• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: HERMENEUTIKA AL- QUR’AN

B. Sejarah Perkembangan Hermeneutika Modern

3. Hermeneutika Kritis (Critical Hermeneutics)

1. Hermeneutika Teoretis (Theoretical Hermeneutics)

Hermeneutika teoritis atau istilah lainnya adalah teori hermeneutika (hermeneutical theory) merupakan corak hermeneutika yang berusaha

merumuskan general body bagi prinsip-prinsip umum penafsiran dan

metodologis penelitian ilmu-ilmu sosial humaniora (Geisteswissenschaften,

termasuk juga di dalamnya ilmu-ilmu manusia). Hermeneutika ini,

menggunakan analisis verstehen sebagai metode yang cocok untuk

mengalami-kembali atau berpikir-kembali atas apakah yang sesungguhnya dirasakan atau dipikirkan oleh pengarang. Artinya, hermeneutika digunakan sebagai proses untuk memperoleh sebuah pemahaman atas proses pemahaman secara umum, yaitu suatu usaha untuk menterjemahkan sebuah kompleks-makna yang diciptakan oleh seseorang menjadi pemahaman kita sendiri mengenai diri kita dan dunia kita saat ini. Sehingga, hermeneutika

teoretis bermaksud untuk menghadirkan kembali “objektivitas” sebuah

30 Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics; Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique (London: Routledge & Kegan Paul, 1980).

34

makna dalam proses interpretasi.31 Hermeneutika ini diusung oleh

Schleiermacher,32 Wilhelm Dilthey,33 dan Emillio Betti.34

2. Hermeneutika Filosofis (Philosophical Hermeneutics)

Hermeneutika filosofis atau istilah lainnya adalah filsafat hermeneutika (hermeneutical philosophy) merupakan corak pemikiran hermeneutika yang tidak lagi membicarakan metode eksegetik tertentu sebagai objek pembahasan inti. Filsafat hermeneutika memandang manusia sebagai ‘makhluk hermeneutis’ (a hermeneuical being), dalam artian makhluk yang

31 Josef Bleicher, Hermeneutika Kontemporer; hlm. viii.

32 Schleiermacher memberikan sumbangan dengan menawarkan konsepnya tentang pemahaman intuitif (divinatorischs verstehen). Menurut Schleiermacher, sebuah tafsir membutuhkan intusisi tentang karya atau teks untuk dapat melakukan rekonstruksi imajinatif atas situasi zaman dan kondisi batin pengarang, sehingga sebuah teks tidak terlalu asing bagi seorang penafsir. Rekonstruksi imajinatif dapat berpola rekostruksi objektif-historis dan rekonstruksi subjektif-historis terhadap sebuah kenyataan. Rekonstruksi objektif-historis digunakan untuk memberikan penjelasan terhadap sebuah pernyataan yang terkait dengan bahasa secara keseluruhan. Sedangkan rekonstruksi subjektif-historis digunakan untuk menelisik asal-usul masuknya sebuah pernyataan ke dalam pikiran pengarang teks. Sehingga penafsir harus memahami teks dan pengarang teks, lebih baik daripada memahami dirinya sendiri. Freidrich Schleiermacher, Hermeneutics and Crticism, hlm. 225. Compare with Richard Palmer, Hermeneutics, hlm. 88 etc.

33 Dilthey mengembangkan proyek Schleiermacher dengan menawarkan fondasi teoretik bagi ilmu-ilmu kemanusiaan (geisteswissenschaften). Dilthey bermaksud menyediakan sebuah teori umum tentang bagaimana “objektivasi” ekspresi manusia bisa ditafsirkan. Dilthey menyatakan dengan tegas bahwa otonomi objek interpretasi dan mungkinnya “objektivitas” historis dalam membuat interpretasi yang valid. Wilhelm Dilthey, Hermeneutics and the Study of History, edited by Rudolf A. Makkreel and Frithjof Rodi (New Jersey: Princenton University Press, 1996), hlm. 261. Compare with Ilse N. Bulhof, Wilhelm Dilthey; A Hermeneutic Approach to the Study of History and Culture (London: Martinus Nijhoff Publishers, 1980), hlm. 10. Compare with Richard Palmer, Hermeneutics, hlm. 100-115.

