• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hirarki Pus at Aktivitas dan Keberadaan Kota Kecil dan Menengah

Distribusi spasial dari berbagai aktivitas dengan treshold yang berbeda akan mengarah pada tumbuhnya berbagai tingkatan lokasi pusat pelayanan, dan selanjutnya distribusi pusat-pusat ini akan membentuk pola spasial sistem lokasi pusat-pusat pelayanan.

Berdasarkan berbagai tinjauan teoritis dan kajian-kajian yang pernah dilakukan, dapat dipahami mengapa secara spasial kondisi pembangunan di Indonesia mengarah pada ketidakberimbangan. Munculnya wilaya h-wilayah seperti Jabotabek, Bandung Raya, dan konsep megapolitan sebagai primate center, dipicu oleh kebijakan yang bersifat urban bias dan pembangunan yang didasarkan pada teori growth pole. Akselerasi pembangunan di pusat-pusat kota dipercepat hingga melebihi share dari aktivitas ekonomi para produsen di kota- kota itu sendiri, sehingga hal ini pada akhirnya menjadi daya tarik bagi penduduk di daerah untuk pindah dan mendirikan usaha di kota.

Seperti dinyatakan oleh Smith (1976), apabila jaringan transportasi, modal, dan industri terpusat di kota, maka intensifikasi di daerah hinterland hanya akan membuat produk yang dihasilkan menjadi lebih murah dari yang seharusnya. Dalam kondisi demikian, maka sangat wajar apabila pertumbuhan pusat pasar di wilayah hinterland menjadi tidak berkembang, atau bisa dikatakan perkembangan kota-kota kecil menengah sangat terbatas.

Pada perkembangan selanjutnya, akan terjadi konsentrasi demand di kota- kota besar dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi daripada pertumbuhan

demand di daerah hinterland. Dengan demand yang sedemikian besar, maka aktivitas ekonomi di daerah hinterland (terutama yang dekat dengan primate

center) pada akhirnya bukan ditujukan untuk mengembangkan wilayah

hinterland, tetapi lebih ditujukan untuk menangkap konsentrasi demand dari pusat-pusat kota.

Keadaan ini semakin memperburuk perekonomian daerah hinterland dari

Sebagai contoh, hampir seluruh kebutuhan sehari- hari masyarakat Aceh di supply

dari Sumatera Utara, dan mayoritas masyarakat Aceh juga berbelanja ke Medan untuk memenuhi berbagai kebutuhannya, mulai dari yang primer sampai tertier.

Multiplier effects dari aktivitas perekonomian yang diharapkan bisa terjadi di Aceh malah tidak terjadi sama sekali.

Pada kondisi yang lebih ekstrim, bukan hanya regional leakages yang terjadi, tetapi national leagakes malah lebih parah lagi. Jika dicermati dalam tiga tahun belakangan ini semakin meningkatnya trend atau kecenderungan masyarakat Aceh, Sumatera Utara, Riau, dan Sumatera Barat untuk berwisata pada masa liburan, belanja, dan untuk memenuhi kebutuhan jasa pelayanan medis yang prima, memilih pergi ke Malaysia dari pada di Indonesia sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah yang mengalami leakages adalah wilayah yang tidak mampu memenuhi atau menyediakan kebutuhan masyarakat dalam wilayah itu sendiri, walaupun willingness to pay dari masyarakatnya sangat memadai.

Berikut ini, diuraikan kondisi empiris lokasi pusat-pusat hirarki dalam kaitannya dengan upaya untuk menentukan pusat pemerintahan dan pelayanan Kabupaten Aceh Timur.

Seperti ditunjukkan oleh hasil analisis skalogram pada Tabel 5, diketahui bahwa Kecamatan Idi Rayeuk menduduki urutan pertama dari sisi ketersediaan fasilitas berdasarkan jumlah jenis fasilitas, sedangkan Kecamatan Peureulak menempati urutan pertama dari sisi ketersediaan fasilitas berdasarkan jumlah fasilitas. Hal ini memang sesuai dengan kondisi riil di lapangan dimana kota Idi dan Peureulak merupakan kota ibukota kecamatan paling maju dibandingkan kota-kota ibukota kecamatan lainnya.

