• Tidak ada hasil yang ditemukan

Herpes Zoster (B02)

Dalam dokumen 585750_PPK PERDOSKI 2017 (Halaman 74-83)

DERMATOLOGI INFEKSI

B.4 Herpes Zoster (B02)

I. Definisi

Herpes zoster (HZ) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh reaktivasi virus

Varicella zoster yang laten endogen di ganglion sensoris radiks dorsalis setelah

infeksi primer.1,2

II. Kriteria Diagnostik Klinis

1. Masa tunas 7-12 hari, lesi baru tetap timbul selama 1-4 hari dan kadang-kadang selama ±1 minggu.1

2. Gejala prodromal berupa nyeri dan parestesi di dermatom yang terkait biasanya mendahului erupsi kulit dan bervariasi mulai dari rasa gatal, parestesi, panas, pedih, nyeri tekan, hiperestesi, hingga rasa ditusuk-tusuk.1,2 Dapat pula disertai dengan gejala konstitusi seperti malaise, sefalgia, dan flu like

symptoms yang akan menghilang setelah erupsi kulit muncul.3

3. Kelainan diawali dengan lesi makulopapular eritematosa yang dalam 12-48 jam menjadi vesikel berkelompok dengan dasar kulit eritematosa dan edema. Vesikel berisi cairan jernih, kemudian menjadi keruh, dapat menjadi pustul dan krusta dalam 7-10 hari. Krusta biasanya bertahan hingga 2-3 minggu.1-3

4. Lokasi unilateral dan bersifat dermatomal sesuai tempat persarafan.1-3 5. Bentuk khusus:

Herpes zoster oftalmikus (HZO): timbul kelainan pada mata dan kulit di daerah persarafan cabang pertama nervus trigeminus2

Sindrom Ramsay-Hunt: timbul gejala paralisis otot muka (paralisis Bell), kelainan kulit, tinitus, vertigo, gangguan pendengaran, nistagmus dan nausea, juga gangguan pengecapan2

6. Neuralgia pasca herpes (NPH) didefinisikan sebagai nyeri menetap pada dermatom yang terkena setelah erupsi herpes zoster (HZ) menghilang. Batasan waktunya adalah nyeri yang menetap hingga 3 bulan setelah erupsi kulit menyembuh.1-3

Diagnosis Banding1,2

1. Herpes simpleks 2. Dermatitis venenata 3. Dermatitis kontak

4. Bila terdapat nyeri di daerah setinggi jantung, dapat salah diagnosis dengan angina pektoris pada herpes zoster fase prodromal

Pemeriksaan Penunjang

1. Identifikasi antigen/asam nukleat dengan metode PCR.1 (D,5)

2. Tzank test pada fase erupsi vesikel (tidak spesifik) menunjukkan gambaran

Dermatologi Infeksi 62

III. Penatalaksanaan

Terdapat beberapa obat yang dipilih sesuai dengan indikasi sebagai berikut: 1. Sistemik

Antivirus diberikan tanpa melihat waktu timbulnya lesi pada3: (D,5*)  Usia >50 tahun

 Dengan risiko terjadinya NPH

 HZO/sindrom Ramsay Hunt/HZ servikal/HZ sakral

 Imunokompromais, diseminata/generalisata, dengan komplikasi

 Anak-anak, usia <50 tahun dan ibu hamil diberikan terapi anti-virus bila disertai NPH, sindrom Ramsay Hunt (HZO), imunokompromais, diseminata/generalisata, dengan komplikasi

Pilihan antivirus

 Asiklovir oral 5x800 mg/hari selama 7-10 hari.3,5 (A,1)

 Dosis asiklovir anak <12 tahun 30 mg/kgBB/hari selama 7 hari, anak >12 tahun 60 mg/kgBB/hari selama 7 hari.3

 Valasiklovir 3x1000 mg/hari selama 7 hari6-8 (A,1)  Famsiklovir 3x250 mg/hari selama 7 hari6,9 (A,1) Catatan khusus:

 Bila lesi luas atau ada keterlibatan organ dalam, atau pada imunokompromais diberikan asiklovir intravena 10 mg/kgBB/hari 3 kali sehari selama 5-10 hari.4,10-11 (A,1) Asiklovir dilarutkan dalam 100 cc NaCl 0.9% dan diberikan dalam waktu 1 jam.

