• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE TAFSIR LIBERATIF; ANALISIS STRUKTUR OPERASIONAL KUNCI-KUNCI HERMENEUTIKA AL-QUR’AN FARID ESACK - Test Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "METODE TAFSIR LIBERATIF; ANALISIS STRUKTUR OPERASIONAL KUNCI-KUNCI HERMENEUTIKA AL-QUR’AN FARID ESACK - Test Repository"

Copied!
147
0
0

Teks penuh

(1)

METODE TAFSIR LIBERATIF;

ANALISIS STRUKTUR OPERASIONAL

KUNCI-KUNCI HERMENEUTIKA AL-

QUR’AN FARID ESACK

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana

Ilmu Al-

Qur’an dan Tafsir

(S. Ag)

OLEH:

MUHAMMAD KHOLIL RIDWAN

NIM: 215-13-003

JURUSAN ILMU AL-

QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

(2)

i

METODE TAFSIR LIBERATIF;

ANALISIS STRUKTUR OPERASIONAL

KUNCI-KUNCI HERMENEUTIKA AL-

QUR’AN FARID ESACK

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana

Ilmu Al-

Qur’an dan Tafsir

(S. Ag)

OLEH:

MUHAMMAD KHOLIL RIDWAN

NIM: 215-13-003

JURUSAN ILMU AL-

QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

(3)
(4)
(5)

iv

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, Saya:

Nama : Muhammad Kholil Ridwan

Tempat/Tgl Lahir : Kab. Tanggamus, 26 Juni 1994

NIM : 215-13-003

Jurusan : Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT)

Fakultas : Ushuluddin, Adab dan Humaniora

menyatakan bahwa, hasil penelitian skripsi yang saya tulis ini benar-benar

merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan (plagiat), saduran atau

terjemahan dari karya orang lain. Pendapat, gagasan, atau temuan orang lain yang

terdapat dalam skripsi ini, dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Salatiga, 01 Jumadil Akhir 1438 H 28 Februari 2017 M

Yang menyatakan,

(6)

v

“Dan Kami wariskan kepada kaum yang tertindas itu, bumi bagian timur dan bagian baratnya yang telah Kami berkahi...”

“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang

mewarisi (bumi).” QS. Al-Qashas [28]: 5

(7)

vi

DEDICATION

To the Lovers of Five-Minutes Snooze

“Farid Esack”

“Para Pejuang Kebebasan”

“Orang

-orang yang merindukan Kebeba

san”

“Orang yang Tertindas dalam Segala Bentuknya”

(8)
(9)
(10)
(11)

x

ABSTRACK

Ridwan, Muhammad Kholil. 2017. Metode Tafsir Liberatif; Analisis Struktur

Operasional Kunci-kunci Hermeneutika Al-Qur’an Farid Esack. Skripsi. Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.

Key Words: Farid Esack, Hermeneutical Keys, Praxis-Liberation

This research aims to examine in depth against of Qur’anic Hermeneutics of Farid Esack. This research figures that based on library research. The problems statement in this research are (1) how the settings of socio-historical life Farid Esack and the extent to which the context affect his thoughts? (2) how the background and the pattern of Farid Esack thinking?, and (3) How methodology of Qur’anic Hermeneutics Farid Esack? To answer these questions, the author uses the approaches of socio-historical and hermeneutics. Based on the results of research, it can be concluded that the building thought Farid Esack is influenced by the condition of the socio-political South Africa is experiencing three humanitarian problems: racism, sexism and capitalism perpetrated by the apartheid. To answer the challenges, Esack formulated the methodology of Qur’anic Hermeneutics for liberation. A Method of interpretation of the Qur’an which strongly emphasize aspects of praxis-liberation. Esack set three elements intrinsic to understand the text, like: text and its author, intepreter, and interpretation. While the theoretical grounding its interpretation is revelation being progressive, context (asbab an-nuzul) and understand the nask mansukh. While in operational measures, Esack formulated the hermeneutical keys as a base. Namely; Taqwa (the ethical base of exegesis), tawhid (the principle of intactness of message and unity of humanity), al-nas (human as the determiner of thruth), mustadh'afun (the autenticity of exegesis), al-qisth and ' adl (the principle of justice and equality) and jihad (praxis movement of liberation).

(12)

xi

(13)

xii

KATA PENGANTAR

epada Allah SWT kami ucapkan terima kasih, puji syukur kehadirat-Nya, atas limpahan rizki-Nya berupa, kesehatan, kekuatan, bimbingan, dan keridhaan-Nya, kami telah menyelesaikan ikhtiar ini. Terima kasih kepada sang Muhammad SAW, yang telah mengajarkan kepada kami, cara bagaimana berusaha dengan keras nan sungguh-sungguh. Serta bagaimana berusaha untuk menghargai dan memahami setiap khazanah intelektual. Shalawat serta salam senantiasa tercurah untukmu.

Tentunya, selama proses mengerjakan penelitian ini, di mana kami

menfokuskan diri pada kajian pemikiran hermeneutika al-Qur’an Farid Esack, tentu

kami banyak sekali mengambil inspirasi dan rujukan utama dari beberapa literatur dalam buku Farid Esack. Tetapi juga tidak menutup kemungkinan adanya

rujukan-rujukan lain, baik hal-hal yang berkaitan dengan gagasan hermeneutika al-Qur’an

secara umum maupun peneliti terdahulu yang telah banyak mengungkap sisi-sisi pemikiran Farid Esack. Kepada mereka lah kami berhutang budi dan berucap terima kasih.

Sementara itu, dalam setiap usaha kami mengungkap pemikiran Farid Esack, kami telah berusaha seakurat mungkin dalam memaparkan pandangan, gagasan, dan ide besar Farid Esack. Tetapi juga tidak menutup kemungkinan terjadi simplifikasi maupun reduksi dalam eksplorasinya. Karena memang Esack adalah sosok intelektual yang unik dan jarang ditemui. Ia berhasil menggabungkan antara wilayah idealitas dengan aktivisme sosial. Esack tidak pernah berhenti hanya di belakang meja dengan menuliskan gagasan-gagasan besarnya, tetapi ia juga senantiasa terjun ke lapangan menjadi seorang aktivis, pembela kemanusiaan. Inilah salah satu titik point ketertarikan kami pada sosok Farid Esack. Kepadanya lah kami merasa terinspirasi dan tergugah, betapa pentingnya wilayah aktivisme.

Akhirnya, usaha dalam penyelesaian penelitian ini, mulai dari penyusunan proposal, proses penelitian hingga penulisan skripsi, tidak akan terlepas dari bantuan berbagai pihak. Khususnya dalam banyak hal tentang pemikiran

hermeneutika al-Qur’an Farid Esack, yang membutuhkan pemahaman lebih untuk

mencapai komprehensivitas pemahaman. Harapannya, apa yang menjadi ikhtiar kami ini, mampu memberikan kontribusi bagi khazanah intelektual Islam, dan juga mampu memberikan kekayaan warna tentang berbagai sudut pandang terhadap

wacana studi al-Qur’an. Setelah melewati proses yang cukup panjang dan

(14)

xiii

melelahkan, akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan juga. Untuk itu, kami ingin menyampaikan ucapkan terima kasih kepada:

1. Rektor IAIN Salatiga Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd beserta seluruh

jajarannya.

2. Dekan Fakultas Ushuluddin, Adab dan Humaniora, Dr. Benny Ridwan, M.

Hum yang kebetulan sekaligus menjadi pembimbing skripsi, penulis sampaikan terima kasih atas segala bimbingan, arahan dan motivasinya,

sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Agunging Samudro

Pangatsami.

3. Ketua Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, ibunda Tri Wahyu Hidayati, M. Ag

yang penuh dengan simpatik dan telatenmeski di tengah-tengah

kesibukannya mengajar dan mengurusi kami semua di Jurusan IATselalu

memberikan spirit dan dorongan untuk cepat menyelesaikan skripsi.

4. Dr. Adang Kuswaya, yang selalu memberi semangat, pengajaran dan

memberikan pinjaman buku-bukunya. Dr. Mochlasin, yang telah mengajarkan kami cara-cara menulis dengan baik. Beserta seluruh dosen yang telah memberikan edukasi baik secara langsung maupun tidak.

5. Segenap kolega di keluarga HimpunanHMI Cabang Salatigayang selalu

aktif dalam berdiskusi dan mewacanakan berbagai keilmuan tanpa tebang pilih, baik itu menyimpang, “disesatkan”, minoritas, atau yang lainnya. Kepada MD Nugroho, Dona MS, Imam Uye, Nur Shokhif, Arin (Karimah), Khikmah Nyiel, Novia FM, Dody UT, SM, bang Wahjoe, bang Torik, Indra,

Nyoz, Washaq, Ucheng, Ifah, Irma, Rois, Andre, serta yang spesial “HS”.

