• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keberadaan orde kota, disamping kekuatan lainnya, mempunyai pengaruh pada pola persebaran jenis penggunaan lahan di kota. Interaksi yang berjalan antar berbagai elemen lingkungan telah menciptakan kekhasan pola. Yunus (2005) telah mengklasifikasikan 5 model pendekatan untuk melakukan kajian terhadap keadan

Orde pertama

Orde kedua Orde ketiga Orde keempat

penggunaan lahan kota, yaitu (1) pendekatan ekologi, (2) pendekatan ekonomi, (3) pendekatan morfologi, (4) pendekatan sistem kegiatan dan (5) pendekatan ekologi faktorial. Keterkaitan dengan disertasi, maka akan dibahas 3 pendekatan saja yaitu pendekatan ekologi, pendekatan ekonomi dan pendekatan morfologi.

Menurut Jayadinata (1999), penggunaan lahan kota didasarkan pada teori konsentrik, teori sektoral, dan teori pusat lipatganda. Selanjutnya dikatakan bahwa teori konsentrik dikembangkan oleh E.W. Burgess yang membagi kota kedalam pusat kota, jalur transisi, jalur perumahan buruh, jalur permukiman kaum menengah dan lajur penglaju. Sedangkan menurut Rustiadi et al (2009), teori konsentrik ini

kemudian dikembangkan dan dimodifikasi oleh Sinclair seperti yang diilustrasikan pada Gambar 4.

Gambar 3. Dua pola penggunaan lahan konsentris (Rustiadi et al, 2009) Menurut Jayadinata (1999) dan Rustiadi et al (2009), teori sektoral

dikembangkan oleh Homer Hoyt dari hasil pengamatannya di kota-kota di Amerika Serikat yang menggambarkan bahwa kota dapat tersusun dengan urutan (1) aktivitas pusat kota (CBD), (2) pada sektor tertentu terdapat kawasan industri ringan dan

1 2 2 3 3 4 4 5 5

a. Konsep Zona Konsentris Burgess 1925

1 2 2 3 3 4 4 5 5

b. Konsep Zona Konsentris Sinclair 1967 1. Zona Bisnis

2. Zona Transisi

3. Zona Permukiman Pekerja

4. Zona Permukiman yang lebih baik 5. Zona Penglaju

1 Dikuasai para spekulator 2 Petani masa pendek/spekulan 3 Petani peralihan

4 Pemerahan susu 5 Lain-lain

perdagangan, (3) kawasan perumahan untuk tenaga kerja, (4), permukiman dengan pendapatan menengah, dan (5) kawasan tempat tinggal golongan atas.

Sementara itu teori lipatganda (multiple nuclei model) menurut Jayadinata

(1999) dan Pontoh dan Kustiawan (2009) dikembangkan oleh Harris dan Ullman tahun 1945 yang mengemukakan bahwa pusat pertumbuhan kota yang bermula dari satu pusat menjadi ruwet bentuknya. Hal ini disebabkan oleh munculnya pusat-pusat tambahan yang masing-masing akan berfungsi menjadi kutub pertumbuhan. Di sekeliling nukleus-nukleus baru itu akan mengelompok tata guna tanah yang bersambungan secara fungsional. Keadaan seperti ini akan melahirkan struktur kota yang memiliki sel-sel pertumbuhan.

1. Pendekatan ekologi

Menurut Yunus (2005), prinsip dasar dari pendekatan ekologi adalah proses- proses ekologi pada masyarakat manusia mirip dengan apa yang terjadi pada masyarakat tumbuh-tumbuhan atau satwa. Proses impersonal ini antara lain (a) membutuhkan tempat tinggal, (b) mengembangkan keturunannya dan (c) membutuhkan tempat untuk mencari makan. Proses tersebut sangat jelas terlihat pada suatu kota melalui sistem sosial yang ada dan kemudian menghasilkan pola diferensial sosial dan pola diferensial penggunaan lahan.