 Obat pilihan untuk ibu hamil ialah asiklovir berdasarkan pertimbangan risiko dan manfaat.6,12-13 (C,4)

Simptomatik

Nyeri ringan: parasetamol 3x500 mg/hari atau NSAID.3,14 (D,5*)

Nyeri sedang-berat: kombinasi dengan tramadol atau opioid ringan.3,14 (D,5*)

Pada pasien dengan kemungkinan terjadinya neuralgia pasca herpes zoster selain diberi asiklovir pada fase akut, dapat diberikan:

o Antidepresan trisiklik (amitriptilin dosis awal 10 mg/hari ditingkatkan 20 mg setiap 7 hari hingga 150 mg. Pemberian hingga 3 bulan, diberikan setiap malam sebelum tidur3,15 (A,1)

o Gabapentin 300 mg/hari 4-6 minggu3,16 (A,1) o Pregabalin 2x75 mg/hari 2-4 minggu.3,16

(A,1)

Herpes zoster oftalmikus

 Asiklovir/valasiklovir diberikan hingga 10 hari pada semua pasien.3,17 (A,1)  Rujuk ke dokter spesialis mata.

Herpes zoster otikus dengan paresis nervus fasialis

 Asiklovir/valasiklovir oral 7-14 hari dan kortikosteroid 40-60 mg/hari selama 1 minggu pada semua pasien.18 (A,1)

Dermatologi Infeksi 63

Herpes zoster pada pasien imunokompromais

Pada herpes zoster lokalisata, sebagian besar pasien dapat diberikan asiklovir atau valasiklovir atau famsiklovir oral dengan follow up yang baik. Terapi asiklovir intravena dicadangkan untuk pasien dengan infeksi diseminata, imunosupresi sangat berat, didapatkan keterlibatan mata, dan ada kendala pemberian obat oral.19

2. Topikal

 Stadium vesikular: bedak salisil 2% untuk mencegah vesikel pecah atau bedak kocok kalamin untuk mengurangi nyeri dan gatal.20 (C,5)

 Bila vesikel pecah dan basah dapat diberikan kompres terbuka dengan larutan antiseptik dan krim antiseptik/antibiotik.3,20 (C,5)

 Jika timbul luka dengan tanda infeksi sekunder dapat diberikan krim/salep antibiotik.3,20

Neuralgia pasca herpes

1. Terapi farmakologik:

 Terapi farmakologi lini pertama: masuk dalam kategori efektivitas sedang-tinggi, berbasis bukti yang kuat dan dengan efek samping rendah.

 Lini pertama:

o Antidepresan trisiklik 10 mg setiap malam (ditingkatkan 20 mg setiap 7 hari menjadi 50 mg, kemudian menjadi 100 mg dan 150 mg tiap malam)3,16,21 (A,1)

o Gabapentin 3x100 mg (100-300 mg ditingkatkan setiap 5 hari hingga dosis 1800-3600 mg/hari)3,16,21 (A,1)

o Pregabalin 2x75 mg (ditingkatkan hingga 2x150 mg/hari dalam 1 minggu)3,16,22 (A,1)

o Lidokain topikal (lidokain gel 5%, lidokain transdermal 5%)3,23 (A,1)  Lini kedua:

o Tramadol 1x50 mg (tingkatkan 50 mg setiap 3-4 hari hingga dosis 100-400 mg/hari dalam dosis terbagi)3,24 (A,1)

2. Terapi nonfarmakologik: masuk dalam kategori reports of benefit limited

Neuroaugmentif: counter iritation3 (C,5), transcutaneous electrical nerve

stimulation (TENS)25-26 (A,1), deep brain stimulation27-28 (C,4), akupuntur29,30 (C,4), low intensity laser therapy3 (C,5)

 Neurosurgikal3  Psikososial3

Vaksinasi

Dosis VVZ hidup yang dilemahkan dosis tunggal direkomendasikan kepada populasi yang berusia lebih dari 50 tahun, baik yang sudah memiliki riwayat varisela ataupun belum. Tidak boleh diberikan pada pasien imunokompromais.3,31-32