Berikutnya, berdasarkan jenis fasilitas yang tersedia, terlihat bahwa fasilitas listrik, komunikasi seluler, puskesmas, SD, dan SMP terdapat di hampir semua wilayah kecamatan di Kabupaten Aceh Timur. Beberapa fasilitas tertentu seperti hotel, jaringan air minum, jaringan telepon kabel, perbankan, dan perguruan tinggi hanya terdapat di wilayah tertentu saja, terutama di wilayah pusat aktivitas seperti di kota Peureulak dan Idi.

Berdasarkan analisis skalogram tersebut, Kecamatan Idi Rayeuk berada pada rangking 1, dan satu-satunya kecamatan yang masuk hirarki I. Dengan

demikian, apabila dilihat pada level kabupaten, maka wilayah Kecamatan Idi Rayeuk adalah wilayah inti, sedangkan kecamatan-kecamatan lain menjadi

hinterland-nya. Secara konseptual wilayah inti dan wilayah hinterland merupakan suatu sistem wilayah yang saling terkait secara sinergis.

Tabel 5 Hirarki kecamatan dalam Kabupaten Aceh Timur berdasarkan jumlah jenis sarana prasarana

Ranking Kecamatan Kecamatan Ibukota Jumlah Jenis Sarana dan Prasarana Jumlah Sarana dan Prasarana Hirarki 1 Idi Rayeuk I d i 33 854 I 2 Peureulak Peureulak 28 887 II

3 Julok Kuta Binje 24 648 II

4 Simpang Ulim Simpang Ulim 24 542 II

5 Pante Bidari Lhok Nibong 20 231 II

6 Birem Bayeun Birem Rayeuk 19 309 II

7 Rantau Selamat Bayeun 19 280 II

8 Darul Aman Idi Cut 18 464 II

9 Indra Makmur Seuneubok Bayu 17 219 III

10 Sungai Raya Labuhan Keude 17 161 III

11 Nurussalam Bagok 16 382 III

12 Ranto Peureulak Ranto Panyang 16 367 III

13 Serbajadi Lokop 16 257 III

14 Madat Madat 15 216 III

15 Idi Tunong Buket Teukueh 15 199 III

16 Peudawa Seuneubok Punteut 15 133 III

17 Peureulak Timur Alue Tho 14 183 III

18 Peureulak Barat Beusa Seubrang 14 161 III

19 Banda Alam Panton Rayeuk M 12 135 III

20 Simpang Jernih Simpang Jernih 9 39 III

21 Darul Ihsan Blang Aron 7 46 III

Sumber : BPS, Podes 2006 (dianalisis).

Wilayah inti berfungsi untuk mendorong dan memfasilitasi perkembangan wilayah hinterland dengan menyediakan berbagai fasilitas pelayanan yang dibutuhkan, sedangkan wilayah hinterland lebih berfungsi sebagai kawasan produksi yang bisa menjadi wilayah suplai bagi wilayah inti. Namun, karena memang pemahaman tentang keterkaitan antara wilayah inti dan hinterland masih lemah, maka program yang seharusnya ditujukan untuk mendorong keterkaitan antar wilayah, justru seolah-olah lepas dari dinamika keterkaiatan sosial ekonomi yang sudah ada. Seperti fungsi pelayanan di Kecamatan Idi Rayeuk harus

dikembangkan dan diarahkan untuk memfasilitasi perkembangan wilayah

hinterland-nya yang mengandalkan kegiatan ekonominya pada sektor pertanian. Tabel 6 Hirarki kecamatan dalam Kabupaten Aceh Timur berdasarkan

indeks perkembangan kecamatan.

