• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 KESIMPULAN DAN SARAN 13 1 Kesimpulan

1.7 Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian disusun sebagai berikut:

(1) Perubahan sistem pemerintahan desa berpengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat di pedesaan Maluku

(2) Perubahan sistem pemerintahan desa berpengaruh terhadap kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku (3) Ada perbedaan kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian Keterangan: = Penjelasan = Mempengaruhi = Dipengaruhi oleh = Memiliki hubungan Daerah Maluku Potensi Perikanan Sistem sasi Pengelolaan Perikanan belum optimal Faktor Internal Faktor Eksternal Kebijakan tentang Pemerintahan Daerah : UU No. 5 Thn 1974 UU No. 5 Thn 1979 UU No. 22 Thn 1999 UU No. 32 Thn 2004 Rezim Adat Rezim Sentralisasi Rezim Otonomi daerah

Sistem Pemerintahan Desa

Kinerja Pengelolaan Perikanan

Pola Perubahan Pengelolaan Perikanan

Berbasis Masyarakat

Kinerja Pengelolaan Perikanan pada Desa Sasi Laut dan Desa Non Sasi Laut

Perumusan Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan di Pedesaan Maluku pada Rezim Otonomi Daerah

Perubahan Pemerintahan Desa

Keberadaan sasi

Provinsi Kepulauan

Sebelum adanya kebijakan pemerintah mengatur sistem pemerintahan desa secara nasional maka desa-desa yang telah lama ada sebagai kesatuan-kesatuan hukum adat yang bersifat teritorial maupun genelogis, beraneka ragam bentuk dan coraknya, masing-masing daerah memiliki ciri-cirinya sendiri, misalnya: Jawa Barat (kampung), Aceh (Gampong), Tapanuli (Huta atau Kuta), Sumatera Selatan (Marga), Maluku (Negorij), Makasar (Gaukay) dan sebagainya (Siwalette (2005).

Masyarakat adat hampir terdapat di semua daerah dan di banyak negara. Pengertian masyarakat adat terdiri dari lima pengertian yaitu (1) penduduk asli suatu daerah, (2) sekelompok orang yang mempunyai bahasa, tradisi, budaya dan agama yang berbeda dengan kelompok yang lebih dominan (3) selalu diasosiasikan dengan beberapa tipe kondisi ekonomi masyarakat, (4) ketururunan masyarakat pemburu, nomadik, peladang berpindah, (5) masyarakat dengan hubungan sosial yang menekankan pada kelompok, pengambilan keputusan melalui kesepakatan, serta pengelolaan sumberdaya secara berkelompok (Ansaka,2006).

Di Indonesia, peraturan yang mengatur sistem pemerintahan adat adalah warisan dari peraturan Belanda (Siwalette, 2005) dimana eksistensi desa adat di akui dan di atur dalam pasal 18 UUD 1945 (Sama et al., 2001).

Sistem pemerintahan adat di Maluku dikenal dengan pemerintah negeri dan umumnya berlaku di Pulau Ambon, dan Kabupaten Maluku Tengah yang dulu; dimana Kabupaten Seram Bagian Barat masih termasuk di dalamnya. Pemerintah negeri adalah merupakan basis masyarakat adat dan memiliki batas- batas wilayah darat dan laut yang jelas yang disebut “petuanan negeri”, dan sistem pemerintahan yang bersifat geneologis atau berdasarkan garis keturunan. Susunan organisasi pemerintahan negeri adalah warisan dari pemerintahan Belanda dimana sistem hukum adat ini ditetapkan dalam keputusan landraad Amboina No.14/1919; disebutkan bahwa pemerintah negeriadalah ‘regent en de kepala soa’s. Selanjutnya di dalam keputusan landraad Amboina No.30/1919 disebutkan bahwa ‘negorij bestuur’ adalah regent en de kepala-kepala soa, yang