6. Seluruh keluarga besar di Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir IAIN; Wahyu Kun,

Choman Jr, Triya, Rangga, Pak Fawzie, Fatah, Husein, Sarifuddin, Al, Rebecca, dan semuanya saja.

7. Last but not least, kedua orang tua tercinta beserta Adik penulis, Adda Niatul Munajah, sesungguhnya tiada hal yang bisa penulis bayar selain menyumbangkan kebanggaan untuk keluarga.

Akhirnya, kami menyadari bahwa, apa yang kami kerjaan ini, bukanlah sesuatu hal yang sempurna dan tanpa kritik. Justru berbagai masukan berupa kritik dan saran yang konstruktif, adalah nutrisi bagi kami dalam rangka mendekatkan diri pada perbaikan. Semoga hasil penelitian ini dapat mejadi sumbangan

positif-kontributif bagi perkembangan studi al-Qur’an kontemporer. Selamat membaca.

Salatiga, 28 Februari 2017

(15)

xiv

E. Penelitian Terdahulu ... 8

F. Kerangka Teoretik ... 13

G. Metode Penelitian ... 18

H. Sistematika Penulisan ... 22

BAB II: HERMENEUTIKA AL-QUR’AN A. Definisi dan Ruang Lingkup Hermeneutika ... 24

B. Sejarah Perkembangan Hermeneutika Modern ... 30

1. Hermeneutika Teoretis (Theoretical Hermeneutics) ... 33

2. Hermeneutika Filosofis (Philosophical Hermeneutics)... 34

3. Hermeneutika Kritis (Critical Hermeneutics) ... 36

C. Hermeneutika dalam Tradisi Islam ... 40

1. Hermeneutika dan Ilmu Tafsir ... 41

(16)

xv

BAB III: BIOGRAFI INTELEKTUAL FARID ESACK

A. Setting Sosio-Historis Kehidupan Farid Esack ... 49

1. Karir Pendidikan ... 57

2. Karir Pekerjaan dan Organisasi ... 58

B. Karya Intelektual Farid Esack ... 59

1. Publikasi dalam Bentuk Buku ... 60

2. Publikasi dalam Bentuk Jurnal dan Antologi Buku ... 65

C. Latar Belakang dan Corak Pemikiran Farid Esack ... 67

BAB IV: METODOLOGI HERMENEUTIKA AL-QUR’AN LIBERATIF A. Kerangka Berfikir Farid Esack tentang Al-Qur’an ... 72

1. Al-Qur’an Menurut Farid Esack ... 72

2. Berbagai Pembacaan atas Al-Qur’an ... 78

B. Model Hermeneutika Al-Qur’an Farid Esack ... 83

C. Gagasan dan Prinsip Kunci Hermeneutika Al-Qur’an Liberatif ... 87

1. Prinsip Kunci Memahami Teks ... 94

2. Kunci Operasional Hermeneutika Al-Qur’an Liberatif ... 98

BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ... 112

B. Saran ... 115

BIBLIOGRAFI ... 117

Skema I : Kerangka Teoretik...17

Skema II : Approaching the Qur'an...79

Skema III : Model Hermeneutika...84

Skema IV : Hermeneutika Al-Qur'an Liberatif...87

Skema V : Hermeneutika Double Movement...91

Skema VI : Hermeneutika Mohammed Arkoun...93

Skema VII : Struktur Operasional Kunci Hermeneutika...100

Skema VIII : Metode Hermeneutika Al-Qur'an Farid Esack...111

(17)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an sebagai kalamullah, adalah sebuah dokumen untuk umat manusia.

Bahkan secara tegas kitab ini menamakan dirinya “hudan li al-nas1 (petunjuk bagi

manusia), al-shifa2 (obat penawar) bagi hati yang resah dan gelisah, serta rahmat3

bagi seluruh alam semesta, serta berbagai julukan lainnya.4 Sementara Rasul SAW

menyatakan bahwa al-Qur’an merupakan maidatullah (hidangan Illahi). Hidangan

yang membantu dan menjadi sumber inspirasi bagi manusia untuk memperdalam

pemahaman dan penghayatan tentang Islam serta menjadi pelita bagi umat Islam

dalam menghadapi berbagai tantangan kemanusiaan.5

Secara historis al-Qur’an diwahyukan berangsur-angsur selama kurang lebih

23 tahun sebagai respon Tuhan atas kondisi masyarakat Arab ketika itu. Bentuk

respon al-Qur’an tersebut menyiratkan bahwa selama proses pewahyuan, telah

terjadi interaksi aktif antara ayat-ayat al-Qur’an dengan kondisi sosial-budaya dan

perkembangan masyarakat yang dijumpainya. Namun, meski al-Qur’an turun

berdasarkan partikularitas tersebut, kandungan ayat-ayatnya sangat universal.

1 QS. Al-Baqarah [2]: 2, 185. 2 QS. Yunus [10]: 57 3 QS. Al-A’raf [7]: 52

4 Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980), hlm.

1; Farid Esack, The Qur’an;A User’s Guide (Oxford: Oneworld Publications, 2007), hlm. 30.

5 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta:

(18)

2

Bahkan makna-maknanya dapat diterapkan pada setiap situasi dan kondisi

(shalihun li kulli zaman wa makan).6

Di sinilah peran mufassir sebagai garda terdepan dalam menjelaskan dan

menterjemahkan nilai-nilai itu agar sejalan dengan perkembangan masyarakat.

Sehingga al-Qur’an dapat benar-benar berfungsi sebagai petunjuk, pemisah antara

yang haq dan batil, serta jalan keluar bagi setiap problem kehidupan manusia.

Maka, al-Qur’an akan senantiasa mampu menjadi fondasi dan pedoman ajaran

Islam yang kokoh dalam setiap aspek kehidupan baik spiritual, moral, intelektual,

hukum, maupun sosial.7

Sementara itu, al-Qur’an sebagai teks merupakan fenomena linguistik berupa

sistem tanda (a system of sighn) yang mampu memberikan

kemungkinan-kemungkinan arti yang tidak terbatas. Al-Qur’an selalu terbuka untuk proses

interpretasi baru.8 Meskipun al-Qur’an secara teks tidak berubah (statis), tetapi

penafsiran atas teks akan selalu berubah (dinamis) sesuai dengan konteks ruang dan

waktu. Karenanya, al-Qur’an selalu terbuka untuk dianalisis, dipersepsi, dan

ditafsirkan dengan berbagai alat, metode, dan pendekatan yang berbeda-beda. Hal

ini disebabkan karena al-Qur’an bukan hanya sebuah teks biasa, sebagaimana teks

-teks lainnya, melainkan sebuah -teks yang “melampaui batas” (beyond the text).9

Di antara berbagai kajian terhadap metode tafsir yang sedang marak dewasa

ini adalah studi tentang hermeneutika al-Qur’an. Proyek ini secara metodis masih

6 Farid Esack, The Qur’an, hlm. 31.

7 Abdullah Saeed, Islamic Thought; An Introduction (New York: Routledge, 2006), hlm. 15. 8 Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an; Towards a Contemporary Approach (New York:

Routledge, 2006), hlm. 69.

9 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermenutik (Jakarta:

(19)

3

dapat dikatakan relatif baru, dan masih banyak mengundang pro dan kontra.

Munculnya kajian terhadap hermeneutika al-Qur’an lebih banyak dimotivasi oleh

sebuah kenyataan bahwa penafsiran masa lalu dirasa banyak yang sudah tidak

relevan lagi dengan konteks hari ini. Kebutuhan-kebutuhan atas situasi

kontemporer telah “memaksa” umat Islam untuk mengadopsi hermeneutika sebagai

salah satu alat dalam menafsirkan al-Qur’an.10

Di samping itu, kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi juga

banyak mempengaruhi perkembangan dalam studi al-Qur’an. Terlebih dalam

bidang ilmu sosial humaniora, seperti kajian sejarah, sosiologi, fenomenologi,

psikologi, maupun antropologi. Selain juga dalam bidang kajian sastra dan teks

(linguistics), yang kembali populer seperti semantik, semiotika, pragmatik,

sintagmatis, kritik sastra, dan sebagainya. Capaian-capaian ini telah dimanfaatkan

oleh sebagian besar kaum Muslim yang mencoba untuk menafsirkan al-Qur’an

dalam perspektif baru. Tujuannya adalah untuk mendapatkan jawaban atas

persoalan sosial-kemanusiaan dan menghadapi tantangan perubahan zaman.11

Salah satu dari sekian diskursus dalam studi al-Qur’an yang menarik adalah

pemikiran Farid Esack seorang pemikir organik asal Afrika Selatan yang mencoba

menggabungkan perspektif hermeneutika al-Qur’an dengan kondisi sosial

-politik-kemasyarakat yang kemudian dikenal dengan “hermeneutika al-Qur’an liberatif”.

