• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 KESIMPULAN DAN SARAN 13 1 Kesimpulan

2.5 Penelitian Sasi Terdahulu

Novaczek et al. (2001) mengevaluasi pelaksanaan sasi di desa-desa Maluku Tengah. Indikator-indikator yang diukur bersifat non ekonomi yaitu : efisiensi, keberlanjutan sosial, keberlanjutan biologi dan pemerataan. Dengan indikator tersebut disimpulkan bahwa kinerja pengelolaan sumberdaya perikanan pantai melalui sasi di Maluku Tengah ternyata tidak lebih baik dibandingkan dengan pelaksanaan pada beberapa tahun sebelumnya. Persepsi masyarakat untuk kinerja sasi pada masa lalu adalah lebih baik dibandingkan dengan waktu sekarang ini.

Pembentukan proses persepsi ini tentunya sangat dipengaruhi oleh sejumlah faktor baik yang internal maupun eksternal masyarakat.

Saad (2003) mengkaji struktur kepemimpinan dan kewenangan masyarakat hukum adat dalam hubungannya dengan hak ulayat laut di berbagai tempat di wilayah Indonesia Timur. Salah satu contoh kasus ialah lembaga Kewang di Maluku. Struktur organisasi Kewang di Desa Haruku terdiri dari kepala Kewang darat, kepala Kewang laut, pembantu (sekel), dua orang sekretaris, seorang bendahara dan beberapa orang anggota. Kepala Kewang darat dan kepala Kewang laut saling melengkapi namun dari sisi kedudukannya maka kepala Kewang darat lebih tinggi. Tugas kepala Kewang darat adalah mengatur tugas pengawasan anggota Kewang, memimpin rapat Kewang, mengadakan koordinasi dengan Raja (kepala desa) mengenai waktu tutup dan buka sasi, serta memimpin upacara penutupan dan pembukaan sasi, memberikan hukuman atau denda terhadap pelanggaran sasi serta melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan pelaksanaan tutup dan buka sasi, seperti meletakan tanda sasi. Gambaran tentang struktur kepemimpinan beserta kewenangannya pada masyarakat hukum adat ter- sebut menunjukkan bahwa masyarakat hukum adat dan institusi kepemim- pinannya hingga kini masih tetap hidup meskipun selama ini telah diintervensi oleh sistem pemerintahan formal dalam bentuk perundang-undangan tentang desa. Batas wilayah hak ulayat laut di Desa Haruku tercermin dari petuanan laut yang disebut labuhan desa. Batas labuhan berupa garis imajiner yang ditarik dari batas petuanan darat, sedangkan ke arah laut sampai pada perbatasan antara laut dangkal dengan laut dalam. Di dalam wilayah labuhan, terdapat juga wilayah yang pada waktu tertentu ditutup atau dilarang dieksploitasi, meskipun oleh anak negeri sendiri kecuali dengan alat-alat dan jenis ikan tertentu. Wilayah yang demikian itu disebut dengan labuhan sasi. Labuhan sasi di Desa Haruku terbagi manjadi dua bagian, yaitu labuhan sasi laut dan labuhan sasi ikan lompa. Batas labuhan sasi laut di sebelah Utara adalah garis imajiner yang ditarik dari sudut balai desa bagian Utara sepanjang 200 meter ke arah laut, dan sebelah Selatan sampai ke Tanjung Wairusi, yaitu Tanjung yang berada di dekat Fort Newzeland. Diperkirakan panjang labuhan sasi laut ini mencapai 600 meter. Batas labuhan

panjang sekitar 1500 meter dan lebar ke arah laut 200 meter. Eksklusivitas wilayah labuhan sasi laut disebabkan wilayah tersebut merupakan daerah mobilitas ikan lompa (Trisina baelama) dan ikan make. Penutupan wilayah ini agar sumberdaya perikanan yang ada dapat mencapai hasil yang optimal, sehingga ketika saatnya dibuka untuk dieksploitasi hasilnya cukup untuk dibagikan kepada seluruh warga masyarakat desa Haruku. Selama masa penutupan wilayah, masyarakat dilarang mengeksploitasi sumberdaya perikanan kecuali dengan alat tangkap tertentu.

