• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kinerja Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan pada Desa Sasi Laut dan Desa Non Sasi Laut

5 KESIMPULAN DAN SARAN 13 1 Kesimpulan

4.6 Kinerja Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan pada Desa Sasi Laut dan Desa Non Sasi Laut

Untuk menganalisis perbedaan kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan pada desa sasi laut dan desa non sasi laut adalah dengan menggunakan Uji Mann-Whitney. Hasil statistik menunjukkan bahwa nilai T = 55 yang kemudian dibandingkan dengan nilai T tabel dengan selang kepercayaan Wα/2 - W1-α/2 = 24 - 76 menunjukkan bahwa T hitung = 55 yaitu masih berada dalam selang kepercayaan 24 -76. Untuk itu maka hipotesis H1 ditolak dan menerima hipotesis H0 yaitu bahwa tidak ada perbedaan kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan pada desa sasi laut dengan desa non sasi laut pada rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah. Adapun indikator kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan pada desa sasi laut dan desa non sasi laut, diperlihatkan pada Tabel 23.

Tabel 23 Kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan pada desa sasi laut dan desa non sasi laut

Desa Sasi Laut Desa Non Sasi Laut Kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan Rezim Sentralisasi Rezim Otonomi Daerah Rezim Sentralisasi Rezim Otonomi Daerah Efisiensi Pengambilan Keputusan 4.5 ±0.89 6.2 ±0.91 4.9 ±1.02 6.5 ±0.96 Kesempatan Masyarakat 9.9 ±0.5 9.9 ±0.5 9.9 ±0.74 9.9 ±1.03 Kepatuhan Masyarakat 5.1 ±0.62 6.3 ±0.95 5.3 ±0.79 5.8 ±0.87 Pemerataan Tingkat Aksesibilitas 10 ±0 10 ±0 10 ± 0 10 ±0 Keragaman Alat Tangkap 6.4 ±1.03 5.1 ±1.81 5.3 ±1.64 3.9 ±2.17 Kesamaan Ekonomi 5.6 ±1.41 5.1 ±2.34 5.8 ±1.40 5.5 ±2.0 Keberlanjutan Sosial Ekonomi Kebersamaan Masyarakat 7.5 ±1.10 6.8 ±1.53 7.2±0.83 6.3 ±1.33 Tingkat Kesejahteraan 7.1 ±0.81 7.9 ±0.62 6.7±0.74 7.9 ±0.61 Kerukunan Nelayan 7.6 ±0.62 7.0 ±0.89 7.1±0.86 6.2 ±1.10 Keberlanjutan Biologi Kondisi Sumberdaya 6.3 ±0.93 6.1 ±1.57 6.1±1.00 5.0 ±1.39 Hasil Tangkapan 6.8 ±0.86 5.9 ±1.29 6.2 ±1.10 5.2 ±1.15 Total 6.2 6.7 6.8 6.6

Adapun pola perubahannya menunjukkan keadaan yang hampir sama antara desa sasi laut dan desa non sasi laut pada rezim sentralisasi maupun rezim otonomi daerah, seperti terlihat pada Gambar 30.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Sentralisasi Otonomi Daerah Rezim P er ing ka t

Desa Sasi Laut Desa Non Sasi Laut

Gambar 30 Pola perubahan kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan pada desa sasi laut dan desa non sasi laut di pedesaan Maluku pada rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah

Hasil ini memberikan arti bahwa desa sasi pada rezim sentralisasi tidak melakukan fungsi-fungsi pengelolaan perikanan secara baik sehingga memiliki kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang tidak berbeda dengan desa non sasi. Diketahui bahwa pelaksanaan fungsi pengelolaan perikanan berbasis masyarakat di pedesaan Maluku dilakukan oleh pimpinan desa (Raja) dan lembaga pengelolaan perikanan (Kewang). Mereka memiliki peranan dan tanggung jawab yang cukup besar dalam pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat. Namun pada rezim sentralisasi kewenangan dan peranan Raja dan Kewang ini mengalami perubahan-perubahan yang sesuai dengan situasi dan kondisi sistem pemerintahan desa yang berlaku dan juga dengan perkem- bangan masyarakat dan perkembangan sosial ekonomi lainnya. Hasil ini juga memiliki keterkaitan dengan hasil analisis sebelumnya di atas bahwa perubahan sistem pemerintahan desa memberikan pengaruh terhadap pelaksanaan pengelola- an dan pemanfaatan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat dipedesaan Maluku. Telah ditunjukkan pada Gambar 9 bahwa pola perubahan pengelolaan

