• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penentuan pusat pemerintahan dan pelayanan kabupaten aceh timur berdasarkan perkembangan wilayah, aksesibilitas, dan persepsi pemangku kepentingan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penentuan pusat pemerintahan dan pelayanan kabupaten aceh timur berdasarkan perkembangan wilayah, aksesibilitas, dan persepsi pemangku kepentingan"

Copied!
166
0
0

Teks penuh

(1)

PENENTUAN PUSAT PEMERINTAHAN

DAN PELAYANAN KABUPATEN ACEH TIMUR

BERDASARKAN PERKEMBANGAN WILAYAH,

AKSESIBILITAS, DAN PERSEPSI

PEMANGKU KEPENTINGAN

TEUKU ISKANDAR MIRZA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan Membukakan jalan keluar baginya dan Dia Memberinya rezeki dari arah yang tidak disangkanya.

Barang siapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan Mencukupkan keperluannya. Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia Menjadikan

kemudahan baginya dalam urusannya. Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Allah akan Menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan Melipatgandakan pahala baginya. Barangsiapa beriman kepada Allah,

niscaya Allah akan Memberi petunjuk kepada hatinya dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.

(Al-Qur’an: Ath- Thalaq 2-11)

Yang mulia:

H. Teuku Banta Ridy – Hj. Sitti Hadjar Teuku Alamsyah – Cut Rukiah

Yang tercinta: Cut Rukmanita (Icut)

Sebuah persembahan untuk ananda tersayang : Teuku Adfdhalul Jihad Mirza (Apon)

Teuku Ikrar Daffa Mirza (Dek Pon) Cut Tadzkia Amalia Mirza (Acut)

(3)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Penentuan Pusat Pemerintahan dan Pelayanan Kabupaten Aceh Timur Berdasarkan Perkembangan Wilayah, Aksesibilitas, dan Persepsi Pemangku Kepentingan adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Desember 2006

TEUKU ISKANDAR MIRZA

(4)

ABSTRAK

TEUKU ISKANDAR MIRZA. Penentuan Pusat Pemerintahan dan Pelayanan Kabupaten Aceh Timur Berdasarkan Perkembangan Wilayah, Aksesibilitas, dan Persepsi Pemangku Kepentingan. Dibimbing oleh: ERNAN RUSTIADI dan FREDIAN TONNY NASDIAN.

Pelaksanaan otonomi daerah telah memberikan peluang yang besar bagi daerah untuk merumuskan kebijakan pembangunan dan memanfaatkan sumber-sumber potensi daerah secara lebih mandiri. Pada sisi yang lain, kebijakan otonomi daerah memicu eforia tuntutan pembentukan wilayah-wilayah administratif baru. Sayangnya, pemekaran wilayah tersebut tanpa didasari oleh pertimbangan memadai, sehingga mengakibatkan munculnya masalah-masalah baru, mulai dari masalah keuangan sampai kepada pengalokasian ruang secara spasial yang dapat mempengaruhi kebijakan pembangunan wilayah. Banyak daerah, selama bertahun-tahun sejak pemekaran, belum memiliki pusat pemerintahan dan pelayanan yang representatif, seperti Kabupaten Aceh Timur di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mengidentifikasi hirarki pusat-pusat aktivitas & keberadaan kota kecil dan menengah yang dapat menunjang pembangunan wilayah di Kabupaten Aceh Timur, (2) menentukan lokasi yang optimal untuk pusat pemerintahan dan pelayanan Kabupaten Aceh Timur berdasarkan aksesibilitas dan tingkat perkembangan kecamatan, dan (3) menggali persepsi dari pengambil kebijakan dan masyarakat terhadap penentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur.

Penelitian ini menggunakan data sekunder dan primer. Data sekunder bersumber dari data Podes Tahun 2006 dan publikasi Pemerintah Kabupaten Aceh Timur, data primer diperoleh dari wawancara dengan responden dan informan.