Sesuai dengan namanya, metode ini lebih diorientasikan pada tataran

praksis-liberatif dengan mengusung gerakan progresif dalam setiap aktivitas

(20)

4

penafsirannya.12 Hermeneutika al-Qur’an liberatif dalam khazanah intelektual

Muslim bisa dikatakan sebagai barang baru. Pasalnya, penafsiran selama ini yang

dilakukan oleh kalangan ulama salaf, lebih ditujukan pada aspek

teoretis-konseptual, sehingga sulit untuk melihat sejauh mana fungsionalisme teks

al-Qur’an dalam merespon setiap kebutuhan zaman. Padahal, al-Qur’an adalah kitab

yang lebih mengutamakan “amal” ketimbang “gagasan”.13

Melalui kacamata hermeneutika, Esack mencoba untuk melihat sejauh mana

sebuah teks keagamaan dapat melakukan transformasi sosial ke arah yang lebih

baik. Mengubah tatanan masyarakat yang timpang menjadi lebih berkeadilan.

Esack dalam melahirkan gagasannya banyak diinspirasi oleh kondisi lingkungan

ketika ia hidup.14 Dominasi rezim Apatheid yang rasialis dan menindas menjadi

motivasi Esack dalam mengubah struktur paradigma masyarakat terhadap

pemahaman al-Qur’an. Bagi Esack, al-Qur’an selama ini hanya dipahami sebagai

sebuah teks suci yang sakral, jika dibaca bernilai ibadah, dan penenang jiwa. Esack

merasa ada kontradiksi antara spirit al-Qur’an dengan pemahaman umat Muslim

pada umumnya.15

Farid Esack merupakan satu dari sederet nama yang mencoba menggunakan

pendekatan interdisipliner dalam mengkaji al-Qur’an. Dengan menggandeng

hermeneutika yang dipadukan dengan konteks sosial-politik Afrika Selatan, Esack

12 Farid Esack, Qur’an, Liberation, and Pluralism; An Islamic Perspective of Interreligious

Solidarity againts Oppression (Oxford: Oneworld Publications, 1997), hlm. 54-55.

13 Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Oxford: Oxford

University Press, 1934), hlm. v.

14 Farid Esack, Qur’an, Liberation, hlm. 1-2.

15 Menurut Esack, pemahaman seperti ini merupakan jenis kelompok pencinta tak kritis (The

(21)

5

telah mampu melahirkan gagasan dan pemikiran kreatif di bidang studi al-Qur’an.16

Melihat dari kaca mata kontemporer, hal tersebut merupakan sesuatu yang langka

dan unik. Sehingga, tidak heran jika banyak tokoh yang melancarkan kritik terhadap

pemikiran Esack. Misalnya, Esack dipandang sebagai seorang yang memiliki

pemikiran nyeleneh, liberal, dan menggugat dengan gayanya yang blak-blakan.

Atau, mereka tidak suka dengan sikap Esack yang secara tegas menolak

diterapkannya syariat Islam bagi kaum Muslimin di Afrika Selatan.17

Mendasarkan alasan pada aspek pertimbangan dalam memilih suatu tokoh

untuk dikaji, yaitu melihat dari sisi popularitas, pengaruh pemikiran, keunikan,

kontroversial dan relevansi serta konstribusi Farid Esack dalam wacana

pengembangan studi al-Qur’an kontemporer, peneliti merasa tertarik untuk secara

intensif dan mendalam mengkaji pemikirannya. Di samping itu, intensitas Farid

Esack sebagai tokoh yang memiliki concern terhadap studi al-Qur’an sekaligus

sebagai aktivis sosial, menjadi sesuatu hal yang langka. Suatu kepribadian yang

unik dari kebanyakan tokoh yang menekuni bidang studi al-Qur’an.

Keterlibatannya dalam aktivitas-aktivitas sosial-politik-keagamaan menjadikannya

seorang tokoh yang tidak hanya berhenti pada aspek teoretis. Tetapi telah

mengaplikasikannya pada tahapan praksis-liberatif, sesuai dengan pemikirannya.

Oleh karena itu, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, penulis tertarik

untuk mengkaji pemikiran Farid Esack lebih lanjut dan mendalam.

16 Farid Esack, Qur’an, Liberation, hlm. 9.

17 Dadi Darmadi, “Memahami Farid Esack”, dalam Farid Esack, On Being A Muslim;

(22)

6

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut;

1. Bagaimana setting sosio-historis kehidupan Farid Esack, serta sejauh

mana kondisi sosial-politik mempengaruhi pemikirannya?

2. Bagaimana latar belakang dan corak pemikiran hermeneutika al-Qur’an

Farid Esack?

3. Bagaimana struktur metodologi hermeneutika al-Qur’an Farid Esack?

C. Tujuan Penelitian

Sebagaimana objek penelitian ini adalah pemikiran Farid Esack, tujuan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara Normatif

a. Untuk mengetahui setting sosio-historis kehidupan Farid Esack dan

mengetahui sejauh mana kondisi sosial-politik mempengaruhi

pemikiran Farid Esack.

b. Untuk mengetahui latar belakang dan corak pemikiran hermeneutika

al-Qur’an yang dikembangkan oleh Farid Esack.

c. Untuk mengetahui struktur metodologi hermeneutika al-Qur’an yang

(23)

7

2. Secara Filosofis

a. Untuk memperoleh gambaran yang utuh tentang persepsi, motivasi,

aspirasi dan prestasi atau bahkan “ambisi” Farid Esack dalam

bergumul dengan studi al-Qur’an.

b. Untuk memperoleh deskripsi yang objektif dan komprehensif tentang

prinsip dan strategi pembacaan teks (baca: metodologi) yang

digunakan oleh Farid Esack dalam menafsirkan al-Qur’an;

c. Untuk menguji orisinalitas pemikiran dan sisi-sisi kelebihan serta

kelemahan metodologi yang digunakan oleh Farid Esack dalam

menafsirkan al-Qur’an;

d. Untuk menemukan kontribusi, relevansi dan kontekstualisasi

pemikiran Farid Esack dalam konteks kekinian dan kedisinian;

e. Untuk mengetahui pandangan tokoh lainnya terhadap pemikiran Farid

Esack.

D. Manfaat dan Kontribusi

Sebagaimana sebuah karya akademik harus memiliki signifikansi terhadap

pengembangan kajian keislaman, dalam konteks ini adalah studi al-Qur’an

(Qur’anic Studies). Setidaknya manfaat dan kontribusi yang didapat melalui

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Memberikan sumbangan berupa deskripsi utuh dan menyeluruh tentang

(24)

8

2. Mengkonstruksi pemikiran Farid Esack menjadi bangunan pemikiran

yang utuh dan sistematis, sehingga serpihan-serpihan pemikiran yang

tercecer di berbagai buku, akan menjadi gagasan yang holistik, lengkap

dengan segala kritik dan apresiasinya.

3. Memperluas wawasan kajian seputar metodologi penafsiran al-Qur’an

secara paradigmatik, operasional, dan konseptual. Karena semangat dan

problematika yang dihadapi oleh umat Islam semakin berkembang dan

kompleks sehingga menuntut dikembangkannya metode-metode baru

dalam memahami al-Qur’an secara lebih akomodatif dan integratif

sebagai solusi atas kebutuhan masyarakat Muslim.

4. Penelitian ini diharapakan menjadi kontribusi positif bagi arah

perkembangan penafsiran di pentas global. Karena kegiatan penafsiran

al-Qur’an akan selalu berkembang seiring dengan kebutuhan dan perubahan

zaman.

E. Penelitian Terdahulu (Prior Research)

Pergulatan penelitian di bidang Qur’anic Studies semakin banyak diminati

bukan hanya oleh kalangan sarjana Muslim, tetapi telah merambah kepada sarjana

non-Muslim (Barat). Daya tarik al-Qur’an yang sangat luar biasa telah

menghasilkan jutaan penelitian di bidangnya. Baik dalam bentuk penelitian teks

(filologi), pemikiran tokoh, living Qur’an, tematik al-Qur’an, dll. Sebagaimana

(25)

9

hermeneutika al-Qur’an, beberapa penelitian yang telah mendahului di antaranya

sebagai berikut:

Penelitian yang dilakukan oleh Imam Iqbal (2007) dalam tesinya yang

berjudul “Teologi Autentik; Studi atas Gagasan Teologi Pembebasan Farid

Esack”, mengangkat fokus terhadap upaya pencarian basis pemikiran Esack dalam

kerangka epistemologis. Imam Iqbal ingin menguji sejauh mana otentisitas

pemikiran teologi pembebasan yang diusung oleh Esack. Sebagai sebuah pemikiran

teologi Islam, dapat disebut autentik, asli, sejati ataupun murni jika didasarkan pada

sumber ajaran Islam, yakni al-Qur’an dan Sunnah. Dengan menggunakan

pendekatan historis penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa,Esack memaknai

autentisitas teologi Islam secara kontekstual-kritis. Ia tidak melihat problem

autentisitas secara diakronis, melainkan sinkronis. Baginya standar autentisitas

teologi Islam terletak pada praksis pembebasan. Menurut Iqbal, Esack merumuskan

beberapa prinsip yang berkenaan dengan standar kesatuan, otonomi, keunikan, dan

radikalisme untuk meraih autentisitas teologi Islam di level individu. Sedangkan

solidaritas antar-iman sebagai standar praksis pembebasan di level kelompok.18

Selanjutnya adalah penelitian tesis dari Basri (2016) yang berjudul

“Epistemologi Tafsir Ayat-ayat Pembebasan; Studi atas Penafsiran Farid Esack”,

yang mencoba mengkaji dan melacak basis epistemologi tafsir al-Qur’an Farid

Esack. Menurutnya prinsip penafsiran Esack berangkat dari realitas sosial-politik

yang dekat dengan problem kemanusiaan, seperti kemiskinan dan penindasan.