dari rezim adat ke rezim sentralisasi. Dengan demikian hal ini berdampak terhadap pelaksanaan kinerja pengelolaan perikanan berbasis masyarakat di pedesaan Maluku. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Novaczek et al. (2001) dan Harkes (2006) yang membandingkan desa-desa sasi dan tidak disasi di Maluku Tengah. Umumnya keberlanjutan sosial lebih baik pada desa-desa sasi sedangkan untuk keberlanjutan ekonomi lebih baik pada desa-desa yang tidak sasi. Hal ini juga dikemukakan oleh Arifin dan Pradina (1998) yang dikutip Dahuri (2003) bahwa sistem sasi belumlah cukup baik untuk mempertahankan perikanan lola secara berkelanjutan di Maluku. Ada empat faktor penyebabnya yaitu : (1) lemahnya informasi dasar tentang aspek biologi lola , seperti kebiasaan makan, siklus reproduksi dan tingkat permulaan dewasa (2) kuatnya ekonomi pasar yang menyebabkan keterpaksaan para pemimpin adat untuk membuka sasi sesering mungkin, (3) pertambahan penduduk yang tinggi (rata-rata 2.1 % per tahun ) dan (4) pengambilan lola secara illegal. Oleh sebab itu belajar dari kasus di atas, strategi pengelolaan sumberdaya perikanan dengan hanya mengedepankan sistem tradisional belum cukup memecahkan masalah. Oleh sebab itu, sistem ini harus diintegrasikan dengan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan biologi sumberdaya alam dan didukung oleh kebijakan pemerintah daerah setempat. Perikanan lola sistem sasi masih mungkin bertahan di masa yang akan datang jika aspek-aspek biologi lola telah dikuasai, batas minimum yang diijinkan untuk di panen, dan program pengelolaan bersama (co-management) di tingkat desa atau kabupaten diterapkan dengan baik.

Faktor lain yang turut menyebabkan kinerja pengelolaan perikanan desa sasi pada rezim sentralistik tidak mengalami perbedaaan dengan desa non sasi adalah adalah karena sistem pengelolaan perikanan pada rezim sentralisasi bersifat sentralistik dimana terjadi eksternal kegiatan tangkap yang akhirnya mengabaikan kearifan tradisional oleh masyarakat lokal dalam pengelolaan perikanan berbasis masyarakat. Hal-hal seperti ini yang diduga menyebabkan kinerja pengelolaan perikanan pada desa sasi di rezim sentralisasi tidak berbeda dengan desa non sasi.

Pada rezim otonomi daerah, hasil statistik di atas juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kinerja pengelolaan antara desa sasi laut dan desa non sasi

laut. Apabila di lihat dari sisi waktu pemberlakuan otonomi daerah di Maluku yaitu sejak diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 maka jumlah waktu pelaksanaan pengelolaan perikanan pada rezim otonomi daerah di Maluku masih terlalu singkat tidak sebanding dengan pelaksanaan pengelolaan perikanan di rezim sentralisasi. Periode sistem pemerintahan desa apabila dihitung sejak dikeluarkannya UU No. 5 Tahun 1979 sampai dengan pemberlakukan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada rezim reformasi maka sekitar 20 tahun. Dalam rentang waktu yang cukup lama dan begitu banyak mengalami perubahan dalam semua aspek maka pada rezim otonomi daerah yang masih sangat singkat ini maka tentunya mulai secara perlahan melakukan pembenahan- pembenahan baik di tingkat pemerintahan maupun masyarakat. Dalam penerapan UU No. 22 Tahun 1999, daerah Maluku pada saat itu sedang mengalami konflik kerusuhan dan tragedi kemanusiaan yang telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan, akibatnya roda pemerintahan dan perekonomian daerah tidak dapat berjalan dengan baik. Dengan kondisi demikian namun penerapan UU No. 22 Tahun 1999 di sambut baik dan merupakan suatu berkat bagi pemerintah daerah Maluku karena dapat mengatur secara baik administrasi pemerintahan daerah baik di tingkat provinsi, di tingkat kabupaten/kota bahkan sampai pada tingkat desa.

Semangat untuk melaksanakan adat mulai mewarnai kehidupan dinamika masyarakat Maluku seiring dengan kondisi daerah Maluku yang semakin hari semakin kondusif.

