• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 KESIMPULAN DAN SARAN 13 1 Kesimpulan

4.2 Perubahan Sistem Pemerintahan Desa

Hasil analisis deskriptif terhadap perubahan sistem pemerintahan desa di Maluku pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah diperlihatkan pada Tabel 10.

Tabel 10 Sistem pemerintahan desa pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah

Variabel Rezim Adat Rezim Sentralisasi Rezim Otonomi Daerah Sistem pemerintahan

Negeri Desa Negeri

Kepala Pemerintahan

Raja Kepala Desa Raja

Cara Pemilihan Kepala pemerintahan Tertutup (Berdasarkan garis keturunan) Terbuka Tertutup (Berdasarkan garis keturunan ) Kewenangan kepala pemerintahn Kepala Pemerintahan dan kepala adat

Kepala Pemerintahan Kepala

Pemerintahan dan kepala adat Struktur Organisasi Pemerintahan Raja Kepala Soa Saniri Negeri Kepala Desa Lembaga Musyawarah Desa Sekretaris Bendahara Raja Sekretaris Bendahara Kepala Soa Lembaga Eksekutif

Raja dan Kepala Soa Kepala Desa Raja

Lembaga Legislatif

Saniri Negeri Lengkap : Tua Adat

Tokoh Agama dan Masyarakat Kewang Kapitang Marinyo

Tuan Tanah dan Tuan Negeri Lembaga Musyawarah Desa : Pemuka Masyarakat, Kalangan Adat Tokoh Agama Orsospol, Gol.Profesi Saniri Negeri : Tua Adat

Tokoh Agama dan Masyarakat Kewang Kapitang Marinyo Tuan Tanah dan Tuan Negeri

Lembaga Yudikatif

Saniri Negeri Besar Lembaga

Musyawarah Desa Saniri Negeri Besar Pelaksana Pengelolaan Perikanan

Secara detail, perubahan sistem pemerintahan desa pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah dapat dijelaskan sebagai berikut:

Sistem pemerintahan desa pada rezim adat

Sistem pemerintahan desa di Maluku pada rezim adat dikenal dengan “Pemerentah Negeri” dan umumnya berlaku di Pulau Ambon, dan Kabupaten Maluku Tengah yang dulu; dimana Kabupaten Seram Bagian Barat masih termasuk di dalamnya. Pemerintah negeri adalah merupakan basis masyarakat adat dan memiliki batas-batas wilayah darat dan laut yang jelas yang disebut “petuanan negeri”, dan sistem pemerintahan yang bersifat geneologis atau berdasarkan garis keturunan.

Apabila dihitung periode sistem pemerintahan desa pada rezim adat di Indonesia yang dimulai sejak pemberlakuan UUD 1945 sampai pemberlakuan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa maka telah berlangsung sekitar di atas 30 tahun.

Pada rezim adat, setiap negeri memiliki stuktur organisasi pemerintahan negeri. Susunan pemerintahan negeri adalah warisan dari pemerintahan Belanda dimana sistem hukum adat ini ditetapkan dalam keputusan landraad Amboina No.14/1919; disebutkan bahwa pemerintah negeri adalah ‘regent en de kepala soa’s. Selanjutnya di dalam keputusan landraad Amboina No.30/1919 disebutkan bahwa ‘negorij bestuur’ adalah regent en de Kepala-Kepala Soa, yang berarti bahwa pelaksanaan pemerintahan negeri di laksanakan oleh Raja dan Kepala- Kepala Soa (Siwalette,2005). Adapun salah satu struktur organisasi pemerintah negeri dari Negeri Ameth di Kecamatan Nusalaut Kabupaten Maluku Tengah, dapat dilihat pada Gambar 4. Pada gambar tersebut terlihat terlihat bahwa Raja dan kepala Soa merupakan pelaksana pemerintahan negeri. Ini yang dikenal dengan sebutan Badan Saniri Rajapatti yang terdiri dari Raja dan Kepala Soa. Badan ini merupakan badan eksekutif dibawah pimpinan Raja. Raja, adalah pemegang pemerintah negeri yang bertindak juga sebagai kepala adat dalam memimpin acara-acara adat. Raja berkewajiban untuk memelihara hukum dan adat, kesatuan dan ketentraman negeri, melaksanakan administrasi negeri seperti perkawinan, pembagian warisan, dan lain-lain. Dalam melaksanakan tugasnya ini maka Raja dibantu oleh juru tulis yang bertugas sebagai pembantu Raja dalam

melaksanakan administrasi negeri dan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Juru Tulis berfungsi dalam melaksanakan surat-menyurat, kearsipan dan laporan.

