• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembentukan kota, hirarki dan sistem perkotaan diawali dengan terbentuknya wilayah pasar. Konsep dan model dasarnya merupakan perkembangan dari

pengorganisasian spasial dari wilayah pasar satu produk satu produsen (monopoli) sampai organisasi spasial dari produksi bermacam barang dan banyak produsen sehingga membentuk susunan hirarki spasial di suatu tempat terpusat (Dicken dan Lloyd, 1990). Kerangka konsep sederhana dalam menjelaskan proses terbentuknya wilayah pasar tersebut dikenal dengan Central Place Theory (CPT).

Dasar memahami CPT sesungguhnya berasal dari konsep tentang aglomerasi ekonomi yang pengertian umumnya yang menurut Nugroho dan Dahuri (2004) sebagai perolehan keuntungan ekonomi akibat dua atau lebih produsen bergabung dan berdekatan secara spasial, dan menurut Nuryadin et al (2007), ekonomi

aglomerasi merupakan daerah-daerah dimana konsentrasi kegiatan ekonomi terjadi. Selanjutnya dikatakan Nugroho dan Dahuri (2004) bahwa setidaknya ditemukan dua gejala besar didalam aglomerasi berkaitan dengan wilayah pasar, yaitu (1) bertemunya dua atau lebih aktivitas ekonomi yang berbeda, sehingga wilayah pasar setiap produsen cenderung menyatu, dan (2) bertemuanya dua atau lebih aktivitas ekonomi yang sama, sehingga memungkinkan terbentuknya pasar baru yang lebih besar. Kedua keadaan ini secara umum berimplikasi terhadap pembatasan tumbuhnya jumlah kota, penekanan kebutuhan infrastruktur, dan identifikasi dan pencarian mekanisme aglomerasi terhadap aktivitas ekonomi yang lain. Konsekwensi dari aglomerasi ini adalah terbentuknya hirarki yang tediri dari kota besar, kota sedang dan kota kecil. Sementara Dicken dan Llyod (1990) menyebutkan tipe aglomerasi dibedakan dalam dua hal yakni lokalisasi ekonomi dan urbanisasi ekonomi.

Menurut Nugroho dan Dahuri (2004), yang harus dicatat bahwa teori ini baru memperhitungkan tentang kegiatan dari industri tersier (pelayanan jasa) untuk menempatkan lokasi dari tempat sentral tersebut. Asumsi teori ini melalui penyederhanaan suatu dunia nyata, dimana wilayah pasar adalah datar (flat plane) dan sumberdaya alam dan penduduk tersebar dengan merata dan pekerjaan penduduk adalah semua petani (homogen). Dengan demikian menurutnya, CPT ini sulit

diterapkan di wilayah dengan sistem perkotaan karena faktor-faktor yang mempengaruhinya lebih kompleks dari asumsi yang dijelaskan CPT, tetapi keadaan wilayah dan ekonomi perdesaan yang belum banyak tersentuh sektor modern (tipe wilayah homogen) tampaknya dapat dijelaskan oleh CPT. Adapun wilayah dengan

sektor modern yang dapat dianalisis oleh CPT adalah distribusi sektor jasa atau pusat perbelanjaan di kota. Selanjutnya Nuryadin et al (2007), mengatakan aglomerasi

menghasilkan perbedaan spasial dalam tingkat pendapatan, semakin teraglomerasi secara spasial suatu perekonomian maka akan semakin meningkat pertumbuhannya, sehingga daerah-daerah yang banyak industri pengolahan tumbuh lebih cepat dibandingkan daerah-daerah yang hanya mempunyai sedikit industri pengolahan Menurut Sinulingga (2005), CPT dapat digunakan untuk merumuskan bagaimana hubungan antara tempat sentral dengan wilayah pengaruhnya (hinterland) serta

merumuskan bagaimana hirarki dari tempat sentral. Dengan menggunakan CPT, menurut Sinulingga, Walter Christaler telah menentukan hirarki kota-kota dalam suatu wilayah dengan cara meninjau jumlah pelayanan yang dapat diemban oleh sebuah kota.