Ranking Kecamatan Ibukota Kecamatan

Indeks Perkembangan Kecamatan Hirarki 1 Idi Rayeuk I d i 111 I 2 Peureulak Peureulak 68 II

3 Julok Kuta Binje 49 II

4 Simpang Ulim Simpang Ulim 40 II

5 Nurussalam Bagok 36 II

6 Darul Aman Idi Cut 36 II

7 Ranto Peureulak Ranto Panyang 33 II

8 Pante Bidari Lhok Nibong 30 II

9 Birem Bayeun Birem Rayeuk 29 III

10 Madat Madat 26 III

11 Rantau Selamat Bayeun 23 III

12 Idi Tunong Buket Teukueh 21 III

13 Sungai Raya Labuhan Keude 19 III

14 Serbajadi Lokop 19 III

15 Indra Makmur Seuneubok Bayu 18 III

16 Peureulak Timur Alue Tho 17 III

17 Peudawa Seuneubok Punteut 16 III

18 Peureulak Barat Beusa Seubrang 15 III

19 Banda Alam Panton Rayeuk M 12 III

20 Darul Ihsan Blang Aron 8 III

21 Simpang Jernih Simpang Jernih 4 III

Sumber : BPS, Podes 2006 (dianalisis).

Secara geografis, kota Idi sebagai pusat pertumbuhan dan pelayanan terletak persis di tengah-tengah jalur transportasi yang menghubungkan antar kecamatan dalam wilayah Kabupaten Aceh Timur. Kenyataan ini semakin mendukung untuk dijadikannya Idi sebagai ibukota kabupaten tempat berkedudukan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur.

Hasil analisis skalogram berdasarkan indeks perkembangan kecamatan, seperti pada Tabel 6, dan berdasarkan kapasitas pelayana n seperti pada Tabel 7, juga menunjukkan Kecamatan Idi Rayeuk berada pada hirarki I. Karena itu, dapat dikatakan bahwa Idi secara realitas telah menjadi pusat bagi berbagai aktifvitas

yang berkaitan dengan permukiman, pendidikan, kesehatan, perdagangan, dan sebagainya.

Idi memiliki beberapa fasilitas umum yang tidak dimiliki oleh kota-kota lainnya di Kabupaten Aceh Timur, seperti hotel dan tempat pendaratan ikan atau pelabuhan perikanan. Bahkan, saat ini Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sedang memfasilitasi peningkatan status pelabuhan perikanan Kuala Idi menjadi pelabuhan international, untuk mendukung ketersediaan prasarana hubungan perdagangan internasional dan regional.

Tabel 7 Hirarki kecamatan dalam Kabupaten Aceh Timur berdasarkan kapasitas pelayanan kecamatan.

Ranking Kecamatan Ibukota Kecamatan Pelayanan Kapasitas Hirarki

1 Idi Rayeuk I d i 4.204.385 I

2 Peureulak Peureulak 2.458.916 II

3 Julok Kuta Binje 1.076.112 II

4 Simpang Ulim Simpang Ulim 812.667 II

5 Birem Bayeun Birem Rayeuk 656.402 III

6 Ranto Peureulak Ranto Panyang 617.188 III

7 Nurussalam Bagok 610.339 III

8 Pante Bidari Lhok Nibong 592.233 III

9 Madat Madat 576.108 III

10 Darul Aman Idi Cut 505.596 III

11 Indra Makmur Seuneubok Bayu 261.573 II

12 Rantau Selamat Bayeun 251.795 III

13 Peureulak Barat Beusa Seubrang 244.252 III

14 Serbajadi Lokop 225.822 III

15 Peureulak Timur Alue Tho 191.875 III

16 Sungai Raya Labuhan Keude 165.589 III

17 Idi Tunong Buket Teukueh 156.563 III

18 Peudawa Seuneubok Punteut 133.194 III

19 Banda Alam Panton Rayeuk M 77.632 III

20 Darul Ihsan Blang Aron 31.924 III

21 Simpang Jernih Simpang Jernih 14.854 III

Sumber : BPS, Podes 2006 (dianalisis).

