• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandai membawa diri (bersosialisasi)

DEMOGRAFI WILAYAH PENELITAN DAN ASAL CERITA

3. Latar Sosial

3.2.9 Pandai membawa diri (bersosialisasi)

Manusia tidak bisa hidup sendiri dan selalu membutuhkan pertolongan orang lain. Orang lain dapat membantu kita dalam kesusahan dan akan dirasakan ringan dibanding dengan hanya dipendam di dalam hati. Apalagi jika orang tersebut dapat membantu mengatasinya, baik dengan pikiran, tenaga atau uang.

Islam mengajarkan agar umatnya hidup bermasyarakat, agar mereka saling menolong antara satu dengan yang lain dalam memecahkan segala persoalan, demi untuk kebaikan. Kita perlu hidup bergaul dengan sesama, karena dengan demikian kehidupan manusia dapat lebih maju. Dengan bergaul, kita saling menyempurnakan, memberi dan menerima untuk kepentingan bersama. Namun dalam pergaulan sesama manusia, kita harus dapat membedakan pergaulan yang baik dan yang buruk. Juga harus pandai menempatkan diri dan membawa diri agar tidak terombang ambing dalam kehidupan.

Syaitan memiliki peluang yang luas dan jalan yang banyak untuk menyesatkan manusia dalam berbuat kebaikan dan menyesatkan ke jurang kejahatan. Semua perbuatan buruk dan jahat, baik yang dilakukan oleh perseorangan maupun kelompok, sumbernya hanya dari syaitan. Dia yang menggerakkan dan membuat situasi yang dapat mendukung terlaksananya perbuatan jahat itu. Dialah yang menyebabkan manusia diusir dari syurga dan juga selalu berusaha dengan cara apapun untuk menjerumuskan manusia ke jurang kesengsaraan.

Syaitan memang memiliki kekuatan yang luar biasa, ia dapat menjerumuskan siapapun yang ia kehendaki dengan cara yang sangat mudah. Ia juga mampu menghilangkan harapan masa depan seseorang, kemudian merubah kehidupan manusia sepanjang hayat dengan menahan dan memikul kepayahan dan kesulitan. Oleh sebab itu janganlah kita tergoda oleh rayuan dan bujukan syaitan. Hal ini dapat dihindari dengan keteguhan iman dan selalu berzikir kepada Allah.

Penulis menyarankan kepada pembaca agar bergaul dengan orang yang berakal dan menjauhkan diri dari orang yang jahat. Yang dimaksud dengan orang yang berakal di sini adalah orang dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk dan orang yang selalu berbuat kebaikan. Islam mengajarkan bahwa manusia yang paling baik adalah manusia yang paling banyak mendatangkan kebaikan kepada orang lain. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Qadla’ie dari Jabir, Rasulullah SAW pernah bersabda yang artinya “....sebaik-baik manusia ialah orang yang banyak manfaatnya

Orang yang jahat adalah orang yang berkepribadian buruk, selalu membuat keonaran dan keresahan dalam masyarakat. Orang yang seperti ini adalah musuh Islam yang utama karena Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah ke muka bumi untuk menyempurnakan atau memperbaiki akhlak manusia. Karena itu misi Islam yang pertama adalah untuk membimbing manusia berakhlak mulia, maka setiap pelanggaran akhlak akan mendapat sanksi atau siksa dari Allah. Dengan kata lain, setiap perbuatan buruk akan berakibat kesengsaraan bagi pelakunya. Banyak cerita yang diterangkan Allah dalam kitab suci al-Quran tentang binasa atau celakanya orang terdahulu, yaitu akibat dari kemaksiatan dan keburukan perbuatan mereka.

Pada hakekatnya, orang yang berbuat baik atau berbuat jahat terhadap orang lain adalah berbuat jahat kepada dirinya sendiri. Orang lain senang berbuat baik kepada kita, karena kita telah berbuat baik kepada orang itu. Allah berfirman dalam Surah al-Isra’ ayat 7 yang artinya “....jika kamu berbuat baik

(berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri”.

Perbuatan jahat bukan hanya berakibat buruk kepada diri sendiri, tetapi juga akan merusak keharmonisan dan kedamaian dalam masyarakat, misalnya minum-minuman keras. Dalam masyarakat yang sudah merajalela mabuk-mabukan, ketenangan masyarakat akan terganggu, karena dengan minum-minuman keras ini, orang akan hilang akalnya, kemudian dengan tanpa disadari bisa melakukan perbuatan jahat lainnya seperti mencuri dan berzinah.

Islam tidak meletakkan hukum dengan mengucilkan manusia dan masyarakat, bahkan sebaliknya membina kehidupan yang rukun dan damai di

antara sesamanya, kecuali di saat orang itu menjadi sumber kejahatan bagi orang lain dalam masyarakat. Islam mewajibkan manusia untuk menyenangi hidup mulia serta hidup dengan hasil perjuangan usaha sendiri dan bukan didasarkan kepada usaha yang dilarang seperti mencuri, korupsi dan sebagainya.

