoga selalu tenang. Deretan pohon cemara berseling semak batang-batang pohon yang lebih kurus. Namun matanya bisa menangkap beberapa lahan terbengkalai dengan tanggul bekas potongan kayu dan bentangan tanah hitam arang akibat pembakaran, lahan kosong yang kering dan gundul.

“Hutan ini harusnya bisa lebih lebat,” ujarnya kritis

“Petani tradisional membuka lahan untuk berkebun, menanam pisang, ubi, jagung juga bersawah,” Said hanya mencoba membela diri, padahal hutan gundul itu bukan salahnya secara pribadi.

(25)

“Apa ada teman-teman kalian bersembunyi di dalam sana?” Said tak menjawab, padahal ia mendengar jelas pertanyaan itu.

Di jalan-jalan juga muncul makhluk-makhluk lucu berekor panjang yang sengaja menunggu orang-orang lewat untuk meminta makan. Monyet-monyet itu gembira dan berebutan ketika ada yang melemparkan pisang atau makanan lainnya ke arah kerumunan mereka. Terkadang mereka menjelajah hingga ke badan jalan tanpa mengerti bahaya yang mengancam. Evan pun tergoda untuk turun menghampiri kawanan monyet itu. Evan tertawa melihat polah mereka. Sayangnya Said tak terlalu senang bermain. Ia seperti selalu punya keperluan mendesak yang membuatnya harus terburu-buru.

Jalanan yang melingkar membuat Said harus benar-benar hati-hati membawa roda mobil ketika mereka mulai menuruni pegunungan. Di daerah bernama Saree mereka berhenti untuk melihat seekor gajah berbadan besar dengan dua telinga lebar melakukan atraksi sederhana dengan bola dan tongkat. Evan mengambil banyak gambar di sana, gajah-gajah itu, mesjid, gadis-gadis penjual tape singkong dan keripik, rumah makan tradisional, orang-orang yang lalu lalang juga pemandangan hijau yang menjadi latar. Sayang sekali Amra tak ikut bersamanya. Gadis itu katanya sedang menyiapkan hal lain, akan ada rapat dengan wali kota, para donator juga pihak-pihak lain yang memiliki hubungan dengan DUF.

Begitu mereka meninggalkan kawasan hutan lindung, mereka masuk ke kabupaten Aceh Pidie yang ditandai dengan plang kayu bertulis ‘Selamat Datang’. Jalanan pun tak lagi berkelok, melingkar. Beberapa kali mobil merayap karena melewati pasar tradisional yang dipenuhi pengguna jalan dan pejalan kaki. Tiap kota kecamatan punya pasar sendiri dengan pedagang yang menjajakan barang dagangan hingga tumpah mengambil badan jalan. Pedagang martabak, mi goreng, minuman botol mengetuk-ngetuk jendela. Juga pengemis yang membaca ayat-ayat Alquran dan doa dengan suara bagus.

“Adakah orang Aceh yang tak bisa mengaji?” “Untuk apa bertanya?”

(26)

FRAKSI VII

INI CINTA

Suara berisik di luar mengalihkan konsentrasi Evan dari kalimat yang sedang ia ketik. Said telah memasang seperangkat komputer di kamarnya, ia bilang itu pinjaman dari seorang teman. Tampaknya Said punya banyak teman yang bisa diminta ini dan itu. Ada logo perusahaan telekomunikasi berwarna biru di dinding luar rumah yang menandakan rumah ini telah memiliki sambungan telepon dan internet. Memberi kemudahan baginya untuk berkomunikasi dengan teman-teman di Amerika, dosen pembimbing, rekan kerja juga atasannya di media cetak Magazine of American.

Ia longokkan pandangannya ke bawah dari sepetak jendela. Sekelompok wanita dan anak kecil berkumpul di bawah rumah panggung. Tak jelas apa yang mereka kerjakan dengan kuali besi dan asap yang samar tampak, baunya dibawa angin ke kamar Evan. Bau asap dan sesuatu yang dibakar.

“Bau apa ini?” tanyanya pada Haris yang melintas depan kamarnya “Melinjo digongseng, untuk membuat kerupuk melinjo,” jawab Haris. Aceh Pidie, selain menjadi lumbung beras bagi Aceh karena memiliki berhektar-hektar luasnya area persawahan, perekonomian daerah ini juga hidup dengan industri emping. Kerupuk yang terbuat dari daging buah melinjo yang telah digongseng dan dipipihkan serta dijemur agar kering.

Evan turun sebentar untuk mengambil foto para wanita di sana dan mencari informasi pelengkap yang ia pikir bisa menjadi bahan untuk artikel untuk kolom budaya. Mereka menjawab malu-malu dengan bahasa bercampur, Indonesia dan Aceh berlogat berat membuat Evan kesulitan untuk memahami. Namun ia cukup mengerti proses pembuatan kerupuk

(27)

itu dengan mengamati langsung dari awal.

Merasa cukup, ia kembali ke kamar dan menyelesaikan satu artikel yang langsung ia kirim ke email redaksi Magazine of American. Menulis tentang budaya bagi Evan lebih mudah, ia hanya mengamati dan menceritakan ulang nilai-nilai yang dipercaya oleh masyarakat setempat. Berbeda dengan isu-isu sosial politik dan konflik yang mengitarinya. Evan harus menganalisis data yang ia dapat, menghubungkan dengan banyak hal, pendapat narasumber dan terkadang jika tak teliti bisa saja menjadi informasi yang keliru. Itu alasan kenapa ia belum menulis satu pun artikel mengenai situasi konflik sosial politik Aceh. Kisah nyata Said pun masih menggantung, ia butuh data dan narasumber lain sebagai pendukung. Namun setidaknya, tulisan Amra yang ia kirimkan beberapa hari lalau mendapat antusias editornya.

Bosan memandangi layar komputer, ia memilih kembali meninggalkan kursinya dan mencari Haris. Mungkin bisa mendengar sedikit cerita darinya. Adik Said itu, memiliki karakter pendiam yang sangat berbeda. Ia tampak tenang di luar, namun entah apa yang ada di pikirannya. Sulit ditebak. Beberapa kali ia memanggil nama Haris, tak ada jawaban. Rumah sepi, hanya ada ia seorang di rumah.

