• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berhelai daun kering jatuh

terhempas angin yang melukai mesti tak ingin

Evan dan Teungku Nuh berhasil mencapai pinggiran hutan. Langit telah sempurna gelap, hanya ada beberapa titik binar bintang terserak jauh-jauh bersama sepotong bulan sabit yang tergantung acuh.

“Kita harus terus menjauh dari sini,” ujar Tengku Nuh, meski tungkai kakinya telah sangat lelah. Jalanan berbatu dan tanah becek akibat hujan kini terhampar di hadapan mereka. Meski tak tahu pasti di mana tepatnya keberadaan mereka, Tengku mengajak Evan segera menemukan jalan yang dilalui oleh kendaraan. Mereka bisa meminta tumpangan ke kota atau tempat terjauh dari sini. Meski risiko razia jalan raya juga mengancam.

“Apa tak sebaiknya kita tetap di hutan bersembunyi setidaknya hingga fajar?” Tanya Evan, namun Tengku menggeleng.

“Berada di hutan tak lagi aman. Mereka akan menyapu semua titik.” Itu benar, tapi di luar sini pun mereka telah disambut oleh bahaya lain. Baru satu kilometer berjalan, mereka dihadang sepasukan tentara. Ada enam tentara dengan senjata teracung. Tampaknya mereka memang bertugas menanti siapa saja yang keluar dari hutan sisi ini. Para tentara telah disebar mengepung hutan, terlebih di titik-titik pintu keluar. Evan bisa membayangkan sebesar apa pasukan yang dikerahkan.

“Angkat tangan!” Evan gentar, ini kali kedua senjata siap tembak diarahkan kepadanya. Salah langkah, senjata itu akan meletus, merobek kulit, daging bahkan organnya.

Nuh. Serentak mereka mengangkat tangan ke atas kepala. Dua tentara itu mendekat ke arah mereka berdua, melakukan standar pemeriksaan. Sementara yang lain tetap siaga dengan senjatanya. Salah seorang dari mereka merampas ransel Evan dan menggeledah isinya dengan kasar.

“Hati-hati, itu barang-barang berharga,” seru Evan. Tentara itu tak memedulikan peringatannya.

“Kami harus menyita barang-barang ini.”

“Kalian tak bisa mengambilnya, kembalikan padaku. Itu milik pribadi, sama sekali tak ada senjata atau barang berbahaya,” pintanya keras. Ia teringat bahwa ia belum menghapus semua file foto-foto juga rekaman-rekamannya. Ia mengabaikan pesan Said karena merasa ia masih membutuhkan file-file itu sebagai back-up pribadi. Dan bagaimana jika mereka memeriksa semua itu? Pasukan Said tak akan bisa bersembunyi lagi. Semua data, wajah anggota bahkan keluarga dan warga tak bersalah terselip di situ. Bisa menimbulkan salah paham. Mereka tak boleh mengambilnya. Evan maju, ingin merebut kembali barang-barang itu, lupa pada todongan senjata yang mengarah ke kepalanya.

“Door!” sebuah peluru dimuntahkan ke langit, menyentak Evan, hingga jantungnya seakan terlepas dari bingkainya.

“Diam dan tetap berdiri! Kami tak segan menembak.” Evan tak bisa mengontrol tubuhnya untuk tidak gemetar. Ia baru sadar kalau ternyata ia tak seberani yang ia pikirkan selama ini. Nyalinya menciut dan itu tampak jelas dari wajahnya yang pias. Kaku ia mengangkat kembali tangannya.

“Tidak, kalian tak bisa menembaknya. Dia jurnalis, hukum internasional melindunginya,” itu suara Tengku Nuh yang harusnya bisa membuka kesadaran Evan. Tentu saja mereka tak akan asal tembak terhadapnya. Namun tentara itu tetap menampilkan wajah datar.

“Jika kami menembakmu dan orang ini sekarang, tak ada yang akan tahu. Bisa saja kami berdalih anggota gerakan terlarang yang kalian ikutilah yang melenyapkan kalian. Atau bisa juga kalian lenyap begitu saja dan tetap menjadi misteri tak terpecahkan. Ini daerah konflik, apa saja bisa terjadi,” kalimat itu tegas, membuat Evan dan Tengku Nuh tak lagi coba melawan. Kalimat yang harus mereka ucapkan, agar keduanya patuh. Tentara itu tentu

FRAKSI XIX

PENJARA

Ummi baru saja akan mematikan semua lampu ketika suara mobil menderu di pekarangan. Bukan satu, bahkan tiga mobil sekaligus. Firasat jelek langsung menyelimutinya.