Kepala Soa (Siwalette, 2005). Raja dipilih berdasarkan garis keturunan dari marga/famili tertentu yang disebut mata rumah dan ditentukan oleh Saniri Negeri Lengkap berdasarkan syarat-syarat yang telah ditetapkan. Jadi dalam sistem pemerintahan negeri di Maluku, alokasi dan distribusi kekuasaan pada dasarnya bersifat tertutup, karena hanya berlangsung melalui mata rumah (Pariela, 2005). Selain Raja, ada beberapa jabatan adat yang di tentukan berdasarkan garis keturunan dari marga/famili tertentu yang disebut mata rumah,seperti Kapitan, Marinyo, Tuan Negeri, Tuan Tanah dan Kepala Kewang. Oleh karena itu, di dalam masyarakat adat, setiap marga/famili atau mata rumah telah mengetahui posisi dan jabatannya dalam struktur pemerentah negeri sehingga setiap orang yang ditentukan dan terpilih dalam jabatannya pada struktur pemerintah negeri sangat ditokohkan oleh masyarakat. Lembaga-lembaga adat yang terdapat dalam struktur pemerintahan negeri memiliki fungsi dan peranan yang sangat besar terhadap kelangsungan pembangunan masyarakat. Lembaga-lembaga adat ini sangat dihormati, dipatuhi dan dihargai oleh masyarakat terhadap berbagai hal seperti dalam pengambilan keputusan, penyelesaian sengketa batas tanah dan petuanan, pelantikan Raja, serta pelaksanaan upacara-upacara adat (Anonimous, 2001).

Dalam pelaksanaan pembangunan pada sistem pemerentah negeri di Maluku maka ada beberapa pranata yang merupakan aturan-aturan mengenai suatu aktivitas masyarakat yang dilaksanakan yaitu tradisi tolong menolong dan tradisi menjaga ketertiban sosial serta pelestarian sumberdaya alam. Tradisi tolong menolong seperti : masohi. badati, maano, dan makan pasuri. Masohi. yaitu suatu aktivitas tolong menolong yang dilakukan oleh masyarakat untuk menyelesaikan suatu kegiatan pembangunan fisik baik di dalam negeri, maupun di dalam kelompok warga masyarakat ataupun secara pribadi untuk jangka waktu tertentu yang telah di tetapkan bersama. Tujuan masohi adalah untuk membantu meringankan pekerjaan. Contohnya adalah kegiatan pembangunan rumah adat (Baileo), rumah ibadah (gereja dan masjid), pembangunan rumah tinggal, pembuatan jalan dan sebagainya. Badati adalah sistem tanggung bersama sebuah kegiatan yang dilakukan seseorang. Maano adalah sistem bagi hasil (biasanya cengkeh atau sagu), hal ini karena si pemilik kurang tenaga untuk memetik hasil

maka dia meminta tolong anggota masyarakat lain untuk memetiknya dengan mendapat imbalan dari hasil yang dipetik sesuai kesepakatan. Makan pasuri yakni menikmati hasil-hasil kebun, hutan secara bersama-sama warga-warga kampung atau negeri yang memiliki ikatan sejarah atau kekeluargaan (Sahusilawane, 2005).

Dalam menjamin ketertiban sosial serta pelestarian sumberdaya alam maka ada kearifan tradisional yang diartikan dalam simbol-simbol khusus sebagai tanda larangan yang dikenal dengan sasi. Sasi mengandung pengertian tentang larangan pengambilan sumberdaya tertentu tanpa ijin dalam jangka waktu tertentu yang secara ekonomis bermanfaat bagi masyarakat (Bailey dan Zerner, 1992). Makna sasi adalah larangan bagi anak negeri dan orang luar untuk mengambil sesuatu yang berkaitan dengan sumber-sumber daya alam baik darat maupun laut. Tujuan sasi adalah supaya sumberdaya alam dapat dimanfaatkan secara baik dan benar dan dapat berlangsung terus menerus setiap waktu dari generasi ke generasi berikutnya. Lembaga adat yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan sasi adalah Kewang. Kewang adalah suatu kelompok organisasi yang diangkat secara adat melalui proses musyawarah yang dilakukan di dalam rumah adat yaitu Baeleo. Kepala Kewang dan Wakil Kepala Kewang diangkat dan ditentukan berdasarkan garis keturunan dari marga/famili tertentu atau yang disebut mata rumah. Sedangkan anggota Kewang atau pembantu Kewang diangkat dari warga masyarakat yang ada di dalam wilayah Soa. Sebagai suatu organisasi maka Kewang memiliki struktur organisasi dan mempunyai tugas dan tanggung jawab serta memiliki peraturan-peraturan Kewang sebagai dasar dan pedoman dalam melaksanakan tugasnya. Tugas Kewang adalah mengawasi dan mengontrol pelaksanaan sasiuntuk tanaman-tanaman di hutan dan di kebun serta daerah sasi di laut terhadap berbagai sumberdaya perikanan yang memiliki nilai ekonomi yang penting dan merupakan kesepakatan bersama antara masyarakat dengan pemerintah negeri. Tujuan pengawasan dan pengontrolan Kewang ini adalah supaya setiap sumberdaya yang disasikan baik di hutan, kebun dan laut dapat memberi hasil yang baik pada waktu panen. Bagi masyarakat yang melanggar aturan-aturan sasi yang telah ditetapkan oleh Kewang dengan persetujuan Raja

terhadap sumberdaya yang disasikan maka akan diberi sanksi oleh Kewang. Oleh karena itu, Kewang memiliki fungsi dan peranan yang sangat besar terhadap pengelolaan sumberdaya alam dalam pemerintah negeridan juga berperan dalam mengawasi “hak ulayat negeri” (darat dan laut) terhadap pengaruh aktivitas dari luar.