Dari jendela yang terbuka tampak jalanan kecil desa yang lalu ujungnya hilang dalam tikungan. Ketika itulah ia melihat sebuah mobil yang sudah ia kenal. Itu mobil Amra. Ia menunggu sebentar dan mobil itu memasuki pekarangan rumah, berhenti tepat di bawah pohon rambutan yang semarak dengan bunga-bunga berserbuknya. Amra turun dari mobil dengan menenteng sebuah rantang besar, ia belum melihat ke arah Evan. Evanlah yang bergegas turun, kesenangan menyambut Amra.

“Betah di sini?” tanyanya dengan raut datar begitu wajah Evan muncul di ambang pintu atas tangga.

“Tentu, desa ini sangat tenang. Kedatanganmu semakin membuatku senang.”

“Perasaanmu akan terbalik setelah nanti kau lihat yang kubawa untukmu.” Amra tak menaiki anak tangga namun menuju balai bambu di kolong rumah, meletakkan rantang dan duduk di sana. Evan mengikuti, duduk di samping dengan tungkai menggantung.

(28)

FRAKSI VIII

MELAMAR

Rasa ini berbeda, lebih menyentuh

Gundah pun datang terlalu pagi pada hati yang berdentang.

Pertemuan dua lelaki itu membuat ruangan beku. Keduanya kikuk. Evan mendadak kehilangan gombalannya. Ayah Amra berwajah datar dengan alis melengkung pedang. Serius dan siaga. Salah ucap, salah tindak, habislah ia. Di luar langit gelap kelabu. Gemuruh petir tepat sekali menjadi latar. Jika hujan menjadi deras, Evan akan sulit untuk beranjak dari sana lebih awal. Meski hujan, Ummi membiarkan pintu ruang tamu terbuka lebar, tempias membasahi teras.

Evan duduk tegak di kursi ruang tamu, lupa bersandar dan melemaskan pundak. Kesan penerimaan di rumah ini terasa berbeda. Kali terakhir ia datang, ia sudah masuk ke ruang makan bahkan halaman belakang yang memiliki arti keakraban. Hari ini langkahnya seakan dipaksa mundur kembali menjadi orang luar yang duduk di kursi tamu dengan tatapan curiga. Dikuat-kuatkannya hati, dipupuknya rasa percaya diri. Aku tak boleh

tampak ragu-ragu jika ingin semunya berjalan sesuai rencana.

“Saya sudah pernah ke rumah ini namun tak bertemu Bapak,” ia bersyukur suaranya terdengar normal, padahal ia merasa ada gumpalan keras di tenggorokan.

“Saya sedang ada perjalanan dinas ke luar kota ketika itu,” ujar lelaki berwajah mirip Said itu sebelum hening lagi.

Evan mencari-cari bahan obrolan, hal-hal apa yang akan suka dibicarakan oleh lelaki ini. Amra pernah bercerita kalau ayahnya salah

(29)

seorang anggota dewan yang memiliki pengaruh di kota ini. Ia dekat dengan orang-orang pemerintahan dan militer, oleh karena itulah aktivitas LSM yang diprakarsai Amra dan teman-temannya diizinkan terus bergerak. Di lain sisi, Amra juga diam-diam dekat dengan kelompok Said yang bersembunyi di pelosok hutan timur, menjadi penghubung bantuan-bantuan yang diberikan para donatur melalui yayasan DUF. Apakah lelaki itu tahu semua sepak terjang putrinya? Kalau pun ia tahu, apa yang akan ia lakukan?

“Apa yang kamu mau dari Amra?”

Pertanyaan langsung tanpa kelokan, melaju tepat ke sasaran. Evan tergelagap sejenak lalu membalas tatapan Ayah Amra dengan menampilkan raut seriusnya. Karena jelas sekarang, lelaki ini kaku dan tak berbasa-basi. Lebih parah dari Amra.

“Aku mencintainya.”

Evan dapat menangkap sunggingan bibir lelaki tua itu mencibir. Tentu ia tak mudah percaya dengan lelaki muda yang baru pertama ini muncul di depannya dan mengatakan mencintai putri semata wayangnya. Lelaki yang tak sepotong pun ia tahu latar belakangnya. Lelaki yang datang dari sebuah negara jauh dengan latar belakang pergaulan bebas ala negara barat.

“Cinta seperti apa?”

“Cinta yang membuat saya rela menempuh ribuan mil, rela menghadapi segala risiko yang bisa saja mengancam nyawa saya.”

“Itu hanya perasaan sesaat, efek dari jiwa mudamu yang belum stabil. Kau suka berpetualang. Dan kau akan puas setelah apa yang kau mau kau dapatkan.”

“Awalnya saya juga mengabaikan rasa yang menurut Anda ‘tak stabil’ itu, beranggapan bahwa akan hilang seiring waktu. Sampai saya tak lagi melihat Amra setelah kegiatan Youth Exchange itu selesai. Ada kekosongan yang tercipta. Saya sadar rasa itu tak bisa saya abaikan dan saya memutuskan untuk menyusulnya kemari.”

“Ah! Kau pintar membual.”

“Anda tentu pernah muda, Pak. Jika Anda pernah jatuh cinta, Anda akan tahu bahwa saya tak mengarang cerita ini.”

(30)

FRAKSI IX

MENUNGGU

Said belum lagi memberi kabar bagus untuk Evan. Sudah dua minggu ini ia tak bisa dihubungi, meninggalkan Evan yang mulai bosan dan putus harapan. Setelah lamarannya, Amra hanya bisa dihubungi melalui telepon kantor atau rumah, itu pun kerap ia sedang berada di luar tak bisa berbicara dengannya. Kentara sekali ia menghindar.

Evan membuka laptopnya dan menemukan beberapa pesan baru di inbox emailnya. Beberapa dari Magazine of American, kabar tentang pemuatan artikel Amra secara pekanan. Amra punya kolom sendiri di majalah itu. Menurut editornya, artikel Amra mendapat respons baik dari pembaca mereka. Tulisan Amra lebih ditunggu dibanding artikel-artikel yang Evan tulis. Tentu saja, tulisan Evan masih saja bertema budaya, kisah perjalanan, dan tradisi.