18 Imam Iqbal, Teologi Autentik; Studi atas Gagasan Teologi Pembebasan Farid Esack, Tesis

(26)

10

Sehingga penafsiran Esack lebih humanis dan dinamis. Dengan menggunakan

metode induktif, penelitian ini menyimpulkan bahwa bangunan pemikiran Farid

Esack sangat dipengaruhi oleh kondisi sosio-historis Afrika Selatan yang

mengalami tiga problem kemanusiaan; yakni rasialisme, patriarkhi dan kapitalisme.

Berangkat dari realitas tersebut, Esack menggagas ide teologi pembebasan sebagai

kritik atas teologi akomodasi yang berusaha memberi jalan dan membenarkan

praktik penindasan dan status quo. Dalam mengaplikasikan gagasannya tersebut,

Esack menekankan pada hermeneutika penerimaan (reception hermeneutics), yaitu

bagaimana teks al-Qur’an diterima dan dipahami oleh komunitas Muslim di Afrika

Selatan.19

Masih pada tahun yang sama, tesis dari Naibin (2016) mengusung judul

“Teologi Pembebasan Islam dan Implikasinya Bagi Etika Keberagamaan Umat

Islam; Studi Komparasi Pemikiran Asghar Ali Engineer dan Farid Esack”, yang

mencoba membandingkan pemikiran teologi pembebasan yang digagas oleh

Asghar Ali Engineer dengan Farid Esack. Penelitian ini menggunakan pendekatan

falsafah kalam Hassan Hanafi untuk memotret konstruksi teologi pembebasan

Asghar dan Esack. Kemudian menggunakan pendekatan sosiologi pengetahuan

Karl Mannheim untuk mengetahui produk pemikiran kedua tokoh tersebut.

Sehingga, penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa Asghar maupun Esack

sama-sama sebagai seorang penggagas ide teologi pembebasan meskipun dengan

konteks yang berbeda dan dengan aksentuasi yang berbeda pula. Menurut Naibin,

19 Basri, Epistemologi Tafsir Ayat-ayat Pembebasan; Studi atas Penafsiran Farid Esack,

(27)

11

terdapat kesamaan antara Asghar dan Esack pada wilayah kritik-konstruktif

terhadap teologi klasik-konservatif yang meninikberatkan pada wilayah

praksis-liberatif. Sedangkan perbedaannya terletak pada aspek metode yang digunakan

untuk merumuskan teologi pembebasan; seperti Esack yang hanya menggunakan

hermeneutika, sedang Asghar menggunakan metode dekonstruksi, analisis praksis

sosial dan hermeneutika.20

Penelitian terbaru di luar negeri memiliki kesamaan dengan tesis Naibin yang

berjudul “Qur'an of the Oppressed: Liberation Theology and Gender Justice in

Islam” karya Shadaab Rahemtulla. Penelitian ini yang kemudian menjadi buku,

merupakan hasil telaah kritis atas perbandingan pemikiran Farid Esack dengan

Asghar Ali Engineer. Buku ini mencermati gagasan teologi pembebasan yang

didasarkan atas pemahaman al-Qur’an. Yang menarik dari buku ini adalah,

penulisnya mampu mengeksplorasi secara sistematis dan komprehensif terhadap

metode interpretasi al-Qur’an.21

Zakiyuddin Baidhawy juga menuliskan pemikiran Farid Esack pada dua

karyanya dengan judul “Hermeneutika Pembebasan al-Qur’an; Perspektif Farid

Esack”22 dan “Model Kajian Hermeneutika; Studi Hermeneutika Pembebasan

Farid Esack”23. Kedua tulisan ini sebenarnya memiliki kesamaan yang

berkonsentrasi pada pengkajian terhadap hermeneutika pembebasan Farid Esack.

20 Naibin, Teologi Pembebasan Islam dan Implikasinya Bagi Etika Keberagamaan Umat

Islam; Studi Komparasi Pemikiran Asghar Ali Engineer dan Farid Esack, Tesis tidak diterbitkan (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2016), hlm. 172-174.

21 Shadaab Rahemtulla, Qur'an of the Oppressed: Liberation Theology and Gender Justice

in Islam (Oxford: Oxford University Press, 2017).

22 Dalam Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsuddin (Ed), Studi al-Qur’an Kontemporer;

Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002).

23 Dalam Zakiyuddin Baidhaway, Islamic Studies; Pendekatan dan Metode (Yogyakarta:

(28)

12

Baidhawy memberikan kesimpulan bahwa model pemikiran hermeneutika

pembebasan Farid Esack merupakan bentuk penyempurnaan dari pemikiran Fazlur

Rahman dan Mohammed Arkoun. Namun, tulisan ini sangat singkat dan tidak

menyajikan pemikiran Esack secara menyeluruh dan komprehensif.

Sementara itu, beberapa tulisan yang telah dimuat diberbagai jurnal yang

membahas pemikiran Farid Esack di antara adalah Sudarman “Pemikiran Farid

Esack tentang Hermeneutika Pembebasan al-Qur’an”,24 Fawaizul Umam

“Menimbang Gagasan Farid Esack tentang Solidaritas Lintas Agama”,25

Muhtarom “Mempertimbangkan Gagasan Hermeneutika Farid Esack untuk

Membangun Kerukunan Hidup Umat Beragama”,26A. Khudori Soleh “Kerjasama

Umat Beragama dalam al-Qur’an; Perspektif Hermeneutika Farid Esack”,27

Luqman Abdul Jabbar “Hermeneutical Keys; Sebuah Metode Alternatif dalam

Studi al-Qur’an Perspektif Farid Esack”,28 A. Zaini Abidin “Epistemologi Tafsir

al-Qur’an Farid Esack”,29Iswahyudi “Dari Pewahyuan Progressif Menuju Tafsir

Pembebasan; Telaah atas hermeneutika al-Qur’an Farid Esack”,30dan Erik Sabti

Rahmawati “Spirit of Liberation and Justice in Farid Esack’s Hermeneutics of the

Qur’an”31 yang secara umum membahas mengenai spirit pembebasan yang

digelorakan oleh Farid Esack lewat metode hermeneutika al-Qur’annya. Esack

sangat terpengaruh dengan konteks sosio-politik kehidupannya di Afrika Selatan.

24 Dalam Jurnal Al-Adyan (Vol. X, No. 1, 2015: 83-98). 25 Dalam Jurnal Islamica (Vol. 5, No. 1, 2010: 116-128). 26 Dalam Jurnal at-Taqaddum (Vol. 7, No. 2, 2015: 191-209). 27 Dalam Jurnal Penelitian Keislaman (Vol. 6, No. 2, 2010: 247-266).

28 Dalam Jurnal Khatulistiwa-Journal of Islamic Studies (Vol. 3, No. 2, 2013: 175-184). 29 Dalam Jurnal Teologia (Vol. 24, No. 1, 2013: 1-22).

(29)

13

Pengalaman eksistensialnya melawan rezim apartheid, memberikan ruh dan

semangat dalam mengaktualkan teks-teks al-Qur’an agar sesuai dengan konteks

pembebasan Afrika Selatan. Partikularitas pemikiran Esack, secara umum dapat

dikembangkan pada lokus yang berbeda. Yaitu dengan cara menggali semangat

pembebasan yang berakar dari realitas Islam historis. Hermeneutika pemebebasan

Farid Esack, selain dipengaruhi oleh konteks sosio-politik Afrika Selatan, juga

dipengaruhi oleh pemikiran Fazlur Rahman dan Mohammed Arkoun.

Namun dari beberapa penelitian dan buku tersebut, tentunya masih memiliki

kelemahan masing-masing dan pembahasannya saling melengkapi satu sama lain.