IV. Edukasi

1. Memulai pengobatan sesegera mungkin 2. Istirahat hingga stadium krustasi

Dermatologi Infeksi 64 4. Tidak ada pantangan makanan

5. Tetap mandi

6. Mengurangi kecemasan dan ketidakpahaman pasien

V. Prognosis

Lesi kulit biasanya menyembuh dalam 2-4 minggu tetapi penyembuhan sempurna membutuhkan waktu >4 minggu. Pasien usia lanjut dan imunokompromais membutuhkan waktu yang lebih lama untuk resolusi. Dalam studi kohort retrospektif, pasien herpes zoster yang dirawat di rumah sakit memiliki mortalitas 3% dengan berbagai penyebab.33 Tingkat rekurensi herpes zoster dalam 8 tahun sebesar 6,2%.34

Prognosis tergantung usia. 1. Usia <50 tahun:

Ad vitam bonam Ad functionam bonam Ad sanactionam bonam

2. Usia >50 tahun dan imunokompromais: Ad vitam bonam

Ad functionam dubia ad bonam Ad sanactionam dubia ad bonam

VI. Kepustakaan

1. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in general medicine. Edisi ke-7. New York: Mc Graw-Hill, 2012;2383.

2. Maibach HI & Grouhi F. Evidence Based Dermatology. Edisi ke-2. USA: People’s Meical Publishing House; 2011.h.337-345.

3. Pusponegoro EHD, Nilasari H, Lumintang H, Niode NJ, Daili SF, et al. Buku Panduan Herpes Zoster di Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2014.

4. Dworkin RH, Johnson RW, Breuer J, et al. Recommendations for the management of herpes zoster. Clin Infect Dis. 2007;44(suppl 1):S1-S26.

5. Wood MJ, Kay R, Dworkin RH, et al. Oral acyclovir therapy accelerates pain resolution in patients with herpes zoster: a meta-analysis of placebo-controlled trials. Clin Infect Dis. 1996;22(2):341-347.

6. Ono F, Yasumoto S, Furumura M, Hamada T, Ishii N, Gyotoku T, et al. Comparisons between famciclovir and valacyclovir for acute pain in adult japanese immunocompetent patients with herpes zoster. Journal of Dermatology. 2012;39:1-7.

7. Tyring S, Barbarash RA, Nahlik JE, et al. Famciclovir for the treatment of acute herpes zoster: effects on acute disease and postherpetic neuralgia: a randomized, double-blind, placebo-controlled trial. Ann Intern Med. 1995;123:89-96.

8. Shafran SD, Tyring SK, Ashton R, et al. Once, twice, or three times daily famciclovir compared with aciclovir for the oral treatment of herpes zoster in immunocompetent adults: a randomized, multicenter, double-blind clinical trial. J Clin Virol. 2004;29:248-53.

9. Lin WR, Lin HH, Lee SSJ, et al. Comparative study of the efficacy and safety of valaciclovir versus acyclovir in the treatment of herpes zoster. J Microbiol Immunol Infect. 2001; 34:138-42. 10. Balfour H, Bean B, Laskin OL, Ambinder RF, Meyers JD, Wade JC, et al. Acyclovir halts progression of herpes zoster in immunocompromised patients. NEJM. 1983;308(24):1448-53. 11. Wutzler P, De Clercq E, Wutke K, Farber I. Oral Brivudin vs. Intravenous Acyclovir in the

Treatment of Herpes Zoster in Immunocompromised Patients: A Randomized Double-blind trial. Journal of Medical Virology. 1995;46:252-7.

12. Reiff-Eldridge R, Heffner CR, Ephross SA, Tennis PS, White AD, Andrews EB. Monitoring pregnancy outcomes after prenatal drug exposure through prospective pregnancy registries: A pharmaceutical company commitment. Am J Obstet Gynecol. 2000;182(1):159-63.

Dermatologi Infeksi 65

13. Saurbrei A, Wutzler P. Herpes simplex and varicella-zoster virus infections during pregnancy: current concepts of prevention, diagnosis and therapy. Part 2: Varicella-zoster virus infections. Med Microbiol Immunol. 2007;196:95-102.