Dalam membenahi manejemen pemerintahan di rezim otonomi daerah maka UU No. 22 Tahun 1999 kemudian mengalami revisi menjadi UU. No 32 Tahun 2004. Hal ini semakin dapat mengakomidir aspirasi masyarakat untuk kembali menjalankan tradisi-tradisi adat terutama dalam pengelolaan perikanan. Berdasarkan hasil inventarisasi sasi di atas telah di sebutkan bahwa ada peningkatan pelaksanaan sasi laut seiiring dengan diaktifkannya kembali lembaga -lembaga adat seperti Kewang. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pengelolaan perikanan di rezim otonomi daerah maka terasa perlu untuk kembali melihat keberhasilan sasi pada rezim adat dan juga melihat tidak efektifnya sasi pada rezim sentralisasi. sehingga dapat menjadi pelajaran yang berharga dalam

Berdasarkan hal tersebut di atas maka pelaksanaan sasi harus lebih diefektifkan terutama oleh pimpinan desa dan lembaga pengelolaan perikanan sehingga dapat memberikan nilai manfaat secara ekonomi kepada masyarakat. Selain itu, perlu juga didukung oleh kebijakan pemerintah daerah Maluku dan . peningkatan kegiatan pendidikan baik formal maupun non formal dan peningkatan pelaksanaan pengelolaan perikanan bersama dalam bentuk ko-manajemen di tingkat desa yang diterapkan dengan baik.

(1) Dengan adanya berbagai kebijakan pemerintah tentang pemerintahan daerah termasuk di dalamnya pemerintahan desa maka telah memberikan perubahan terhadap sistem pemerintahan desa di Maluku yang meliputi: nama wilayah administrasi, kepala pemerintahan, struktur pemerintahan, lembaga eksekutif, lembaga legislatif, lembaga yudikatif dan pelaksana pengelolaan perikanan di desa.

(2) Keberadaan sasi laut sebagai bentuk pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat sampai saat ini masih tetap hidup di pedesaan Maluku dan mulai mengalami peningkatan sejalan dengan dikembalikannya sistem pemerintahan negeri dan terbentuknya lembaga- lembaga adat seperti Kewang, Saniri Negeri, Kepala Soa.

(3) Perubahan sistem pemerintahan desa memberikan pengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat di pedesaan Maluku. Variabel pengelolaan terdiri atas perencanaan meliputi: tujuan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, keterlibatan organisasi dalam perencanaan pengelolaan perikanan, tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan; pengorganisasian meliputitugas pokok dan fungsi organisasi pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan; pengarahan meliputi motivasi dan arahan; pengawasan meliputi fungsi pengawasan memiliki nilai yang lebih tinggi pada rezim adat. Oleh karena itu maka sistem pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat pada rezim adat adalah lebih baik dibandingkan dengan rezim sentralisasi maupun pada rezim otonomi daerah.

(4) Perubahan sistem pemerintahan desa memberikan pengaruh terhadap ki- nerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku. Variabel efisiensi yang terdiri atas: pengambilan keputusan nelayan dalam pengelolaan perikanan, dan kepatuhan masyarakat terhadap peraturan perikanan, memiliki nilai lebih tinggi pada rezim adat dan

peningkatan pada rezim otonomi daerah sedangkan variabel kesempatan masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan memiliki nilai yang sama pada ketiga rezim. Variabel Pemerataan yang terdiri atas: kepemilikan alat tangkap dan tingkat kesamaan ekonomi memiliki nilai yang lebih tinggi pada rezim adat dan terus mengalami penurunan dari rezim sentralisasi ke rezim otonomi daerah sedangkan tingkat aksesibilitas terhadap sumberdaya perikanan memiliki nilai yang hampir sama pada ketiga rezim. Kebersamaan masyarakat dalam kegiatan perikanan dan kerukunan nelayan yang merupakan variabel keberlanjutan sosial ekonomi mengalami penurunan sedangkan tingkat kesejahteraan rumahtangga masyarakat mengalami adanya peningkatan. Kondisi kesehatan sumberdaya perikanan dan kondisi hasil tangkapan perikanan sebagai variabel keberlanjutan biologi mengalami penurunan.

