• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Nilai Lahan Berdasarkan NJOP

Mengacu pada UU No. 12 Tahun 1985 dan perubahannya UU No. 12 Tahun 1994, dasar pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (sales value = NJOP), yaitu harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar. Bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Objek Pajak pengganti. NJOP ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu (seperti DKI Jakarta) ditetapkan setiap tahun sesuai perkembangan daerahnya.

Berdasarkan ketentuan di atas, maka nilai pajak bumi dan bangunan dapat digunakan untuk menentukan nilai jual tanah, sebagai bentuk nilai guna lahan berdasarkan kelompok atau klasifikasi kelas dan bangunan. Nilai pajak bumi dan bangunan memberikan gambaran pula tentang kebijakan terkait dengan intervensi pemerintah ke dalam pasar tanah. Dengan penetapan PBB ini dapat digunakan sebagai dasar pengendalian penggunaan tanah sesuai dengan penerapan insentif dan disinsentif dalam zoning lahan.

Diferensiasi penggunaan lahan yang diuraikan terdahulu telah mempertimbangkan keberadaan jalur transportasi, titik pertumbuhan (growing points), peraturan zoning, sehingga gambaran nilai guna lahan di setiap kategori guna lahan tersebut dapat dilihat dari kelas PBB. Berdasarkan hasil pencatatan di beberapa sub zona di KBU digambarkan NJOP terendah dan tertinggi di desa yang dilayani setip pusat pertumbuhan (kota) dapat dilihat pada Tabel 38.

Berdasarkan data pada Tabel 38, hirarki kota orde II, orde-III dan orde- IV merupakan orde dalam pengaruh orde-I Kota Bandung, memiliki NJOP pada setiap kelasnya berbeda. Untuk pusat pertumbuhan Cikalong Wetan (orde-IV) yang memiliki lokasi terjauh dari built-up area kota Bandung (28 km) yang dihubungkan arteri primer dan jalan negara di pusat kotanya memiliki nilai NJOP sebesar Rp200 000 per m2, namun daerah hinterlandnya menunjukkan kelas tanah yang masuk kelas lahan desa, dengan nilai lahan terendah Rp10 000/m2 dan nilai tertinggi Rp20 000/m2. Sementara itu dalam hirarki kota yang sama (Orde-IV) yakni Kecamatan Cimenyan memiliki nilai lahan di pusat kota Rp464 000/m2

dengan daerah hinterlandnya memiliki nilai terendah Rp10 000/m2 dan nilai tertinggi Rp200 000/m2. Kondisi ini lebih dipengaruhi oleh jarak dari built-up area Kota Bandung, dimana Kota Cimenyan hanya berkisar 4,5 km. Selain itu di Cimenyan telah tumbuh menjadi daerah perumahan sebanyak 68 izin, dan resort pariwisata sebanyak 323 izin, sedangkan di Cikalong Wetan hanya dipengaruhi oleh kedudukannya sebagai pusat pasar lokal dan adanya 200 izin perumahan Untuk orde – III, menunjukan nilai lahan yang ekstrim yakni sebesar Rp2 013 000 per m2 untuk pusat Kota Parongpong, sementara untuk kota Cisarua dan Ngamprah dengan nilai Rp128 000/m2 dan Rp285 000/m2. Tingginya nilai tanah di Parongpong, lebih disebabkan oleh banyaknya daerah terbangun yakni perumahan (476 izin), resort pariwisata (1 izin), villa real estate (128 izin), dan bangunan gedung (23 izin), serta kedekatannya dengan built-up area kota Bandung. Sedangkan di Cisarua hanya terdapat 21 izin bangunan gedung serta sebagai pusat pelayanan kota kecamatan dan pasar lokal, dan di Kota Ngamprah sebanyak 1511 izin. Namun demikian dari ketiga pusat pertumbuhan tersebut, masih memiliki daerah hinterland-nya nilai tanah kelas desa yakni Rp10 000/m2, sedangkan nilai lahan hinterland tertinggi berada di Parongpong sebesar Rp464 000/m2, kemudian Cisarua Rp82 000/m2 dan Ngamprah Rp48 000/m2.