Selain email dari redaksi majalah, email yang berturut-turut dan panjang memenuhi kotak masuknya adalah email dari Emille. Bukan pesan yang ia harapkan. Emille setiap hari mengiriminya pesan. Pesan-pesan yang awalnya manis bernada romantis penuh ungkapan rindu. Ia mengirimkan foto-foto dirinya dalam ragam pose dan gaya. Emille adalah satu yang paling agresif dibanding para mantannya yang lain. Pesan-pesannya terasa terlalu berlebihan, memposisikannya sebagai wanita rendah yang patah hati. Itu membuat Evan semakin merasa tak tertarik.

‘Evan, ketiadaanmu di dekatku menyiksa. Langit runtuh dan aku tertimbun

tak bisa bernapas. Kapan kau akan kembali? Aku akan menanti, dan kita bisa bersatu dalam lautan cinta.’

Ia memang sempat dekat dengan Emille dan tergoda untuk berkencan dengannya. Baginya kencan itu hanya one-night date yang akan segera ia

(31)

lupakan, namun sepertinya tidak bagi Emille. Wanita itu telah mengikatkan hatinya pada Evan. Menganggap Evan miliknya. Setelah pesan-pesannya tak berbalas, pesan itu lalu berubah menjadi pesan marah yang agresif.

‘Aku akan mati jika kau tak membalas emailku. Kau tak bisa

memperlakukanku serupa barang yang tak lagi kau butuhkan. Aku telah menunggumu, berharap kau kembali padaku dan aku tahu kau akan kembali membutuhkanku. Kau akan merasakan yang aku rasa!’

Evan mengabaikan pesan itu, juga puluhan pesan lainnya yang senada. Ia melihat bagian kiri dari tampilan email, kontak email Yusuf bewarna merah pertanda empunyanya sedang online di Yahoo Messenger. Evan menyapanya.

“Hi buddy, how is life?”

“Everything’s fine, you should tell me about yourself. Any progress?”

“Kau sudah baca, Magazine of American? Setiap pekan artikelku terbit di sana.”

“Bukan sesuatu yang baru. Semua yang kau tulis, aku tahu lebih banyak.” “Damn, right! Tapi tak satu pun artikelmu dimuat media cetak.”

“Aku juga membaca tulisan Amra. Tulisannya lebih menarik dan berbobot.” “Ya.”

“Bagaimana penelitianmu? Kau sudah melihat kontak senjata? Sudah bertemu tokoh-tokoh Aksi Nanggroe Merdeka? Atau kasus-kasus hukum lain? Atau jangan-jangan melihat senjata saja belum pernah?”

Itu pertanyaan yang tidak ia sukai, meski Yusuf benar, penelitiannya tak ada perkembangan berarti. Ia benar-benar merasa hanya sebagai turis yang menulis artikel travelling. Tapi Yusuf tak perlu tahu kesulitannya, ada ego yang harus ia pertahankan. Terlebih ia bisa merasa kesinisan dan kesan miring dari komentar-komentar Yusuf.

“Ini masih dini. Tunggu saja, akan ada kejutan dariku.”

“Professormu sudah menunggu hasil riset, sedang Emille merasa sepi tanpamu. Dia terus saja bad mood.”

“I don’t care about her!”

“Oh, that can break her heart. Kamu tak boleh brengsekin dia. Emille tak pantas diperlakukan begitu.”

(32)

FRAKSI X

DUA HATI

YANG MENYATU

“Untuk apa kamu kemari?” Evan muncul begitu saja di samping Amra begitu ia keluar dari sekretariat Darussalam Unity Front pada suatu sore yang gerimis.

“Kau tak menjawab teleponku. Aku tak biasa digantung.”

Amra tak ingin menjelaskan alasannya. Ia butuh waktu untuk menjernihkan kepala dan hati. Ia pikir dengan tidak melihat Evan, semua akan normal kembali, rasionalnya akan mendominasi dan ia bisa membuat keputusan terbaik sesuai keinginan ayahnya. Namun ia salah. Ia tersiksa.

“Kau butuh payung.”

Evan membawa payung yang terkembang ke atas kepala mereka berdua. Menghindari titisan air yang tumpah dari langit. Samping tubuhnya bergesek dengan lengan Amra. Menimbulkan lecutan serbuk api yang panas, menjalar ke tubuhnya. Tetesan hujan yang mengenai kulit tak mampu meredam rasa panas itu. Padahal mereka tak bersentuhan langsung, Amra memakai kemeja lengan panjang.

“Ada berita baik. Artikelmu telah dimuat. Tak hanya di majalah tempat aku bekerja namun juga diterbitkan ulang oleh media lain di Amerika dan beberapa negara Eropa. Aku percaya tak lama lagi tulisan itu juga akan tersebar di Asia. Kabar itu membuat Amra berhenti. Ia menatap wajah Evan.

“Itu berita buruk?”

“Tergantung bagaimana kamu melihatnya. Ceritamu akan membuat banyak pihak bersimpati dan ide damai yang kamu inginkan akan menjadi pertimbangan internasional.”

(33)

“Jika pihak yang kamu bahas di tulisanmu tak menyukai ide damai itu. Tapi tak perlu khawatir kamu akan dilindungi oleh lembaga internasional jika kisahmu mendapat banyak perhatian.”

“Aku tak bermaksud mencari perhatian. Aku hanya ingin orang-orang di luar sana bisa melihat kejadiannya dari kedua sisi.”

Keduanya terus melangkah. Evan menikmati kebersamaan mereka. Namun ia tak suka perasaan digantung yang tak jelas. Jadi, ia memutuskan bertanya.

“Bagaimana lamaranku?”

“Ayah dan Ummi masih syok, tahu bahwa anaknya dilamar bule.”

“Sepertinya terlalu banyak kejutan yang kamu berikan bagi mereka. Setelah tentang cita-cita dan idealismemu lalu sekarang tentang jodoh.”

“Kau tak mengenal mereka. Sebenarnya mereka bukan tipe orang tua yang suka membatasi gerak anaknya.”

“Berarti mereka menyetujui lamaranku?” tanya Evan cepat membuat Amra tersenyum kecut

“Tidak.”