Untuk melakukan analisis sistem perkotaan dewasa ini yang lebih kompleks telah berkembang berbagai metode diantaranya metode survei, metode gravitasi, metode peringkat dan metode gugus. Yang membedakan keempat metode ini adalah cara pengamatan dan variabel yang diamati (Nugroho dan Dahuri, 2004). Selain keempat metode tersebut juga terdapat metode Purnomosidi yang dikembangkan oleh Dr. Purnomosidi yang menurut Sinulingga (2005) telah melakukan penelitian hirarki perkotaan di Indonesia dengan mengamati aliran barang dari kota ke kota. Dalam pembahasannya dinyatakan bahwa pada satuan wilayah pengembangan (SWP) terdapat hirarki kota-kota dengan sebutan orde kota yaitu orde 1, orde 2, dan seterusnya. Kota orde 1 adalah kota yang tidak berada dibawah subordinansi kota- kota lainnya. Disamping itu kota orde 1 perlu menguasai fasilitas distribusi yang lengkap termasuk pelabuhan. Orde 2 berada dalam subordinasi orde 1, sedangkan orde 3 berada dalam subordinasi orde 2, demikian selanjutnya.

Untuk kepentingan di Indonesia, ciri masing-masing orde kota dapat dijelaskan pada Tabel 2, susunan orde kota dalam satu SWP terdapat pada Gambar 3. Menurut Sinulingga (2005), manfaat mengetahui hirarki perkotaan ialah untuk deliniasi wilayah menjadi SWP-SWP yang mana dalam satu SWP kota orde I mempunyai wilayah pengaruh seluas SWP, sedangkan kota orde II mempunyai

wilayah pengaruh pada sebagian dari satu SWP yang dinamakan wilayah pengembangan partier (WPP).

Tabel 2. Ciri-Ciri Orde Kota

Orde Kota Ciri-Ciri

(1) (2)

Kota Orde I 1. Kedudukan sebagai ibukota negara atau pusat-pusat pembangunan nasional atau ibukota provinsi

2. Jangkauan pelayanan 100 – 500 km 3. Jumlah penduduk 250 ribu sampai 5 juta 4. Terletak pada jalan nasional

5. Mempunyai fasilitas pelayanan yang lengkap termasuk pelabuhan laut 6. Terdapat kegiatan perindustrian yang besar dan modern, jasa

perdagangan termasuk ekspor dan impor, perbankan internasional 7. Terdapat pelayanan-pelayanan lainnnya dalam sakala nasional seperti

universitas, rumah sakit besar, dan sekaligus bandara nasional maupun internasional.

Kota Orde II 1. Ibukota propinsi, atau dan pusat pengembangan wilayah, atau kota besar 2. Jangkauan pelayanan 50 – 100 km

3. Jumlah penduduk 100 – 500 ribu

4. Berorientasi ke kota orde I dengan fasilitas yang kurang lengkap dibanding orde I

5. Terletak pada jalan nasional atau jalan provinsi

6. Memiliki terminal penumpang, memiliki perusahaan industri terutama agro industri

7. penyedia tenaga kerja, serta fasilitas jasa seperti perbankan dan pasar 8. memiliki pelayanan rumah sakit, dan sekolah-sekolah menengah umum,

ataupun kadang-kadang universitas. Kota Orde III 1. Ibukota kabupaten atau kota administratif

2. Jangkauan pelayanan 15 – 50 km 3. Jumlah penduduk 20 – 100 ribu 4. berorientasi ke kota ode II

5. terletak pada jalan propinsi atau jalan kabupaten sebagai kota

6. berfungsi penghubung perdesaan dan perkotaan, melayani kebutuhan perdesaan dan merupakan pusat wilayah perdesaan yang terbesar 7. memiliki beberapa pelayanan yang sering dilakukan walaupun tidak tiap

hari seperti pasar, penyimpanan produksi, penyortiran produksi pertanian, juga termasuk jasa keuangan, perdagangan, pertukaran barang, jasa pengangkutan.

8. Jasa lain ialah pendidikan, kesehatan, sosial, dan administrasi Kota Oede IV 1. Ibukota kecamatan

2. Jangkauan pelayanan 7,5 – 15 km 3. Jumlah penduduk 5 – 20 ribu 4. berorientasi ke kota orde III 5. terletak pada jalan kabupaten

Tabel 2 (lanjutan)

(1) (2)

6. berfungsi sebagai pelayanan langsung jasa distribusi barang-barang kebutuhan perdesaan yang diperoleh dari kota orde di atasnya, dan tempat mengumpulkan hasil-hasil dari daerah perdesaan dan membawanya ke kota orde di atasnya

7. tersedia pasar kecil dan fasilitas penyimpanan sementara hasil-hasil pertanian.

8. terdapat fasilitas pendidikan formal ataupun informasl.

Sumber: Sinulingga, 2005

Gambar 3. Susunan Orde Kota Dalam Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) (Sinulingga, 2005)

Dokumen terkait