2. Nilai Lahan Berdasarkan Harga Jual Setempat

Berdasarkan hasil wawancara terhadap 38 responden, guna lahan tempat bekerja penduduk dalam kegiatan pertanian di KBU adalah guna lahan sawah, kebun sayuran, tegalan, pekarangan, serta kawasan hutan perhutani. Untuk mengetahui curva sewa lahan pertanian, maka guna lahan pekarangan dan guna lahan hutan tidak dimasukkan pada kategori guna lahan pertanian. tetapi masing- masing dimasukkan dalam guna lahan permukiman dan guna lahan hutan. Sedangkan lahan permukiman dimaksud adalah lahan yang telah siap dibangun atau sudah berdiri bangunan di atasnya.

Tabel 38. NJOP Beberapa Pusat Pertumbuhan dan Daerah Hinterland-nya di KBU

Nama Kota/ Kec Hirarki Kota

Jarak dari built up- area Kota Bandung (km) Fungsi Jalan utama NJOP Pusat Kota (Rp/m2)

Kelas Pajak Bumi Daerah Hinterland Terendah (Rp/mNJOP 2) Tertinggi NJOP (Rp/m2)

Cikalong Wetan Orde-IV 28 AP 200.000 A37 10.000 A35 20.000

Cisarua Orde-III 7,2 AT 128.000 A37 10.000 A29 82.000

Parongpong Orde-III 5,8 AT 2.013.000 A37 10.000 A21 464.000

Ngamprah Orde-III 6,7 AT 285.000 A37 10.000 A32 48.000

Cimahi Utara Orde-II 8,7 AT 464.000 A32 48.000 A22 394.000

Lembang Orde-II 8,6 AP 464.000 A37 10.000 A24 285.000

Berdasarkan analisis regresi dengan metode stepwise diketahui bahwa variabel yang mempengaruhi nilai tanah pertanian adalah kategori zona dimana lokasi tanah berada (x1), sementara itu variabel hirarki kota (x2) tidak

berpengaruh nyata. Model regresi linier yang dihasilkan adalah y = 232765,05 – 1830,494x1 dengan r2 sebesar 81,3% dan p value sebesar 0.000. Sedangkan

variabel yang mempengaruhi nilai tanah untuk permukiman adalah kategor zona dimana lokasi tanah berada (x1), sementara itu variabel hirarki kota (x2), jarak

dari jalan (x3), jarak dari sungai (x4), jarak dari mata air (x5), jarak dari hutan (x6)

dan topografi (x7) tidak berpengaruh nyata. Model regresi yang dihasilkan adalah

y = 486161,990-3210,089x1 dengan r2 sebesar 78,7% dan p value sebesar 0.000.

Adapun sebaran nilai jual setempat hasil regresi dapat dilihat pada Tabel 39 dan Gambar 23.

Tabel 39. Nilai Tanah Berdasarkan Nilai Jual Setempat di KBU Zona Lahan % Lahan Rural Harga Jual Lahan

Permukiman (Rp/m2)

Harga Jual Lahan Pertanian (Rp/m2) Urban area 0 - 10 486 162 – 454 061 232 765 -214 460 Urban fringe 10 - 40 454 061 – 357 758 214 460 – 159 545 Urral fringe 40 - 60 357 758 – 293 557 159 545 – 122 935 Rural fringe 60 - 90 293 557 – 197 254 122 935 – 68 021 Rural Area 90 - 100 197 254 – 165 153 68 021- 49 716

Gambar 23. Curva Bid-Rent Nilai Tanah Berdasarkan Harga Jual Tanah di KBU Sementara itu Sutawijaya (2004) berdasarkan hasil penelitian di Kota Semarang menyimpulkan bahwa faktor kepadatan penduduk, jarak ke pusat kota, lebar jalan, kondisi jalan, ketersediaan sarana transportasi angkutan umum bus/

- 50.000 100.000 150.000 200.000 250.000 300.000 350.000 400.000 450.000 500.000 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 N il a i L a h a n ( R p /m 2)

Persen Guna Lahan Rural (%)

angkot, dan yang terakhir adalah faktor lingkungan yang bebas banjir sangat berpengaruh terhadap nilai tanah untuk permukiman.