“Dan kau juga menolakku?” Amra tahu jawabannya tapi mulutnya terkunci. Harusnya lelaki itu dapat membaca isyaratnya.

“Aku akan mengajukan beberapa syarat, dan jika kau bersedia aku akan membelamu di depan orang tuaku.”

“Syarat apa?”

“Salah satunya kau masuk Islam.”

Evan terdiam. Apa sih makna agama baginya? Selain keyakinan akan adanya Tuhan yang menciptakan manusia dan menciptakan setumpuk aturan agar manusia hidup tertib dengan sesama. Evan percaya pada Tuhan, hanya ia tidak yakin Tuhan yang mana. Ada banyak pendapat tentang ketuhanan di dunia ini. Dan Islam, Evan banyak tahu tentang Islam dari pemberitaan-pemberitaan media tentang banyaknya kejadian-kejadian teror yang dilakukan penganutnya. Ia tahu, semua penganut agama, ada yang baik ada pula yang buruk. Bukan agamanya, hanya orangnya yang bermasalah. Evan juga tahu sedikit tentang ajaran Islam dari Yusuf. Namun Yusuf juga bukanlah orang yang terlalu taat pada agamanya. Maksudnya, ia salat namun terkadang ia juga ikut minum wine

(34)

FRAKSI XI

AKAD

Acara ijab kabul dilakukan di Masjid Raya Baiturrahman, mesjid terbesar yang menjadi kebanggaan rakyat Aceh. Sebelum ijab kabul, seorang ulama membimbing Evan bersyahadat. Ia mengikuti dengan kalimat patah-patah namun jelas dan tegas. Ketika ijab kabul, tangannya basah dengan keringat, ia harus menjabat tangan Ayah Amra dan mengucapkan akad. Ada getar halus menjalari hatinya. Genggaman erat Ayah Amra menyalurkan beban arti tanggung jawab. Ia melepaskan nasib putrinya ke tangan Evan. Hamdalah bergemuruh. Amra mencium tangannya dan Evan membalas dengan kecupan di kening. Setelahnya keduanya menyalami orang tua. Ummi meneteskan air mata haru dan memeluk Amra, Ayah melakukan hal yang sama. Lalu semua orang menyalaminya.

Menjelang siang, mereka beriringan menuju tempat resepsi. Keduanya duduk tenang di dalam mobil berhias pita dan rangkaian bunga. Acara resepsi dilakukan di aula sebuah hotel besar, dengan mengundang sekitar ratusan tamu. Kebanyakan tamu adalah kolega ayahnya yang termasuk pejabat sipil dan militer. Bapak Arwin Hasbi juga datang dan mengucapkan selamat untuk mereka berdua.

“Aku memberi batas waktu, dan kau telah melewatinya dengan lancang,” sang komandan militer berlagak memarahinya.

“Tapi sekarang tampaknya Anda tak ada pilihan kecuali memberi izin perpanjangan waktu bagi saya, sebagai kado pernikahan kami,” Evan menampakkan cengiran yang memberi kesan anak nakal namun merayu. Menjadi menantu orang penting menaikkan rasa percaya dirinya.

(35)

“Salut untuk nyalimu, kau benar-benar meluluhkan hati Amra dan orang tuanya.”

Pernikahannya adalah hal masuk akal yang membuat mereka tidak lagi terlalu mengkhawatirkan keberadaan Evan di sini. Semua yang dikatakan lelaki itu ketika wawancara terbukti. Seperti kebanyakan anak muda yang jatuh cinta, tentu mereka tak kan menghiraukan bahaya lainnya. Pesona sang pujaan hati telah memikat mereka dengan jerat yang sukar dilepaskan. Evan resmi menjadi anggota keluarga salah seorang pejabat, dan mereka tak boleh terlalu mengusiknya.

Orang tua Evan, meski tak bisa hadir menyempatkan diri untuk menelepon dan berbicara dengan Amra, mengatakan akan menyiapkan tiket bagi mereka berdua ke Amerika. Hadiah darinya untuk honeymoon mereka. Tentu Amra senang. Ia belum pernah mengunjungi negeri Paman Sam itu.

“Kamu sangat kami terima dalam keluarga kami, maaf kami tak bisa datang ke negaramu,” Suara Daddy terkesan parau namun ada kesan sayang dalam suara itu.

“Terima kasih banyak, Daddy,” masih canggung lidahnya memanggil lelaki asing di seberang telepon itu dengan panggilan akrab. Ia mengira-ngira rupa dan penampilan Daddy. Miripkah ia dengan Evan? Tentu lelaki itu sudah tidak muda lagi. Evan mengatakan umur Daddy lebih enam puluhan tahun dan ia menderita rematik kronik yang membatasi geraknya. Evan bercerita kalau Daddy adalah seorang pemilik restoran di kota ramai Ohio. Restoran yang harusnya diwarisi kepada Evan. Namun Evan tentu tak ingin terikat pada rutinitas menjemukan. Baginya Daddy memilih hidup monoton. Evan energik dan menyukai kehidupan dinamis seperti Mommy.

Mommy yang tak bisa berdiam pada suatu tempat untuk waktu yang

lama sangat gusar dengan kenyamanan suaminya. Setiap hari memantau para koki di dapur, memeriksa bahan-bahan makanan agar selalu terjamin kualitasnya, menyiapkan menu-menu kombinasi baru agar pelanggannya tak merasa bosan berkunjung juga berada di ruangan tertutup sepanjang hari. Hidup bersama Daddy membuatnya cepat tua, begitu keluh Mommy

(36)

FRAKSI XII

HUTAN TIMUR

Evan dijemput sebuah taft tua saat hari masih gelap. Langit masih hitam berbintang pertanda subuh belum datang. Penjemputnya adalah tiga lelaki berwajah kaku tanpa senyum yang menyuruhnya segera bergegas. Evan belum pernah bertemu mereka tapi tahu mereka adalah anak buah suruhan Said. Orang-orang yang menemuinya atas suruhan Said, terus berganti-ganti. Wajah-wajah mereka sulit ia tandai.