Dalam penjelasannya Yunus (2005) mengatakan bahwa sebagaimana dinamika ekologi dalam dunia tumbuhan, dalam pendekatan ekologi ini juga dikenal proses suksesi sampai klimaks melalui kompetisi ekologi yang kompleks hingga terjadinya dominansi kelompok sosial dan ekonomi tertentu membentuk suatu “natural area” dengan keseragaman sifat-sifat. Kunto (2008) mengidentifikasi nama- nama komplek permukiman di Kota Bandung seperti Babakan Surabaya, Kampung Jawa, Babakan Tarogong, Babakan Ciamis, Babakan Ciamis, Babakan Bogor, merupakan dominansi etnis tertentu dalam wilayah tersebut.

2. Pendekatan ekonomi (economic approach)

Pontoh dan Setiawan (2009) menjelaskan bahwa pendekatan ekonomi didasarkan pada pemahaman bahwa nilai lahan, rent dan cost mempunyai kaitan yang erat dengan pola penggunaan lahan. Selanjutnya dikatakan bahwa yang dapat

menjelaskan perbedaan pola penggunaan lahan adalah Teori Sewa Lahan, dan Teori Nilai Lahan.

Nilai pasar lahan adalah nilai sekarang dari aliran pendapatan sewa yang dihasilkan oleh lahan. Sedangkan rente adalah harga, atau income dari, lahan dan

property lahan dihitung per satuan waktu. Konsep ini disebut the contract rent. Bagi

penyewa, pembayaran contract-rent adalah biaya operasional. Dari sudut pandang investor, rente adalah return of investment diantara perbedaan kemungkinan investasi.

Rente dibayar oleh user untuk real estates mengganti opportunity cost bagi investor,

yang menggambarkan simpanan keuntungan mereka dari investasi alternatif (Hubacek dan Vazquez, 2002).

Rente Lahan dalam pandangan klasik adalah pendapatan yang dihasilkan dari penjualan jasa suatu unit lahan, terlepas dari jasa modal atau buruh. Oleh karena itu rente lahan merupakan gambaran pertumbuhan keuntungan ekonomi lahan dalam kegiatan produksi. Perbedaan kapasitas rent-paying atau perbedaan kelas lahan

seringkali digambarkan dalam terma perbedaan lokasi atau perbedaan kualitas lahan. Ukuran perbedaan lokasi terdiri atas kedekatannya terhadap air, infrastruktur, fasilitas-fasilitas, dan pusat budaya; sedangkan ukuran kelas laham meliputi tipe tanah atau faktor yang berkaitan dengan iklim, atau faktor buatan manusia seperti bangunan. Akhirnya, para ekonom seringkali memandang lahan sebagai bagian dari kapital, yang mana rente dibayar lebih dari harga supply. Dalam pandangan ini, rente didefinisikan sebagai surplus ekonomi dalam jangka pendek setelah semua faktor produksi dapat dibayar, oleh karena kondisi supply dan demand lahan yang tidak dapat diperluas. Dalam jangka panjang, dengan asumsi kompetisi sempurna, kondisi supply dan demand lahan akan menjadi seimbang, dan phenomena rente ekonomi lahan menjadi hilang. Tetapi perbedaan kapasitas guna lahan yang memberikan basis rente lahan tidak akan hilang dengan terjadinya keseimbangan supply dan demand tersebut (Wessel, 1967 dalam Hubacek dan Vazquez, 2002). Selanjutnya menurut Nasution (1997) dalam Sugiharto (2006), lahan mempunyai lima jenis rente yakni rente ricardian, rente lokasi, rente lingkungan, rente sosial, dan rente publik.

Kaitannya dengan pola guna lahan rente lahan banyak didasarkan pada rente lokasi, dengan teori utama yang mendukung pendekatan ini adalah teori sewa lahan.

Menurut Yunus (2005) yang mengutip pendapat Haig (1926), bahwa sewa lahan ini merupakan bentuk pembayaran untuk aksesibilitas atau penghematan untuk biaya transportasi dan ini akan berkaitan dengan proses penawaran (bidding process) dalam

menentukan siapa yang berhak untuk menempati suatu lokasi, sebagai upaya untuk minimasi friksi ruang yang meliputi biaya transportasi dan lokasi, yang digambarkan segitiga pada Gambar 5 berikut.

