• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evan dijemput sebuah taft tua saat hari masih gelap. Langit masih hitam berbintang pertanda subuh belum datang. Penjemputnya adalah tiga lelaki berwajah kaku tanpa senyum yang menyuruhnya segera bergegas. Evan belum pernah bertemu mereka tapi tahu mereka adalah anak buah suruhan Said. Orang-orang yang menemuinya atas suruhan Said, terus berganti-ganti. Wajah-wajah mereka sulit ia tandai.

Malam ini ia akan ikut bersama mereka menuju belantara hutan di kawasan timur. Beberapa waktu lalu setelah pertemuan dini hari mereka, Amra berhasil bertemu beberapa tokoh AM. Kala itu ia sedang menyerahkan bantuan logistik yang berasal dari donator Darussalam Unity Front bagi korban-korban kekerasan di Aceh. Dan menurut Amra kelompok timur berhak dibantu secara logistik karena anggota mereka kebanyakan berasal dari keluarga korban konflik. Itu adalah rahasia mereka sebenarnya. Pemerintah juga ayahnya tentu tak boleh tahu. Amra memanfaatkan rasa terimakasih Panglima wilayah timur untuk membantu Evan. Mereka tak lagi punya alasan menolak Evan, apalagi anggota yang lain juga sudah mendukung.

Amra telah menyiapkan semua kebutuhan Evan selama di hutan. Ia berharap itu takkan lama. Sebenarnya ia ingin ikut tapi Evan melarangnya, keadaan di hutan tak mudah bagi wanita sepertinya. Setelah menyerahkan alat jurnalis Evan, Amra mencium tangan Evan dan Evan membalas dengan mencium keningnya.

“Aku tak bisa mencegahmu pergi. Iya kan?” Kalimat Amra lirih sekali. “Ini ambisiku, Amra. Kau tahu sejak awal,” Amra mengangguk. Ia tahu, hanya saja ia ingin egois dengan melarang Evan pergi dan tetap berada di

sampingnya. Mereka masih pasangan pengantin baru. Ia berharap perjalanan ini bisa ditunda. Namun itu tak akan terjadi. Evan punya tenggat.

Kemarin sore mereka menuju rumah Said. Amra mengatakan pada Ummi dan Ayah mereka akan berlibur ke Medan agar Ummi dan Ayah tak curiga dengan kepergian Evan. Untuk sementara Amra akan tinggal di rumah Said bersama Haris. Haris tentu saja senang dengan ide itu. Amra tahu ia tak mungkin terus melakukan kebohongan seperti ini terhadap orang tuanya namun ia juga merasa tak siap untuk mengungkapkan kebenaran. Tentu kedua orang tuanya akan marah sekali, dan mereka berhak untuk marah.

Taft yang membawa Evan membelah malam. Evan dapat merasakan ketegangan yang memacu adrenalinnya. Meski bersemangat tak urung ada juga rasa takut yang muncul. Ini adalah ambisinya, semua akan berjalan sesuai rencana ucapnya meyakinkan hatinya sendiri, menepis khawatir. Sepanjang perjalanan ketiga lelaki itu tak mengajaknya berbicara, Evan merasa tidak enak dengan kediaman yang tercipta sepanjang perjalanan.

“Siapa namamu?” ia mencoba menegur lelaki yang duduk di sampingnya. Namun lelaki itu hanya diam.

“Apakah nanti saya akan bertemu Said?” ia bertanya lagi. “Dia ada di hutan” jawaban yang ringkas, membuat sungkan.

“Teman-teman kalian yang lain pernah datang ke rumah. Kami sempat bercakap-cakap. Aku mengenal Leman” ia berharap kalimat itu membuat mereka tak terlalu tegang dan mulai terbuka dengannya. Namun tak ada respon. Evan menduga mereka tidak diperkenankan untuk banyak berbicara dengannya.

Sepanjang jalan, mereka tak bertemu dengan kendaraan lain. Sepi, karena memang tak ada yang berani bepergian malam-malam begini apa pun urusannya. Evan juga dapat menangkap kehati-hatian ketiga lelaki ini. Mereka tentu takut terkena sweeping atau razia tentara yang biasanya sering dilakukan ketika malam. Untuk itu, mereka menghindari jalan utama karena di sepanjang jalan provinsi terdapat banyak pos tentara. Jika tentara menghentikan mobil ini, tentu mereka tak dapat berkelit melihat isi mobil yang dipenuhi oleh bahan-bahan makanan dan seorang bule dengan peralatan jurnalistik. Terlebih jika mereka menggeledah bawahan jok mobil, mereka akan menemukan tiga pucuk

FRAKSI XIII

PENGKHIANAT

Seorang lelaki terikat pada sebatang pohon ketika Evan keluar dari tendanya. Pagi muncul tanpa rintik hujan. Syukurlah! Ia bukan tak menyukai hujan, ia hanya tak tahan dengan tanah becek yang lumpurnya akan menempel di kaki, membuat berat ketika berjalan. Ia berpikir mungkin lelaki yang tampak habis dipukuli itu adalah tawanan. Satu orang lagi yang bisa ia jadikan sumber cerita. Tiba-tiba semangatnya muncul.