Pada level provinsi, pelabuhan perikanan Kuala Idi merupakan pelabuhan perikanan besar, di samping Lampulo di Banda Aceh dan Pusong di Lhokseumawe.Selain itu, fasilitas- fasilitas pendukung lainnya juga cukup berkembang, seperti toko-toko, warung, pasar, bank, sekolah, lembaga pendidikan, wartel, dokter, sarana kesehatan, dan sebagainya. Bahkan, di Idi telah

dibuka praktek dokter spesialis, yang di kecamatan tertentu lainnya praktek dokter umum saja belum ada.

Menurut informasi dari pihak perbankan, dalam waktu dekat akan ada bank devisa nasional membuka cabang di Idi, hal ini tentunya akan semakin mendukung posisi Idi sebagai wilayah inti pusat pertumbuhan dan pelayanan di Kabupaten Aceh Timur. Karena itu, yang potensial menjadi wilayah pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur adalah Kecamatan Idi Rayeuk dengan Idi sebagai ibukota kabupaten.

Interaksi Spasial Kota Kecamatan dengan Pusat Aktivitas Wilayah Dalam pembangunan wilayah ada dua dimensi spasial penting yang harus diperhatikan, yaitu spatial specificity dan spatial interaction. Spatial specificity

menunjukkan bahwa setiap wilayah mempunyai kekhasan. Sementara spatial

interaction menunjukkan bahwa karena setiap wilayah mempunyai kekhasan,

maka akan timbul interaksi antar wilayah sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan.

Kedua dimensi spasial ini terjadi karena adanya tiga hal, yaitu: (1) imperfect factor mobility (local specificity), (2) imperfect divisibility (interaction/linkages) dan (3) imperfect mobility of goods and services (transfer cost). Imperfect factor mobility berarti terdapat sumberdaya di suatu lokasi yang tidak bisa untuk dipindah-pindahkan, atau kalaupun bisa dipindahkan biayanya akan sangat mahal.

Imperfect divisibility berarti keberadaan sumberdaya di suatu lokasi terkait dengan sumberdaya lain yang ada di lokasi tersebut sehingga sukar untuk memisahkannya, sedangkan imperfect mobility of goods and services terjadi karena suatu sumberdaya di suatu lokasi tidak mudah dipindahkan karena biaya transportasi yang mahal.

Berdasarkan dimensi spatial specificity, Kabupaten Aceh Timur memiliki potensi sebagaimana wilayah lain di Pulau Sumatera, yang umumnya sangat sesuai untuk pengembangan tanaman perkebunan, seperti kelapa sawit, coklat, pinang, dan karet. Perairan laut di wilayah Selat Malaka juga sangat mendukung produksi ikan laut, baik yang transaksi dagangnya melalui Tempat Pendaratan Ikan Kuala Idi, maupun yang dikirim langsung ke luar daerah. Sehingga apabila

dimanfaatkan dengan baik, maka potensi ini bisa mendatangkan nilai tambah bagi perkembangan perekonomian wilayah.

Dengan adanya spatial specificity, akan terjadi interaksi spasial dalam bentuk transaksi perdagangan dengan wilayah lain. Produk yang dihasilkan akan dipasarkan ke pasar lokal, regional, maupun international guna memenuhi demand

yang semakin lama semakin meningkat. Sementara bagi wilayah demand, pasokan suatu komoditas sangat penting untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di wilayah tersebut. Interaksi spasial dalam bentuk transaksi dagang ini menjadi penting sebagai informasi dasar untuk melakukan perencanaan pembangunan wilayah yang mampu meningkatkan akumulasi nilai tambah bagi suatu kawasan. Interaksi yang terjadi di wilayah Kabupaten Aceh Timur, dapat berorientasi antar kecamatan yang berada pada hirarki yang sama, maupun dengan kecamatan lain yang memiliki hirarki berbeda. Pada tingkatan yang lebih tinggi dan lebih luas, interaksi dapat terjadi dengan pusat aktivitas yang lebih besar dan global, seperti Langsa dan Medan, serta Malaysia, Singapura, dan Thailand yang merupakan bagian dari segitiga pertumbuhan Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT).