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) analisis skalogram, (2) location-allocation models spatial interaction analysis (p-median problem), (3) analytical hierarchyprocess (AHP), (4) actor-oriented analysis, dan (5) analisis deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Kecamatan-kecamatan yang berhirarki tinggi dengan kota-kota menengah adalah kecamatan yang dilintasi oleh jalan nasional atau trans Sumatera, sedangkan yang jauh dari jalan nasional berada pada hirarki rendah. (2) Pengembangan wilayah Kabupaten Aceh Timur dapat dikembangkan dengan konsep wilayah nodal, yaitu Idi sebagai pusat pelayanan hirarki I yang akan melayani seluruh wilayah Kabupaten Aceh Timur, Peureulak dan Simpang Ulim sebagai pusat pelayanan hirarki II yang akan melayani wilayah timur dan barat Kabupaten Aceh Timur. (3) Idi adalah lokasi optimal pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur.

(5)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi

(6)

PENENTUAN PUSAT PEMERINTAHAN

DAN PELAYANAN KABUPATEN ACEH TIMUR

BERDASARKAN PERKEMBANGAN WILAYAH,

AKSESIBILITAS, DAN PERSEPSI

PEMANGKU KEPENTINGAN

TEUKU ISKANDAR MIRZA

Tesis

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Judul Tesis : Penentuan Pusat Pemerintahan dan PelayananKabupaten Aceh Timur Berdasarkan Perkembangan Wilayah, Aksesibilitas, dan Persepsi Pemangku Kepentingan

Nama : Teuku Iskandar Mirza

NRP : A253050344

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Perencanaan Wilayah

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(8)

PRAKATA

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunianya, sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April sampai Agustus 2006 ini adalah kajian dalam penentuan lokasi suatu aktivitas atau penempatan fasilitas pelayanan. Untuk itu, tesis ini diberi judul Penentuan Pusat Pemerintahan dan Pelayanan Kabupaten Aceh Timur Berdasarkan Perkembangan Wilayah, Aksesibilitas, dan Persepsi Pemangku Kepentingan.

Sebagai salah seorang putra daerah Kabupaten Aceh Timur, berbekal pendidikan yang diperoleh, penulis merasa bertanggungjawab untuk memberikan sumbangan pemikiran yang konstruktif bagi kemajuan daerah. Semoga bermanfaat tentunya.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi- tingginya kepada :

1. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr dan Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS sebagai pembimbing.

2. Staf pengajar dan pengelola Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB. 3. Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang diberikan. 4. Pemerintah Kabupaten Aceh Timur yang telah memberikan izin belajar.

5. Inspektur Aceh Timur yang telah memberikan dukungan bagi penulis untuk melanjutkan tugas belajar.

6. Teman-teman mahasiswa PS-PWL Angkatan 2005.

7. Semua pihak yang berperan dan proses pengajaran dan penulisan karya ilmiah ini.

Terima kasih tak terhingga kepada orang tua, isteri, dan anak-anak tercinta atas doa-doanya serta sabar berjauhan di Langsa menanti penulis selesai. Semoga Allah SWT memberikan rahmat dan karunia atas segala pengorbanan yang ada.

Tak ada gading yang tak retak, mohon maaf apabila terdapat kekhilafan dalam tesis ini, baik dalam pemaknaan substansi maupun ekspresi penulisan. Semoga bermanfaat.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Bogor, Desember 2006

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Idi, Kabupaten Aceh Timur pada tanggal 8 Juni 1966 dari Ayah yang bernama H. Teuku Banta Ridy dan Ibu yang bernama Hj. Sitti Hadjar. Penulis merupakan putra pertama dari lima bersaudara.

Tahun 1984 penulis lulus dari SMA Negeri Idi dan pada tahun yang sama melanjutkan ke Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala, sempat non aktif selama 3 tahun dan lulus tahun 1991. Tahun 2005, penulis diterima di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah pada Sekolah Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Pusbindiklatren Bappenas dan Pemerintah Kabupaten Aceh Timur.

Selesai S-1, penulis bekerja di konsultan perencana di Banda Aceh dan bersama beberapa teman mendirikan dan mengelola lembaga pendidikan luar sekolah Best Education Center (BEC) dan lembaga keuangan syariah Baitul Maal

