• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kriteria Diagnostik Klinis2

Dalam dokumen 585750_PPK PERDOSKI 2017 (Halaman 185-189)

DERMATOLOGI INFEKSI

C.3 Epidermolisis Bulosa Yang Diturunkan (Q81.9)

II. Kriteria Diagnostik Klinis2

1. Iktiosis vulgaris

 Tidak dijumpai saat lahir, biasanya timbul dalam tahun pertama kehidupan.2  Skuama putih keabuan yang luas terutama pada ekstensor ektremitas dan

badan.3

Skuama melekat di tengah, dengan “cracking” (fisura superfisial pada stratum korneum) pada tepinya.

 Sering disertai keratosis folikularis, ditemukan terutama pada anak-anak dan remaja dan aksentuasi palmoplantar.

2. Iktiosis resesif terkait X (X-linked XRI)2  XRI merupakan iktiosis ke-2 terbanyak.

 Saat lahir skuama halus tidak terlihat nyata, mulai usia 2-6 bulan tampak hiperkeratosis tebal berwarna coklat gelap sampai kuning kecoklatan menutupi badan, ekstremitas, leher, dan preaurikular.

Kelainan mata jarang, kadang ditemukan opasitas kornea asimtomatik. 3. Epidermolitik hiperkeratosis (Bullous congenital ichthyosiform erythroderma of

Brocq, Bullous ichthyosis)2

Sejak lahir terdapat erosi dan kulit denuded yang luas serta eritroderma; dipicu oleh trauma proses persalinan.

 Selanjutnya bula berkurang dan tampak hiperkeratosis berat  Terdapat kelainan batang rambut dan kerontokan rambut.

 Dapat timbul sepsis dan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.

4. Iktiosis lamelar (Nonbullous congenital ichthyosiform erythroderma,

Non-erythrodermic autosomal recessive lamellar ichthyosis)2

 Sebagian besar bayi saat lahir terbungkus membran kolodion disertai eritroderma yang secara bertahap menjadi skuama lebar generalisata.  Skuama berwarna coklat gelap, pipih membentuk pola mosaik dengan

eritroderma minimal atau tidak ada. Skuama lebar, melekat di tengah dan meninggi pada tepinya, sering menimbulkan fisura superfisial, terdapat pada hampir seluruh tubuh.

 Sering terdapat ektropion, eklabium, serta hipoplasia kartilago nasal dan aurikular. Ektropion yang parah dapat menyebabkan madarosis, konjungtivitis, dan keratitis.

Genodermatosis 173  Terdapat alopesia sikatrisial terutama pada bagian perifer skalp.

 Dapat timbul distrofi kuku berupa penebalan lempeng dan rigi kuku.

Diagnosis Banding2,4

1. Epidermolitik hiperkeratosis

Staphylococcal scalded skin syndrome  Nekrolisis epidermal toksik

2. Iktiosis lamelar

Eritroderma iktiosiformis kongenital (congenital ichthyosiform erythroderma) Sindrom Netherton

Sindrom Sjogren-Larsson Trikotiodistrofi

Pemeriksaan Penunjang2,3

Pemeriksaan histopatologi

Diagnosis pasti: riwayat keluarga dan pemeriksaan tambahan, misalnya pemeriksaan histopatologi atau biokimia untuk menyingkirkan iktiosis resesif terkait-X (X-linked

recessive ichthyosis), misalnya tes steroid sulfatase atau elektroforesis lipoprotein.

III. Penatalaksanaan

Prinsip: hidrasi, pelembap, dan keratolitik bila perlu.7 (D,4) 1. Iktiosis Vulgaris7

 Iktiosis vulgaris berespons baik terhadap salep topikal yang mengandung urea atau asam laktat.

 Hati-hati penggunaan urea pada daerah tubuh yang luas sebelum usia 1 tahun (boleh diberikan, tetapi harus dalam pengawasan dokter bila daerah luas).

 Iktiosis vulgaris tidak boleh diterapi dengan salep yang mengandung salisilat karena dapat menyebabkan keracunan yang membahayakan jiwa disebabkan oleh absorpsi perkutan.

2. Epidermolisis Hiperkeratotik

Bayi dengan eritema, bula, erosi luas, dan kulit yang denuded memerlukan perawatan di neonatal intensive care unit. Harus dihindari trauma terhadap kulit dan timbulnya bula, monitor terhadap terjadinya sepsis.