14. Fashner J, Bell AL. Herpes Zoster and Postherpetic Neuralgia: Prevention and Management. American Family Physician. 2011;83(12):1432-7.

15. Bowsher D. The Effects of Pre-Emptive Treatment of Post Herpetic Neuralgia with Amitriptyline: A Randomized, Double-Blind, Placebo-Controlled Trial. Journal of Pain and Symptom Management. 1997;13(6):327-31.

16. Finnerup NB, Otto M, McQuay HJ, Jensen TS, Sindrup SH. Algorithm for neuropathic pain treatment: An evidence based proposal. Pain. 2005;118:289-305.

17. Colin J, Prisant O, Cochener B, Lescale O, Rolland B, Hoang-Xuan T. Comparison of the Efficacy and Safety of Valaciclovir and Acyclovir for the Treatman of Herpes Zoster Ophtalmicus. Ophtalmology. 2000:107(18):1507-11.

18. da Costa Monsanto R, Bittencourt AG, Neto NJB, Beilke SCA, Lorenzetti FTM, Salomone R. Treatment and Prognosis of Facial Palsy on Ramsay Hunt Syndrome: Results Based on a Review of the Literature. Int Arch Otolaryngol. 2016;20:394-400.

19. Ahmed AM, Brantley S, Madkan V, Mendoza N, Tyring SK. Managing herpes zoster in immunocompromised patients. Herpes. Sep 2007;14(2):32-6.

20. Handoko RP. Penyakit Virus. Dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 6. Jakarta: Badan Penerbit PKUI. 2010.h110-111.

21. Plaghki L, Andriansen H, Morlion B, Lossignol D, Devulder J. Systematic Overview of the Pharmacological Management of Postherpetic Neuralgia. Dermatology. 2004;208:206-16. 22. Sabatowski R, Galvez R, Cherry DA, Jacquot F, Vincent E, Maisonobe P, et al. Pregabalin

reduces pain and improves sleep and mood disturbances in patients with post-herpetic neuralgia: result of randomized, placebo-controlled trial. Pain. 2004;109:26-35.

23. Galer BS, Jensen MP, Ma T, Davies PS, Rowbotham MC. The Lidocaine Patch 5% Effectively Treats All Neuropathic Pain Qualities: Resultsof a Randomized, Double-Blind, Vehicle-Controlled, 3-Week Efficacy Study With Use of the Neuropathic Pain Scale. The Clinical Journal of Pain. 2002;18:297-301.

24. Boureau F, Legallicier P, Kabir-Ahmadi M. Tramadol in post-herpetic neuralgia: a randomized, double-blind, placebo-controlled trial. Pain. 2003;104:323-31.

25. Ing MR, Hellreich PD, Johnson DW, Chen JJ. Transcutaneous electrical nerve stimulation for chronic post-herpetic neuralgia. International Journal Of Dermatology. 2015; 54: 476-60. 26. Barbarisi M, Pace MC, Passavanti MB, Maisio M, Mazzariello L, Pota V, et al. Pregabalin and

transcutaneous electrical stimulation for postherpetic neuralgia treatment. Clin J Pain. 2010;26:567-72.

27. Green AL, Nandi D, Armstrong G, Carter H, Aziz T. Post-herpetic trigeminal neuralgia treated with deep brain stimulation. Journal of Clinical Neuroscience. 2003;10(4):512-4.

28. Pereira EAC, Aziz TZ. Neuropathic pain and deep brain stimulation. Neurotherapeutics. 2014;11:496-507.

29. Wang S. Treatment of 30 Cases of Post-herpetic Neuralgia by Acupuncture Combined with Point Injection. J. Acupunct Tuina. Sci. 2008;8:182-3.

30. Zhang DY. Treatment of 21 cases of Post-herpetic Neuralgia by Warm Acupuncture. J. Acupunct Tuina. Sci. 2005;3(2):50-1.

31. Tseng HF, Harpaz R, Luo Y, Hales CM, Sy LS, Tartof SY, Bialek S, Hechter RC, Jacobsen SJ. Declining Effectiveness of Herpes Zoster Vaccine in Adults Aged ≥60 Years. J Infect Dis. Jun 2016;213(12);1872-5.