watTamwil Harapan Ummat (BMT HARUM) yang masih berjalan hingga saat ini

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN ix

PENDAHULUAN

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 3

Tujuan Penelitian ... 6

Manfaat Penelitian ... 7

TINJAUAN PUSTAKA Desentralisasi Penyelenggaraan Pemerintahan ... ... 9

Konsep Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah ... 10

Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah ... 12

Kota dalam Perspektif Pengembangan Wilayah ...…….. 18

Teori Tempat Sentral ... 20

Teori Lokasi dan Pemusatan Kegiatan ... 22

Hirarki Pusat Aktivitas ... 27

Pola Spasial Hirarki Pusat Aktivitas ... 32

Penempatan Fasilitas Publik dan Location-allocation Models ... 33

Persepsi ... 37

METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran ... 41

Lokasi dan Waktu Penelitian………. 46

Metode Pengumpulan Data ……….. 46

Metode Analisis ...……… 48

Analisis Skalogram ... 48

Spatial Interaction Analysis Location-allocation Model ... 52

Analytical Hierarchy Process (AHP) ... 57

Analisis Deskriptif ... 60

Actor-oriented Analysis ... 60

Matrik dan Kerangka Analisis Penelitian ...………. 62

KAJIAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Letak dan Potensi Geografis ………. 64

Sejarah Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur ………. ………. 65

(11)

Masa Fasisme Jepang ... 67

Masa Kemerdekaan RI ... 67

Geologi dan Jenis Tanah ... ………. 69

Topografi ... 69

Klimatologi ... 70

Hidrologi ... 70

Kependudukan ... 70

Garis Besar Kebijakan Pembangunan ... 72

Ikhtisar ... 74

HIRARKI WILAYAH Hirarki Pusat Aktifitas dan Keberadaan Kota Kecil dan Menengah... 76

Interaksi Spasial Kota Kecamatan dengan Pusat Aktifitas Wilayah ... 81

Pola Spasial Hirarki Pusat Aktifitas dengan Prasarana Jalan... 82

Ikhtisar ... 89

PENENTUAN PUSAT PEMERINTAHAN DAN PELAYANAN Pusat Pemerintahan ... 91

Pusat-pusat Pelayanan ... 100

Jangkauan Pusat-Pusat Pelayanan ... 105

Fungsi Pusat-Pusat Pelayanan ... 111

Ikhtisar ... 113

PERSEPSI PEMANGKU KEPENTINGAN (STAKEHOLDER) TERHADAP PENENTUAN PUSAT PEMERINTAHAN Persepsi Pengambil Kebijakan ... 114

Eksekutif ... 115

Legislatif ... 117

Persepsi Masyarakat ... 119

Akademis ... 120

Dunia Usaha ... 121

Masyarakat Umum ... 122

Interpretasi Hasil Wawancara ... 123

Persepsi Kriteria Pusat Pemerintahan ... 127

Ikhtisar ... 129

IMPLIKASI KEBIJAKAN Analisis Hirarki Wilayah, Aksesibilitas, dan Persepsi Stakeholders dalam Penentuan Pusat Pemerintahan dan Pelayanan Kabupaten Aceh Timur... 130

Interpretasi Kronologis Penentuan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur ... 133

(12)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan ... 145

Saran ... 146

DAFTAR PUSTAKA... 147

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Daftar data kependudukan dan jenis sarana-prasarana yang dianalisis ... 47 2 Skalogram Kabupaten X ... 50 3 Masalah, tujuan, metode analisis, data, dan sumber data ... 62 4 Luas wilayah dan jumlah desa/kelurahan menurut kecamatan di Kabupaten

Aceh Timur tahun 2004 ... 68 5 Hirarki kecamatan dalam Kabupaten Aceh Timur berdasarkan jumlah

jenis sarana prasarana... ... 78 6 Hirarki kecamatan dalam Kabupaten Aceh Timur berdasarkan indeks

perkembangan kecamatan ... 79 7 Hirarki kecamatan dalam Kabupaten Aceh Timur berdasarkan kapasitas

pelayanan kecamatan... 80 8 Rencana orientasi dan jangkauan pusat-pusat pelayanan di Kabupaten

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka klasifikasi konsep wilayah ... 16

2 Hubungan location-allocation models dengan penentuan lokasi penempatan fasilitas ... 37

3 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian... 45

4 Kerangka analisis penelitian ... 63

5 Peta administrasi Kabupaten Aceh Timur ... 64

6 Pola spasial jaringan jalan dan hirarki kota-kota kecamatan di Kabupaten Aceh Timur berdasarkan jumlah jenis sarana prasarana ... 84

7 Pola spasial jaringan jalan dan hirarki kota-kota kecamatan di Kabupaten Aceh Timur berdasarkan indeks perkembangan kecamatan ... 85