2. Berdasarkan Nilai Harapan Tanah Pertanian

Nilai harapan tanah didasarkan pada nilai saat sekarang (NPV) produktivitas tanah pertanian dihitung berdasarkan profit dari budi daya tanaman pertanian. Tingkat suku bunga yang dipakai adalah suku bunga riil yakni selisih re-rata BI rate dengan re-rata inflasi setiap bulan selama tahun 2009. Adapun re- rata BI rate dan inflasi mulai dari Januari sampai Desember 2009 yang diumumkan Bank Indonesia masing-masing adalah 7,15% dan 4,90%, sehingga bunga riilnya adalah 2,5%. Waktu yang ditetapkan adalah selama 20 tahun, yakni analog lamanya masa pakai bangunan. Besarnya bunga riil dan waktu tersebut sebagai dasar perhitungan NHT dengan menghitung NPV yang akan dijadikan patokan menilai besarnya insentif atau disinsentif dalam menahan perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi lahan permukiman. Sebagai gambaran luas tanam dan rata-rata produksi pertanian dan ladang di di Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi dalam KBU dapat dilihat pada Tabel 40.

Tabel 40. Luas Tanam dan Re-rata Produksi Pertanian dan Ladang/Kebun di Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi dalam KBU

No Kecamatan Pertanian Ladang/Tegalan Luas tanam (ha) Re-rata Produksi (kwintal/ha)

Luas tanam (ha)

Re-rata Produksi (kwintal/ha) I Kab.Bandung*) 104.078,0000 85,4200 79.070,2000 2.333,5500 1 Ngamprah 1.134,0000 86,9100 560,5000 816,6100 2 Cimenyan 448,0000 53,5400 4.422,0000 1.399,0500 3 Cikalong Wetan 3.842,0000 84,3700 7.040,0000 691,9000 4 Lembang 336,0000 42,2200 1.834,0500 1.324,6900 5 Cisarua 1.175,0000 73,6700 1.093,0000 1.771,2100 6 Parongpong 237,0000 8,9700 1.057,0070 1.932,1500 7 Cileunyi 1.448,0000 72,9200 399,0005 856,5800 8 Cilengkrang 644,0000 65,0700 1.275,0000 1.070,0000 II Kota Cimahi 212,0000 55,0500 234,0000 531,0700 9 Cimahi Utara 104,0000 56,3000 138,0000 533,8700 10 Cimahi Tengah 79,0000 59,3600 68,0000 256,1400

*) Sebelum pecah mennjadi Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat

Sumber: Hasil Pengolahan Kabupaten Bandung Dalam Angka 2002; Hasil Pengolahan Kota Cimahi Dalam Angka 2002 (Dinas Tata Ruang dan Permukiman Jawa Barat, 2004)

Berdasarkan hasil analisis regresi menggunakan metode stepwise diketahui bahwa variabel yang mempengaruhi nilai harapan tanah pertanian adalah kategori zona dimana lokasi tanah berada (x1), sementara itu variabel

hirarki kota (x2) tidak berpengaruh nyata, dengan model regresi y = 84411,263 –

341,166x1 dengan r2 sebesar 31,3% dan p value sebesar 0.000. Meskipun nilai

itersepsi nya kecil, berdasarkan model regresi ini bisa dijelaskan bahwa semakin zona nya ke tingkat kekotaan (urban) maka semakin besar nilai harapan tanah pertanian dan semakin ke tingkat kedesaan (rural) semakin kecil nilai harapan tanahnya. Adapun NHT lahan pertanian yang ada di zona kekotaan sebesar Rp84 411 per m2 kemudian menurun sampai di zona kedesaan sebesar Rp50 295 per m2. Kondisi ini dapat dibaca bahwa semakin dekat lahan pertanian ke kota, dengan lahan garapannya yang semakin sempit dan banyak alternatif penggunaan lahannya, maka petani semakin rasional dengan menanam tanaman atau komoditas yang memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi. Sedangkan di daerah kedesaan, dimana kepemilikan lahan masih luas, para petani belum terdorong untuk menanam tanaman yang bernilai lebih tinggi tetapi hanya menanam atau membudidayakan komoditas yang sudah biasa mereka lakukan. Dengan kelerengan kurva yang agak datar, berarti nilai produktivitas lahan pertanian antara lahan pertanian di kota dan di desa tidak jauh berbeda. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 41 dan Gambar 24.