Pola Spasial Hirarki Pusat Aktivitas dengan Prasarana Jalan

Pola spasial keterkaitan antar hirarki pusat-pusat aktivitas dan jalan yang menghubungkannya mempunyai peranan yang sangat penting dalam mewujudkan keberimbangan pembangunan antar wilayah, dan membangun interaksi antar wilayah yang saling memperkuat. Menurut Smith (1976), berdasarkan fakta empiris terdapat tiga jenis pola spasial yang mengakibatkan suatu wilayah selalu berada dalam kondisi tertinggal, yaitu: (1) dendritic system, (2) solar system, dan (3) network system.

Berdasarkan ketiga pola di atas, menurut Smith (1976), pola spasial yang bisa mendorong pembangunan wilayah adalah pola spasial yang berhirarki dari wilayah perdesaan – kota kecil – kota menengah – kota besar, tetapi polanya tidak

dendritic. Untuk menghilangkan kontrol dari hirarki wilayah yang lebih tinggi, harus dibangun jaringan jalan yang bisa menghubungkan wilayah berhirarki rendah dengan beberapa wilayah lain yang berhirarki lebih tinggi. Dengan

demikian wilayah berhirarki rendah ini akan bisa memilih untuk melakukan transaksi dengan wilayah berhirarki tinggi yang mampu menawarkan harga yang lebih kompetitif. Selain itu juga akan terjadi kompetisi di antara wilayah yang berhirarki sama untuk menyediakan pelayanan yang lebih baik. Selanjutnya, jalan-jalan antar desa juga perlu dibangun untuk mendorong terjadinya transaksi antar desa, atau terjadinya transaksi diantara wilayah-wilayah yang berhirarki sama. Ini akan mendorong terbentuknya sistem cluster di perdesaan, sehingga bisa memperkuat economic of scale, economic of scope, dan posisi tawar dari aktivitas ekonomi di wilayah tersebut. Namun, tentunya ini semua membutuhkan suatu proses, karena investasi untuk membangun jaringan jalan dan mengembangkan kota-kota kecil menengah juga sangat mahal. Dari berbagai uraian di atas, maka pola spasial keterkaitan antar hirarki pusat-pusat aktivitas dan keberadaan jalur jalan di Kabupaten Aceh Timur dapat dianalisis sebagai dasar untuk membangun pola spasial yang lebih mendorong perkembangan wilayah di masa yang akan datang.

Dengan menggunakan analisis skalogram, dilakukan pengelompokan berdasarkan 3 kelompok hirarki yang menggambarkan tingkat perkembangan kecamatan dan kapasitas infrastruktur pelayanan yang dimilikinya. Berdasarkan kelompok hirarki ini, maka kecamatan-kecamatan seperti Idi Rayeuk, Peureulak, Julok, dan Simpang Ulim merupakan wilayah-wilayah yang mempunyai potensi untuk menyediakan berbagai fasilitas pelayanan bagi wilayah-wilayah lain di Kabupaten Aceh Timur.

Berdasarkan Gambar 6, dimana pola hirarkinya berdasarkan pada metode skalogram sederhana, wilayah-wilayah yang berada pada hirarki I merupakan kecamatan-kecamatan yang terletak di sepanjang jalan nasional yang menghubungkan antara Aceh dengan Sumatera Utara. Kecamatan-kecamatan tersebut juga merupakan kecamatan induk dari wilayah pemekaran yang telah memiliki berbagai fasilitas, karena statusnya sebagai ibukota kecamatan.

Sementara itu, untuk kecamatan-kecamatan lain umumnya tingkat perkembangannya banyak dipengaruhi oleh kedekatannya dengan jalan poros nasional ini. Kecamatan-kecamatan yang posisinya jauh dari jalan nasional, seperti Serbajadi, Simpang Jernih, Darul Ihsan, Indra Makmur, dan Banda Alam,

berada pada kelompok hirarki III yang tingkat perkembangannya relatif rendah. Walaupun ada beberapa kecamatan, meskipun berada pada jalur lintas provinsi tetap berada pada hiraki III, karena statusnya sebagai kecamatan baru hasil dari pemekaran kecamatan induk, sehingga fasilitas yang dimiliki masih sangat terbatas dibandingkan kecamatan induknya.