Malam ini ia akan ikut bersama mereka menuju belantara hutan di kawasan timur. Beberapa waktu lalu setelah pertemuan dini hari mereka, Amra berhasil bertemu beberapa tokoh AM. Kala itu ia sedang menyerahkan bantuan logistik yang berasal dari donator Darussalam Unity Front bagi korban-korban kekerasan di Aceh. Dan menurut Amra kelompok timur berhak dibantu secara logistik karena anggota mereka kebanyakan berasal dari keluarga korban konflik. Itu adalah rahasia mereka sebenarnya. Pemerintah juga ayahnya tentu tak boleh tahu. Amra memanfaatkan rasa terimakasih Panglima wilayah timur untuk membantu Evan. Mereka tak lagi punya alasan menolak Evan, apalagi anggota yang lain juga sudah mendukung.

Amra telah menyiapkan semua kebutuhan Evan selama di hutan. Ia berharap itu takkan lama. Sebenarnya ia ingin ikut tapi Evan melarangnya, keadaan di hutan tak mudah bagi wanita sepertinya. Setelah menyerahkan alat jurnalis Evan, Amra mencium tangan Evan dan Evan membalas dengan mencium keningnya.

“Aku tak bisa mencegahmu pergi. Iya kan?” Kalimat Amra lirih sekali. “Ini ambisiku, Amra. Kau tahu sejak awal,” Amra mengangguk. Ia tahu, hanya saja ia ingin egois dengan melarang Evan pergi dan tetap berada di

(37)

sampingnya. Mereka masih pasangan pengantin baru. Ia berharap perjalanan ini bisa ditunda. Namun itu tak akan terjadi. Evan punya tenggat.

Kemarin sore mereka menuju rumah Said. Amra mengatakan pada Ummi dan Ayah mereka akan berlibur ke Medan agar Ummi dan Ayah tak curiga dengan kepergian Evan. Untuk sementara Amra akan tinggal di rumah Said bersama Haris. Haris tentu saja senang dengan ide itu. Amra tahu ia tak mungkin terus melakukan kebohongan seperti ini terhadap orang tuanya namun ia juga merasa tak siap untuk mengungkapkan kebenaran. Tentu kedua orang tuanya akan marah sekali, dan mereka berhak untuk marah.

Taft yang membawa Evan membelah malam. Evan dapat merasakan ketegangan yang memacu adrenalinnya. Meski bersemangat tak urung ada juga rasa takut yang muncul. Ini adalah ambisinya, semua akan berjalan sesuai rencana ucapnya meyakinkan hatinya sendiri, menepis khawatir. Sepanjang perjalanan ketiga lelaki itu tak mengajaknya berbicara, Evan merasa tidak enak dengan kediaman yang tercipta sepanjang perjalanan.

“Siapa namamu?” ia mencoba menegur lelaki yang duduk di sampingnya. Namun lelaki itu hanya diam.

“Apakah nanti saya akan bertemu Said?” ia bertanya lagi. “Dia ada di hutan” jawaban yang ringkas, membuat sungkan.

“Teman-teman kalian yang lain pernah datang ke rumah. Kami sempat bercakap-cakap. Aku mengenal Leman” ia berharap kalimat itu membuat mereka tak terlalu tegang dan mulai terbuka dengannya. Namun tak ada respon. Evan menduga mereka tidak diperkenankan untuk banyak berbicara dengannya.

Sepanjang jalan, mereka tak bertemu dengan kendaraan lain. Sepi, karena memang tak ada yang berani bepergian malam-malam begini apa pun urusannya. Evan juga dapat menangkap kehati-hatian ketiga lelaki ini. Mereka tentu takut terkena sweeping atau razia tentara yang biasanya sering dilakukan ketika malam. Untuk itu, mereka menghindari jalan utama karena di sepanjang jalan provinsi terdapat banyak pos tentara. Jika tentara menghentikan mobil ini, tentu mereka tak dapat berkelit melihat isi mobil yang dipenuhi oleh bahan-bahan makanan dan seorang bule dengan peralatan jurnalistik. Terlebih jika mereka menggeledah bawahan jok mobil, mereka akan menemukan tiga pucuk

(38)

FRAKSI XIII

PENGKHIANAT

Seorang lelaki terikat pada sebatang pohon ketika Evan keluar dari tendanya. Pagi muncul tanpa rintik hujan. Syukurlah! Ia bukan tak menyukai hujan, ia hanya tak tahan dengan tanah becek yang lumpurnya akan menempel di kaki, membuat berat ketika berjalan. Ia berpikir mungkin lelaki yang tampak habis dipukuli itu adalah tawanan. Satu orang lagi yang bisa ia jadikan sumber cerita. Tiba-tiba semangatnya muncul.

Lelaki itu memakai kemeja berlengan panjang dan celana kain yang kusut. Tubuhnya cungkring namun jenggot tipisnya tampak rapi. Penampilannya menampik sangkaan Evan kalau ia seorang tentara negara. Evan menebak-nebak. Mungkinkah ia jurnalis seperti dirinya? Lalu kenapa ia diikat? Leman yang datang dari arah tenda sebelah menatap Evan dengan tatapan tajam seperti biasa. Tatapan yang menyuruh Evan untuk pergi atau menyingkir. Ia tak akan menuruti Leman.

“Aku paling benci pada cuak sepertimu,” ucapnya kasar pada lelaki itu. Evan sontak mendekat.

Cuak? Bukan sekali ini ia mendengar kata itu. Cuak adalah orang yang

mereka anggap menjadi mata-mata lawan. Mereka hidup berbaur dengan masyarakat lokal, menguping sana sini, dan memantau orang-orang yang dicurigai terlibat gerakan lalu melaporkannya kepada tentara.

“Aku tak memihak, aku hanya menyampaikan kebenaran,” meski tubuh tawanan itu tampak lemah tapi kata-kata itu diucapkan dengan nada tegas.

Aura wajah lelaki itu tampak aneh, bersih putih dengan selaput cahaya. Evan tak tahu, apa itu hanya pandangannya saja? Tapi benar lelaki itu seperti memiliki karisma. Mommy dulu pernah berkata padanya kalau Mommy bisa

(39)

membaca aura orang-orang. Pendar-pendar warna yang melingkupi seseorang tergantung watak dan karakter juga pembawaan suasana hati mereka. Menurut

Mommy yang ia ingat, aura putih menunjukkan kedewasaan dan kebijaksanaan,

merah untuk seseorang yang bersemangat atau senang bersaing, jingga untuk sikap optimis dan harmonis, hijau serupa warna damai dan penyembuh, kuning kemampuan mental yang tinggi dan kreatifitas, dan warna lain yang Evan tak hafal. Ia sebenarnya meragui pengakuan mommy. Terdengar tak masuk akal, jadi digelengkan kepala.