Gambar 4 Struktur organisasi pemerintahan Negeri Ameth, Kabupaten Maluku Tengah

Keterangan : = Terdiri dari

Kepala Soa, diangkat oleh anak-anak Soa yang bertugas membantu Raja dalam melaksanakan pemerintahan negeri apabila Raja tidak ditempat. Kepala Soa diberi kewenangan untuk menggantikan Raja dalam melaksanakan tugas pemerintahan negeri di dalam melayani kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Sebagai pemimpin dari suatu bagian di dalam negeri yang terdiri dari beberapa marga maka Kepala Soa juga berfungsi untuk menampung dan menyalurkan aspirasi serta pendapat masyarakat yang ada dalam wilayah kekuasaan “Soa”nya. Kepala soa juga berperan sebagai kepala adat yang melaksanakan tugas dari Raja untuk melangsungkan acara kawin adat khususnya dalam menerima harta kawin yang diberikan dari mempelai pria kepada pemerintah negeri.

KEPALA SOA RAJA SANIRI RAJAPATI SANIRI NEGERI ANGGOTA MASYARAKAT (ANAK NEGERI) ANGGOTA SANIRI SANIRI BESAR SANIRI NEGERI LENGKAP

Di samping Saniri Rajapati ada Saniri Negeri yang merupakan kumpulan wakil-wakil Soa yaitu suatu kelompok masyarakat yang terdiri dari beberapa marga atau “matarumah”(adat) yang memilih dan mengangkat salah satu anggotanya sebagai wakil pada Saniri Negeri dan 1 orang sebagai Kepala Soa.

Di dalam pelaksanaan pemerintahan negeri, maka dikenal ada badan legislatif yang dikenal dengan sebutan Saniri Negeri Lengkap. Saniri Negeri Lengkap terdiri dari: anggota Saniri, para tua-tua adat dan tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh seperti guru, pegawai, tokoh agama (pendeta/imam), Kewang; penjaga keamanan desa dan pengawas hutan dan laut, Kapitan; pemimpin perang; Marinyo; orang yang bertanggung jawab untuk mengkomunikasikan keputusan pemerintah (Raja) kepada staf pemerintah negeri maupun kepada masyarakat; Tuan Negeri sebagai pemimpin pelaksana adat dalam negeri, dan Tuan Tanah. Tugas Saniri Negeri Lengkap adalah menentukan kebijaksanaan dan mengeluarkan peraturan-peraturan bersama dengan Saniri Rajapatti. Saniri Rajapatti dalam melaksanakan sesuatu hal yang penting di negeri akan berkonsultasi terlebih dahulu dengan Saniri Negeri Lengkap untuk meminta persetujuannya. Pimpinan Saniri Negeri Lengkap ini adalah Raja, namun selain bertugas sebagai badan legislatif maka Saniri Negeri Lengkap juga bertugas untuk memilih Raja menurut tatacara yang berlaku.

Ada badan musyawarah negeri yang di kenal dengan sebutan Saniri Negeri Besar yang berperan sebagai badan yudikatif. Saniri Negeri Besar bertugas menyelenggarakan rapat lengkap yang bersifat terbuka antara Saniri Rajapatti dan Saniri Negeri Lengkap dan semua warga masyarakat pria dewasa yang berumur 18 tahun ke atas. Rapat ini dilaksanakan 1 tahun sekali biasanya di awal tahun atau pada akhir tahun dan berlangsung di rumah adat yang di sebut Baeleo dan dipimpin oleh Raja.

Bila melihat kedudukan struktur organisasi pemerintahan negeri pada Gambar 4, maka Raja adalah merupakan orang yang pertama dan sangat memegang penting di dalam sistem pemeritahan negeri. Raja memiliki kapasitas dan fungsi sebagai pimpinan badan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Akan tetapi dengan kapasitas dan fungsi tersebut Raja tidak memiliki kekuasaan mutlak dalam

menjalankan tugasnya dan dalam pengambilan keputusan, Raja harus mempertimbangkan pendapat dari badan Saniri Negeri.

Lembaga-lembaga adat yang terdapat dalam struktur Pemerintahan Negeri adat ini memiliki fungsi dan peranan yang sangat besar terhadap kelangsungan pembangunan masyarakat. Lembaga-lembaga adat ini sangat dihormati, dipatuhi dan dihargai oleh masyarakat terhadap berbagai hal seperti dalam pengambilan keputusan, penyelesaian sengketa batas tanah dan petuanan, pelantikan Raja, serta pelaksanaan upacara-upacara adat (Anonimous, 2001) .