Pada sistem pemerintahan negeri, maka cara pelaksanaan sasi dilaksanakan secara adat oleh Raja sebagai kepala adat dan Kewang sebagai pengontrol dan pengawas sasi dan dihadiri oleh seluruh staf pemerintah negeri dan masyarakat. Oleh karena itu maka sebagai bagian dari ketentuan adat maka pelaksanaan sasi ada memiliki aturan-aturan tertentu yaitu; acara tutup dan buka sasi, dan tanda sasi. Hal ini merupakan suatu rangkaian dalam pelaksanaan sasi dimana pelaksanaan sasi tersebut berdasarkan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh masing-masing pemerintah negeri di Maluku.

Pelaksanaan sistem sasi ini juga menyangkut hak eksklusif pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat desa dimana dengan hak ini orang dari luar desa tidak diperkenankan untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Pada beberapa desa yang lain, hak eksklusif ini dapat dialihkan kepada orang luar desa sejauh mereka mau menggunakan teknologi yang serupa dengan yang digunakan oleh masyarakat setempat yaitu dimana alat tersebut tidak merusak lingkungan dan sumberdaya alam serta membayar sejumlah uang tertentu sebagai ganti hak yang telah diberikan kepada pemerintah negeri. Kawasan hak eksklusif ini dikenal dengan nama petuanan negeri. Petuanan darat yang di sasi merupakan suatu kawasan pertanian yang disebut dusun, yaitu suatu kawasan pertanian-kehutanan yang khas di Maluku dimana terdapat diversifikasi tanaman dan usaha yakni berupa tanaman hutan, tanaman tahunan, tanaman pangan dan tanaman hortikultura serta ternak (Nanere, 1996). Sedangkan petuanan laut yang disasiadalah suatu kawasan perairan di depan desa atau yang masih merupakan teritorial desa biasanya berupa perairan dangkal, atol, teluk atau selat (Nikijuluw, 2002). Oleh karena itu, pada sistem pemerintahan negeri, sasi merupakan salah satu sumber pendapatan negeri dan pendapatan masyarakat.

Pada sistem pemerintahan Orde Baru diterbitkan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dan kemudian dikeluarkan ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang menegaskan bahwa: dalam rangka melancarkan pelaksanaan pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok negara dan dalam rangka membina kesatuan bangsa, maka hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dikembangkan atas dasar keutuhan negara kesatuan dan diarahkan pada pelak- sanaan otonomi daerah yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab yang dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah, dan dilaksanakan bersama- sama dengan dekonsentrasi, maka memperkuat pemerintah desa, agar makin mampu menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan menye- lenggarakan administrasi desa yang makin luas dan efektif. Berdasarkan hal tersebut maka diterbitkannya UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang bertujuan untuk meyeragamkan sistem pemerintahan desa desa di Indonesia untuk memudahkan pelaksanaan pemerintahan, pengawasan dan pembinaan (Siwalette, 2005). Sejak berlakunya UU tersebut maka mulai berlaku satu struktur pemerintahan desa secara seragam diseluruh Indonesia. Penerapan dari UU No. 5 Tahun 1979 membuat perubahan-perubahan yang cukup mendasar dan berpengaruh terhadap kelangsungan kehidupan sosial ekonomi dan politik di tingkat desa. Dimana lembaga-lembaga adat mendapatkan penyesuaian untuk masuk ke dalam struktur pemerintahan desa berdasarkan UU No. 5 Tahun 1979. Struktur organisasi pemerintahan desa terdiri dari kepala desa, sekretaris desa, lembaga musyawarah desa (LMD), kepala-kepala urusan dan kepala dusun.