“Alah! jangan banyak cakap, kau pikir kami tak tahu sepak terjangmu, hah?” Leman berteriak di muka lelaki itu, lelaki itu tak lagi menjawab hanya memejamkan matanya mencoba tak terpancing amarah Leman.

“Kamu awak geutanyou, orang kita, tapi pengkhianat,” kalimat Leman membuat muka lelaki itu memerah namun ia tetap memejamkan mata sambil mulutnya seperti mendesiskan sesuatu.

“Bicara sekarang! Kenapa diam? Orang-orang bilang suaramu begitu keras di mesjid-mesjid. Kau takut kalau senjataku meledak dan merenggut nyawamu ya?” Alis dan kelopak mata lelaki itu bergerak-gerak, bibirnya bergetar hingga mulut itu membuka juga.

“Aku hanya takut pada Allah, Tuhanku yang maha mengadili,” suara yang pelan namun jelas itu membuat Leman seperti terdorong ke belakang namun energi iblis membuat tangannya terkepal dan meninju wajah lelaki yang lalu tersungkur membungkuk namun tak bisa melawan itu. Evan terpana akan sikap Leman yang keterlaluan. Ia spontan mendekat, berusaha membela lelaki tak ia kenal itu. Tapi Leman tak suka Evan mendekatinya.

“Kau tak usah ikut campur!” ujarnya ketus ke arah Evan. Beberapa anggota pasukan lain juga telah berada tak jauh dari mereka, memandang dengan tatapan yang sama dengan tatapan Leman. Begitu bencikah mereka pada lelaki ini padahal sepertinya lelaki ini tak bersenjata. Ketika itulah Said muncul dari dalam tenda. Ia tentu mendengar suara Leman yang keras.

“Leman, tak ada yang memerintahkanmu menginterogasinya.”

Leman melihat Said dengan tatapan tak senang, namun ia mundur juga menjauhi lelaki itu tanpa berkata-kata. Posisi Said lebih tinggi darinya, tak mungkin ia melawan meski ia sering kali tak suka dengan sikap dan keputusan

(40)

FRAKSI XIV

SANG PANGLIMA

Agam benar, esoknya, kesibukan langsung tampak sejak subuh. Pasukan bersiap menampilkan kondisi prima pada orang tertinggi di kemiliteran Sagoe

Timur ini. Said sejak sebelum subuh telah pergi bersama Leman menyongsong

hingga ke pinggir hutan, menjemput para tamu istimewa. Agam mengambil komando mengatur penyambutan di markas. Ketika mereka telah rapi, Evan seperti melihat tentara sungguhan. Mereka berpakaian layaknya tentara dengan seragam loreng, sepatu kets hitam bahkan baret di atas kepala mereka juga senjata-senjata yang tersampir.

“Kalian tampak keren sekali!” ujarnya pada Agam sambil mengarahkan kamera dan memotret.

“Jika kau masih di sini enam bulan lagi, kau akan melihat kami lebih keren lagi”

“Oh ya, ada apa enam bulan lagi?” “Hari Ulang Tahun kami.”

“Menarik, andai saja aku masih di sini. Enam bulan itu waktu yang lama, dan aku mungkin sudah harus kembali ke Amerika.”

Evan memang berharap bisa meliputnya tapi penelitiannya telah terlalu lama ia tinggalkan tanpa konsultasi langsung, hanya beberapa kali ia mengirimkan email pada profesor pembimbingnya. Ia tahu tak boleh berlama-lama lagi jika ingin menyelesaikan program masternya. Daddy juga tentu mencemaskannya sudah dua bulan ini ia tak menghubungi Daddy sedang lelaki tua itu tentu tak dapat menghubungi Evan. Ia memang lebih fokus pada tugas jurnalistiknya dibanding penelitian akademis.

(41)

menebak sosok yang jadi ia cari. Lelaki itu berperawakan tinggi, memakai kemeja lengan panjang dengan celana kain. Wajahnya bersih, tampak bekas cukur di dagu dan atas bibirnya. Penampilannya serupa pegawai biasa, benar-benar tak menyiratkan kalau ia seorang panglima perang. Tapi menurut Agam, ia adalah seorang mastermind, otak dari taktik dan strategi perjuangan mereka. Tak tampak senjata apa pun di tubuhnya. Mungkin ia sangat yakin dengan keamanannya berada di tengah pasukannya yang tampak terlatih ini. Bersamanya memang ada empat orang berwajah siaga dengan jaket kulit dan tonjolan senjata di pinggang.

Panglima Syamsul langsung menuju lapangan, menempatkan dirinya di tengah-tengah pasukan yang berbaris rapi. Upacara penyambutannya itu menjadi panjang dan terasa lama. Sang panglima tampaknya senang berbicara. Ia menguasai ilmu retorika dengan baik. Orator yang ulung. Pidato bersemangat itu berisi kalimat pengobar semangat juang pasukan ini. Lelaki itu juga menceritakan kisah gemilang Aceh di masa lampau, ketidakadilan yang dilakukan pemerintah terhadap mereka dan alasan-alasan kenapa mereka harus melawan.

“Teruslah berjuang, bersusah-susah sekarang untuk kemenangan yang akan segera datang. Tak boleh lalai hingga kita punya hak dan kuasa atas

nanggroe. Kita pewaris tanah yang mulia, jangan mau dijajah. Belanda saja

takut, tak pernah sempat meletakkan pantatnya di sini. Marwah kita sebagai bangsa besar, bangsa mulia yang pemberani tak boleh lemah. Jangan bikin para indatu malu.”

Kalimat-kalimatnya tertata baik. Ia benar-benar membakar semangat pasukan.

“Orang-orang lemah akan merugi. Tak ambil bagian dalam perjuangan. Orang-orang lemah tak layak disebut anak nanggroe. Darah pejuang mereka telah terkontaminasi watak asing, menciutkan nyali.”