Dalam pelaksanaan pembangunan desa pada rezim adat di Maluku maka ada beberapa pranata yang mengatur tentang pengelolaan sumberdaya alam, menjaga ketertiban sosial serta tradisi tolong menolong dalam masyarakat yang dikenal dengan sebutan sasi, masohi.badati, maano, dan makan pasuri.

Dalam pengelolaan sumberdaya alam serta menjamin ketertiban sosial maka ada kearifan tradisional yang diartikan dalam simbol-simbol khusus sebagai tanda larangan yang dikenal dengan sasi. Sasi mengandung pengertian tentang larangan pengambilan sumberdaya tertentu tanpa ijin dalam jangka waktu tertentu yang secara ekonomis bermanfaat bagi masyarakat (Bailey dan Zerner, 1992). Makna sasi adalah larangan bagi anak negeri dan orang luar untuk mengambil sesuatu yang berkaitan dengan sumber-sumber daya alam baik darat maupun laut. Tujuan sasi adalah supaya sumberdaya alam dapat dimanfaatkan secara baik dan benar dan dapat berlangsung terus menerus setiap waktu dari generasi ke generasi berikutnya. Lembaga adat yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan sasi adalah Kewang. Kewang adalah suatu kelompok organisasi yang diangkat secara adat melalui proses musyawarah yang dilakukan di dalam rumah adat yaitu Baeleo. Kepala Kewang dan Wakil Kepala Kewang diangkat dan ditentukan berdasarkan garis keturunan dari marga/famili tertentu atau yang disebut mata rumah. Sedangkan anggota Kewang atau pembantu Kewang diangkat dari warga masyarakat yang ada di dalam wilayah Soa. Sebagai suatu organisasi maka Kewang memiliki struktur organisasi dan mempunyai tugas dan tanggung jawab serta memiliki peraturan-peraturan Kewang sebagai dasar dan pedoman dalam melaksanakan tugasnya. Tugas Kewang adalah mengawasi dan

daerah sasi di laut terhadap berbagai sumberdaya perikanan yang memiliki nilai ekonomi yang penting dan merupakan kesepakatan bersama antara masyarakat dengan pemerintah negeri. Tujuan pengawasan dan pengontrolan Kewang ini adalah supaya setiap sumberdaya yang disasikan baik di hutan, kebun dan laut dapat memberi hasil yang baik pada waktu panen. Bagi masyarakat yang melanggar aturan-aturan sasi yang telah ditetapkan oleh Kewang dengan persetujuan Raja dan pemerintah negeri, yaitu dengan melakukan pencurian ataupun pengrusakkan terhadap sumberdaya yang disasikan maka akan diberi sanksi oleh Kewang. Oleh karena itu, Kewang memiliki fungsi dan peranan yang sangat besar terhadap pengelolaan sumberdaya alam dalam pemerintah negeridan juga berperan dalam mengawasi “hak ulayat Negeri” (darat dan laut) terhadap pengaruh aktivitas dari luar. Pada rezim adat, maka cara pelaksanaan sasi dilaksanakan secara adat oleh Raja sebagai kepala adat dan Kewang sebagai pengontrol dan pengawas sasi dan dihadiri oleh seluruh staf pemerintah negeri dan masyarakat. Oleh karena itu maka sebagai bagian dari ketentuan adat maka pelaksanaan sasi ada memiliki aturan-aturan tertentu yaitu; acara tutup dan buka sasi, dan tanda sasi. Hal ini merupakan suatu rangkaian dalam pelaksanaan sasi dimana pelaksanaan sasi tersebut berdasarkan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh masing-masing pemerintahan negeri. Berdasarkan jenis sumberdaya yang disasikan maka bentuk sasi ada dua yaitu sasi darat dan sasi laut. Sumberdaya di hutan dan kebun yang disasikan adalah seperti kelapa, pala, cengkeh, sagu, coklat, buah-buahan seperti jeruk nenas,manggadan sebagainya. Sedangkan sumberdaya perikanan yang disasi adalah seperti : lola, batu laga, teripang, caping-caping, ikan hias, rumput laut, karang, pasir dan berbagai jenis ikan lainnya. Pelaksanaan sistem sasi ini juga menyangkut hak eksklusif pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat desa dimana dengan hak ini orang dari luar desa tidak diperkenankan untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Pada beberapa desa yang lain, hak eksklusif ini dapat dialihkan kepada orang luar desa sejauh mereka mau menggunakan teknologi yang serupa dengan yang digunakan oleh masyarakat setempat yaitu dimana alat tersebut tidak merusak lingkungan dan sumberdaya alam serta membayar sejumlah uang tertentu sebagai ganti hak yang telah diberikan kepada pemerintah negeri. Kawasan hak eksklusif