8 Pola spasial jaringan jalan dan hirarki kota-kota kecamatan di Kabupaten Aceh Timur berdasarkan kapasitas pelayanan kecamatan ... 86

9 Lokasi optimal pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur; hasil p-median berdasarkan jumlah jenis sarana prasarana ... ... 93

10 Lokasi optimal pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur; hasil p-median berdasarkan indeks perkembangan kecamatan ... ... 94

11 Lokasi optimal pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur; hasil p-median berdasarkan kapasitas pelayanan kecamatan ... ... 95

12 Lokasi optimal pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur; hasil p-median berdasarkan bobot yang disamakan ... ... ... 96

13 Hasil AHP alternatif lokasi pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur terhadap kapasitas sumberdaya wilayah (regional resources) ... 97

14 Hasil AHP alternatif lokasi pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur terhadap kapasitas perekonomian wilayah (regional economic resources)... 98

15 Hasil AHP alternatif lokasi pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur terhadap seluruh kriteria yang dianalisis ... 98

16 Hasil AHP uji sensitifitas alternatif lokasi pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur... 98

17 Lokasi pusat pemerintahan/ibukota Kabupaten Aceh Timur... 99

18 Hasil AHP lokasi pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur terhadap sejarah status administrasi wilayah ... 100

19 Lokasi optimal pusat-pusat pelayanan di Kabupaten Aceh Timur; hasil p-median berdasarkan indeks perkembangan kecamatan ... 104

(15)

21 Lokasi kota-kota kecamatan di Kabupaten Aceh Timur yang dikembangkan

menjadi pusat pelayanan dalam konsep wilayah nodal ... 108 22 Peureulak sebagai pusat pelayanan hirarki II dengan 8 kecamatan

hinterland-nya ... 119 23 Idi sebagai pusat pelayanan hirarki I dengan 8 kecamatan hinterland-nya... 110 24 Simpang Ulim sebagai pusat pelayanan hirarki II dengan

4 kecamatan hinterland-nya ... 111 25 Hasil analisis dan struktur AHP penentuan pusat pemerintahan

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Analisis skalogram berdasarkan jumlah jenis sarana prasarana, indeks

perkembangan, dan kapasitas pelayanan kecamatan dalam Kabupaten

Aceh Timur ... 151

2 Jarak tempuh antar ibukota kecamatan di Kabupaten Aceh Timur (Km)... 155

3 Struktur AHP penentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur ... 156

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perhatian terhadap masalah-masalah yang terjadi dalam proses pembangunan terus berkembang, sejalan dengan dinamika kehidupan masyarakat. Keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan pembangunan, memberikan pelajaran yang penting bagi masyarakat dan pemerintah untuk mengkaji lebih dalam terhadap perencanaan pembangunan yang tepat untuk dilaksanakan di suatu wilayah.

Setelah reformasi pada tahun 1998, daerah-daerah yang terus berjuang untuk otonomi daerah dan desentralisasi yang luas mendapat angin segar. Perjuangan daerah terakomodir dan terwujud dengan diberlakukannya Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 juncto UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 juncto UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai dasar hukum desentralisasi fiskal.

Kebijakan otonomi daerah memberi dampak positif terhadap pengembangan wilayah, jika kebijakan pengembangan wilayah disesuaikan dengan kondisi daerah dan mempertimbangkan aspirasi masyarakat. Kebijakan otonomi daerah yang memberikan kewenangan yang seluas- luasnya kepada daerah, diharapkan dapat mengembalikan harkat dan martabat masyarakat di daerah, memberikan peluang pendidikan politik dalam rangka peningkatan kualitas demokrasi di daerah, peningkatan efisiensi pelayanan pub lik di daerah, dan pada gilirannya diharapkan dapat tercipta tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

Disadari atau tidak, baik secara internalitas maupun eksternalitas, kebijakan desentralisasi dan otonomi memiliki konsekuensi logis bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang harus dijawab dengan tindakan nyata sebagai bentuk kebijakan yang dapat meningkatkan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

(18)

pembangunan. Oleh karena itu, dalam menyusun strategi kebijakan pembangunan harus dilandasi dengan pemahaman yang baik terhadap kondisi wilayah.