Gambar 5. Konsep Segitiga Dalam Menentukan Minimasi Biaya Friksi Ruang (Yunus, 2005, hal. 65)

Menurut Rustiadi et al (2009), dalam mekanisme pasar, kegiatan-kegiatan

yang mempunyai nilai rente lahan yang lebih tinggi mampu menggeser kegiatan- kegiatan yang mempunyai rente lahan yang lebih rendah, hal ini karena rente lahan yang lebih tinggi memiliki posisi tawarnya (bergaining position) cenderung lebih tinggi, sehingga menimbulkan suatu land rent gradient. Dalam penggunaan lahan,

adanya land rent gradient akan mempengaruhi dinamika penggunaannya, urutan nilai

rente lahan dari yang tertinggi hingga terendah adalah perdagangan, industri, permukiman, pertanian intensif, pertanian ekstensif dan kehutanan (Gambar 6).

Kondisi penggunaan model penentuan penggunaan lahan tersebut dapat digunakan dengan asumsi bahwa derajat aksesibilitas ke segala arah menunjukkan keseragaman, namun pada kenyataannya tidak demikian. Selain konsep di atas, dalam pendekatan ekonomi ini telah muncul lebih dulu model teori permintaan tanah yang dikembangkan pertama kali oleh Von Thunen pada tahun 1826. Menurut Sutawijaya (2004), model ini merupakan suatu model sewa tanah pada sektor pertanian yang menyatakan bahwa ada sebuah tempat sentral (kota) dengan dikelilingi oleh dataran luas, di mana kebutuhan makanan untuk kota tersebut disediakan oleh daerah-daerah

Rente

Lokasi Biaya Transportasi

sekitarnya, dengan anggapan-anggapan yang dipakai dalam model ini adalah hanya ada satu kota yang tidak mempunyai dan tidak cukup untuk kegiatan pertanian, tanah di sekitar perkotaan hanya digunakan untuk pertanian dan mempunyai kurva penawaran tanah yang inelastis sempurna, biaya transportasi proporsional terhadap

jarak dari kota, dan produksi pertanian mempunyai skala hasil yang tetap.

Menurut hasil penelitian Sutawijaya (2004) di Kota Semarang, faktor-faktor yang mempengaruhi nilai lahan adalah kepadatan penduduk yang berpengaruh positif 0,299%. Faktor jarak memiliki pengaruh negatif terhadap nilai-nilai tanah sebesar 0,162% jika jarak meningkat sebesar 1% dari pusat kota. Lebar jalan akan memberikan dampak positif terhadap nilai tanah sebesar 0,402% jika pertambahan lebar jalan sebesar 1%. Kondisi jalan raya akan memberikan nilai lahan positif 0,208% jika ada fasilitas transit di lokasi objek. Sedangkan faktor terakhir adalah bebas dari banjir, yang memberikan efek positif pada nilai-nilai tanah sebesar 0,212% jika tidak ada banjir di lokasi objek.

dA dB dC dD dE Pusat kota LR LRA LRB LRC LRD LRE D B C A E A: Jasa/komersil B: Industri manufaktur C: Perumahan D: Pertanian inetnsif E: Pertanian ekstensif

Menurut Konagaya (1998), model Von Thünen merupakan model normatif yang mana hanya ada satu guna lahan mendominasi di setiap areal, sehingga tidak dapat menyesuaikan dengan ratio data ril. Berdasarkan hal itu, kemudian Konagaya mengembangkan Model Thunen normatif menjadi suatu model yang disebut model GTM (Generelized Thunen Model) guna meningkatkan kinerja explanatory dan

memiliki gabungan gambar instuitif dari ‘gerakan batas guna lahan’ dengan dasar- dasar teori eksakta, yang disediakan untuk memprediksi perubahan guna lahan di masa depan. Model ini telah diterapkan dalam memprediksi perubahan guna lahan di Sumatra dan Pula Jawa. Perbedaan antara Model Thünen (1826) dengan Model GTM (Konagaya, 1998) dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Perbandingan Model Thunen dan Model Generalized Thunen

Fungsi ratio guna lahan

Jarak dari kota

Guna Lahan Kota Guna Lahan Pertanian

Guna Lahan Kehutanan

Lokasi Kota

Jarak dari kota Fungsi ratio guna lahan

1

0

1

0

Gambar a. Model Thünen (1826) Gambar b. Model Generalized Thünen (GTM) (Konagaya, 1998)