34 Emilio Betti, menawarkan proyek hukum interperetasi “sensus non est inferendus sed efferendu”. Menurut Betti, makna bukan diambil dari kesimpulan, melainkan diturunkan. Karena itu, seorang penafsir tidak boleh bersikap pasif, melainkan ia harus aktif merekonstruksi makna dengan berbekal cakrawala intelektual penafsir sendiri, termasuk pengalaman masa lalu, hidupnya saat ini dan latar belakang kebudayaan yang ia miliki. Kemudian, dengan menggunakan pendekatan

idealis-objektif dalam memahami ekspresi pemikiran, Betti mencoba merumuskan objective

interpretation dengan bertitik tolak pada hubungan problematis antara pemikiran (perceiving mind) dan objek dalam menghasilkan sebuah pengetahuan. Josef Bleicher, Hermeneutika Kontemporer, hlm. 69-74; Compare with Emilio Betti, “The Epistemological Problem of Understanding As an

Aspect of the General Problem of Knowing”, in Ghari Shapiro and Alan Sica (Ed), Hermeneutics:

Questions and Prospects (United States of America: The University of Massachusetts Press, 1988), hlm. 29.

35

harus memahami dirinya sendiri. Artinya, hermeneutika adalah sebuah upaya terhadap penyelidikan proses universal dari tindakan pemahaman yang juga

diklaim sebagai hakikat kapasitas manusia sebagai sebuah “Ada”.

“Pemahaman” (atau “mengerti”) harus dipandang sebagai sikap yang paling fundamental dalam eksistensi manusia, atau dalam bahasa lain, bahwa “mengerti” itu tidak lain daripada cara manusia untuk berada (being). Dengan demikian, kualitas manusia selalu dibangun oleh kualitas proses pemahaman itu sendiri.

Sementara itu, filsafat hermeneutika atau hermeneutika filosofis, lebih menekankan pada wilayah ontologi pemahaman dan interpretasi. Filsafat hermeneutika menegaskan bahwa seorang interpretator dan objek,

dihubungkan oleh tradisiyang mengimplikasikan bahwa ia telah memiliki

sebuah pra-pemahaman dan prasangka-prasangka awal (prejudices) atas

objek ketika ia mengkaji objek tersebut. Maka tidak mungkin untuk memulai

dengan sebuah pemikiran yang netral.35

Sehingga, kecenderungan dari hermeneutika filosofis adalah penolakannya terhadap ‘makna objektif’. Artinya, hermeneutika filosofis tidak bertujuan untuk mencapai sebuah pengetahuan objektif dengan menggunakan prosedur-prosedur metodis, melainkan pada pengungkapan (explication) dan deskripsi fenomenologis mengenai dasein manusia dalam temporalitas dan historisitasnya. Oleh karena itu, hermeneutika filosofis lebih

bercorak produktif dalam menggali makna (productive meaning).

36

Hermeneutika filosofis dipopulerkan oleh Martin Heidegger,36 Hans-George

Gadamer,37 dan Rudolf Bultman.38

3. Hermeneutika Kritis (Critical Hermeneutics)

Hermeneutika kritis (critical hermeneutics) atau sering juga disebut

dengan hermeneutics and the critique of ideology yang diinisiasi oleh Jurgen

Habermas beserta pemikiran kritis lainnya. Critical hermeneutics merupakan

antitesis sekaligus counter dari pemikiran hermeneutika filosofis-ontologis

36 Heidegger menawarkan konsep hermeneutika dasein, yaitu fondasi ontologis hermeneutik. Yang menekankan pada tugas ontologis daripada pencarian logis. Heidegger memandang bahwa eksistensi dan understanding itu sendiri merupakan hermeneutik. Sehingga, interpretasi ontologis-eksistensial Heidegger lebih memusatkan perhatiannya pada the constitution of being daripada theortitical-critical generalization. Tujuannya bukan untuk mencari gambaran ontikal tentang entitas dan bukan pula interpretasi ontologis tentang being, tetapi untuk meraih the phenomenon of the world. Oleh karena itu, interpretasi tidak bertujuan mencari informasi tentang apa yang dipahami, tetapi lebih beroperasi dalam mencari kemungkinan apa yang diproyeksikan dalam pemahaman. Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (Oxford: Blackwell Publishers, 2001), hlm. 42 etc. Compare with Richard Palmer, Hermeneutics, hlm. 127-130.

37 Gadamer menawarkan konsep hermeneutika filosofis (philosophische hermeneutik) yaitu sebuah konsepsi hermeneutika yang tidak lagi membicarakan metode eksegetik tertentu sebagai objek pembahasan inti, melainkan hal-hal yang sifatnya “conditions of the possibility” yang dengannya seseorang dapat memahami dan menafsirkan sebuah teks, simbol atau perilaku. Pertanyaan-pertanyaan yang dimunculkan dalam hermeneutika filosofis adalah; bagaimana kita ‘mungkin’ menafsirkan teks atau perilaku manusia? syarat-syarat (requirements) apa yang dapat membuat penafsiran itu mungkin (dilakukan)? Sentral pemikiran dalah hermeneutika filosofis adalah “meneliti jalan masuk ke realitas penafsiran. Sehingga, Gadamer cenderung menghindari dari membicarakan metode-metode eksegetis dan beranjak ke diskusi mengenai kerangka dan fondasi hermeneutis. Hans-George Gadamer, Truth and Methode, trans. Joen Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Bloomsbury, 2013). Compare with Hans-George Gadamer, Philosophical Hermeneutics, trans. David E. Linge (London: University of California Press, 2008). Compare with Richard Palmer, Hermeneutics, hlm. 181-191.