32. Godeaux O, Kovac M, Shu D, Grupping K, Campora L, Douha M, et al. Immunogenicity and safety of an adjuvanted herpes zoster subunit candidate vaccine in adults ≥ 50 years of age with a prior history of herpes zoster: A phase III, non-randomized, open-label clinical trial. Hum Vaccin Immunother. Jan 2017;9:1-8.

33. Schmidt SA, Kahlert J, Vestergaard M, Schonheyder HC, Sorensen HT. Hospital-based herpes zoster diagnoses in Denmark: rate, patient characteristics, and all-cause mortality. BMC Infect Dis. Mar 2016;16(99):1-9.

34. Yawn BP, Wollan PC, Kurland MJ, St Sauver JL, Saddier P. Herpes zoster reccurrences more frequent than previously reported. Mayo Clin Proc. Dec 2011;86(2):88-93.

Dermatologi Infeksi 66

VII. Bagan Alur

Diagnosis banding lainnya

HZO/sindrom RH/organ viseral/dengan keterlibatan

motorik

Gejala & pemeriksaan fisik

Tidak Sesuai

Herpes zoster

Terapi antiviral oral Rujuk ke spesialis terkait Ya

Tidak

Faktor risiko NPH? Ya

Tidak

Terapi antiviral oral ditambah analgesik asetaminofen + amitriptilin atau gabapentin atau pregabalin

Terapi antiviral oral ditambah analgesik asetaminofen/NSAID

Terapi suportif

Mempertahankan lesi kulit bersih dan kering

Rasa tidak nyaman: kompres basah/dingin/losio kalamin

Infeksi sekunder: antibiotik topikal atau oral

Dermatologi Infeksi 67

B.5 Histoplasmosis (B39)

I. Definisi

Histoplasmosis adalah infeksi jamur dimorfik, bisa disebabkan oleh jamur

Histoplasma capsulatum var capsulatum.1

II. Kriteria Diagnostik Klinis

1. Infeksi dimulai dari infeksi paru dan biasanya asimtomatik dan swasirna pada sebagian besar pasien. Lesi kulit muncul karena terbentuk kompleks-imun pada infeksi primer atau akibat penyebaran langsung dari paru. Inokulasi langsung ke kulit sangat jarang terjadi. Walaupun asimtomatik, hasil pemeriksaan histoplasmin pada kulit akan menunjukkan hasil yang positif.1

2. Pasien dengan histoplasmosis paru akut ditandai dengan batuk, nyeri dada, demam, nyeri sendi, dan ruam yang dapat berupa eritema toksik, eritema multiforme, atau eritema nodusum.1

3. Pasien dengan histoplasmosis progresif akut mengalami penyebaran infeksi ke berbagai organ seperti hati dan limpa. Terjadi penurunan berat badan yang cepat, hepatosplenomegali, anemia, dan lesi kulit berupa papul, nodul kecil, atau seperti moluskum kecil, serta ulkus oral atau faringeal pada pasien kronik, dapat pula ditemukan penyakit Addison jika kelenjar adrenal sudah terinfiltrasi. Paling sering terjadi pada pasien dengan AIDS.1

Diagnosis Banding1

1. Moluskum kontagiosum 2. Kriptokokosis

3. Infeksi yang disebabkan P.marneffei (Penicilliosis) 4. Blastomikosis

5. Kala-azar

Pemeriksaan Penunjang1,2 (D,5)

1. Pemeriksaan sputum, darah perifer, sumsum tulang, atau spesimen biopsi untuk menemukan sel intraselular yang seperti ragi (histoplasma)

2. Kultur jika diperlukan (perlu kehati-hatian) 3. Tes serologi jika diperlukan

4. Histoplasmin skin test

III. Penatalaksanaan

Terdapat beberapa obat yang dapat dipilih sesuai dengan indikasi sebagai berikut:  Amphotericin B liposomal intravena 3 mg/kgBB/hari selama 1-2 minggu lebih

efektif dibandingkan dengan amphotericin B deoxycholate 0,7 mg/kgBB/hari. Terapi IV tersebut dilanjutkan dengan terapi oral itrakonazol 3x200 mg selama 3 hari kemudian 2x200 mg selama paling sedikit 12 bulan untuk infeksi berat dengan penyebaran luas.3-6 (A,1)