“Ayah, lihat tentara datang. Ada urusan apa mereka kemari kali ini? Apa mereka akan benar-benar menahan Amra?”

Ayah bangkit menuju pintu tanpa mencoba menenangkan Ummi. Ayah masih sah sebagai salah satu orang berpengaruh di nanggroe ini. Tentu tentara-tentara itu tak akan sembarangan menghadapinya. Ia mulai menebak-nebak hubungan kedatangan tentara itu dengan Evan yang juga tak kembali. Apa mereka membawa berita buruk? Mungkin Evan tertembak? Ayah menguatkan dirinya menghadapi tentara itu. Ingin menampilkan sikap wibawa agar mereka gentar. Namun tentara itu tak terkesan, salah seorang dari mereka menunjukkan surat yang membuat Ayah merasa tubuhnya akan roboh.

“Kami harus menahan putri Anda. Ini perintah, tak boleh ada yang menghalang-halangi.”

“Apa katamu? Panglima telah setuju menjadikannya tahanan rumah sampai Evan ditemukan”

“Jurnalis itu telah ditemukan, ia di markas. Dan ia memiliki bukti kuat keterlibatan putri Anda dan Darussalam Unity Front yang ia dirikan.”

“Evan?” Ayah menggeram, terlalu dendam ia pada sosok tak berperasaan itu. Evan telah mempermainkan perasaan putrinya atas nama cinta, membutakan Amra agar mau dinikahi dan kini ia juga menarik Amra dalam kubangan pekat masalah.

“Tidak! Kalian tak bisa membawanya.”

“Aku akan ikut mereka Ayah,” suara tegas putrinya itu membuat hati Ayah berdesir. Ia telah berada di anak tangga. Wajah pias itu meruntuhkan lapisan terakhir dinding egonya. Betapa ia menyayangi putrinya. Tak mungkin ia membiarkan putri tersayangnya dibawa begitu saja, sedang ia tahu bagaimana proses peradilan yang akan mereka lakukan terhadap siapa saja yang dituduh memberontak. Selama ini bertahun-tahun ia melindungi keluarganya. Bahkan menolak membela saudara kandungnya sendiri demi membuat batas aman untuknya dan keluarga kecil ini.

Beginikah dulu yang dirasakan Said ketika melepas abu-nya ditangkap tentara? Bahkan rela memohon dan mencium kakinya untuk melakukan pembelaan? Permohonan yang ia abaikan dengan angkuh dan tak berperasaan. Malah kemudian ia membiarkan Said dan Haris terlunta-lunta hingga mencari jalannya sendiri-sendiri.

“Tidak Amra, kau tak boleh pergi.”

“Aku harus bertemu Evan, Ayah. Ia bahkan tak tahu kalau aku sedang mengandung anaknya. Ini adalah kesempatanku bertemu dan meminta penjelasan tentang apa yang terjadi,” suara itu begitu yakin dan tak memperlihatkan rasa takut. Mungkin setelah lelah menunggu tanpa kabar keberadaan Evan, ini menjadi akhir dari penantiannya. Telah ia buang rasa cemas dan takut. Ia harus bertemu Evan.

Sekuat apa pun Ayah menahan, tentara itu tetap membawa Amra dari hadapannya. Bahkan tak memberi kesempatan Ayah untuk mengelus janin Amra untuk menyampaikan rasa sayang yang selama ini ia tutupi. Ummi tak kalah hancur. Amra masuk ke dalam truk belakang mobil lapis baja dengan tangan terborgol, dikawal ketat bagai penjahat.

Amra salah jika menyangka dengan ikut ke pos militer ia akan mudah bertemu Evan. Tentara itu memasukkannya dalam ruangan sempit yang dinding-dindingnya begitu dingin lalu pergi tanpa mempedulikan permohonannya.

“Pertemukan aku dengannya, tolonglah!” lelah ia memohon berkali-kali tapi mereka tak kembali. Membiarkan ia meringkuk sendiri sambil mengelus perutnya.

FRAKSI XX

MAHADUKA

Dokumen terkait