Dengan menggunakan model GTM, Konagaya (2001) telah berhasil menggambarkan pergeseran batas guna lahan, dan memprediksi perubahan guna lahan di masa depan. Model GTM ini telah diaplikasikan untuk data di Indonesia dalam menggambarkan pengaruh dua regulasi dalam perubahan guna lahan di Sumatra, dan memprediksi profile guna lahan sampai 2025 di Jawa yang memperingatkan akan kehilangan hutan di ruas antara Jakarta dan Bandung. Kemudian Zhang dan Laband (2004), dengan menggunakan model Von Thunen telah melakukan penelitian tentang konsekwensi dari regulasi reforestasi di Amerika Serikat.; Venables dan Limao (1999) telah memodifikasi model von Thunen menjadi model Heckscher-Ohlin-Von Thunen dalam penelitian pola perdagangan dan produksi di berbagai negara dengan lokasi yang berbeda dari pusat kota.

3. Pendekatan morfologi kota (urban morphological approach)

Menurut Pontoh dan Setiawan (2009), pendekatan morfologi kota memfokuskan perhatian pada bentuk-bentuk fisikal kawasan perkotaan yang tercermin dari jenis penggunaan lahan, sistem jaringan jalan, dan blok-blok bangunan, townscape, urban sprawl, dan pola jaringan jalan sebagai indikator

morfologi kota. Selanjutnya Smailes (1955) dalam Yunus (2005), telah memperkenalkan lebih dulu 3 unsur morfologi kota yaitu (1) unsur-unsur penggunaan lahan, (2) pola-pola jalan dan (3) tipe bangunan

.

Pola-pola Jalan

Pola-pola jaringan jalan akan membentuk sistem transportasi. Kaitannya dengan tata guna lahan, pergerakan lalu lintas merupakan fungsi dari tata guna lahan yang menghasilkan bangkitan lalu lintas. Bangkitan lalu lintas ini mencakup (1) lalu lintas yang meninggalkan suatu lokasi, dan (2) lalu lintas yang menuju atau tiba ke suatu lokasi, seperti diilustrasikan pada Gambar 8 (Tamin, 2000).

Gambar 8. Bangkitan dan Tarikan Pergerakan (Tamin, 2000)

Jenis tata guna lahan yang berbeda (permukiman, pendidikan, dan komersial) mempunyai bangkitan lalu lintas yang berbeda dalam jumlah arus lalu lintas, jenis lalu lintas (pejalan kaki, truk, mobil), serta lalu lintas pada waktu tertentu. Jumlah dan jenis lalu lintas yang dihasilkan oleh setiap tata guna lahan merupakan hasil dari fungsi parameter sosial dan ekonomi, seperti contoh di Amerika Serikat (Black, 1978 dalam Tamin, 2000):

 1 ha perumahan menghasilkan 60 – 70 pergerakan per minggu

 1 ha perkantoran menghasilkan 700 pergerakan kendaraan per hari, dan

 1 ha tempat parkir umum menghasilkan 12 pergerakan kendaraan per hari. Contoh lain (juga di Amerika Serikat) sebagaimana Tabel 3.

Tabel 3. Bangkitan dan tarikan pergerakan dari beberapa aktivitas tata guna lahan Deskripsi aktivitas tata guna

lahan

Rata-rata jumlah pergerakan

kendaraan per 100 m2 Jumlah kajian Pasar swalayan

Pertokoan lokal Pusat pertokoan Restoran siap saji Restoran Gedung perkantoran Rumah sakit Perpustakaan Daerah industri 136 85 38 595 60 13 18 45 5 3 21 38 6 3 22 12 2 98

Sumber: Black (1978) dalam Tamin (2000)

i d

Bangkitan pergerakan bukan saja beragam dalam jenis tata guna lahan, tetapi juga tingkat aktivitasnya. Semakin tinggi tingkat penggunaan sebidang tanah, semakin tinggi pergerakan arus lalulintas yang dihasilkannya. Salah satu ukuran intensitas aktivitas sebidang tanah adalah kepadatannya. Tabel 4 memperlihatkan bangkitan lalulintas dari suatu daerah permukiman yang mempunyai tingkat kepadatan berbeda di Inggris (Black, 1978 dalam Tamin, 2000).