 Pada beberapa pasien diperlukan terapi dengan antibiotik spektrum luas. 3. Iktiosis Lamelar

Terapi topikal dan sistemik: sama dengan epidermolitik hiperkeratosis (bullous

congenital ichthyosiform erythroderma)

Non Medikamentosa

1. Mandi 2. Nutrisi

3. Konseling pra-marital dan genetik

Medikamentosa

1. Terapi topikal

 Seperti iktiosis kongenital lain, terapi hiperkeratosis epidermolitik adalah simtomatik.

Genodermatosis 174  Hiperkeratosis yang luas, tebal, keras memerlukan hidrasi, lubrikasi, dan

terapi keratolitik (krim dan lotion yang mengandung urea, asam salisilat, asam alfa hidroksi, atau propilen glikol). Namun demikian sering tidak dapat ditoleransi dengan baik terutama pada anak-anak, karena adanya rasa terbakar dan stinging jika terdapat fisura atau kulit denuded. Aplikasi topikal asam salisilat dan asam laktat harus hati-hati karena risiko absorbsi sistemik.

 Tretinoin topikal dan preparat Vit D efektif tetapi dapat menyebabkan iritasi kulit.

 Berendam untuk melembabkan kulit dan abrasi mekanis pada stratum korneum yang menebal (gosok hati-hati dengan sikat lembut, spons, dsb).  Pemakaian antiseptik, misalnya sabun antibakterial, klorheksidin, atau iodin

dapat membantu mengontrol kolonisasi bakterial.

 Dianjurkan penggunakan lubrikans dan emolien setidaknya 2 kali sehari, dilakukan segera setelah mandi.

 Infeksi kulit bakterial biasa dijumpai pada hiperkeratosis epidermolitik dan sering memicu bula sehingga memerlukan terapi topikal dengan salep antibiotik atau bahkan antibiotik oral.

2. Terapi sistemik

 Retinoid oral sangat efektif untuk mengurangi hiperkeratosis dan frekuensi infeksi pada pasien dengan EH generalisata, namun demikian obat ini dapat meningkatkan fragilitas epidermis dan dapat menyebabkan eksaserbasi bula. Dianjurkan memulai terapi dengan dosis yang sangat rendah dengan tujuan mencapai dosis pemeliharaan serendah mungkin.  Meskipun antibiotik oral sangat membantu selama episode bula dan

superinfeksi bakterial, terapi preventif yang terus-menerus (antibiotik oral atau topikal) harus dihindari karena risiko berkembangnya resistensi bakterial.

IV. Edukasi

1. Pemakaian pelembap terus menerus 2. Hindari trauma pada EHK

3. Hindari suhu panas 4. Nutrisi tinggi protein

V. Prognosis

Bergantung kepada tipe iktiosis dan apakah disertai sindrom atau tidak disertai sindrom. Untuk iktiosis yang tidak disertai sindrom (iktiosis vulgaris, iktiosis resesif terkait X, epidermolitik hiperkeratosis, iktiosis lamelar), prognosis jangka panjang baik,dengan syarat emolien diberikan seumur hidup. (D,4)

Quo ad vitam : dubia ad bonam Quo ad functionam : dubia ad bonam Quo ad sanactionam : dubia ad bonam

Genodermatosis 175

VI. Kepustakaan

1. Oji V, Tadini G, Akiyama M, et al. Revised nomenclature and classification of inherited ichthyosis: Results of the first ichthyosis consensus conference in Soreze 2009. J Am Acad Dermatol 2000;63:607-41.

2. Richard G, Moss C, Traupe H, et al. Ichthyosis and disorders of cornification. Dalam: Pediatric Dermatology. Schachner LA, Hansen RC, editor. London:Mosby; 2003.h. 385-445.

3. Oji V, Traupe H., Ichthyoses: Differential diagnosis and molecular genetics. Eur J Dermatol 2006;16:349-59.

4. Fleckman P, DiGiovanna JJ. The Ichthyosis. Dalam: Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, et al. Editor. New York: Mc Graw Hill; 2012.h.507-37.

5. Richard G, Ringpfeil F. Ichthyoses, erythrokeratodermas and related disorders. Dalam Dermatology. Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP, editor. London: Mosby; 2013.h.837-862. 6. Judge MR, Mclean WHI, Munro Cs. Disorders of Keratinization. Dalam: Burns T, Breathnach S,

Cox N, Griffiths C. Rook’s Textbook of Dermatology. Edisi ke-8. United Kingdom: Willey Blackwell; 2010.h.19.4-19.64.

7. Lindh JD, Bradley M. Clinical effectiveness of moisturizers in atopic dermatitis and related disorders: A systematic review. Am J Clin Dermatol 2015;16:341-59.

Genodermatosis 176

Dalam dokumen 585750_PPK PERDOSKI 2017 (Halaman 185-189)