Penulis merasa masih memiliki celah dalam mengkaji dan mengkritisi segala aspek

pemikiran Farid Esack. Terutama konsepnya tentang hermeneutika al-Qur’an.

Artinya, perbedaan penelitian ini dengan penelitian lainnya terletak pada kajiannya

yang terfokus pada proses pelacakan unsur gagasan, prinsip-prinsip kunci dan

landasan teoretis penafsiran al-Qur’an liberatif yang banyak diwarnai dengan

nuansa hermeneutika. Serta melihat bagaimana kerangka berpikir Farid Esack

tentang Al-Qur’an yang menjadi sentral gagasannya. Sebab sejauh pengamatan

penulis, belum ada karya tulis yang melakukan kajian terhadap wilayah tersebut.

F. Kerangka Teoretik

Dalam sebuah penelitian ilmiah, kerangka teori sangat diperlukan antara lain

untuk membantu memecahkan dan mengidentifikasi masalah yang hendak diteliti.

Di samping sebagai acuan dalam melakukan analisis pada konteks masalah yang

(30)

14

untuk memperlihatkan ukuran-ukuran atau kriteria yang dijadikan dasar untuk

membuktikan sesuatu. Sehingga dalam penelitian ini akan menggunakan dua

kerangka teori sebagai berikut:

1. Teori Sosiologi Pengetahuan Karl Mannheim (1893-1947)

Teori ini digunakan untuk memahami kepribadian Esack dan melihat

sejauh mana konteks sosio-politik mempengaruhi pemikirannya. Mannheim

menyatakan bahwa ide atau pengetahuan yang dihasilkan oleh seseorang

adalah sebuah hasil dari dinamika dan interaksi sosial yang terjadi dalam

masyarakat tempat individu itu tinggal.32 Sehingga, sebuah ide, gagasan atau

pengetahuan tidak bisa terlepas dari akar sosial, tradisi dan keberadaan

seseorang yang melahirkan ide atau pengetahuan tersebut. Gagasan

bersumber pada pengetahuan yang dibentuk secara sosial (socially

constructed).33

Dalam sosiologi pengetahuan Mannhein, terdapat teori relasionisme

yang merupakan sebuah konsekuensi logis dari teori determinasi sosiologi

pengetahuan, yang menyimpulkan bahwa suatu ide atau pengetahuan yang

berkembang sesuai dengan konteks sosial penggagasnya. Dalam bahasa lain,

pengetahuan selalu berkaitan dengan realitas sosial yang berkembang dan

mengitarinya. Relasionisme ini membatasi suatu kebenaran sesuai dengan

konteks sosial di mana kebenaran itu hadir. Sehingga, dalam proses

32 Karl Mannheim, Ideology and Utopia; Collected Works Volume One (New York:

Routledge, 2003), hlm. 1.

33 Karel A. Steenbrink, Metodologi Penelitian Agama Islam di Indonesia Berapa Petunjuk

(31)

15

pemaknaan suatu pengetahuan tidak hanya sekadar berhenti pada wilayah ide

dan pengetahuan. Namun melangkah lebih jauh, yaitu harus memperhatikan

dan mempertimbangkan konteks sosial dan psikologis penggagas suatu ide

atau pengetahuan tersebut. Maka dapat disimpulkan bahwa pengetahuan

maupun ide, pada dasarnya tidak tercipta dalam ruang kosong yang hampa

budaya, melainkan pengetahuan dan ide muncul akibat dari dinamika sosial

yang digeluti oleh seorang pemikir. Oleh karena itu, pemikiran Farid Esack

tidak akan bisa dipahami secara baik, tepat dan komprehensif tanpa melihat,

memperhatikan dan memahami sejarah atau tradisi panjang yang

melingkupinya. Sejarah sosial-politik tersebut kemudian dikonstruksi

menjadi bangunan yang utuh sebagai dasar pijakan dalam memahami

karakteristik pemikiran Farid Esack.

Dengan demikian, teori sosiologi pengetahuan dalam penelitian ini

adalah untuk melihat relasi antara eksistensi seorang pemikir dengan

sosio-politik yang melingkupinya. Serta melihat sejauh mana kondisi sosio-sosio-politik

tersebut mempengaruhi pemikiran Esack. Di samping untuk menganalisis

problem yang terjadi dengan produk pemikiran yang dihasilkan. Teori

pendekatan ini dimaksudkan untuk mempelajari struktur pemikiran dan

kesadaran yang dipahami melalui latar belakang sosio-politik kultural Esack.

2. Teori Epistemologi

Epistemologi sering disebut sebagai teori pengetahuan. Secara

etimologi, istilah epistemologi berasal dari kata Yunani episteme yang artinya

(32)

16

(epistemologi) berarti kata, pikiran, percakapan tentang pengetahuan atau

ilmu pengetahuan. Sedangkan pengetahuan itu sendiri dapat diartika sebagai

sesuatu yang ada secara niscaya pada diri manusia. Keberadaannya diawali

dari kecendrungan psikis manusia sebagai bawaan kodrat manusia, yaitu

dorongan ingin tahu yang bersumber dari kehendak atau kemauan.

Teori ini digunakan untuk menelisik dan mengkonstruksi pemikiran

Esack berdasarkan basis epistemologi. Artinya, bahwa teori pengetahuan

(epistemologi) bertujuan untuk mengungkap asal-usul tentang apa dan

bagaimana sumber pengetahuan manusia diperoleh. Apakah dari akal pikiran

murni (rasionalisme), dari pengalaman panca indra (empirisme), atau dari

ide-ide yang berkembang (idealisme) dan dari Tuhan (teologisme). Teori ini

juga akan melacak terhadap validitas pengetahuan Esack, yaitu sampai di

mana kebenaran pengetahuan (pemikirannya). Maka dengan teori ini, penulis

akan membedah pemikiran Esack terutama pemikirannya tentang

hermeneutika al-Qur’an.

Dalam teori pengetahuan (epistemologi), setidaknya terdapat tiga hal

yang dapat ditelisik, yaitu; 1) watak (corak) pengetahuan; 2) sumber

pengetahuan; 3) validitas pengetahuan. Sehingga, teori pengetahuan

digunakan untuk mengungkap konstruk pemikiran atau penafsiran Farid

Esack, meliputi; bagaimana kerangka berpikir Farid Esack tentang al-Qur’an,

bagaimana metode penafsirannya, bagaimana sumber penafsirannya serta

bagaimana pemahaman Esack terhadap khazanah tafsir dan juga

(33)

17

Validitas Corak

Sumber Konteks Internal

(Psikologis)

Konteks Eksternal (Sosio-Politik-Ekonomi)

Pengetahuan

Teori Epistemologi

Struktur Operasional

Metode Hermeneutika Al-Qur’an Liberatif

Farid Esack

Gagasan dan Prinsip Kunci

Landasan Teoretis Penafsiran Skema: 1

Kerangka Teoretik

Paradigma Berpikir

(34)

18

G. Metode Penelitian

Suatu penelitian ilmiah (al-bahts al-ilmi), membutuhkan sebuah kerangka

metodologis atau tata cara sistematis dan logis agar sebuah penelitian lebih terarah

dan sistematis. Metode tersebut digunakan sebagai alat analisis, mendeskripsikan

data, mengkaji dan menyimpulkan hasil penelitian.34 Adapun kerangka metode

penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini berjenis kualitatif (qualitative research), yaitu penelitian

untuk memahami fenomena yang dialami oleh subjek, seperti perilaku,

persepsi, motivasi, pemikiran, dengan cara mendeskripsikan dalam bentuk

kata-kata atau bahasa, pada suatu konteks khusus yang sistematis dengan

memanfaatkan berbagai metode ilmiah.35 Sementara berdasarkan modelnya,

penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian pustaka (library research),

yaitu menganalisis bahan-bahan kepustakaan atau literatur berupa buku,

dokumen, hasil penelitian dan karya ilmiah lainnya dengan cara sistematis

dan terstruktur.36 Sedangkan berdasarkan objek yang dikaji, penelitian ini

merupakan penelitian tokoh (al-bahts fi al-rijal), yaitu studi intensif,

sistematis, dan kritis mengenai biografi, perjalanan intelektual, pemikiran,

kontribusi, serta sejarah dan konteks sosio-politik yang melingkupinya.37

34 Rajendra Kumar, Research Methodology (New Delhi: APH Publishing Corporation, 2008),

hlm. 4-5.

35 Hennie Boeije, Analysis in Qualitative Research (London: SAGE Publications, 2010), hlm.

5.

36 Mary W. George, The Elements of Library Research; What Every Student Needs To Know

(Princeton: Princeton University Press, 2006), hlm. 1.