Tabel 4. Bangkitan lalulintas, jenis perumahan dan kepadatannya Jenis perumahan Kepadatan permukiman (keluarga/ha) Pergerakan per hari Bangkitan pergerakan per ha

Permukiman di luar kota Permukiman di batas kota Unit rumah Flat tinggi 15 45 80 100 10 7 5 5 150 315 400 500

Sumber: Black (1978) dalam Tamin (2000)

Berdasarkan data di atas, walaupun arus lalu lintas terbesar yang dibangkitkan dari daerah permukiman di luar kota, bangkitan lalulintasnya terkecil karena intensitas aktivitasnya (dihitung dari tingkat kepadatan permukiman) paling rendah. Karena bangkitan lalu lintas berkaitan dengan jenis dan intensitas perumahan, maka hubungan antara bangkitan lalulintas dan kepadatan permukiman menjadi tidak linear (Tamin, 2000).

Pola sebaran arus lalulintas antara zona i ke zona tujuan d adalah hasil dari

dua hal yang terjadi secara bersamaan, yaitu lokasi dan intensitas tata guna lahan yang akan menghasilkan arus lalulintas, dan pemisahan ruang, interaksi antara dua buah tata guna lahan yang akan menghasilkan pergerakan manusia dan/atau barang. Daya tarik suatu tata guna lahan akan berkurang dengan meningkatnya jarak (dampak pemisahan ruang). Tata guna lahan cenderung menarik pergerakan lalu lintas dari tempat yang lebih dekat dibandingkan dengan dari tempat yang lebih jauh. Pergerakan lalu lintas yang dihasilkan juga akan lebih banyak yang berjarak pendek daripada jarak yang berjarak jauh. Interaksi antar daerah sebagai fungsi dari intensitas setiap daerah dan jarak antar kedua daerah tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5. Interaksi Antar Daerah

Jarak

Jauh Interaksi dapat diabaikan Interaksi rendah Intensitas menengah Dekat Interaksi rendah Interaksi

menengah

Interaksi sangat tinggi

Intensitas tata guna lahan antara

dua zona Kecil – kecil Kecil – besar Besar - besar

Sumber: Black (1978) dalam Tamin (2000)

Berdasarkan uraian di atas, maka untuk mengetahui jenis tata guna lahan dapat diketahui dari hasil analisis lalu lintas yang ada di suatu wilayah terutama dari komponen bangkitan dan tarikan pergerakan lalu lintas.

Penggunaan lahan sebagai deferensiator tata ruang regional

Bentuk dasar morfologi kota di atas lebih ditekankan pada struktur keruangan kota lokal dalam artian bahwa struktur keruangan yang ditinjau terbatas pada areal kekotaan yang secara morfologis kompak dan bentuk penggunaan lahan seluruhnya berorientasi non-agraris. Kaitannya dengan penggunaan lahan untuk lahan kota dan desa, dilakukan melalui analisis “regional city” (kota regional). Menurut Pontoh dan Setiawan (2009), untuk membedakan jenis penggunaan lahan kekotaan dan penggunaan lahan kedesaan, pada umumnya berkaitan dengan lahan pertanian, karena sebagian besar jenis (dominansi) penggunaan tanah kedesaan selalu berorientasi dengan kegiatan pertanian, sebaliknya di kota adalah berkaitan dengan penggunaan lahan non-pertanian. Permasalahan utama sebenarnya terletak pada daerah peralihan dari kenampakan “real urban” ke kenampakan “real rural”. Di daerah peralihan inilah masalah dominansi seakan-akan menjadi kabur. Proses perubahan penggunaan lahan kota ke penggunaan lahan di desa atau sebaliknya dinamakan diferensiasi

penggunaan lahan. Selanjutnya dikatakan bahwa salah satu cara perhitungan dominansi jenis penggunaan lahan kekotaan maupun kedesaan menggunakan metode segitiga penggunaan lahan desa-kota (rural-urban land use triangle) yang

dikembangkan oleh Robin Pryor pada tahun 1971. Dalam teknik ini, dihitung persentase penggunan lahan kekotaan, persentase penggunaan lahan kedesaan dan persentase jarak dari lahan kekotaan utama (built-up-land) ke lahan kedesaan utama.