ini dikenal dengan nama Petuanan Negeri. Petuanan di darat yang di sasi merupakan suatu kawasan pertanian yang disebut dusun, yaitu suatu kawasan pertanian-kehutanan yang khas di Maluku dimana terdapat diversifikasi tanaman dan usaha yakni berupa tanaman hutan, tanaman tahunan, tanaman pangan dan tanaman hortikultura serta ternak (Nanere, 1996). Sedangkan petuanan laut yang disasi adalah suatu kawasan perairan di depan desa atau yang masih merupakan teritorial desa biasanya berupa perairan dangkal, atol, teluk atau selat (Nikijuluw,2002). Oleh karena itu, pada sistem pemerintahan adat sasi merupakan salah satu sumber pendapatan negeri dan pendapatan masyarakat. Masohi. yaitu suatu aktivitas tolong menolong yang dilakukan oleh masyarakat untuk menyelesaikan suatu kegiatan pembangunan fisik baik di dalam negeri, maupun di dalam kelompok warga masyarakat ataupun secara pribadi untuk jangka waktu tertentu yang telah di tetapkan bersama. Tujuan masohi adalah untuk membantu meringankan pekerjaan. Contohnya adalah kegiatan pembangunan rumah adat (Baileo), rumah ibadah (gereja dan masjid), pembangunan rumah tinggal, pembuatan jalan dan sebagainya.

Badati adalah sistem tanggung bersama sebuah kegiatan yang dilakukan seseorag. Maano adalah sistem bagi hasil (biasanya cengkeh atau sagu), hal ini karena si pemilik kurang tenaga untuk memetik hasil maka dia meminta tolong anggota masyarakat lain untuk memetiknya dengan mendapat imbalan dari hasil yang dipetik sesuai kesepakatan. Makan pasuri yakni menikmati hasil-hasil kebun, hutan secara bersama-sama warga-warga kampung atau negeri yang memiliki ikatan sejarah atau kekeluargaan (Sahusilawane, 2005).

Pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut di atas ini diberikan tanggung jawab oleh Raja kepada Kepala Soa dengan demikian maka dalam melaksanakan masohi dikoordinir oleh Kepala-Kepala Soa. Selanjutnya Kepala Soa akan meng- gerakkan anak-anak Soa di dalam wilayah kekuasaannya untuk bekerja dan berpartisipasi penuh dalam kegiatan pembangunan yang sedang dilaksanakan. Dalam pelaksanaan pekerjaan pembangunan fisik melalui masohi, maka semua anggota masyarakat diharuskan turut berpartisipasi dalam pekerjaan tersebut karena mereka dikontrol dan diawasi oleh Kepala soa dan Raja. Raja sebagai

terhadap warga masyarakat yang tidak mematuhi aturan pemerintah negeri. Oleh karena ketegasan dan kewibawaan Raja, maka semua warga masyarakat tanpa memandang bulu, semuanya tunduk dan patuh terhadap segala perintah Raja. Itulah yang dapat dilihat dari peranan Raja dan staf pemerintah negeri dalam melaksanakan pembangunan.

Sistem pemerintahan desa pada rezim sentralisasi

Pada rezim sentralisasi yang dimulai dengan diterapkannya UU No. 5 Tahun 1979 maka sistim pemerintahan negeri mengalami perubahan menjadi sistem pemerintahan desa. Selain itu, terjadi pembentukan desa-desa baru yang dulunya merupakan bagian wilayah kekuasan dari suatu negeri yang mengakibatkan sebagian dari luas wilayah kekuasaan suatu negeri menjadi berkurang. Desa baru yang dibentuk ini bukanlah merupakan desa adat sehingga sistem pemerintahan desanya mengikuti UU No. 5 Tahun 1979. Sedangkan negeri yang merupakan basis masyarakat adat mengalami perubahan nama menjadi desa akan tetapi sistem pemerintahan desanya merupakan perpaduan antara sistem pemerintahan negeri dengan sistem pemerintahan desa.

