• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lima tahun sejak Evan kembali ke negaranya, putri yang dilahirkan Amra kini berusia lima tahun. Putri yang cantik dengan wajah sangat mirip Evan. Amra mencintai puterinya, meski hatinya kerap terluka setiap melihat semua kemiripan itu. Amra beruntung bisa melahirkan putrinya di luar penjara. Ia menjalani tahanan rumah karena kondisi kesehatannya yang memburuk.

Darussalam Unity Front pun dibubarkan. Amra berada dalam daftar

orang-orang yang diawasi aktivitasnya. Meski ia tak lagi punya semangat untuk melakukan banyak hal. Patah hati dan terluka karena pengkhianatan mampu mengubah karakternya.

Ayah Amra pun bersikap tak lebih baik. Sepanjang waktu pundaknya kini meluruh, membuatnya tak lagi berjalan tegak. Masa kejayaannya berakhir bersama dengan surat pemecatan dari posisinya sebagai anggota dewan yang terbit dengan tanda tangan penguasa daerah dan pimpinan partai. Sekarang ia hanyalah lelaki tua yang tak lagi dianggap penting. Hanya Ummi yang perlahan mampu melihat masalah itu dengan pikiran terbuka. Ia kerap meniupkan kalimat-kalimat hiburan pada Amra dan suaminya. Setidaknya mereka masih berkumpul.

Ummi pikir segala masalah sudah berlalu, tak akan ada yang lebih buruk terjadi. Mereka sudah melalui masa-masa sulit.

Namun, Ummi salah, pagi itu bencana lebih mengerikan terjadi. Bumi bergetar hebat, gempa terasa sangat keras. Tak pernah sebelumnya mereka

merasai gempa sekeras ini. Tanah yang mereka injak bergetar. Mereka melihat pohon-pohon bergoyang, kabel-kabel listrik terayun-ayun dan tanah seakan berderak akan merekah.

Ayah membimbing Ummi keluar rumah. DI luar orang-orang berkumpul dalam kepanikan. Zikir dan pekik takbir memenuhi udara. Lalu bumi kembali tenang.

“Amra dan Aufa di dalam,” suara Ummi panik.

Ummi akan kembali ke tempat Amra, ketika Amra keluar bersama Aufa yang menangis dalam gendongannya. Keduanya ikut bergabung dengan orang banyak di halaman. Tak ada yang bisa melakukan apa pun ketika bumi kembali bergoyang. Mereka melihat rumah tetangga mereka rubuh.

Lalu semua terjadi sangat cepat. Tiba-tiba Orang ramai berlari dari arah pantai, sambil berteriak-teriak, ‘Air laut naik! Lari!’. Air laut naik? Apa maksud mereka? Dalam kebingungan mereka ikut berlari menuju jalan raya.

Di jalan raya, mobil-mobil telah memenuhi jalanan, tersendat tak bergerak. Orang ramai panik. Saat itulah Amra melihat gulungan air bah sangat tinggi bergelung mengejar ke arah mereka dengan gerak sangat cepat. Amra tak bisa bergerak, hingga tangan Ayah menariknya, membawa mereka ke deretan rumah toko di pinggir jalan dan mendorong Ummi untuk terlebih dahulu menaiki tangga, cepat ke lantai atas. Amra berpikir, petaka apa ini? Apa yang terjadi? Berempat mereka duduk di atas bersama orang-orang yang selamat. Wajah-wajah mereka sama bingungnya.

Namun entah siapa yang memulai, lantunan ayat Alquran bergema, menyebar dari telinga ke telinga mengajak mereka melafalkan kalimat Allah. Pasrah

Di bawah mereka, jalanan menghilang berganti aliran air bah yang membawa mobil-mobil, barang-barang elektronik juga ragam barang lainnya. Di beberapa atap rumah yang lain, beberapa orang tampak berdiam menyelamatkan diri. Begitu pula di atas tiang listrik dan di puncak pohon. Amra terus berzikir dan berdoa dengan segala hafalan ayat-ayat Al-Qur’an yang ia ingat.

