• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEMOGRAFI WILAYAH PENELITAN DAN ASAL CERITA

3. Latar Sosial

3.2.11 Hawa Nafsu

Salah satu potensi yang diciptakan Tuhan di dalam diri manusia sehingga dapat hidup dan hidup lebih maju, penuh kreatif dan bersemangat, yaitu nafsu. Dengan ungkapan lain, jika manusia tidak mempunyai nafsu, tidaklah ada kemajuan dalam kehidupan manusia, karena ketiadaan nafsu ini tentu tidak akan ada kompetisi di antara manusia untuk memenuhi tuntutan hidupnya yang selalu berkembang setiap saat.

Jadi sebenarnya manusia tidak boleh mematikan nafsunya, tetapi manusia diharuskan untuk menguasai nafsunya, sehingga dapat mengendalikan agar nafsunya tidak sampai membawa kepada kesesatan. Menurut tabiatnya, nafsu ini kecenderungannya adalah kepada kesenangan, lupa diri, bermalas-malasan yang membawa kepada kesesatan. Dan nafsu selalu tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Kehidupan dunia yang didasari hawa nafsu tidak ada batasnya, dapat satu mau dua, dapat dua mau tiga, mau empat dan seterusnya. Kadang-kadang yang diperolehnya itu sudah berlebihan, berlimpah ruah, namun manusia belum merasakan puas. Kepuasan ini baru berakhir setelah maut datang menimpa dirinya.

Menurut sifatnya, nafsu sering dikategorikan menjadi tiga macam, yaitu: a. Nafsu Amarah. Nafsu ini adalah yang pertama kali timbul dalam diri

manusia. Nafsu ini sama dengan nafsu yang dimiliki oleh hewan, ia melahirkan bermacam-macam keinginan yang harus dipenuhi. Nafsu ini belum mengenal batas dan ketentuan, pendidikan dan bimbingan sehingga belum bisa membedakan antara baik dan buruk. Nafsu ini merupakan sumber segala kejahatan.

b. Nafsu Lawwamah. Yaitu nafsu yang menyebabkan manusia terlanjur untuk melakukan kesalahan, tetapi setelah itu menyesal atas perbuatannya. Sayangnya. apabila dorongan nafsu ini datang lagi, ia tidak mampu menahannya, walaupun setelah itu menyesal lagi.

c. Nafsu Mutma’innah. Yaitu nafsu yang benar-benar tenang, nafsu yang dapat dikendalikan oleh akal yang sehat dan telah mendapat bimbingan dan tuntutan yang baik. Nafsu ini ibarat kendaraan yang dapat dikuasai (Asmaran, 1992 : 140-141).

Jenis nafsu yang pertama dan kedua inilah yang harus dikendalikan. Kebanyakan manusia sudah dirongrong dan dihalang-halangi hawa nafsu dalam perjuangan mencapai taraf hidup yang tinggi, sehingga mereka terseret ke lembah kehinaan. Jika telah demikian hawa nafsu merajalela dan mengganas menjerumuskan manusia ke tempat yang hina, maka

kesengsaraan yang akan menimpa. Kalau hawa nafsu ini diperturutkan keinginannya, maka manusia tidak akan dapat menghindarkan diri dari tabiat yang cenderung kepada keburukan yang dapat menyesatkan orang dari jalan yang benar. Sebagaimana firman Allah dalam surat Shad ayat 26,

”Dan jangan kamu memperturutkan hawa nafsu, hawa nafsu itu akan dapat menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah kelak akan mendapatkan siksaan yang pedih, lantaran mereka lalai akan adanya hari perhitungan.”

Perbuatan yang senantiasa mengikuti hawa nafsu tidak akan memperhatikan kemarahan dan ancaman Allah SWT. Yang penting baginya adalah untuk memperoleh kemenangan sesuai dengan kehendak hawa nafsu. Semua tindakan dilandasi hawa nafsu dan nafsu amarah, sehingga apabila mencintai atau membenci seseorang, dan memberikan sesuatu kepada orang lain, semuanya didasari dengan perintah hawa nafsunya. Hawa nafsu dijadikan sebagai tuhannya.

Sebenarnya nafsu manusia mempunyai kecenderungan untuk baik dan buruk. Nafsu akan menjadi baik jika dibersihkan dari pengaruh-pengaruh jahat dengan menanamkan ajaran-ajaran agama sejak dini untuk mengendalikan tabiat nafsu yang jahat. Berbagai contoh dapat kita temui dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam masyarakat yang longgar hubungannya dengan agama. Misalnya seseorang yang digoda oleh keinginan yang tidak terkendalikan, akan mudah terseret kepada perbuatan atau tindakan jahat yang kemudian hari akan menjadi sumber penyesalan yang tiada putus-putusnya, bahkan mungkin menjadi sebab dari kesengsaraan seumur hidup.

