• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV: METODOLOGI HERMENEUTIKA AL- QUR’AN LIBERATIF

C. Gagasan dan Prinsip Kunci Hermeneutika Al-Qur ’ an Liberatif

1. Prinsip Kunci Memahami Teks

Hermeneutika al-Qur’an Farid Esack sangat menekankan pentingnya

wilayah praksis-liberatif. Dengan demikian, untuk mendukung gagasan

64 Esack mengembangkan proyek hermeneutika al-Qur’an untuk mencapai empat hal, yaitu; yaitu; pertama, menunjukkan bahwa, adalah sangat mungkin orang Islam hidup dalam keimanan kepada al-Qur’an di satu sisi sekaligus hidup berdampingan dan bekerja sama dengan umat agama lain guna membangun masyarakat yang lebih manusiawi. Kedua, mengedepankan ide tentang hermeneutika al-Qur’an sebagai kontributor terhadap bangunan teologi pluralisme dalam Islam. Ketiga, mengkaji ulang cara al-Qur’an mengkaji dirinya sendiri dan orang lain (baik yang beriman atau tidak) untuk memberikan ruang kebenaran bagi orang lain dalam teologi pluralisme demi pembebasan. Keempat, mencari hubungan antara sikap eksklusivisme keagamaan yang cenderung mendukung status quo dengan sikap inklusivisme yang senantiasa progresif (pendukung pembebasan), di samping untuk memberikan alasan-alasan bagi yang terakhir. Farid Esack, Qur’an,

Liberation, hlm. 14; Erika Sabti Rahmawati, “Spirit of Liberation”, hlm. 129-130.

65 Asghar Ali Engineer, Islam and Liberation Theology; Essays on Liberative Elements in Islam (New Delhi: Sterling Publishers, 1990).

66Zakiyuddin Baidhawy, “Hermeneutika Pembebasan al-Qur’an; Perspektif Farid Esack”

dalam Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsuddin (Ed), Studi Al-Qur’an Kontemporer; Wacana

95

pemikirannya itu, Esack menerapkan sejumlah prinsip dasar. Prinsip dasar tersebut adalah sebagai pondasi rasionalitas atas apa yang akan dibangun oleh

Esack dalam hermeneutika al-Qur’an liberatif-nya. Oleh karena itu, menurut

Esack, setidaknya terdapat tiga unsur intrinsik untuk dapat memahami teks secara baik dan benar, sebagai berikut;

Pertama, penafsir hendaknya masuk ke dalam alam pikiran yang

dikehendaki Tuhan. Dalam kasus al-Qur’an, berarti seorang penafsir harus

menjadi apa yang diharapkan oleh Tuhan melalui perintah-perintahnya. Menurut Esack, dalam tradisi mistik Islam, terdapat metodologi kesalehan yang dikombinasikan dengan ilmu pengetahuan untuk melahirkan makna. Bahwa Tuhan itu adalah Zat Transenden yang kreatif, Ia selalu hadir dalam setiap proses kemanusiaan. Oleh karena itu, Tuhan juga berperan langsung dalam pemahaman teks; sedangkan Muhammad adalah kunci dalam melahirkan makna. Akibatnya, pernyataan bahwa Tuhan ataukah Muhammad yang harus dimasuki pikirannya oleh penafsir adalah sama saja. Pada kesimpulannya, ketika penafsir ingin mencapai “makna sejati” suatu teks, seperti yang dimaksud oleh Tuhan, seorang penafsir harus mengalihkannya pada pertanyaan: “bagaimana pemahaman Muhammad atas teks tersebut?” Namun menurut Esack, pendekatan ini dinilai kurang signifikan dalam ranah

sosio-politik atau wilayah moralitas umum. Misalkan, pertama, identifikasi

dengan pengarang, penerima awal teks atau audiens utama, dalam bentuk apapun (kognitif, spiritual, psikologis dan lain-lain), tidak memperhitungkan

96

dengan komitmen pluralisme. Sebagaimana klaim kaum esensialis dan absolutis religio-politik yang sering melakukan klaim atas kebenaran absolut dengan menganggap bahwa hanya dirinya lah yang telah mendapat bimbingan dari Sang Tuhan. Oleh karena itu, Esack menegaskan bahwa seorang penafsir tidak boleh terjebak pada absolutisme penafsiran. Menurut Esack, pendekatan ini hanya sekadar digunakan sebagai pencarian makna

secara autentisitas dan idealitas, bukan pada wilayah praksis.67

Kedua, penafsir adalah makhluk yang memikul banyak beban. Artinya seorang penafsir pasti telah memiliki pra-pemahaman yang dipikulnya serta angan-angan masa depan yang diharapkan, sebelum dia mendekati sebuah teks. Pra pemahaman bisa berupa tradisi, pengalaman, budaya, keilmuan, dan bahasa yang telah mengendap di dalam pikiran. Sementara masa depan adalah “kepentingan” atau keinginan yang diimpikan atau diharapkan. Maka keterlibatan aktif penafsir dalam melahirkan makna mengimplikasikan bahwa menerima teks dan mengeluarkan makna darinya tidak ada pada dirinya sendiri. Menerima dan menafsir, dan makna adalah selalu parsial. Jadi, “tak

ada penafsiran, penafsir dan teks yang tak berdosa.68 Oleh karena itu,

pra-pemahaman adalah syarat hidup dalam sejarah. Pada dirinya, pra-pra-pemahaman tidak memiliki nilai etis; ada atau tidak adanya etika tergantung pada

penerimaan atau penolakan kehadirannya.69

67 Farid Esack, Qur’an, Liberation, hlm. 74.

68 Farid Esack, Qur’an, Liberation, hlm. 75.

97

Ketiga, penafsiran tidak bisa dilepaskan dari konteks bahasa, sejarah dan tradisi. Bahasa membentuk cara pandang manusia dan berfikirnya

keduanya merupakan konsepsi dirinya dan dunianya (dua hal yang tidak

bisa dipisahkan). Hal demikian juga, visinya tentang realitas dibentuk oleh bahasa. Bahkan jauh dari apa yang disadarinya, ia berhubungan dengan

beragam bentuk dari kehidupannya melalui bahasa beribadat, mencintai,

berperilaku sosial, berfikir abstrak; atau bahkan pembentukan perasaannya disesuaikan dengan bahasa. Jika hal ini direnungkan secara mendalam, menjadi jelas bahwa bahasa merupakan “mediasi” dalam hidup, dan keberadaan manusia. Maka, interpretasi adalah fenomena yang kompleks dan

pervasif.70 Sehingga sebuah makna kata akan selalu dalam proses terus

menerus. Menggunakan suatu kata berarti berpartisipasi dalam proses sejarah maknanya yang terus-menerus. Makna literal dari suatu ucapan selalu problematik dan tidak pernah bebas nilai. Ini khususnya berkaitan dengan ucapan simbolik dan suci. Pluralitas bahasa dan ambiguitas sejarah tak dapat dihindarkan dalam upaya memahami. Problem bahasa tak terbatas pada penafsir tetapi juga meluas pada tradisi atau teks yang ditafsirkan. Tindakan

menafsirkan apapun adalah partisipasi dalam proses linguistik-historis.71

Pembentukan tradisi dan partisipasi ini terjadi dalam ruang dan waktu

tertentu. Perlakuan kita terhadap Al-Qur’an juga terjadi dalam

70 Richard E. Palmer, Hermeneutics; Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern University Press, 1980), hlm. 9.

98

batasan ini; kita tidak dapat keluar dari dan menempatkan diri di atas bahasa,

budaya dan tradisi.72

Dokumen terkait