Evan tak bisa menebak usia lelaki itu, helai-helai putih telah tumbuh di atas kepalanya namun langkahnya tegap dengan badan yang liat berotot. Ucapannya tajam, akan menyayat hati pihak yang disindir. Evan mencari Tengku Nuh untuk melihat reaksi lelaki itu. Namun, Tengku Nuh tak lagi ada di bawah pohon.

(42)

FRAKSI XV

DISERANG!

Pemukulan Teungku Nuh adalah tindak kekerasan pertama yang ia lihat. Membuat hatinya resah dan mood-nya menjadi buruk. Senja yang menyedihkan. Selesai salat Asar, Said menemani Evan duduk-duduk di atas tikar tipis yang lembab. Ia tak berencana untuk mengerjakan apa pun, tidak juga menulis. Segala peralatannya ia masukkan dalam ransel yang dibalut lagi dengan selimut agar terlindung dari tempiasan hujan yang menerobos tenda. Mereka ditemani seduhan kopi gayo dan mi instan yang dimasak dengan kuah yang berlimpah. Cukuplah untuk menghangatkan perut. Mendadak ia ingin pulang ke Amra, turun gunung.

Turun gunung adalah istilah bagi mereka ketika meninggalkan hutan dan kembali ke desa untuk sementara waktu. Turun gunung biasanya dilakukan untuk keperluan mengambil tambahan logistik, bahan makanan, obat-obatan, dan keperluan lainnya untuk bertemu keluarga yang tentu merasa cemas sekaligus memantau kondisi di luar hutan. Mereka bergantian setiap dua minggu tiga sampai lima orang di setiap desa yang berbeda.

“Aku ingin turun gunun. Amra pasti mencemaskanku. Adakah yang akan turun?” Ia bertanya pada Said.

“Dua hari lagi, kau bisa ikut bersama Agam dan Ismail.”

Evan seakan sudah bisa membayangkan berada di dekat Amra. Data-data yang ia kumpulkan sudah cukup sebagai laporan tesisnya, ia hanya perlu mencari beberapa referensi lain. Referensi teoritis atau kronologis sejarah yang tentu harus ia cari dari buku-buku, bukan di hutan ini.

Namun ternyata, Evan tak perlu menunggu dua hari lagi. Satu suara keras di luar mengejutkan mereka.

(43)

“Tentara datang!”

Leman yang sedang berjaga di batas ujung markas melihat satu sosok mencurigakan mendekat. Muncul di antara hujan dan bayang-bayang pohon. Ia bersiaga namun ketika sosok itu mendekat ia bisa mengenalinya sebagai, Pon, salah seorang pengawal Panglima Syamsul. Tampaknya Pon terluka, darah terlihat membasahi bagian lengan bajunya.

“Tentara datang!” teriaknya panik berulang-ulang ketika mendekat. “Mereka telah menembak panglima dan sedang melakukan penyisiran ke daerah sini. Kalian harus pergi.”

Panglima tertembak? Leman serasa mendapat mimpi buruk. Ia sangat mengagumi Panglima Syamsul sebagai sosok yang tegas dan kuat. Bagaimana bisa ia tertembak? Ia selalu siaga dan waspada. Ia seorang pemimpin.

“Ketika kami sampai di perbatasan hutan, para tentara telah menunggu dan mengepung. Semuanya terjadi tiba-tiba. Aku memutuskan berlari kemari memperingati kalian. Aku tidak tahu yang terjadi pada semua pengawal panglima. Mungkin mereka semua juga tertembak atau tertangkap. Sepertinya mereka tahu tentang kunjungan panglima hari ini. “

“Ada cuak,” Leman cepat menyimpulkan.

Masing-masing mereka pun bertatap saling mencurigai dan menerka-nerka, benarkah ada mata-mata di antara mereka? Jika benar, ini keterlaluan sekali. Ini bukan kali pertama terjadi. Bagaimana bisa mereka kembali kecolongan?

“Apa tentara mengejarmu?”

“Mereka tak melihatku lari, tapi aku yakin mereka bergerak kemari.” Said bersama mereka yang tadinya berkumpul di tenda telah keluar dan mengelilingi Pon mencaritahu apa yang terjadi.

Said memerintahkan Agam untuk segera mengobati lengan Pon yang berdarah dengan peralatan pengobatan seadanya. Agam dengan cepat lalu menyiapkan pisau yang dibakar untuk mengeluarkan sebutir peluru di bagian tangan. Pon menjerit bersamaan dengan peluru yang mencelat keluar. Agam melumuri bagian tangan itu dengan antiseptik lalu mengikatnya dengan kain untuk menghentikan pendarahan. Ia melakukan

(44)

FRAKSI XVI

KEBOHONGAN

YANG TERUNGKAP

Amra mendadak sangat gelisah. Ia terus memikirkan Evan. Apakah ia baik-baik saja? Ia rajin memantau berita-berita namun tak ada berita apa pun yang ada hubungannya dengan aksi kelompok Said di hutan timur. Hanya ada beberapa berita tentang kejadian pelemparan granat pada beberapa pos militer yang tidak diketahui pelakunya di kawasan utara, pembakaran rumah dan gedung sarana umum juga kabar tentang penambahan jumlah tentara nasional yang kembali dilakukan.

Amra tak bisa terus berada di rumah Said, ia harus kembali ke Banda Aceh melakukan aktivitasnya. Haris yang juga tak tahu apa pun tentang kegiatan abangnya di hutan menyimpan rasa khawatir hanya untuk dirinya sendiri. Ia telah terbiasa bertahun-tahun seperti ini. Said pulang menginap beberapa malam, lalu pergi untuk beberapa waktu yang tidak pasti. Ia tanpa setahu Said, menyiapkan mental dan hatinya, bisa saja suatu saat Said akan kembali ke rumah dalam bentuk serupa Abu mereka dulu. Remuk redam dan kalah. Meninggalkan ia sebatang kara.