(5) Tidak ada perbedaan kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan antara desa sasi laut dengan desa non sasi laut baik pada rezim sentralisasi maupun rezim otonomi daerah, untuk variabel efisiensi, pemerataan dan keberlanjutan sosial ekonomi serta keberlanjutan biologi. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan sistem sasi di pedesaan Maluku belum dilaksanakan secara baik dan benar sehingga diharapkan pada rezim otonomi daerah dapat direvitalisasikan kembali sehingga mampu memberikan kontribusi terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan di atas maka dapat dibuat saran berupa rumusan kebijakan tentang pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan di pedesaan Maluku pada rezim otonomi daerah, sebagai berikut:

(1)Sasi sebagai bentuk pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat di pedesaan Maluku terutama di desa-desa adat, perlu untuk dipertahankan dan direvitalisasi secara lebih baik yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat pedesaan di rezim

otonomi daerah ini. Sehingga dapat digunakan sebagai sarana komunikasi interaktif budaya lokal, nasional dan global. Untuk itu Kewang sebagai lembaga pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di desa-desa adat perlu ditingkatkan kapasitasnya.

(2)Perlu dilaksanakan pembentukan Daerah Perlindungan Laut berbasis masyarakat (DPL) di tingkat desa khususnya di desa-desa non sasi. DPL meliputi terumbu karang, mangrove, padang lamun atau habitat lainnya secara sendiri atau bersama-sama yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan biota laut, dan pengelolaannya dilakukan secara bersama-sama antara pemerintah, masyarakat dan pihak lain, dalam merencanakan, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi pengelolaannya.

(3)Perlu dibentuknya lembaga pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat di desa-desa yang bukan merupakan desa adat. Lembaga pengelola ini terdiri dari kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat seperti kelompok nelayan, kelompok pedagang ikan, kelompok pengolah ikan, dan pemuda-pemuda desa. Lembaga pengelola perikanan dibentuk oleh pimpinan desa dalam suatu musyawarah desa dan merupakan keputusan Desa serta mendapat persetujuan Camat dan Bupati setempat. Lembaga pengelolaan perikanan ini berada dalam pengawasan LKMD sebagai wadah pelaksana dari berbagai program dan kegiatan yang dilaksanakan bagi pembangunan masyarakat desa.

(4)Perlu dilakukan kegiatan survey untuk mengidentifikasi potensi sumberdaya perikanan di tingkat desa dalam kaitannya dengan penetapan jenis sumberdaya perikanan ekonomi penting yang dilindungi. Di samping itu juga untuk perlu ditentukan batas-batas wilayah pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di tingkat desa. Untuk itu perlu dilakukan kerjasama antara staf peneliti perikanan laut dan masyarakat setempat, dengan melibatkan juga Dinas Perikanan dan Kelautan serta dinas terkait lainnya melalui pendekatan PRA

(5)Perlunya penguatan dan pemberdayaan kelembagaan pemerintahan desa terutama pimpinan desa (Raja) dan lembaga pengelolaan perikanan berbasis masyarakat (Kewang) sebagai pelaksana dan pengawas pengelolaan perikanan di desa serta masyarakat lokal. Upaya ini dilakukan melalui proses pembinaan dan pembelajaran secara teratur dan terus menerus yang dilaksanakan dari berbagai pihak yang ber- kompeten. Cara pembinaan dan pembelajaran adalah dengan melak- sanakan metode pendidikan luar sekolah seperti penyuluhan, dengan menggunakan metode dan strategi yang cocok dengan sasaran yang dididik atau dibina. Pembinaan ini memerlukan adanya kerjasama dan keterlibatan berbagai pihak seperti Badan Perencana Daerah Maluku, Perguruan Tinggi, Dinas Perikanan dan Kelautan, serta dinas-dinas terkait lainnya serta Lembaga Perbankan, dan berbagai instansi lain yang berkepentingan dengan pembangunan pedesaan di Maluku. Tujuan yang diharapkan dari pembinaan melalui pendidikan ini adalah adanya perubahan peningkatan pengetahuan, menumbuhkan kesadaran dan minat masyarakat serta perubahan sikap mental dan ketrampilan dari pimpinan desa (Raja), lembaga pengelolaan perikanan berbasis masyarakat (Kewang) maupun masyarakat pedesaan terutama nelayan dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya perikanan secara lebih arif dan bijaksana. Kegiatan konkrit seperti peningkatan pengetahuan masyarakat tentang nilai ekonomi dan manfaat dari sumberdaya perikanan di sekitar perairan desa. Kegiatan ini bertujuan supaya masyarakat desa dapat mengerti dan mengetahui nilai manfaat dan nilai ekonomi dari suatu sumberdaya perikanan di sekitar wilayah perairan mereka, sehingga dengan demikian sikap masyarakat dapat berubah untuk dapat mau mengelola dan memanfaatkan sumberdaya perikanan secara baik untuk kelangsungan hidup dan kesejahteraan masyarakat itu sendiri.