Periode sistem pemerintahan desa bila dihitung sejak dikeluarkannya UU No.5 Tahun 1979 sampai dengan pemberlakukan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada rezim reformasi adalah sekitar 20 tahun. Penerapan UU No. 5 Tahun 1979 membuat perubahan-perubahan yang cukup mendasar dan berpengaruh terhadap kelangsungan kehidupan sosial ekonomi dan politik di tingkat pemerintahan desa. Perubahan ini disebabkan karena keinginan pemerintah pusat untuk menyeragamkan struktur pemerintahan desa yang selama itu berbeda-beda antar daerah dan untuk memudahkan pelaksanaan pemerintahan, pengawasan dan pembinaan atas desa-desa di seluruh Indonesia. Perubahan yang nampak terlihat adalah pada struktur organisasi pemerintahan desa. Adapun salah satu struktur organisasi pemerintah desa dari Desa Tuhaha di Kecamatan Saparua Kabupaten Maluku Tengah, dapat dilihat pada Gambar 5. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1979, struktur organisasi pemerintahan desa terdiri dari kepala desa, sekretaris desa, Lembaga Musyawarah Desa (LMD), kepala-kepala urusan dan kepala dusun.

Gambar 5 Struktur organisasi pemerintahan Desa Tuhaha, Kabupaten Maluku Tengah

Keterangan: = Staf Pembantu Tugas

Setiap unit organisasi mempunyai tugas pokok dan fungsi masing-masing, yaitu sebagai berikut :

Kepala desa.

a. Kepala desa berkedudukan sebagai alat pemerintahan desa dan pelaksana pemerintah desa.

b. Tugas pokok kepala desa adalah untuk menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri, menjalankan urusan pemerintah, pembangunan dan pembinaan masyarakat, dan menumbuhkan serta mengembangkan semangat gotong royong masyarakat sebagai sendi utama pelaksanaan pemerintahan

KEPALA DESA LMD SEKRETARIS KEPALA DUSUN KEPALA DUSUN KEPALA DUSUN KEPALA DUSUN RW RT RW RW RW RW RW RW RW RT RT RT RT RT RT RT KEPALA URUSAN

c. Fungsi kepala desa adalah untuk melaksanakan kegiatan dalam rangka penyelenggaraan urusan rumah tangganya, menggerakkan partisipasi masyarakat dalam wilayah desanya, melaksanakan tugas dari pemerintah daerah, melaksanakan kegiatan dalam penyelenggaraan ketentraman masyarakat, melaksanakan kegiatan dalam rangka urusan pemerintahan lainnya.

Lembaga Musyawarah Desa (LMD)

a. LMD berkedudukan sebagai wadah menyelenggarakan permusyawaratan/ permufatan yang ada di desa

b. LMD menampung dan menyalurkan aspirasi dan pendapat

c. Fungsi LMD adalah menyampaikan bahan masukan/input bagi pe- nyusunan keputusan desa dengan masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa

Sekretaris desa

a. Sekretaris desa berkedudukan sebagai unsur staf pembantu kepala desa dan memimpin sekretariat desa

b. Tugas sekretaris desa adalah menjalankan administrasi pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di desa serta memberikan pelayanan administrasi kepada kepala desa

c. Fungsi sekretaris desa adalah melaksanakan urusan surat menyurat, kearsipan dan laporan, melaksanakan urusan keuangan, administrasi pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, melaksanakan tugas dan fungsi kepala desa apabila kepala desa berhalangan melaksanakan tugas- tugasnya

Kepala Urusan

a. Kedudukan kepala urusan adalah unsur pembantu sekretaris desa dalam bidang tugasnya

b. Kepala urusan mempunyai tugas menjalankan kegiatan sekretaris desa di bidang tugasnya

c. Fungsi kepala urusan adalah melaksanakan kegiatan urusan pembangunan, kesejahteraan, keuangan dan umum sesuai dengan bidang tugasnya masing- masing, memberikan pelayanan administrasi terhadap kepala desa

Kepala Dusun

a. Kepala dusun berkedudukan sebagai unsur pelaksana tugas kepala desa di wilayah kerjanya

b. Tugas kepala dusun adalah menjalankan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan serta ketentraman di wilayah kerjanya, melaksanakan kebijaksanaan kepala desa

Meskipun secara yuridis, struktur pemerintahan desa terdiri dari kepala desa, LMD dan aparat desa, akan tetapi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa terdapat lembaga lain yang secara struktural tidak termasuk dalam struktur pemerintahan desa, namun secara fungsional merupakan bagian dari sistem pemerintahan desa. Lembaga tersebut adalah Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No.28 Tahun 1989. LKMD adalah organisasi masyarakat yang tumbuh dari, oleh dan untuk masyarakat yang ada di setiap desa. Ketua LKMD adalah kepala desa. Keanggotaan LKMD biasanya dipilih dari unsur tiga tungku yaitu terdiri atas tokoh agama, tokoh pendidikan dan tokoh masyarakat. LKMD merupakan wadah pelaksana dari berbagai program dan kegiatan pembangunan masyarakat desa melalui seksi-seksi yang ada.