Gambar 6 Pola spasial jaringan jalan dan hirarki kota-kota kecamatan di Kabupaten Aceh Timur berdasarkan jumlah jenis sarana dan prasarana. Berdasarkan Gambar 7, dimana pola hirarkinya berdasarkan pada indeks perkembangan kecamatan, juga memperlihatkan pola dan karakteristik yang sama dengan sebelumnya. Kecamatan yang masuk dalam kategori hirarki I adalah Kecamatan Idi Rayeuk, sedangkan kecamatan-kecamatan lainnya masuk hirarki II dan III.

Jika merujuk pada Gambar 8, dimana pola hirarkinya berdasarkan pada kapasitas pelayanan, pola spasial yang ditunjukkan juga tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Kecamatan yang masuk dalam hirarki I hanya Kecamatan Idi Rayeuk, sedangkan yang lainnya masuk hirarki II dan III.

Birem Rayeuk Bayeun Peureulak I d i Idi Cut Kuta Binje Simpang Ulim Lhok Nibong

Gambar 7 Pola spasial jaringan jalan dan hirarki kota-kota kecamatan di

Kabupaten Aceh Timur berdasarkan indek perkembangan kecamatan. Di samping hanya 1 kecamatan yang masuk hirarki I, juga beda indeks antara Kecamatan Idi Rayeuk pada hirarki I dengan Kecamatan Peureulak pada rangking 1 hirarki II juga sangat besar, ini menunjukkan bahwa hampir dalam semua aspek Kecamatan Idi Rayeuk memiliki nilai lebih dibandingkan kecamatan-kecamatan lainnya. Berdasarkan realitas ini, sudah selayaknya Kecamatan Idi Rayeuk dijadikan pusat pemerintahan dan pelayanan Kabupaten Aceh Timur, karena Kecamatan Idi Rayeuk merupakan pusat wilayah Kabupaten Aceh Timur.

Meskipun Kecamatan Ranto Peureulak, Darul Ichsan, Idi Tunong, Banda Alam, dan Indra Makmur mempunyai posisi yang jauh dari jalan nasional, namun kalau diamati realitas di lapangan sebenarnya akses ke jalan nasional lebih mudah karena dilalui oleh jalan kabupaten yang kondisinya relatif baik bila dibandingkan dengan tingkat aksesibilitas ke Kecamatan Serbajadi dan Simpang Jernih. Dipandang dari sejarah status administratif, Kecamatan Serbajadi adalah kecamatan tua yang seusia dengan Kecamatan Idi Rayeuk dan Peureulak, namun

Birem Rayeuk Peureulak Ranto Panjang I d i Simpang Ulim Kuta Binje Bagok Idi Cut

karena aksesibilitasnya dan fasilitas infrastruktur yang sangat terbatas menyebabkan wilayah tersebut jauh tertinggal, padahal potensi sumberdaya alamnya sangat potensial, demikian juga dengan Kecamatan Simpang Jernih yang merupakan kecamatan pemekaran dari Kecamatan Serbajadi.

Gambar 8 Pola spasial jaringan jalan dan hirarki kota-kota kecamatan di Kabupaten Aceh Timur berdasarkan kapasitas pelayanan kecamatan. Ketiga gambar tersebut menunjukkan bahwa perkembangan kecamatan- kecamatan di Kabupaten Aceh Timur dipengaruhi oleh keberadaan prasarana transportasi, terutama jalan nasional dan jalan kabupaten. Semakin dekat jarak atau semakin terbuka akses dengan jalan nasional, maka kecamatan-kecamatan tersebut relatif lebih berkembang dan menjadi pusat-pusat permukiman dan pelayanan dengan infrastruktur wilayah yang lebih baik. Hal ini tentunya bisa dipahami mengingat besarnya akses ke kota-kota besar dan menengah, seperti Langsa dan Medan di wilayah timur, Panton Labu, Lhokseumawe, dan Banda Aceh di wilayah barat.