Bandjar (1998) mengkaji tentang peran sasi laut dalam pengelolaan sumberdaya hayati laut terhadap masyarakat pesisir di Maluku. Dinamika sasi menunjukkan bahwa lembaga-lembaga setempat dengan mudah dipengaruhi oleh pemilik modal perseorangan/kelompok sehingga merubah peraturan-peraturan sasi yang mengakibatkan tersingkirnya hak dan manfaat dari penduduk setempat. Dengan perubahan aturan sasi yakni pemanfaat oleh masyarakat kepada pemanfaatan oleh pengontrak mengakibatkan terputusnya akses masyarakat terhadap sumberdaya perikanan yang di sasi. Hal ini berdampak negatif terhadap masyarakat setempat. baik dilihat dari aspek sosial, politik, ekonomi maupun lingkungan.

Thorburn (1998) meneliti tentang penerapan sasi pada pengelolaan lola (Topshell,Trochus niloticus) pada desa-desa di bagian Pantai Timur Pulau Kei Besar, Kabupaten Maluku Tenggara. Lola merupakan salah satu pendapatan utama penduduk Kei hingga kini dan pendapatan daerah Maluku Tenggara. Penerapan hukum dan peraturan yang tidak konsistensi ditambah dengan kolusi serta kepentingan pribadi dari berbagai kelompok yang terlibat di dalamnya secara bersama-sama telah mengancam kelestarian baik kelembagaan sasi maupun flora dan fauna yang dikelola dengan berhasil dan secara berkesinambungan di wilayah ini. Dalam klasifikasi flora dan fauna yang dilindungi tidak tercantum hal-hal yang berkaitan dengan keberadaan dan pengembangan sistem pengelolaan bersama yang dapat dilaksanakan serta saling menguntungkan, dimana sistem ini mampu memenuhi kepentingan pihak-pihak terkait dan menerapkan kebijakan yang berlaku dalam masyarakat setempat dan instansi pemerintah sesuai dengan kemampuan masyarakat setempat, pedagang dan industri.

Arifin and Pradina (1998) yang dikutip Dahuri (2003) mengkaji tentang pengelolaan sumberdaya siput lola di Maluku. Hasil kajiannya memperlihatkan bahwa perkembangan produksi perikanan lola tidak sesuai dengan gambaran umum tentang suksesnya sistem sasi dalam mengatur sumberdaya alam. Jumlah cangkang lola yang didaratkan dari hasil buka sasi selama 13 tahun dan produksi hipotetik jika asumsinya lola dipanen setiap tahun menunjukkan bahwa produksi lola cenderung menurun. Hal ini menunjukkan bahwa sistem sasi belum cukup baik untuk mempertahankan perikanan lola secara berkelanjutan. Ada empat faktor yang menyebabkan kegagalan perikanan lola, yaitu :

(1)Lemahnya informasi dasar tentang aspek biologi lola, seperti kebiasaan makan, siklus reproduksi dan tingkat permulaan dewasa

(2)Kuatnya ekonomi pasar yang menyebabkan keterpaksaan para pemimpin adat untuk membuka sasi sesering mungkin

(3)Pertambahan penduduk yang tinggi (rata-rata 2,1 % per tahun) (4)Pengambilan lola secara illegal

Belajar dari kasus di atas, strategi pengelolaan sumberdaya hayati dengan hanya mengedepankan sistem tradisional belum cukup memecahkan masalah. Oleh sebab itu, sistem ini harus diintegrasikan dengan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan biologi sumberdaya alam dan didukung oleh kebijakan pemerintah daerah setempat. Perikanan lola sistem sasi masih mungkin bertahan di masa yang akan datang jika aspek-aspek biologi lola telah dikuasai, batas minimum yang diijinkan untuk di panen, dan program pengelolaan bersama (co- management) di tingkat desa atau kabupaten diterapkan dengan baik.