Lelaki itu memakai kemeja berlengan panjang dan celana kain yang kusut. Tubuhnya cungkring namun jenggot tipisnya tampak rapi. Penampilannya menampik sangkaan Evan kalau ia seorang tentara negara. Evan menebak-nebak. Mungkinkah ia jurnalis seperti dirinya? Lalu kenapa ia diikat? Leman yang datang dari arah tenda sebelah menatap Evan dengan tatapan tajam seperti biasa. Tatapan yang menyuruh Evan untuk pergi atau menyingkir. Ia tak akan menuruti Leman.

“Aku paling benci pada cuak sepertimu,” ucapnya kasar pada lelaki itu. Evan sontak mendekat.

Cuak? Bukan sekali ini ia mendengar kata itu. Cuak adalah orang yang

mereka anggap menjadi mata-mata lawan. Mereka hidup berbaur dengan masyarakat lokal, menguping sana sini, dan memantau orang-orang yang dicurigai terlibat gerakan lalu melaporkannya kepada tentara.

“Aku tak memihak, aku hanya menyampaikan kebenaran,” meski tubuh tawanan itu tampak lemah tapi kata-kata itu diucapkan dengan nada tegas.

Aura wajah lelaki itu tampak aneh, bersih putih dengan selaput cahaya. Evan tak tahu, apa itu hanya pandangannya saja? Tapi benar lelaki itu seperti memiliki karisma. Mommy dulu pernah berkata padanya kalau Mommy bisa

membaca aura orang-orang. Pendar-pendar warna yang melingkupi seseorang tergantung watak dan karakter juga pembawaan suasana hati mereka. Menurut

Mommy yang ia ingat, aura putih menunjukkan kedewasaan dan kebijaksanaan,

merah untuk seseorang yang bersemangat atau senang bersaing, jingga untuk sikap optimis dan harmonis, hijau serupa warna damai dan penyembuh, kuning kemampuan mental yang tinggi dan kreatifitas, dan warna lain yang Evan tak hafal. Ia sebenarnya meragui pengakuan mommy. Terdengar tak masuk akal, jadi digelengkan kepala.

“Alah! jangan banyak cakap, kau pikir kami tak tahu sepak terjangmu, hah?” Leman berteriak di muka lelaki itu, lelaki itu tak lagi menjawab hanya memejamkan matanya mencoba tak terpancing amarah Leman.

“Kamu awak geutanyou, orang kita, tapi pengkhianat,” kalimat Leman membuat muka lelaki itu memerah namun ia tetap memejamkan mata sambil mulutnya seperti mendesiskan sesuatu.

“Bicara sekarang! Kenapa diam? Orang-orang bilang suaramu begitu keras di mesjid-mesjid. Kau takut kalau senjataku meledak dan merenggut nyawamu ya?” Alis dan kelopak mata lelaki itu bergerak-gerak, bibirnya bergetar hingga mulut itu membuka juga.

“Aku hanya takut pada Allah, Tuhanku yang maha mengadili,” suara yang pelan namun jelas itu membuat Leman seperti terdorong ke belakang namun energi iblis membuat tangannya terkepal dan meninju wajah lelaki yang lalu tersungkur membungkuk namun tak bisa melawan itu. Evan terpana akan sikap Leman yang keterlaluan. Ia spontan mendekat, berusaha membela lelaki tak ia kenal itu. Tapi Leman tak suka Evan mendekatinya.

“Kau tak usah ikut campur!” ujarnya ketus ke arah Evan. Beberapa anggota pasukan lain juga telah berada tak jauh dari mereka, memandang dengan tatapan yang sama dengan tatapan Leman. Begitu bencikah mereka pada lelaki ini padahal sepertinya lelaki ini tak bersenjata. Ketika itulah Said muncul dari dalam tenda. Ia tentu mendengar suara Leman yang keras.

“Leman, tak ada yang memerintahkanmu menginterogasinya.”

Leman melihat Said dengan tatapan tak senang, namun ia mundur juga menjauhi lelaki itu tanpa berkata-kata. Posisi Said lebih tinggi darinya, tak mungkin ia melawan meski ia sering kali tak suka dengan sikap dan keputusan

FRAKSI XIV

Dokumen terkait