Pelaksanaan dan penerapan UU No. 5 Tahun 1979 di Provinsi Maluku diberlakukan dengan dikeluarkannya Instruksi Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Maluku No.Inst.08/GMAL/1980 yang mengatur tentang Struktur Pemerintahan Desa di Maluku yang sesuai berdasarkan pasal 3 UU No. 5 Tahun 1979 bahwa pemerintahan desa terdiri atas kepala desa, lembaga musyawarah desa (LMD) dimana dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh perangkat desa yang terdiri atas sekretariat desa (sekertaris desa dan kepala-kepala urusan) dan kepala-kepala dusun. Dalam instruksi Gubernur Maluku itu dijelaskan bahwa LMD dalam

diambil dari kalangan adat, agama, kekuatan sosial-politik dan golongan profesi yang ada di desa. Golongan profesi adalah unsur-unsur instansi penting dalam desa yang peranannya turut menunjang pembangunan desa, misalnya guru, pimpinan KUD, pimpinan Puskesmas dan lainnya (Siwalette, 2005). Selanjutnya untuk badan Saniri Negeri yang ada atau badan lainnya (lembaga adat), atau yang disebut dengan nama lain, fungsi dan peranannya dapat dipersamakan dengan LMD menurut peraturan daerah, secara bijaksana akan disesuaikan susunan dan tata kerjanya menurut ketentuan-ketentuan dalam peraturan daerah. Pembentukan LMD dimufakatkan oleh kepala desa dengan pemuka-pemuka masyarakat di desa yang bersangkutan dengan memperhatikan usaha menyalurkan perwujudan demokrasi Pancasila secara nyata. Penjabaran lebih lanjut adalah yang termuat dalam Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1981 tentang Susunan Organisasi dan Tata Cara Kerja Pemerintahan Desa, dikatakan bahwa LMD berada di bawah kepala desa. LMD sebagai bagian dari pemerintahan desa merupakan lembaga permusyawaratan atau permufakatan yang anggotanya terdiri atas kepala-kepala dusun, pimpinan-pimpinan lembaga kemasyarakatan dan pemuka-pemuka masyarakat. Jumlah anggota LMD paling sedikit 9 orang dan paling banyak 15 orang, tidak termasuk ketua dan sekretaris yang dijabat oleh kepala desa dan sekretaris desa (Siwalette, 2005). Penjabaran lebih lanjut dari Peraturan Menteri ini untuk konteks Maluku maka dikeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Maluku No. 410.24-71/081981 tanggal 12 Juni 1981 bahwa struktur pemerintahan desa yang selama ini dikenal dengan lembaga pemerintahan adat seperti Rajadan badan-badan Saniri Negeri lainnya masih diakui sepanjang struktur pemerintahan adat tidak bertentangan dengan kepentingan umum. Oleh karena itu, maka di desa-desa yang dulunya merupakan negeri umumnya struktur pemerintahan desanya adalah kombinasi dari dua sistem pemerintahan desa yang ada.

Pada sistem pemerintahan reformasi maka diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pengaturan tentang desa terdapat pada Bab XI pasal 111 ayat (1) dan (2) yang mengatakan bahwa pengaturan lebih lanjut tentang desa ditetapkan dalam peraturan daerah kabupaten sesuai dengan pedoman umum yang ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan Undang-Undang

ini. Peraturan daerah, sebagaimana di maksud dalam pada ayat (1), wajib me- gakui dan menghormati hak asal-usul dan adat istiadat desa. Menurut Siwalette (2005) bahwa substansi dari klausal pasal tersebut memberikan implikasi yang bisa signifikan terhadap kemungkinan perubahan struktur dan penyelenggaraan desa ke depan, dalam hal ini akan terdapat sekurang-kurangnya tiga bentuk pe- rubahan sebagai berikut; perubahan dalam pembuatan regulasi dimana yang se- mula, ditetapkan oleh pemerintah pusat dan berlaku secara nasional, akan dibuat dan ditetapkan oleh pemerintah daerah dan berlaku secara lokal; perubahan menyangkut besaran dominasi peran; yang semula, desa didominasi oleh institusi birokrasi, ke depan sangat mungkin akan didominasi oleh institusi-institusi masyarakat. Perubahan berkenan dengan bentuk; yang semula bentuk desa praktis seragam, ke depan sangat mungkin menjadi beragam sesuai dengan aspirasi dan karakteristik lokal. Dalam perkembangannya maka UU No. 22 Tahun 1999 direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Adapun substansi dari UU ini adalah pemerintah daerah diberikan kewenangan dan tanggung jawab secara otonom untuk mengatur daerahnya untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya dan pendapatan asli daerah (PAD). Penerapan UU No.32 Tahun 2004 semakin memperkuat pemerintah Provinsi Maluku untuk mengakomodir aspirasi masyarakat untuk kembali ke sistem pemerintahan negeri. Oleh karena itu pada tanggal 19 Agustus 2005 dijadikan suatu momentum bagi pemerintah daerah Maluku bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Provinsi Maluku untuk menyatakan secara resmi oleh Gubernur Maluku bahwa sistem pemerintahan desa kembali pada sistem pemerintahan negeri.