(6)Perlu ada tenaga-tenaga pendamping masyarakat yang dikelola oleh pemerintah daerah bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Tenaga pendamping masyarakat perlu dididik dan dilatih oleh

tenaga-tenaga professional pada bidang masing-masing. Tujuannya adalah supaya tenaga-tenaga pendamping dalam masyarakat pedesaan memiliki pengetahuan yang praktis terhadap masalah-masalah yang ada dalam masyarakat terutama yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Tenaga pendamping memiliki peranan dan kedudukan yang cukup besar dalam masyarakat, yaitu antara lain sebagai : motivator, inspirator dan fasilitator, dimana tenaga pendamping tersebut harus menjadi jembatan penghubung antara pemerintah yang diwakilinya dengan masyarakat lokal, baik dalam hal menyampaikan inovasi atau kebijakan-kebijakan yang harus diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat maupun untuk menyampaikan umpan balik atau tanggapan masyarakat kepada pemerintah. Dengan peranan dan kedudukan tersebut maka tenaga pendamping dapat bekerja dengan baik yaitu mampu menjalankan kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di lain pihak mereka mendapatkan kepercayaan oleh masyarakat.

(7)Perlu dibuat secara tertulis dan sistematis peraturan-peraturan penge- lolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat di setiap desa. Peraturan-peraturan tersebut adalah merupakan keputusan desa dalam suatu musyawarah desa.dan selanjutnya disetujui oleh Camat, Kepolisian dan Bupati setempat sehingga lebih memperkuat keputusan musyawarah desa Hal ini sebagai dasar dan pedoman bagi masyarakat desa dalam melaksanakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat.

(8)Perlu melaksanakan sanksi dan tindakan hukuman yang tegas dan keras dari pimpinan desa maupun dari lembaga pengelolaan perikanan di tingkat desa terhadap setiap orang baik masyarakat lokal maupun masyarakat luar desa yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan pengelolaan perikanan di tingkat desa yang telah ditetapkan.

(9) Perlu ada terbentuknya suatu forum komunikasi pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat dalam suatu

pembelajaran bagi anggota organisasi pengelola perikanan, pimpinan desa dan masyarakat. Forum ini difasilitasi oleh Camat setempat dan diselenggarakan setiap tiga bulanan. Dalam forum ini akan dibicarakan berbagai permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di setiap desa dan berusaha untuk mencari jalan keluar yang terbaik untuk kelangsungan pelaksanaan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat di desa. Pada forum ini akan dihadiri oleh Lembaga Swadaya Masyarakat yang memiliki keterkaitan terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat, Perguruan Tinggi serta staf Dinas Perikanan dan Kelautan tingkat kabupaten/kota.

(10) Perlu adanya peningkatan kerjasama antara pemerintah daerah dan masyarakat lokal dalam bentuk ko manajemen. Ko-manajemen sebaiknya dibina dan ditingkatkan sampai pada tingkat keseimbangan antara masyarakat lokal dengan pemerintah sehingga ada tanggung jawab dan peranan yang sama dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di tingkat desa. Pemerintah daerah seharusnya lebih proaktif dan merespons upaya pengelolaan perikanan yang telah dilakukan oleh masyarakat lokal di tingkat desa dengan melakukan berbagai hal yang lebih konkrit seperti melakukan kegiatan monitoring dan pengawasan secara teratur dan berkelanjutan.

(11) Perlu dilaksanakan dan digalakkan pertemuan-pertemuan ilmiah tentang pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat di daerah Maluku sebagai sarana pertemuan, informasi, komunikasi dan pendidikan bagi berbagai pemangku kepentingan pembangunan perikanan di pedesaan Maluku. Untuk itu maka diperlukan kerjasama antara berbagai pihak untuk menyelenggarakan pertemuan-pertemuan ilmiah ini yaitu: Pemerintah Daerah Maluku, Lembaga Swadaya Masyarakat, Perguruan Tinggi, perusahaan perikanan serta Departemen Kelautan dan Perikanan. Pertemuan ilmiah ini sebaiknya dilaksanakan setiap tahun bertempat di Kota Ambon atau di kabupaten-kabupaten yang ada. Dengan adanya pertemuan ilmiah ini maka diharapkan

pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku semakin serius untuk diperhatikan dan dilaksanakan dengan lebih baik.