Untuk mengendalikan hawa nafsu dan dorongan yang tidak baik, agama Islam memperingatkan agar kita berhati-hati, jangan sampai kita tersesat dan terdorong untuk melanggar ajaran agama. Dalam kenyataan hidup sehari-hari, kelihatan bahwa kecenderungan orang untuk mengejar kesenangan duniawi. Orang-orang tidak mampu mengendalikan dirinya dalam menghadapi dorongan hawa nafsu, akan tersesat dan sengsara hidupnya, bahkan tidak jarang menjadi sakit dan terganggu jiwanya karena hilang pegangan.

Oleh karena dorongan dan keinginan hawa nafsu ini banyak yang membawa kepada bahaya dan kesusahan, maka usaha untuk mengendalikan diri dan hawa nafsu perlu ditingkatkan. Pengendalian diri yang baik dan wajar adalah pengendalian yang timbul dari dalam diri sendiri, bukan karena paksaan atau perintah dari luar.Mereka yang dapat mengendalikan hawa nafsu inilah yang dikatakan Allah sebagai penghuni surga.

Dalam cerita Tuanku Putri Pucuk Kelumpang tokoh yang paling menurutkan hawa nafsunya terdapat pada tokoh raja. Bila dilihat dari kriteria pembagian nafsu yang dijelaskan oleh Asmaran (1992:141-142) maka hawa nafsu yang terdapat dalam tokoh raja tergolong kepada hawa nafsu

Lawwamah, yaitu nafsu yang menyebabkan manusia terlanjur untuk melakukan

kesalahan, tetapi setelah itu menyesal atas perbuatannya. Sayangnya, apabila dorongan nafsu ini datang lagi, ia tidak mampu menahannya, walaupun setelah itu menyesal lagi.

Pada dasarnya sudah timbul keraguan yang begitu dalam pada tokoh raja ketika ia hendak membunuh anaknya. Tokoh raja ragu karena begitu

dilihatnya untuk pertama kali, ternyata anaknya sangat cantik jelita, seperti yang terlihat pada kutipan berikut ini.

Setelah hasil tenunannya itu siap, Putri Pucuk Kelumpang pulang ke istana. Kedatanganya disambut gembira oleh ibunya. Raja hampir lupa janjinya karena putrinya itu demikian cantik dan memikat

Namun karena hawa nafsu telah menguasai dirinya maka tokoh raja tidak lagi memikirkan segala akibat dari perbuatannya. Seperti yang dikatakan oleh Asmaran bahwa nafsu ini menyebabkan manusia terlanjur untuk melakukan kesalahan, tetapi setelah itu menyesal atas perbuatannya. Sayangnya, apabila dorongan nafsu ini datang lagi, ia tidak mampu menahannya, walaupun setelah itu menyesal lagi. Dorongan akan kekuasaan dan kekayaan yang mungkin ditawarkan oleh si Palung, si ayam raksasa, membuat tokoh raja menjadi ”gelap mata” dan melakukan kesalahan yang seharusnya tidak ia lakukan. Akhirnya rasa penyesalan itu datang kembali dan menyiksa dirinya sehingga mengambil jalan pintas untuk mengakhiri hidupnya dengan menusukkan pedang ke badannya sendiri.

Inilah akibat dari tindakan mengikuti hawa nafsu sehingga tidak hanya merugikan diri sendiri, melainkan juga merugikan orang lain. Akibat dari perbuatannya, tokoh raja harus kehilangan putri tercintanya, Putri Pucuk Kelumpang, dan istri terkasihnya, sang permaisuri. Hal ini tergambar dengan sangat jelas dalam cerita Tuan Putri Pucuk Kelumpang seperti terlihat pada kutipan berikut ini.

Setelah hasil tenunannya itu siap, Putri Pucuk Kelumpang pulang ke istana. Kedatanganya disambut gembira oleh ibunya. Raja hampir lupa janjinya karena putrinya itu demikian cantik dan memikat. Berkokoklah si Palung, apabila raja lupa janjinya alamat bala akan menimpa. Baginda pun buru-buru menghunus pedangnya, sambil meminta maaf pada putrinya bahwa ia harus memenuhi janjinya.

Baginda pun membunuh putrinya, kemudian dagingnya diberikan pada si Palung. Karena merasa tidak tahan, permaisuri pun menghunus pedang, kemudian menikamkan pada tubuhnya. Ketika baginda melihat hasil tenunan putrinya, ia merasa sedih, kemudian ia bunuh diri

Inilah tragedi yang dapat dijadikan pelajaran bahwa bila mengikuti hawa nafsu maka bukan kebaikan yang didapatkan melainkan keburukan dan kerugian seperti yang dialami oleh tokoh raja dalam cerita Tuan Putri Pucuk

BAB IV