37 Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir (Yogyakarta: Idea Press, 2015),

(35)

19

2. Pendekatan Penelitian

Sebagai sebuah studi terhadap pemikiran tokoh, diperlukan sebuah

pendekatan untuk menganalisis dan mengkaji tokoh tersebut. Adapun

pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Pendekatan Sosio-Historis (Socio-Historical Approaches)

Karakter yang menonjol dalam pendekatan sosio-historis adalah

tentang signifikansi waktu dan prinsip-prinsip kesejarahan terhadap

individualitas dan perkembangannya. Melalui pendekatan ini peneliti

berusaha untuk melakukan restrukturasi pemikiran Farid Esack, dan

melakukan rekonstruksi proses genesis, yaitu analisis terhadap

kemungkinan perubahan dan perkembangan.38 Sehingga, melalui

pendekatan ini dapat diketahui asal-usul pemikiran/gagasan/sikap serta

motivasi Farid Esack dalam menggeluti bidang studi al-Qur’an. Melalui

usaha penelusuran sejarah, juga akan memberikan gambaran sejauh mana

konteks sosioal-politik di Afrika Selatan mempengaruhi pemikirannya.

b. Hermeneutika (Hermeneutics)

Kata hermeneutika berasal dari kata hermeneuin yang berarti

menafsirkan, menjelaskan, dan memahami.39 Dalam konteks ini,

hermeneutika berarti ilmu dan teori tentang penafsiran yang bertujuan

menjelaskan teks mulai dari ciri-cirinya, baik objektif (arti gramatikal

kata-kata dan variasi historinya), maupun subjektif (maksud pengarang,

38 Imam Suprayogo dan Trobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2001), hlm. 65-66.

39 Richard E. Palmer, Hermeneutics; Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey,

(36)

20

dimensi psikologis). Konkretnya metode hermeneutika adalah metode

sebagai proses mengubah sesuatu dari ketidaktahuan menjadi mengerti

(mengetahui).40 Teori hermeneutika digunakan untuk menghasilkan

pengetahuan interpretatif berdasarkan verstehen, yaitu cara

mengembangkan pengetahuan yang memanfaatkan kemampuan manusia

menempati diri melalui pikiran dalam situasi dan kondisi orang lain

dengan tujuan memahami pikiran, pandangan, perasaan, cita-cita,

dorongan dan kemauannya.41 Sehingga hermeneutika digunakan sebagai

metode atau teknik ilmu pengetahuan kemanusiaan (humaniora).42

Penerapannya adalah dengan cara merekonstruksi subjektif-historis,

dengan cara memahami teks sebaik-baiknya atau lebih baik daripada

pengarangnya sendiri, dan memahami pengarang teks lebih baik dari

memahami diri sendiri. Artinya bahwa peneliti harus memahami

pemikiran Farid Esack melalui tulisan-tulisannya yang berada di buku

maupun artikel ilmiah lainnya.

3. Sumber Data Penelitian

Adapun sumber data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu

sumber data primer yakni data utama (asli) yang menjadi rujukan dalam

penelitian dan data sekunder adalah data pendukung yang sifatnya

komplementer. Data primer dalam penelitian ini adalah pemikiran Farid

40 Richard E. Palmer, Hermeneutics, hlm. 14.

41 Josef Bleicher, Hermeneutika Kontemporer; Hermeneutika Sebagai Metode, Filsafat dan

Kritik, terj. Ahmad Norma Permata (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003), hlm. viii.

42 F. Budi Hardiman, Seni Memahami; Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida,

(37)

21

Esack tentang metode hermeneutika al-Qur’an yang tertuang di dalam buku

-buku maupun artikel ilmiah lainnya. Sedangkan sumber data sekunder adalah

literatur pendukung yang memiliki relevansi dengan penelitian ini berupa

pendapat para tokoh dan mufasir.

4. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini bersifat kualitatif murni yang berbasis pustaka atau literer,

maka pengumpulan data-datanya dilakukan melalui teknik riset kepustakaan,

yaitu dengan cara mengumpulkan seluruh bahan-bahan penelitian yang

dibutuhkan seperti buku, jurnal, hasil penelitian, kitab tafsir, karya ilmiah

lainnya serta berbagai literatur pendukung lainnya.43

5. Teknik Analisis Data

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini sebagai barikut:

a. Deskriptif-Analitis (Description-Analysis)

Yaitu peneliti akan mendeskripsikan konstruksi dasar pemikiran

hermeneutika al-Qur’an Farid Esack, lalu melakukan analisis secara

kritis, untuk mencari akar-akar pemikiran Esack. Kemudian

deskripsi-analisis terhadap pemikiran hermeneutika al-Qur’an yang didapatkan

dari penggalian data. Sehingga, akan terlihat bagaimana bangunan

pemikiran hermeneutika al-Qur’an yang dikembangkan oleh Farid

Esack. Teknik ini hanya terbatas pada wilayah pengungkapan secara

deskriptif terhadap apa yang Esack tuliskan di berbagai karyanya.

(38)

22

b. Analisis Isi (Content Analysis)

Setidaknya terdapat tiga syarat dalam melakukan content analysis

yaitu, objektivitas, pendekatan sistematis, dan generalisasi.44 Sehingga

content analysis dimaksudkan sebagai metode analisis pemahaman

secara konseptual yang berkelanjutan di dalam deskripsi. Metode

content analysis digunakan untuk memperoleh keterangan dari sisi

komunikasi, yang disampaikan dalam bentuk lambang yang

terdokumentasi atau didokumentasikan, baik dalam bentuk video,

artikel, jurnal, buku, maupun karya-karya Farid Esack lainnya.45

Sehingga, akan diperoleh pemahaman yang sistematis, logis dan

komprehensif terhadap konstruksi pemikiran hermeneutika al-Qur’an

Farid Esack.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan berfungsi untuk menyatakan garis-garis besar dari

masing-masing bab yang saling berkaitan dan berurutan. Hal ini bertujuan untuk

memberikan arah (guide) agar memperoleh penelitian yang alamiah, konsisten,

sistematis dan kronologis. Adapun sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I: Pendahuluan. Berisi tentang penjelasan secara umum atau kerangka

dasar konseptual, berupa latar belakang masalah yang kemudian dikerucutkan

44 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif; Pendekatan Positivistik, Rasionalistik,

Phenomenologik, dan Realisme Methaphisik, Telaah Studi Teks dan Penelitian Agama, Edisi Ketiga (Yogyakarta: Rake Sarasin, cet. VIII 1998), hlm. 49.

(39)

23

menjadi rumusan masalah sebagai fokus penelitian. Kemudian penjelasan tentang

kerangka teoretik, telaah pustaka, dan metode penelitian.

BAB II: Hermeneutika Al-Qur’an. Berisi tentang tinjauan umum wacana

hermeneutika yang berkembang baik di Barat maupun di Timur (baca: Islam).

Meliputi sejarah, model atau karakteristik pemikiran hermeneutika hingga

perkembangannya sampai saat ini. Di dalam bab ini juga akan dikemukakan tentang

argumentasi atas intergrasi hermeneutika dan resistensi penggunaannya dalam

penafsiran al-Qur’an. Bab dua ditujukan sebagai landasan teori yang akan

digunakan untuk menganalisis problem-problem akademik dalam penelitian ini.

Bab III: Biografi Intelektual. Berisi tentang setting sosio-historis kehidupan

Farid Esack dengan menguraikan sejarah, baik dalam konteks sosial, politik,

ekonomi, pendidikan, agama dan budaya. Kemudian dapat disimpulkan tentang

karakteristik dan corak pemikirannya, yaitu bentuk penjelasan lanjut terhadap,

sejauh mana konteks lingkungan mempengaruhi pemikiran Esack. Bab tiga

ditujukan sebagai jawaban bagi rumusan masalah yang pertama.

Bab IV: Metodologi Hermeneutika Al-Qur’an Liberatif. Berisi rumusan

metodologis hermeneutika al-Qur’an yang digagas oleh Farid Esack. Bab ini

menyajikan tentang segala aspek konsep, paradigma, gagasan dan prinsip kunci,

serta operasional metode hermeneutika al-Qur’an. Bab empat merupakan elaborasi

kritis atas analisis sebagai jawaban atas rumusan masalah kedua dan ketiga.

Bab V: Penutup. Berisi kesimpulan dan ringkasan yang diambil secara

keseluruhan dari bab-bab sebelumnya. Kemudian diikuti dengan saran bagi

(40)

24

BAB II

HERMENEUTIKA AL-QUR’AN

A. Definisi dan Ruang Lingkup Hermeneutika

Hermeneutika atau dalam bahasa Yunani (Greec) “Hermeneutique”

merupakan istilah yang identik dengan seni atau teknik menetapkan makna.