38Bultmann menawarkan proyek hermeneutika “demitologisasi” yang berusaha menggali

makna bukan dari fakta historis melainkan eksistensialnya. Demitologisasi menurut Bultman berarti memahami sebuah teks dengan mempersepsikan mitos sebagai ungkapa simbolis mengenai suatu realitas dengan menggunakan gambaran-gambaran, kiasan-kiasan, dan lukisan-lukisan. Atau dengan bahasa lain, menyatakan intensi otentik mitos untuk berbicara tentang realitas otentik manusia. Mitos memiliki dasar pada eksistensi manusia, maka harus diinterpretasikan agar dapat dipahami oleh manusia modern. Jadi yang dipermasalahakan di sini adalah bagaimana menafsirkan mitos secara eksistensial, bukan menghilangkannya. Rudolf Bultmann, “Hermeneutics and Theology”, in Kurt Mueller-Vollmer (Ed), Hermeneutics Reader: Texts of the German Tradition from the Enlightenment to the Present (New York: Continuum International Publishing Group, 2006), hlm. 241.

37

yang dikembangkan Gadamer, maupun pandangan objektivisme

Schleiermacher, Dilthey dan Betti.

Konsepsi dasar hermeneutika kritis berusaha untuk mengembangkan paradigma hermeneutik intersubjektif. Yaitu sebuah program integratif-komunikatif dalam wilayah sosiologis-filosofis. Hermeneutika kritis, melihat bahwa kombinasi antara hermeneutik, refleksi emansipatoris dan pengetahuan analitis-kausalis dapat memberi basis baru pada pemahaman yang lebih konkret-realistis. Dengan demikian, sebuah usaha untuk menantang asumsi idealisme yang mendasari baik teori hermeneutis maupun filsafat hermeneutik; penolakan untuk mempertimbangkan faktor-faktor di luar bahasa yang juga membantu untuk mengkonstitusikan konteks pemikiran

dan tindakan, yakni kerja dan dominasi. Dengan proyek kombinasi-dialektis

antara penjelasan dan pemahaman, maka hermeneutika kritis telah berusaha “mengawinkan” nuansa makna otentik-objektif-saintis dengan makna akulturatif-subjektif-filosofis. Sehingga, hermeneutika kritis berusaha melakukan “pembumian” makna dari sudut saintis agar suatu kata bisa termaknai oleh manusia, atau berusaha melakukan “dialogisasi” makna.

Hermeneutika kritis ingin mengkombinasikan pendekatan metodis dan objektif dengan mengusahakan pengetahuan yang secara praktis dan relevan. Kritis artinya adalah bentuk taksiran atas hubungan-hubungan yang telah ada dalam pandangan standar yang berasal dari pengetahuan mengenai sesuatu yang lebih baik yang telah ada sebagai sebuah potensi atau tendensi masa kini; ia dituntun oleh prinsip rasio sebagai tuntunan bagi komunikasi tanpa

38

tekanan dan pembatasan diri.39 Hermeneutika kritis diusung oleh Jurgen

Habermas40 dan Karl Otto Apel41.

Ketiga kecenderungan di atas merupakan bentuk-bentuk perkembangan terhadap pemikiran hermeneutika. Perdebatan mutakhir hermeneutika mencatat bahwa, perkembangan hermeneutika modern telah melampaui ketiga pemikiran hermeneutika di atas. Yakni sejak Paul Ricouer mendeklarasikan hermeneutika fenomenologisnya. Ricouer mengusung proyek hermeneutika fenomenologis dengan memposisikan dirinya sebagai mediator atas perdebatan panjang hermeneutika. Ricouer menyediakan sebuah apresiasi yang sangat diperlukan atas peranan analisis strukturalis atas sebuah sistem tanda dalam relasinya dengan interpretasi hermeneutik(s) atas sebuah teks. Teori Ricoeur mengenai teks sebagai

39 Josef Bleicher, Hermeneutika Kontemporer, hlm. xi-xii.

40 Habermas menawarkan konsep hermeneutika dialektis, yaitu sebuah konsepsi hermeneutika yang menekankan pada proses tindakan komunikatif. Yaitu hermeneutika yang menandaskan pada ilmu sosial kritis dengan cara memahami peran pelaku dalam kehidupan sosial yang tidak berbicara dengan silogisme dan pola hubungan subjek-objek, melainkan bicara dalam language games yang melibatkan unsur kognitif, emotif, volisional manusia dan bertindak dalam kerangka “tindakan komunikatif” yaitu tindakan untuk memperoleh pemahaman timbal balik. Jurgen Habermas, “On Hermeneutics Claim to Universality”, in Kurt Mueller-Vollmer (Ed),

Hermeneutics Reader, hlm. 294 etc. Compare with, John B. Thompson, Critical Hermeneutics; A

Study in the Thought of Paul Ricoeur and Jurgen Habermas (Cambridge: Cambridge University Press, 1995), hlm. 104-159.