Dermatologi Infeksi 68 3x200 mg selama 3 hari kemudian 2x200 mg selama 6-12 minggu.3,7-9 (B,2)  Itrakonazol 1x200 mg/hari juga dapat digunakan sebagai profilaksis dan

direkomendasikan pada pasien HIV dengan CD4 <150 sel/mm.3,4,10 (A,1)

IV. Edukasi

Kontrol rutin untuk memantau perbaikan klinis dan efek samping pengobatan.3

V. Prognosis

Infeksi berat dengan penyebaran luas akan berakibat fatal bila tidak diterapi, namun terapi dengan amphotericin B dan/atau itrakonazol memiliki efektifitas yang tinggi.3 Angka mortalitas dengan berbagai penyebab sebesar 4% dalam 6 bulan.11 (B,2)

Faktor prognostik independen untuk mortalitas histoplasmosis diseminata pada pasien AIDS yaitu dispnea, trombosit <100.000/mm3, dan LDH >2 kali nilai normal.12 (B,2)

Quo ad vitam : dubia ad bonam Quo ad functionam : dubia ad bonam Quo ad sanactionam : dubia

VI. Kepustakaan

1. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York: Mc Graw-Hill, 2012;h.2148-2152.

2. Kauffman CA. Histoplasmosis: a Clinical and Laboratory Update. CMR. 2007; 20(1): 115-32. 3. L.Joseph Wheat, Alison G. Freifeld, Martin B. Kleiman, et al. Clinical Practice Guideline for The

Management of Patients with Histoplasmosis: 2007 Update by The Infectious Diseases Society of America.Clin Infect Dis. 2007;45(7):807-825.

4. Price CR, Glaser DA dan Penneys NS. Mycotic Skin infection in HIV-1 disease. Pathophysiology, diagnosis and treatment. Dermatol Therapy 1999;12:87-107.

5. Arora BB, Maheshwari M, Arora DR. Disseminated Histoplasmosis Presenting as Skin Nodules. British Journal of Medicine and Medical Research. 2016 Jan 1;11(2):1.

6. Johnson PC, Wheat LJ, Cloud GA, Goldman M, Lancaster D, Bamberger DM, et al. Safety and Efficacy of Liposomal Amphotericin B Compared with Conventional Amphotericin B for Induction Therapy of Histoplasmosis in Patients with AIDS. Ann Intern Med. 2002;137;105-9. 7. Wheat J, Hafner R, Maryland R, Korzun AH, Limjoco MT, Spencer P, et al. Itraconazole

treatment of disseminated histoplasmosis in patients with the acquired immunodeficiency syndrome. The American Journal of Medicine. 1995;98:336-42

8. Negroni R, Taborda A, Robies AM, Archevala A. Itraconazole in the treatment of histoplasmosis associated with AIDs. Mycoses. 1992;35:281-7.

9. Dismukes WE, Bradsher RW, Cloud GC, Kauffman CA, Chapman SW, George RB, et al. Itraconazole therapy for blastomycosis and histoplasmosis. The American Journal of Medicine. 1992;93:489-97.

10. Smith DE, Johnson M, Youle M, Gazzard B, Tschamouroff S, Frechette G, et al. A randomized, double-blind, placebo-controlled study of itraconazole capsules for the prevention of deep fungal infections in immunode®cient patients with HIV infection. HIV medicine. 2001;2:78-83. 11. Ledtke C, Tomford JW, Jain A, Isada CM, van Duin D. Clinical presentation and management

of histoplasmosis in older adults. JAGS. 2012;60:265-70.

12. Couppie P, Sobesky M, Aznar C, Bichat S, Clyti E, Bissuel F, et al. Histoplasmosis and Acquired Immunodeficiency Syndrome: A Study Prognostic Factor. CID. 2004;38:134-8.

Dermatologi Infeksi 69

VII. Bagan Alur

Tidak Ya Medikamentosa Amphotericin B Itrakonazol Histoplasmosis Diagnosis banding lainnya

Pasien dengan gambaran klinis dan gejala suspek histoplasmosis

Dermatologi Infeksi 70

Dalam dokumen 585750_PPK PERDOSKI 2017 (Halaman 74-83)