Hari-hari belakangan ini, Amra semakin merasa tak nyaman. Hampir setiap pagi ia merasa mual, muntah, dan kelelahan pada aktivitas ringan. Ia tak sanggup mencium bau-bauan yang mencolok dan kehilangan selera makan. Segumpal daging telah bersemayam di rahimnya, menunggu waktu untuk diberikan nyawa oleh sang pencipta. Ia belum memeriksakan diri ke bidan, hanya mengecek sendiri dengan test pack sederhana untuk lalu menemukan dua garis merah muda berderet rapi di alat kecil itu. ‘Evan belum

tahu kalau ia akan menjadi seorang ayah’ bisiknya pada angin, tangannya

(45)

Ia sangat mengharapkan keberadaan Evan di sampingnya untuk menghadapi masa-masa tak nyaman seperti ini. Apa ia baik-baik saja di hutan? Adakah yang terjadi tanpa sepengetahuannya. Ia juga kesal kenapa Evan yang merasa belum lagi cukup berada di belantara sana.

Tapi Amra tak bisa menyalahkan Evan. Sejak awal ia sadar tujuan utama Evan ke Aceh ini adalah untuk penelitian tesis dan kepentingan jurnalistiknya. Dan pernikahan mereka sebenarnya adalah satu hal yang tentu tak ada dalam perencanaan laki-laki itu. Cinta datang memang tak selalu bisa direncanakan. Amra tahu Evan mencintainya. Dari sorot matanya, dari sikap manisnya, dan dari kelembutan suara ketika berkata-kata. Meki ia juga sadar, ada sesuatu yang tersembunyi dari karakter lelaki asing itu. Berada jauh dalam waktu lama seperti ini menghadirkan pendar-pendar khawatir. Apa Evan memang laki-laki seperti yang ia kenal? Atau ia terbutakan cinta dan bisa saja dibuat kecewa?

Amra mendesah, ia tahu sejak awal kisah mereka tak akan mudah. Ia merasa telah menyiapkan mentalnya menjalani hal itu, namun nyatanya, ia melemah. Ayo Amra, tetap kuat!

Ia lalu tersenyum pada wajahnya sendiri di cermin, mencoba membangun pikiran positif tentang hidupnya. Semua akan baik-baik saja, ucapnya berulang-ulang. Ia kembali mengelus perutnya yang belum terlalu kentara. Akan ada makhluk manis yang menemaninya sebentar lagi. Sosok kecil menggemaskan yang akan membuat dirinya berharga, menjadi seorang ibu.

Ayah dan Ummi telah berkali-kali menanyakan Evan. Jawabannya macam-macam. Evan ke Medan menjumpai seorang teman, lalu langsung ke Bogor mengunjungi kerabat. Ia menjadi terbiasa berbohong. Setelah kebohongan-kebohongan terdahulu ia masih belum bisa menghentikan kebohongan yang lain. Terus bertumpuk dan tumpang tindih mencipta dosa tak ringan. Alasan terakhirnya Evan ke Jakarta, memperpanjang visa. Namun ia tahu, kali ini mereka tak akan percaya begitu saja.

“Kenapa tak izin pada Ayah dan Ummi?” Ayah yang bertanya dengan rasa curiga yang lebih besar dibanding rasa tersinggung karena tak dipamiti menantu. Amra masih diam dengan raut murung yang tak bisa

(46)

FRAKSI XVII

KALAH

Foto tragis itu terpampang di halaman muka harian lokal. Menciutkan nyali siapa pun yang melihat, terlebih Amra. Tajuk berita tercetak dengan huruf kapital mencolok di bawah foto itu: Panglima Syamsul Tertembak di Hutan Timur.

Hutan timur adalah tempat Evan dan Said berada. Kontak senjata terjadi di sana. Amra menolak membayangkan kalau sebutir peluru atau lebih telah mengenai Evan, membuatnya tersungkur di suatu tempat tanpa ada yang menemukan. Amra lebih memilih membayangkan Evan bersembunyi, terjebak di suatu tempat menunggu bantuan. Meski itu juga berat, itu adalah sebuah harapan.

Kepalanya penuh dengan banyak hal, tapi kaki dan tubuhnya terkurung di rumah. Ia tak boleh ke mana pun. Bahkan ke kantornya saja tak lagi boleh. DUF terancam dibubarkan karena ia dituding terlibat membantu anggota Panglima Syamsul. Logistik dan barang-barang yang mereka temukan di hutan, dipercaya berasal dari sumbangan DUF. Bagaimana mereka tahu? Padahal Amra dan relawan lain sangat berhati-hati, tak pernah meninggalkan jejak atau bekas pada bantuan yang mereka berikan.

Sikap Ayah yang terus sinis dan menyudutkannya dengan kalimat-kalimat keras semakin mempersulit geraknya. Ayah benar-benar murka dengan ketidakjujuran Amra tentang identitas Evan.

“Kau bahkan mengarang cerita tentang pertemuan di Youth Exchange itu! Berapa banyak dustamu pada orang tua? Mau kau durhaka? Keterlaluan sekali Amra,” umpatnya.

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu bahan pengikat dalam kue kering yang dapat digunakan untuk meningkatkan gizi kue kering adalah tepung ikan bandeng yang memiliki kadar gizi tinggi

Penelitian dilakukan untuk mengidentifikasi kendala-kendala dalam penyusunan laporan keuangan serta menyusun laporan keuangan berdasarkan SAK ETAP.Penelitian

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk memberikan pengetahuan dalam bidang psikologi industri dan organisasi di Indonesia, terutama untuk memperkaya pemahaman

Anova merupakan alat uji statistik yang digunakan untuk menguji apakah lebih dari 2 populasi yang independen, memiliki rata-rata yang berbeda atau sama.. Anova pada intinya sama

Hasil ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Aftab & Naseer (2016) yang meneliti prediktabilitas pengembalian saham melalui rasio keuangan pada 31

Semua jenis lipid ini banyak terdapat di alam (Suhardi et al. Lipid berasal dari bahasa Yunani, lipos yang berarti lemak yang merupakan segolongan besar senyawa yang

Judul dari skripsi ini adalah “Analisis Derajat Kristalinitas, Ukuran Kristal dan Bentuk Partikel Mineral Tulang Manusia Berdasarkan Variasi Umur dan Jenis Tulang”.. Skripsi

Sudah lama kita ketahui bahwa biaya merupakan pengurang dari suatu laba perusahaan, sehingga perusahaan seringkali menekan biaya operasional perusahaan untuk