Kepala desa adalah merupakan penguasa tunggal di desa baik pada struktur pemerintahan desa tetapi juga pada organisasi sosial kemasyarakatan di desa. Kekuasaan kepala desa yang demikian besar itu dalam sistem demokrasi dan sistem pemerintahan yang sentralistis itu dikontrol dan dikendalikan agar tidak menyimpang dari peraturan yang berlaku dimana kepala desa bertanggung jawab kepada Camat.

Sistem pemerintahan desa pada rezim otonomi daerah

Pada rezim otonomi daerah yang dimulai setelah diterapkannya UU No. 22 Tahun 1999, sistem pemerintahan desa mengalami perubahan yaitu dikembali- kan menjadi sistem pemerintahan negeri. Nama wilayah administratif berubah dari desa menjadi negeri demikian pula struktur organisasi pemerintahannya. Adapun struktur organisasi pemerintahan negeri pada rezim otonomi daerah pada

Negeri Titawai Kecamatan Nusalaut Kabupaten Maluku Tengah ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6 Struktur organisasi pemerintahan Negeri Titawai, Kabupaten Maluku Tengah

Keterangan: = Staf pembantu tugas

Gambar 6 menunjukkan bahwa ada perbedaan struktur organisasi pemerintahan desa pada rezim otonomi daerah dengan sistem pemerintahan desa pada rezim sentralisasi. Kepala desa diganti menjadi Raja, LMD menjadi Saniri Negeri, dan kepala-kepala urusan menjadi Kepala Soa. Apabila dibandingkan dengan sistem pemerintahan desa pada rezim adat maka terlihat bahwa hampir memiliki kesamaan dimana lembaga-lembaga adat telah di akomidir kembali dalam struktur pemerintahan desa. Akan tetapi dalam melaksanakan tugas maka terdapat perbedaan dimana Raja berfungsi sebagai kepala pemerintahan negeri dan kepala adat sedangkan Kepala Soa berfungsi sebagai kepala urusan pembangunan. Kedudukan kepala urusan adalah unsur pembantu Raja dalam bidang tugasnya. Fungsi kepala urusan adalah melaksanakan kegiatan urusan pembangunan, kesejahteraan, keuangan dan umum sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing. Saniri Negeri sebagai badan legislatif terdiri dari para tokoh

KEPALA SOA Kepala Urusan Pembangunan RAJA SANIRI NEGERI SEKRETARIS BENDAHARA KEPALA SOA Kepala Urusan Pemerintahan KEPALA SOA Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat KEPALA SOA Kepala Urusan Umum

adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, Kewang, Marinyo, Tuan Tanah, dan Tuan Negeri.

Berdasarkan hasil analisis perubahan sistem pemerintahan desa pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah maka hal ini menunjukkan bahwa kebijakan- kebijakan pemerintah tentang Pemerintahan Daerah selama ini telah memberikan perubahan-perubahan dalam sistem pemerintahan desa yang meliputi tugas, pokok dan fungsi kepemimpinan, struktur organisasi. Perubahan ini turut membawa pengaruh terhadap pelaksanaan pembangunan di pedesaan termasuk di dalamnya pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat. Hal ini juga menunjukkan bahwa kondisi dan permasalahan setiap daerah itu sangat berbeda-beda dan tidak mudah untuk menyeragamkan sistem pemerintahan desa di seluruh Indonesia dengan mengingat berbagai norma dan tradisi masyarakat dalam melaksanakan kegiatan pembangunan di daerah pedesaan. Solihin (2004) mengatakan bahwa sentralistik pemerintahan selama ini telah membawa begitu banyak masalah seperti, eksternalitas di kegiatan perikanan tangkap dan telah membunuh keberadaan partisipasi masyarakat lokal dalam melakukan penge-lolaan kegiatan perikanan tangkap. Selain itu, dikatakan juga