Komplek Pengungsian Tsunami, Februari 2005.

Amra tampak bersemangat. Ia menggandeng tangan Aufa, putrinya, sebelum bergegas menemui para tamu. Ketika mereka menyalaminya satu per satu, rasa optimis menjalar ke seluruh tubuh. Ia telah diberitahu kalau mereka dari Crisis Management Initiative.

“Lembaga kami akan menjadi pemantau proses perdamaian di negara ini. Kami telah membentuk tim dan akan baik sekali jika Anda mau ikut terlibat.”

Amra mendengar penjelasan seorang lelaki berkebangsaan Finlandia itu dengan cermat. Tak ingin melewatkan informasi apa pun.

“Apa yang Anda harapkan dengan keterlibatan saya?”

Amra tak bisa menahan dirinya untuk bertanya langsung kepada lawan bicaranya itu.

“Saya telah membaca semua tulisan Anda. Saya bisa memahami kegelisahan dan visi-misi yang Anda bagikan. Sejujurnya sejak awal, saya ingin Anda terlibat. Hanya saja saya kesulitan mencari Anda. Terima kasih kepada Yusuf yang memberi informasi tentang keberadaan Anda di sini. Saya sempat berpikir, bencana tsunami bisa saja merengggut Anda juga. Tapi tampaknya Anda terlalu tangguh, bahkan untuk bencana dahsyat ini.”

Amra reflek memeluk Aufa. Ia telah berjanji untuk terus kuat. Hidup di penampungan pengungsi tak mudah. Terlebih dengan anak kecil usia lima tahun dan kedua orang tuanya yang lanjut usia. Namun ia tahu, semua akan membaik. Ia hanya perlu bertahan.

“Terima kasih telah mencari saya.”

“Berterima kasihlah kepada Yusuf,” lelaki itu menepuk pundak Yusuf yang hanya tersenyum sambil membenarkan letak kaca matanya.

“Saya hanya perantara,” ujarnya dengan suara pelan.

Amra tak menyangka kalau Yusuf menghubunginya beberapa hari yang lalu melalui email. Ia hanya sekali berkomunikasi dengan Yusuf, di suatu malam sebelum Evan berangkat ke hutan timur, di rumah Said. Ia tak tahu Yusuf punya ketertarikan dengan apa-apa yang telah ia tulis.

“Terima kasih masih mengingat saya, Yusuf,” ujar Amra.

Yusuf yang namanya disebut tersenyum padanya. Ketika Amra membalas senyumnya, ia merasa lega. Sikap Amra yang tanpa beban membuatnya sadar Panglima Arwin Hasbi tak membocorkan bahwa ialah yang menjadi sumber informasi keberadaan pasukan Said di hutan. Bahwa ialah yang karena terdorong sakit hati atas perlakuan Evan, membocorkan semua rencana Evan, meski pada akhirnya Emille tak pernah sudi menerima pengakuan cintanya hingga ia meninggalkan Amerika dan kembali ke Aceh.

Diterbitkan oleh

Percetakan & Penerbit

SYIAH KUALA UNIVERSITY PRESS

Jln. Tgk. Chik Pante Kulu No. 1 Kopelma Darussalam

Telp. 0651-812221

email: upt.percetakan@unsyiah.ac.id unsyiahpress@unsyiah.ac.id

ISBN 978-623-264-304-8

Novel ini akan membawa pembaca seolah kembali dalam kengerian masa konflik Aceh yang membuncah dan meradang di masa lalu. Perasaan getir dan takut diajak beradu dengan rasa penasaran untuk membaca cerita demi cerita yang tersusun apik. Penulis begitu lihai merangkai kata hingga pembaca bisa membayangkan setiap kejadian imajinatif seolah-olah nyata. Kisah perjalanan cinta Amra, seorang gadis Aceh dengan jurnalis asing bernama Evan menjadi sajian utama yang akan mengungkap prahara konflik. Novel ini benar-benar unik dan sangat menarik untuk dibaca. Banyak nilai moral yang bisa didapat hingga membuat pembaca tidak akan menyesal membacanya.

Dokumen terkait