Subzone yang terbentuk terdiri dari (1) urban area, (2) urban fringe, (3) rural fringe dan (4) rural area.

Kemudian Yunus (2005) mengembangkannya menjadi 5 subzone dengan subzona baru untuk diferensiasi subzone pada daerah yang terletak antara “urban fringe” dan “rural fringe”, yaitu menjadi (1) urban area, (2) urban fringe, (3) urral fringe, (4) rural fringe dan (5) rural area (Gambar 9).

Gambar 9. Segitiga Penggunaan Lahan Desa – Kota (Yunus, 2005)

Untuk memudahkan penetapan secara kuantitatif, maka batasan masing- masing subzone sebagai berikut (Yunus, 2005):

Tabel 6. Ciri Zona Guna lahan

Zona Guna lahan Penjelasan

(1) (2)

Urban area Daerah dimana 100% penggunaan lahannya berorientasi kekotaan. Urban fringe area Daerah yang sebagian besar guna lahan didominasi oleh bentuk bentuk guna lahan kekotaan atau > 60% penggunaan lahannya urban land use, dan <40% penggunaan lahannya rural land use. Tereltak dari titik perbatasan “urban built up land) sampai ke jarak 40% dari titik tersebut (jarak dihitung dari urban real sampai rural real). Terjadi perubahan transformasi struktural penggunaan lahan walau tidak secepat urban area.

Urral fringe area Daerah yang persentase guna lahan kota seimbang dengan guna lahan desa berkisar antara 40 – 60%, dan dalam jangka pendek transformasi struktural penggunaan lahan akan terjadi walaupun tidak secepat pada subzone urban fringe.

A : Persentase jarak lahan kota ke desa B : Persentase guna lahan kota C : Persentas guna lahan desa D : Batas areal built-up kota E : Batas areal desa

0 25 50 75 100 100 100 75 75 50 50 25 25 0

Urban Fringe Rural Fringe Rural - Urban Fringe

A

B C

D E

Tabel 6 (lanjutan)

(1) (2)

Rural fringe area Daerah yang sebagian besar guna lahan didominasi oleh bentuk bentuk guna lahan kedesaan atau > 60% penggunaan

lahannya rural land use, dan <40% penggunaan lahannya urban land use. Tereltak dari titik perbatasan rural sampai ke jarak 40% dari titik tersebut (jarak dihitung dari urban real sampai rural real). Terjadi perubahan transformasi struktural penggunaan lahan meskipun cukup lambat.

Rural area Daerah dimana 100% penggunaan lahannya berorientasi agraris. Pontoh dan Setiawan (2009) menyatakan urban area adalah daerah yang bentuk penggunaan lahannya betul-betul berorientasi non pertanian, sedangkan rural area adalah daerah yang bentuk penggunaan lahannya berorientasi pertanian. Sementara itu rurral-urban fringe adalah zone transisi dalam penggunaan lahan,

karakteristik dan sosial dan demografi, terteletak diantara (a) lingkungan terbangun perkotaan dan kawasan subperkotaan dari pusat kota; dan (b) kawasan penyangga kedesaan, dicirikan oleh hampir tidak ditemuinya permukiman tanpa lahan pertanian. Sedangkan Rustiadi et al (2009) menamakan daerah transisi tersebut sebagai kawasan spekulasi (Sinclair urban fringe), yang mana penggunaan lahan jangka pendek

tergantung pada rencana pembangunan yang akan datang.

Berdasarkan kondisi di atas, menurut Sinclair (2002) terkait dengan keberlanjutan pembangunan secara ekologi, rural area adalah sebagai sumber makanan dan serat (ekonomi), fitur keanekaragaman hayati dan alam (lingkungan), dan tempat tinggal dan bekerja (modal sosial). Menurut Pontoh dan Setiawan (2009) dan Russwurm (1980) dalam Yunus (2005) membagi zona antar real urban dan real rural ke dalam 3 subzona yaitu (1) inner fringe, (2) outer fringe, dan (3) urban shadow zone, seperti diilustrasikan pada Gambar 10.

Dokumen terkait