Sudah merupakan kewajiban setiap mukmin untuk menciptakan lingkungan yang baik. Hal ini harus dimulai dari diri sendiri. Jika tiap pribadi mau memperlihatkan atau bertingkah laku mulia maka akan terciptalah masyarakat yang aman dan bahagia. Kadang orang lalai untuk melihat diri sendiri sehingga tidak jarang tergelincir ke lembah kehinaan yang sangat merugikan kepada dirinya dan kepada diri orang lain. Muhammad al-Ghazali sebagaimana dikutip Asmaran (1992: 46) menyatakan:

”Di dalam diri manusia itu terdapat dua tabiat, yaitu: (1) Fitrah baik yang mendorong kepada kebaikan, yang bermanfaat bagi kehidupan manusia dalam perkembangan jiwanya, sehingga jiwa merasa gembira dapat menemukan dan melaksanakan kebaikan, karena jiwa mengetahui kebenaran itu adalah perkembangan fitrah yang baik dalam garis hidup yang benar. (2) Di samping fitrah yang baik, di dalam jiwa manusia ada kecenderungan yang buruk. Jiwa merasa kecewa dengan kejahatan dan merasa sedih dengan kelakuannya, karena kecenderungan yang buruk itu memaksa tabiat baik manusia keluar garis yang benar.”

Jadi, di dalam diri manusia selain terdapat sifat yang baik, pada diri manusia terdapat suatu kenyataan negatif bahwa manusia itu adalah makhluk yang lemah karena terdapat sifat yang buruk. Titik kelemahan inilah permulaan dari semua bencana yang menimpa mereka dan harus disadari sepenuhnya oleh setiap pribadi. Kesadaran pribadi bahwa manusia mempunyai kemungkinan untuk berbuat kesalahan dan kekeliruan, dan tidak seorang pun dapat luput dari kesalahan. Karena manusia memiliki kecenderungan berbuat

jahat, maka menjadi kewajiban baginya untuk melatih dan mendidik jiwanya untuk selalu berbuat baik, sehingga kecenderungan baik dapat menguasai pribadi dan menjadi tabiatnya. Dengan dasar ini, manusia mudah menjalankan kebaikan dan berbudi pekerti yang mulia.

Oleh karena itu manusia harus pandai menempatkan dirinya kepada perbuatan baik dan ketinggian budi peketi, agar dapat melaksanakan kewajiban dan pekerjaan dengan baik dan sempurna, sehingga hidup akan bahagia. Sebaliknya apabila manusia cenderung berbuat jahat, berburuk prasangka kepada orang lain, maka hal ini sebagai pertanda bahwa orang itu hidup resah sepanjang hayatnya karena tidak ada keserasian dan keharmonisan dalam pergaulannya dengan sesama manusia.

Dalam cerita Tuan Putri Pucuk Kelumpang hanya tokoh Putri Pucuk Kelumpang sebagai gambaran orang yang panda membawa diri, baik sebagai anak maupun sebagai putri kerajaan. Sebagai anak, Putri Pucuk Kelumpang sangat menghormati kedua orang tuanya walaupun kedua orang tuanya telah membuang dirinya dari kerajaan. Ia tetap menghormati kedua orang tuanya itu tanpa sedikitpun merasa dendam atau marah. Putri Pucuk Kelumpang tidak pernah berburuk sangka kepada orang tuanya walaupun dia tahu kenapa ia harus berada di hutan dan bukan di istana, tempat yang seharusnya dia tinggali. Namun ia tetap gembira dan tumbuh menjadi gadis yang cantik jelita. Sehari-hari kerjanya menanam pohon kapas untuk dijadikan bahan tenunan, seperti yang tergambar pada kutipan berikut ini.

Putri Pucuk Kelumpang tumbuh menjadi seorang gadis remaja yang cantik jelita. Untuk mengisi kehidupan sehari-harinya, ia bertenun kapas.

Sebagai seorang putri raja, maka keahlian yang paling utama harus dikuasai dari seorang putri raja adalah menenun. Sejak kecil, Putri Pucuk Kelumpang belajar menenun dan menanam daun kapas untuk dijadikannya benang tenunan. Putri Pucuk Kelumpang sangat ingin menenun kain yang sangat indah sebagai tanda bakti dan hormatnya kepada kedua orang tuanya. Putri Pucuk Kelumpang tanpa kenal henti menenun kain yang indah untuk kedua orang tuanya, walaupun ia sudah berkali-kali dipanggil oleh tokoh raja untuk menghadap. Namun panggilan tokoh raja itu tidak dipenuhinya demi menyelesaikan tenunannya sebagai hadiah kepada kedua orang tuanya itu. Hal ini terlihat pada kutipan berikut ini.

raja memerintahkan agar putrinya segera dijemput. Akan tetapi, Pucuk Kelumpang belum mau pulang karena kapasnya baru berdaun dua. Peristiwa itu kemudian terjadi berkali-kali. Putri Pucuk Kelumpang tidak akan pulang sebelum menyelesaikan hasil tenunannya sendiri.

Setelah hasil tenunannya itu siap, Putri Pucuk Kelumpang pulang ke istana. Kedatanganya disambut gembira oleh ibunya. Raja hampir lupa janjinya karena putrinya itu demikian cantik dan memikat. Berkokoklah si Palung, apabila raja lupa janjinya alamat bala akan menimpa. Baginda pun buru-buru menghunus pedangnya, sambil meminta maaf pada putrinya bahwa ia harus memenuhi janjinya. Baginda pun membunuh putrinya, kemudian dagingnya diberikan pada si Palung. Karena merasa tidak tahan, permaisuri pun menghunus pedang, kemudian menikamkan pada tubuhnya. Ketika baginda melihat hasil tenunan putrinya, ia merasa sedih, kemudian ia bunuh diri.