Pada sisi yang lain, kebijakan otonomi daerah memicu eforia tuntutan pembentukan wilayah-wilayah administratif baru dari pemekaran wilayah administratif sebelumnya. Kecenderungan pemekaran wilayah ini mulai dari Sabang sampai Merauke, dari hirarki pada tingkat provinsi hingga ke tingkat desa/kelurahan. Sayangnya, pemekaran wilayah tersebut tanpa didasari oleh pertimbangan yang memadai, namun cenderung emosional dan hanya bersifat politis untuk kepentingan elit-elit politik di wilayah tersebut. Hal ini mengakibatkan munculnya masalah- masalah baru yang harus dihadapi oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, mulai dari masalah keuangan sampai kepada pengalokasian ruang secara spasial yang dapat mempengaruhi kebijakan pembangunan wilayah. Kenyataan menunjukkan banyak wilayah selama bertahun-tahun sejak pemekaran hingga saat ini belum memiliki pusat pemerintahan dan pelayanan yang representatif.

Dalam konteks tersebut di atas, berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Langsa dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Aceh Tamiang, maka Kabupaten Aceh Timur sebagai kabupaten induk dimekarkan menjadi 2 kabupaten dan 1 kota, yaitu Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Aceh Tamiang, dan Kota Langsa.

Pemekaran wilayah secara administratif ini memberi konsekuensi kepada ketiga wilayah tersebut untuk menentukan pusat pemerintahan baru dan mengembangkan pusat-pusat pelayanan baru. Namun pada kenyataan, implementasinya tidak sesederhana yang dibayangkan, bahkan menimbulkan implikasi sosial dan politik yang sukar untuk diselesaikan. Implikasi tersebut menjadi polemik yang dapat memicu konflik horizontal yang tak berkesudahan, malah pada kondisi tertentu menjadi dilema bagi pemerintah daerah dalam menentukan pusat pemerintahannya.

(19)

daerah yang dapat menggambarkan polemik penentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur pasca pemekaran.

1. Harian RAJA POS tanggal 29 Juni 2006: Ibukota Kabupaten Aceh Timur Belum Ditetapkan.

2. Harian SERAMBI INDONESIA tanggal 30 Juni 2006: Soal Ibukota Wakil Ketua DPRD “Jangan Salah Minum Obat”.

3. Harian WASPADA tanggal 30 Juni 2006: Reaksi Keras Penentuan Lokasi Pusat Ibukota Aceh Timur.

4. Harian SERAMBI INDONESIA tanggal 2 Juli 2006: Penempatan Pusat Pemerintahan Aceh Timur Jangan Direkayasa.

5. Harian BINTANG SUMATRA tanggal 3 Juli 2006: Penetapan Lokasi Pusat Ibukota Aceh Timur Dapat Reaksi Keras.

6. Harian WASPADA tanggal 3 Juli 2006: Gelinding Bola Panas Dari Penentuan Pusat Pemerintahan Aceh Timur.

7. Harian WASPADA tanggal 3 Juli 2006: Soal Penetapan Ibukota Makin Panas, Aceh Timur Terancam Belah.

8. Harian MEULIGOE tanggal 3-9 Juli 2006: Rencana Pusat Ibukota Masih Tarik Menarik, Aceh Timur Masih Dikendalikan Dari Jarak Jauh. 9. Harian RAKYAT ACEH tanggal 4 Juli 2006: Anggota Dewan Saling

Tuding Soal Penetapan Pusat Pemerintahan Aceh Timur.

10.Harian BINTANG SUMATRA tanggal 4 Juli 2006: Pusat Kota Pemerintah Aceh Timur PR Bagi Anggota DPRD.

11.Harian WASPADA tanggal 6 Juli 2006: Rencana Pembangunan Ibukota Aceh Timur Mengambang.

(20)

Perumusan Masalah

Pelaksanaan otonomi daerah telah memberikan peluang yang besar bagi daerah untuk merumuskan kebijakan pembangunan dan memanfaatkan sumber-sumber potensi daerah secara lebih mandiri. Namun demikian, kebijakan pembangunan yang dilaksanakan daerah harus berpedoman pada grand design

kebijakan pembangunan nasional yang secara eksplisit telah dirumuskan dalam UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 ayat 3, bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan, yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat pusat dan daerah