41 Apel mengkonskturksi hermeneutika sebagai sebuah tindakan dalam menumbuhkan kesadaran mengenai eksistensi lingkaran hermeneutik yang mendasari semua aktivitas-berpikir. Artinya, proses memahami membutuhkan sebuah dialog yang dinamis, sebab proses memahami adalah proses kerjasama di mana pertanyaan saling menghubungkan diri secara serentak di dunia kehidupan (labenswelt) yang meliputi dunia objektif, subjektif dan sosial. Sehingga, validitas teks dan pengarang ditentukan oleh wacana argumentatif dari komunitas para penafsir sebagai sebuah “komunitas-komunitas ideal” yang jujur tanpa adanya pemaksaan. Oleh karena itu, Apel kemudian menawarkan konsep “komunitas komunikatif ideal” yang, saat diperkirakan dan diantisipasi di dalam setiap tindakan komunikatif, dengan memotret kondisi-kondisi yang hanya dapat diperhitungkan. Maka dari itu, Apel dengan proyek hermeneutika kritisnya menyadari bahwa kondisi-kondisi yang memungkinkan kemajuan di dalam komunikasi manusia hanya dapat dibangun dengan berkembang menuju sebuah masyarakat bebas. Karl-Otto Apel, From a Transcendental-semiotic Point of View (Manchester: Manchester University Press, 2005), hlm. 232 etc. Compare with David Couzens Hoy, The Critical Circle: Literature, History, and Philosophical Hermeneutics (London: University of California Press, 1982), hlm. 107; Karl-Otto Apel, “Perspectives for a General Hermeneutic Theory”, in Kurt Mueller-Vollmer (Ed), Hermeneutics Reader, hlm. 320.

39

sebuah formasi tanda, terkait secara semantik bukan dengan realitas, melainkan dengan ‘dunia-semu’ yang berada dalam sebuah relasi semantik dengan realitas

sebagai tambahan yang menyediakan dasar bagi transendensi verstehendikotomi

eksplanatif pada tataran kritik tekstual.42

Bahkan pemikiran hermeneutika telah sampai kepada pemikiran hermeneutika dekonstruktif yang diusung oleh Jaques Derrida. Yaitu sebuah konsepsi hermeneutika yang menekankan pada pembacaan teks secara radikal. Tujuannya tidak lagi untuk memahami susunan makna teks, baik untuk merehabilitasi/merekonstruksi makna asli maupun mengkonstruksi makna baru. Sehingga, hermeneutika dekonstruksi merupakan sebuah hermeneutika radikal yang mengandaikan bukan hanya tiadanya makna primordial yang dicari dalam interpretasi, melainkan juga menunjukkan tidak mungkinnya koherensi makna

sebuah teks, sehingga interpretasi bergerak sampai tak terhingga.43

Sehingga, perkembangan pemikiran hermeneutika modern

inilahhermeneutika teoritis, hermeneutika filosofis, hermeneutika kritis,

hermeneutika fenomenologis hingga hermeneutika dekonstruktiftelah menjadi

perhatian para tokoh filsafat di Barat. Bahkan pada taraf perkembangannya telah banyak diadopsi dan dimodifikasi oleh para pemikir Muslim kontemporer. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa sejak Schleiermacher sampai Paul Ricoeur,

42 Josef Bleicher, Hermeneutika Kontemporer, hlm. xiv. Compare with, John B. Tompshon, Critical Hermeneutics, hlm. 36 etc; Paul Ricoeur, Hermeneutics, hlm. 61 etc.

43 Dalam hal ini dekonstruksi bukanlah memahami (verstehen) lewat peleburan horizon-horizon, melainkan mengolah perbedaan-perbedaan yang tidak dapat ditangkap dalam sebuah keutuhan. F. Budi Hardiman, Seni Memahami, hlm. 283-285. Compare with Jaques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (London: The Johns Hopkins University Press, 1997).

40

dapat dikatakan sebagai perkembangan hermeneutika modern, yang selanjutnya menjadi tradisi hermeneutika Barat.

Dokumen terkait