Desa Nolloth, Pulau Saparua dengan sistim Sasi. Jurnal Penelitian Perikanan Laut.hal.31-36

Adiwibowo,S. 2001. Pranata Sosial Masyarakat Pesisir. Makalah Prosiding Pelatihan untuk Pelatih, Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. hal 40-42. Agusta I, 1998. Cara Mudah Menggunakan Metode Kualitatif pada Sosiologi

Pedesaan. Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial, Institut Pertanian Bogor. 64 hal.

Anonimous, 2001. Profil Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Negeri Ameth Pulau Nusalaut Kabupaten Maluku Tengah. Pemerintah dan Masyarakat Negeri Ameth dengan Yayasan Hualopu Atas Dukungan BSP-Kemala. 97 hal.

Ansaka D. 2006. Kearifan Masyarakat Adat dalam Tradisi Konservasi Di Cagar Alam Cyclops. [thesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 93 hal.

Arifin,Z., P. Pradina, A.H. Purnomo. 1998. A Case Study on the Tradisional Trochus (Trochus niloticus) Fishery in the Maluku region, Indonesia. In Proceedings of the North Pacific Symposium on Invertebrate Stock Assessment and Management (G.S. Jamieson and A. Campbell,Eds) Can. Spec. Publ.Fih.Aquat. Sci.125pp. 401-406.

Badan Perencanaan Daerah Maluku, 2004. Informasi Daerah Maluku.

http://www/malukuprov.go.id Januari 2005.

Badan Perencanaan Daerah Maluku, 2005. Informasi Daerah Maluku.

http://www/malukuprov.go.id Maret 2005.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Maluku Tengah, 2004. Maluku Tengah Dalam Angka. 520 hal.

Badan Pusat Statistik Kota Ambon, 2004. Kota Ambon Dalam Angka. 360 hal.

Bailey, C and C. Zerner 1992. Local Management of Fisheries Resources in Indonesia: Opportunities and constraints, in Pollnac,R.B.,C.Bailey and A.Poernomo (eds) Contribution to Fishery Development Policy in Indonesia Central Institute for Fisheries, Min.of Agriculture,Jakarta,Indonesia.

hal 1-17.

Bandjar, H. 1998. Suatu Studi Tentang Peran “ Sasi Laut” Dalam Pengelolaan Dan Pemanfaatan Sumberdaya Hayati Laut Terhadap Masyarakat Pesisir Di Maluku. [thesis]. Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 118 hal.

Berkes, F. 1994. Co-management:Bridging the Two Solitudes. In Northern Perspectives.hal 18-20.

Charles, A.T. 2001. Sustainable Fishery Systems. Saint Mary’s University Halifax, Nova Scotia, Canada.370 hal.

Cochrane, K.L. 2002. A Fishery Manager’s Guidebook. Management Measures and Their Application. FAO, Fisheries Technical Paper No. 424 Rome, FAO .231p

Dahuri, R. 2001. Pemahaman Wilayah Pesisir Dalam Kerangka Penata Ruang Sebagai Alat Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Bahan Seminar. Departemen Kelautan Dan Perikanan.

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.412 hal. Daniel W. W.1990. Applied Nonparametric Statistics. Second Edition. PWS-

KENT Publising Company. Boston.

Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku, 2004. Rencana Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Wilayah Kota Ambon. Dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian Universitas Pattimura Ambon. hal III -1 – III 75. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Maluku Tengah, 2004. Inventarisasi

dan Identifikasi potensi Perikanan dan Kelautan di Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2003.

Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Ambon 2004. Statistik Perikanan Kota Ambon. hal 164-172.

Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Ambon, 2005. Pengelolaan dan Pemanfaatan Potensi Sumberdaya Perikanan Di Perairan Kota Ambon Dengan Berbagai Prospek Pengembangan dan Permasalahannya. Makalah.7 hal.

Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku, 2005. Strategi dan Kebijakan Pembangunan Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku. Makalah Disampaikan Pada Seminar Nasional ”Inovasi Teknologi Pertanian Berwawasan Agribisnis Mendukung Pengembangan Pertanian Wilayah Kepulauan” yang Dilaksanakan di BPTP Maluku -Ambon, 22-23 November 2005. 9 hal.