Ditinjau secara etimologis kata hermeneutika berasal dari istilah Yunani dari kata

kerja hermeneuein yang berarti “menafsirkan, menjelaskan (erklaren)” atau kata

benda hermeneia yang berarti interpretasi (penafsiran, penjelasan atau

penerjemahan).1 Kata tersebut kemudian diserap ke dalam bahasa Jerman

hermeneutik dan bahasa Inggris hermeneutics.2

Istilah hermeneutika sering merujuk pada seorang tokoh mitologis Yunani

yang disebut “Hermes” yaitu seorang utusan dewa yang bertugas untuk

menterjemahkan pesan Yupiter yang menggunakan bahasa langit, agar bisa

dipahami oleh manusia yang menggunakan bahasa bumi. Istilah dalam bahasa

Latin, Hermes disebut sebagai “Mercurius”. Di kalangan Yahudi, Hermes dikenal

sebagai Nabi Musa, yang dalam mitologi Mesir kuno dikenal sebagai Dewa Toth.3

1 Richard E. Palmer, Hermeneutics; Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey,

Heidegger and Gadamer (Evanston: Northwestern University Press, 1980), hlm. 12.

2 Dalam bahasa inggris diterjemahkan sebagai “the area of study that analyses and explains

written texts” A S Hornby, Oxford Advanced; Learner’s Dictionary of Current English, Eighth Edition (Oxford: Oxford University Press, 2010), hlm. 728.

3 Banyaknya berbagai penyebutan atau asosiasi istilah Hermes di berbagai peradaban dunia,

(41)

25

Istilah Arab menterjemahkan kata hermeneutika dengan Ilm at-Ta’wil atau

at-Ta’wiliyah. Melihat fungsinya adalah menjelaskan maksud teks yang diteliti.

Sementara dalam peradaban Islam, Hermes sering disebut-sebut sebagai sosok Nabi

Idris yang dalam al-Qur’an dikenal sebagai orang pertama yang mengetahui tata

cara penulisan, atau orang yang banyak belajar dan mengajar.4 Hal ini misalnya bisa

diintrodusir dari lafadz “Idris” yang memiliki akar kata darasa yang berarti ajar

mengajar.5

Hal ini berarti, baik Hermes maupun Idris adalah sosok penghubung dan

penterjemah ajaran Tuhan kepada manusia. Hermes memiliki fungsi dan peran yang

sangat penting, di mana Hermes harus memiliki kemampuan yang cukup untuk bisa

mentransformasikan atau menterjemahkan pesan-pesan ketuhanan kepada manusia

dengan valid, otentik dan komprehensif. Hermes harus terlebih dahulu memahami

dan menafsirkan pesan-pesan tersebut. Setelah memahaminya, dia baru

menterjemahkan, menyatakan dan menyuratkan maksud pesan-pesan itu kepada

manusia. Dari kegiatan Hermes tersebut tampak kerumitan kegiatan memahami.

Pertama, pihak yang menyampaikan pesan harus memahami maksud pesan itu.

Kedua, agar maksud pesan dapat disampaikan, sang penyampai pesan harus

membuat artikulasi yang sesuai dengan maksud penyampai pesan. Kesenjangan

antara pemberi pesan, penyampai pesan dan penerima pesan, harus dijembatani

lewat kegiatan yang lalu disebut hermeneutik itu.6

4 Seyyed Hossein Nasr, Kowledge, hlm. 67.

5 Ibn Manzur, Lisan Al-Arab, (Beirut: Dar Al-Ma’rifah, 1979), hlm. 1359-1360.

6 F. Budi Hardiman, Seni Memahami; Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida

(42)

26

Maka dapat dipahami bahwa asosiasi istilah hermeneutika kepada sosok

Hermes, tidak lain untuk menunjukkan dan menggambarkan pentingnya proses

interpretasi dalam memahami maksud sebuah teks. Yaitu bentuk fungsi transmisi

terhadap apa yang ada dibalik pemahaman manusia ke dalam bentuk yang dapat

ditangkap intelegensia manusia.7

Mediasi dan proses membawa pesan “agar dipahami” yang diasosiasikan

dengan Hermes ini, menurut Richard E. Palmer, terkandung dalam semua tiga

bentuk makna dasar dari hermeneuein dan hermeneia dalam penggunaan aslinya.

Tiga bentuk ini menggunakan bentuk kata kerja (verb) dari hermeneuein, yaitu; 1)

hermeneutika sebagai seni menterjemahkan (to translate); 2) hermeneutika sebagai

seni menyatakan (to say), dan; 3) hermeneutika sebagai seni menjelaskan (to

explain). Ketiga fungsi ini sepenuhnya tercover dalam kata kerja (verb) “to

interpret”, namun Palmer menyatakan bahwa masing-masing ketiga makna

tersebut membentuk sebuah makna independen dan memiliki signifikansi tersendiri

bagi proses interpretasi. Dengan demikian kegiatan hermeneutika mengacu kepada

tiga persoalan yang berbeda; transliterasi dari bahasa lain menjadi bahasa yang

terpahami, pengucapan lisan, dan penjelasan yang masuk akal.8

Sementara itu, hermeneutika sebagai sebuah istilah, kata tersebut

didefinisikan secara beragam dan bertingkat. Dalam tinjauan terminologi

setidaknya terdapat tiga kecenderungan definisi; pertama, pengungkapan pikiran

melalui kata-kata, penterjemahan dan tindakan sebagai penafsir. Kedua, usaha

(43)

27

mengalihkan dari bahasa asing yang maknanya tidak jelas (samar) dan tidak

diketahui ke dalam bahasa lain yang bisa dimengerti oleh pembaca (audience).

Ketiga, transmisi ungkapan pikiran yang bersifat samar menjadi ungkapan yang

lebih jelas.9

Friedrich D. E. Schleiermacher, seorang bapak hermeneutika modern,

mendefinisikan hermeneutika sebagai “the art of understanding rightly another

man’s language, particularly his written language”.10 Selain sebagai seni,

hermeneutika pada masa modern, menurut Hans-George Gadamer, hermeneutika

tidak sekadar diartikan sebagai “art of exegesis” tetapi “hermeneutics is the

practical art, that is, a techne, involved in such things as preaching, interpreting

other languages, explaining and explicating texts, and, as the basis of all of these,

the art of understanding, an art particularly required any time the meaning of

something is not clear and unambigious”. Sehingga, hermeneutika secara umum

diartikan sebagai sebuah proses mengubah sesuatu atau situasi dari ketidaktahuan

menjadi tahu dan mengerti.11

Secara lugas Zygmunt Bauman mendefinisikan hermeneutika sebagai upaya

menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau

tulisan yang tidak jelas, kabur, samar dan kontradiktif yang menimbulkan

kebingungan bagi para pendengar atau pembacanya.12 Sedangkan Card Breaten

9 See Jean Grondin, Source of Hermeneutics (New York: State University of New York

Press, 1995).

10 Freidrich Schleiermacher, Hermeneutics and Crticism; And Other Writings, trans. Andrew

Bowie (United Kingdom: Cambridge University Press, 1998), hlm. 5.

11 Richar E. Palmer, hermeneutics, hlm. 13.

12 Zygmunt Bauman, Hermeneutics and Social Science; Approaches to Understanding

(44)

28

mendefinisikan hermeneutika sebagai “the science of reflecting on how a word or

an event in a past time and culture may understand and become existentially

meaningful in our present situation”. Pengertian ini berkaitan dengan

methodological rules and epistemogical assumptions of understanding.13

Dalam melaksanakan fungsi tersebut, hermeneutika berusaha mengkaji

persoalan teks (text) dan wacana (speech) serta penjelasan tentang sesuatu yang

belum jelas dengan menggunakan ekspresi bahasa serta penerjemahan (translation)

dari suatu bahasa ke bahasa lain yang lebih jelas. Sehingga, hermeneutika sering

dipahami sebagai sebuah cara untuk “bergaul” dan “bergumul” dengan bahasa.

Karena segala buah bentuk pikiran selalu diungkapkan dengan bahasa, bahkan

dapat dikatakan bahwa bahasa merupakan bentuk penjelmaan kebudayaan

manusia.14

Perlu diperhatikan di sini juga bahwa terdapat perbedaan antara praktik

hermeneutika dengan pemikiran hermeneutika. Praktik hermeneutika adalah

kegiatan menafsirkan suatu teks untuk menemukan maknanya, suatu proses yang

dituntun oleh asas dan prinsip atau cara-cara penafsiran. Namun, asas, prinsip

ataupun cara tersebut cenderung diandaikan begitu saja karena yang penting dalam

hal ini adalah hasilnya, yaitu menemukan makna teks. Sedangkan pemikiran

hermeneutika lebih merupakan refleksi kritis atas pengandaian-pengandaian

implisit terhadap praktik-praktik hermeneutika. Maka dalam konteks inilah,

13 Ilyas Supena, Bersahabat dengan Makna Melalui Hermeneutika (Semarang: Program

Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang, 2010), hlm. 19-20; See Card Breaten, History of Hermeneutics (Philadelphia: From Press, 1966), hlm. 130-134.