Tabel 41. Nilai Tanah Pertanian Berdasarkan NHT di KBU Zona Guna Lahan Persen Lahan Rural (%) NHT (Rp/m 2 ) Urban Area 0 – 10 84 411 – 81 000 Urban Fringe 10 – 40 81 000 – 70 765 Urral Fringe 40 – 60 70 765 – 63 941 Rural Fringe 60 – 90 63 941 – 53 706 Rural Area 90 – 100 53 706 – 50 295

Gambar 24. Curva Nilai Harapan Tanah Pertanian di KBU

2. Nilai Bangunan Perumahan

Konversi lahan untuk tujuan pemukiman dan prasarana sosial ekonomi khususnya di wilayah urban tidak dapat dihindari baik di Jawa maupun di Luar Jawa (Rusastra et al., 1997). Bahkan di luar Jawa kecenderungannya meningkat. Menurut

Rusastra dan Budhi (1997) di Banjarmasin banyak terjadi koversi lahan sawah di daerah urban dan semi-urban akibat perluasan pemukiman. Selanjutnya dikatakan Irawan et al (2000), keadaan ini dapat memicu konversi lebih luas lagi. Karena

pembangunan pemukiman tersebut akan diikuti oleh pembangunan prasarana ekonomi. Dari sisi pertanian hal tersebut akan mengganggu ekosistem sawah berupa gangguan hama, kurangnya penyinaran, dan gangguan tata air. Artinya konversi lahan sifatnya cenderung akseleratif.

Untuk mengetahui besarnya pertambahan nilai lahan menjadi bangunan, akan dihitung nilai rumah per satuan luas di setiap zona guna lahan. Berdasarkan hasil analisis regresi dengan metode stepwise diketahui bahwa variabel yang mempengaruhi nilai bangunan adalah kategori zona dimana lokasi rumah berada (x1), sementara itu variabel hirarki kota (x2), bentuk rumah (x3), tipe rumah (x4),

jarak dari jalan (x3), dan topografi (x6) tidak berpengaruh nyata. Model regresi

yang dihasilkan adalah Y = 3276509,126 – 31059,640x1 dengan r2 sebesar 94,0%

dan p value sebesar 0.000. Berdasarkan model regresi ini dapat dijelaskan bahwa semakin zona nya mengarah ke tingkat kekotaan (urban area) maka nilai bangunan rumah semakin besar atau dengan kata lain bahwa semakin dekat jarak

- 10.000 20.000 30.000 40.000 50.000 60.000 70.000 80.000 90.000 100.000 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 N il a i L a h a n ( R p /m 2)

lokasi rumah terhadap built-up area (pusat pertumbuhan), maka semakin besar nilai bangunan rumahnya.

Guna lahan sawah di KBU yang umumnya sempit dan mulai terfragmentasi oleh rumah yang dibangun oleh masyarakat, sehingga areal garapan lahan sawah ± 1.294 m2 (0,1294 ha)

Guna lahan kebun sayuran di lahan kering yang umumnya juga sempit dan mulai terfragmentasi oleh rumah penduduk, sehingga areal garapan kebun sayur rata-rata 3.932 m2 (0,3932 ha)

Guna lahan tegalan dikelola kurang intensif dibandingkan usaha tanaman lainnya, tanpa pemeliharaan, umumnya dikombinasikan antara pohon, pisang dan rumput gajah. Selain itu, tegalan ini tempat mengambil rumput liar dan kayu bakar

Rumput gajah ini umumnya di tanam secara tersendiri di tegalan atau dibawah tegakan pohon.

Gambar 25. Komoditas pertanian pada berbagai guna lahan di KBU Tabel 42. Nilai Bangunan Rumah di KBU Berdasarkan Zona Guna Lahan

Zona Guna Lahan Persen Lahan Rural (%) Nilai bangunan (Rp/m2) Urban Area 0 – 10 3 276 509 - 3 017 436 Urban Fringe 10 – 40 3 017 436 – 2 240 216 Urral Fringe 40 – 60 2 240 216 – 1 722 069 Rural Fringe 60 - 90 1 722 069 – 944 849 Rural Area 90 - 100 944 849 – 685 776

Gambar 26. Curva Bid-Rent Bangunan Rumah di KBU

Dokumen terkait