Sementara itu, kecamatan-kecamatan tersebut juga akan lebih cepat berkembang jika ada peningkatan mutu jalan-jalan kabupaten yang membuka

Peureulak

I d i

Kuta Binje Simpang Ulim

akses ke jalan nasional. Hanya saja, apabila pola spasial ini dikaitkan dengan upaya pengembangan kawasan perdesaan, maka akan terlihat bahwa memang memungkinkan terjadi aliran sumberdaya dari desa ke kota, yang lebih memberikan nilai tambah bagi masyarakat wilayah perkotaan daripada bagi masyarakat desa. Apabila diperhatikan, nampak bahwa jaringan jalan yang ada mulai dari jalan provinsi, jalan kabupaten, hingga jalan desa, menunjukkan suatu pola yang bisa mendorong terjadinya pengurasan sumber daya perdesaan.

Mengacu pada tulisan Smith (1976), pola jaringan jalan yang berkembang di Aceh Timur ini adalah pola dendritic. Artinya, jalan-jalan kabupaten yang dibangun pada akhirnya bermuara pada jalan nasional, yang kemudian langsung berhubungan dengan kota besar tanpa adanya perantara kota-kota kecil dan menengah, kalaupun ada kota-kota kecil menengah yang dilewatinya, peranannya justru lebih ditujukan sebagai pusat pemerintahan/ibukota kecamatan, daripada sebagai pusat pelayanan untuk memfasilitasi kepentingan masyarakat perdesaan.

Menurut Smith (1976), pola dendritic akan mendorong ke arah terjadinya eksploitasi sumberdaya perdesaan, apalagi ditambah dengan pola solar system

yang membuat posisi tawar dari wilayah perdesaan menjadi semakin lemah. Dengan posisi tawar yang sedemikian lemah, maka wajar apabila kehidupan masyarakat desat tidak banyak mengalami peningkatan. Karena itu, dalam upaya pengembangan wilayah, yang sebenarnya muncul sebagai solusi atas permasalahan ketidakseimbangan desa-kota, maka pola spasial jaringan jalan, infrastruktur pelayanan, dan penataan ruang menjadi hal yang seharusnya diperhatikan.

Konfigurasi ruang sangat dipengaruhi oleh terbukanya akses jalan, karena itu, pola jaringan jalan menjadi penting dalam pengembangan wilayah. Menurut Smith (1976), pola jaringan jalan yang bisa memperkuat posisi tawar wilayah terpencil/perdesaan adalah pola network system, tetapi tetap ada keterkaitan hirarkis yang difasilitasi oleh adanya kota-kota kecil menegah yang bisa memfasilitasi perkembangan wilayah perdesaan. Network system berarti harus ada jalan-jalan yang bisa menghubungkan pusat produksi yang satu dengan pusat produksi yang lain atau antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lain. Akses yang menghubungkan antar wilayah ini penting untuk memperkuat

interaksi antar masyarakat di pusat produksi yang berbeda, sehingga bisa mendorong munculnya kelembagaan masyarakat yang mempunyai posisi tawar yang kuat. Network system, berarti juga harus ada jalan-jalan yang bisa menghubungkan pusat produksi dengan beberapa pusat pasar yang umumnya berhirarki lebih tinggi. Akses semacam ini akan bisa meningkatkan posisi tawar masyarakat perdesaan, karena tersedia pilihan untuk melakukan transaksi dengan pusat pasar yang bisa menawarkan harga lebih baik.

Pengembangan jaringan jalan seperti ini tentunya akan menelan biaya investasi yang tidak sedikit, mengingat wilayah Aceh Timur yang begitu luas. Namun, pada dasarnya jalan-jalan untuk membangun network system di kawasan perdesaan tidak harus berbentuk jalan aspal yang berukuran lebar dan di-hotmix. Jalan-jalan seperti ini cukup berupa jalan dengan pengerasan yang baik, sehingga tidak harus menelan biaya investasi yang mahal, yang penting bisa memfasilitasi masyarakat desa yang umumnya mempunyai alat transportasi yang sederhana, seperti kendaraan bak terbuka atau sepeda motor, dan pada tahapan berikutnya

Dokumen terkait