14 James M. Robinson, Language, Hermeneutics, and History; Theology After Barth and

(45)

29

hermeneutika kemudian berkembang menjadi sebuah “metode”. Sehingga,

hermeneutika sebagai metode merupakan salah satu prestasi modernitas. Sementara

itu, jika pengandaian-pengandaian implisit atas praktik-praktik hermeneutika itu

berciri radikal dan total, seperti tentang kenyataan (ontologis), tentang manusia

(antropologis), atau tentang pengetahuan (epistemologis), hal ini disebut sebagai

pemikiran hermeneutika filosofis.15

Hal ini sekaligus menuntun kita pada sebuah kesimpulan bahwa, dalam

hermeneutika kita selalu diperhadapkan pada proses interpretasi. Di mana

interpretasi secara umum dipahami sebagai proses “menafsir”. Secara eksistensial,

kehidupan manusia tidak akan berlepas diri pada proses interpretasi. Faktanya, dari

saat bangun hingga tidur kembali, manusia senantiasa melakukan proses

“penafsiran”. Dengan begitu, interpretasi bisa jadi adalah aktivitas berfikir manusia

yang sangat mendasar. Interpretasi lebih luas dari sekadar dunia linguistik di mana

manusia hidup. Tentu saja perwujudan sistem berfikir dalam wujud interpretasi

adalah sebuah proses yang konstan dari interpretasi.16

Tentu interpretasi yang konstan pada tingkat-tingkat non-linguistik teranyam

ke dalam struktur keseluruhan hidup manusia bersama-sama. Menurut Joachim

Wach misalnya, bahwa eksistensi manusia mungkin saja tanpa bahasa, tetapi tidak

tapa komprehensi mutual dari satu orang kepada yang lainnya tidak tanpa

interpretasi. Namun dalam kenyataannya, eksistensi manusia seperti yang kita

ketahui selalu melibatkan bahasa, dan dengan begitu apapun teori interpretasi

(46)

30

manusia harus bekenaan dengan fenomena bahasa. Menurut Richar E. Palmer

bahwa, dari semua media ekspresi simbolik yang beraneka ragam digunakan oleh

manusia, tiada satu pun yang melampaui bahasa dalam kelenturan dan kekuatan

komunikatifnya, atau dalam kepentingannya secara umum.17

Oleh karena itu, hermeneutika pada dasarnya mencakup aturan-aturan

metodologis yang diterapkan dalam penafsiran umum maupun asumsi-asumsi

ontologis, epistemologis dan estetis. Maka, persoalan yang secara umum dibahas

melalui hermeneutika adalah teks-teks sejarah atau agama, baik sifatnya maupun

hubungannya dengan adat dan budaya serta hubungan peneliti dengan teks itu

dalam konteks melakukan studi kritis atasnya.18

B. Sejarah Perkembangan Hermeneutika Modern

Hermeneutika sebagai sebuah disiplin ilmu, tentu bukanlah sesuatu yang

muncul tiba-tiba dan tanpa akar sejarah yang kuat. Sebagai sebuah diskursus

intepretasi ‘teks’, hermeneutika terus mengalami perkembangan dan muatan

-muatan yang kompleks.19 Hermeneutika adalah bagian dari sejarah kemanusiaan di

mana setiap gerak laku perbuatan manusia membutuhkan instrumen interpretasi.

Sejarah panjang telah mencatat bagaimana hermeneutika menjadi perdebatan

paling menarik di kalangan sarjana Barat.20

17 Richard E. Palmer, Hermeneutics, hlm. 9.

18 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir; Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda

Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an (Tangerang: Lentera Hati, 2013), hlm. 401-402.

19 Setidaknya hermeneutika telah mengalami perkembangan ke dalam tiga tahapan; 1)

hermeneutika sebagai interpretasi teks-teks mitos; 2) hermeneutika sebagai interpretasi teks kitab suci, dan; 3) hermeneutika umum (allegemeine hermeneutik). Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika, hlm. 11.

20 Perkembangan hermeneutika modern dilatarbelakangi oleh perdebatan sengit antara aliran

(47)

31

Seperti yang berkembang pada masa modern, bidang hermeneutika

didefinisikan, paling tidak, dalam enam bentuk yang berbeda. Sejak awal

kemunculannya, hermeneutika menunjuk pada ilmu interpretasi, khususnya

prinsip-prinsip eksegesis tekstual, tetapi menurut Richard Palmer, sepanjang

sejarah hermeneutika telah ditafsirkan secara kronologis sebagai; 1) teori

exegesis Bibel;21 2) metodologi filologi secara umum;22 3) ilmu pemahaman

linguistik;23 4) fondasi metodologis geisteiswessenschaften;24 5) fenomenologi

eksistensi dan pemahaman eksistensial,25 dan; 6) sistem interpretasi,26 baik

Immanuel Kant (1724-1804) dengan aliran positivisme yang digawangi oleh Auguste Comte (1798-1850). Pemikiran positivisme mendapatkan perhatian cukup baik di kalangan pemikir Barat. Sebagai konsekuensinya adalah, sesuatu yang memiliki nilai kebenaran hanyalah yang bersifat empiris, yang kasat mata atau tercerap oleh panca indera. Sehingga, filsafat positivisme menghendaki kebenaran hanyalah satu, yaitu materi. Artinya filsafat positivisme menafsikkan adanya realitas metafisik, aktivitas ide, motivasi atau tujuan dan keyakinan dalam perilaku manusia. Pemikiran inilah yang kemudian dikritik oleh para pemikir hermeneutika seperti Schleiermacher (1768-1834), Wilhelm Dilthey (1833-1911), dan Heindrich Rickert (1862-1936). Mereka menyatakan bahwa, positivisme tidak bisa digunakan untuk meneliti ilmu-ilmu kemanusiaan karena tidak bisa mengungkap ide, tujuan dan keyakinan yang ada dibalik dan mendorong perilaku manusia. Oleh karena itu, mereka mengusulkan adanya metode pemahaman atau interpretasi, yaitu hermeneutika dan semiotika. Lebih lanjut baca Bertrand Rusell, A History of Western Philosophy (New York: Routledge, 2004).

21 Menurut F. Budi Hardiman, pengertian ini adalah yang paling tua muncul pasca

reformasi Protestan dan masih bertahan hingga hari ini. F Budi Hardiman, Seni Memahami, hlm. 13.

22 Definisi ini muncul melalui perkembangan rasionalisme Eropa yang mencoba menafsirkan

berbagai teks, termasuk Alkitab, dalam terang nalar. F Budi Hardiman, Seni Memahami, hlm. 13.

23 Definisi ini dapat kita temukan dalam pemikiran Schleiermacher yang mencoba

menggariskan “seni memahami” sebagai sebuah metode seperti yang terdapat dalam ilmu-ilmu modern. F Budi Hardiman, Seni Memahami, hlm. 13.

24 Definisi ini dirintis oleh Wilhelm Dilthey yang mencoba mendasarkan ilmu-ilmu

sosial-kemanusiaan dengan metode interpretatif. F Budi Hardiman, Seni Memahami, hlm. 13.

25 Definisi ini berasal dari Martin Heidegger, sebuah pendalaman konsep hermeneutik yang

tidak hanya mencakup pemahaman teks, melainkan menjangkau dasar-dasar eksistensial manusia. F Budi Hardiman, Seni Memahami, hlm. 13.

26 Definisi ini berasal dari Paul Ricoeur, yang mengacu pada teori tentang aturan-aturan

Referensi

Dokumen terkait

Garis presipitasi yang terbentuk pada media agar terjadi karena adanya keseimba- ngan antara jumlah antigen dan antibodi dalam kuning telur maupun serum.. Perbandingan

aliran di bawah tanah yang terdapat pada areal tambang dapat menghasilkan air asam tambang, baik pada pertambangan bawah tanah ataupun pertambangan terbuka dengan

Apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke tenggorokan.” Jika kita menganggap kalla (sekali-kali jangan) di sini sebagai peringatan keras yang memberi efek

Luas daerah yang diarsir pada gambar akan mencapai maksimum jika koordinat titik M adalah …... Suatu pekerjaan dapat diselesaikan dalam x hari dengan biaya ( 4x – 160 + )

Sedangkan gambaran kemampuan manajemen waktu siswa berdasarkan perhitungan analisis deskriptif, dapat diketahui bahwa setelah diberikan layanan penguasaan konten

IKBLC dalam perkembangannya telah memiliki 10 juta koleksi baik yang bertemakan tentang negara bagian British Columbia maupun referensi umum senilai 1,6 milyar dollar dan

 Jumlah rumah tangga petani gurem di provinsi Aceh tahun 2013 sebanyak 276.729 rumah tangga atau sebesar 43,39 persen dari rumah tangga pertanian pengguna lahan,