Pemahaman yang mendalam terhadap karakteritik dan potensi yang dimiliki suatu daerah, merupakan hal yang penting dalam merumuskan strategi pembangunan yang akan dikeluarkan, dengan harapan agar competitive advantage

tersebut dapat memberikan manfaat yang optimal bagi kemajuan suatu daerah. Masalah pengembangan wilayah (regional development) oleh sementara ahli dianggap sebagai masalah yang ditimbulkan oleh adanya fenomena regional inequality, yaitu adanya perbedaan tingkat pendapatan dan tingkat kemakmuran. Perbedaan ini mengakibatkan timbulnya dikotomi di dalam manifestasi interaksi spasial antara daerah perkotaan yang modern, dinamis, dan inovatif dengan daerah perdesaan yang tradisional, statis, konservatif, dan terbelakang.

Di dalam proses pengembangan wilayah dikenal adanya tiga kaidah utama, yaitu:

1. Pengembangan wilayah merupakan fungsi dari seberapa efektifnya kegiatan usaha export base wilayah yang bersangkutan.

2. Pengembangan wilayah menuntut mobilisasi kegiatan usaha pemerintah dan masyarakat untuk mengambil bagian dalam kesempatan pembangunan (development opportunities) yang muncul.

(21)

sebutan ekonomi spasial dan merupakan aspek yang sangat penting, namun sering terabaikan dalam perencanaan pembangunan nasional dan regional. Pengalaman menunjukkan bahwa pembangunan yang sangat bersifat sektoral dengan tidak atau kurang memperhatikan faktor lokasi dan bagaimana penjalaran pertumbuhan pada suatu lokasi terhadap wilayah sekitarnya, tindakan yang mengabaikan dimensi spasial dalam pembangunan ekonomi serta menitikberatkan pada sasaran jangka pendek daripada tujuan jangka panjang, semakin mempertajam dikotomi kesenjangan antara wilayah perdesaan dengan perkotaan.

Menurut Hanafiah (1988), salah satu model pengembangan wilayah yang erat kaitannya dengan aspek spasial adalah konsep pusat-pusat pertumbuhan atau

growth centers. Konsep growth centers ini didasarkan pada dua hipotesa dasar, yaitu:

1. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dimulai dan mencapai titik optimalnya pada sejumlah pusat-pusat tertentu.

2. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi akan menyebar dari pusat-pusat pertumbuhan ini secara nasional melalui hirarki kota-kota pertumbuhan utama seperti Jakarta, Medan, Surabaya, dan Makassar, dan secara regional dari pusat-pusat perkotaan (urban centers) ke wilayah hinterland masing- masing.

Dalam kondisi apapun dan dimanapun, pemerintah mempunyai peranan yang besar dalam pemilihan suatu lokasi untuk pembangunan pusat pemerintahan dan pelayanan, karena pembangunan pusat pemerintahan dan pelayanan di suatu wilayah akan mendorong wilayah tersebut menjadi pusat pertumbuhan.

(22)

Sampai saat ini Langsa masih merupakan pus at pemerintahan dan pusat pelayanan Kabupaten Aceh Timur dan Kota Langsa, hal ini terlihat dengan keberadaan Pendopo Bupati, Balaikota, Sekretariat Daerah Kabupaten, Sekretariat Daerah Kota, serta kantor-kantor instansi pemerintah lainnya terletak dalam wilayah administrasi yang sama. Selain itu, Langsa juga dijadikan sebagai pusat pendidikan, pelayanan kesehatan, dan pertumbuhan ekonomi dengan menjadi pusat perdagangan, seperti pendirian pasar-pasar dan komplek pertokoan serta lembaga keuangan dan sektor jasa lainnya. Seyogyanya, Kabupaten Aceh Timur harus sesegera mungkin memindahkan pusat pemerintahannya dari Langsa, desakan ini semakin menguat pasca penandatanganan Nota Kesepahaman antara RI dan GAM pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki Finlandia.

Akibat merangkapnya kedua pusat pemerintahan, salah satu fenomena yang terjadi, yaitu overlapping kewenangan di wilayah Kota Langsa. Overlapping

kewenangan antara Pemerintah Kabupaten Aceh Timur dan Pemerintah Kota Langsa sangat dirasakan dalam penyediaan dan pengelolaan prasarana pembangunan dan fasilitas umum serta pelayanan publik. Fenomena ini perlu disoroti karena dikhawatirkan menimbulkan inefisiensi dan konflik kepentingan pada kegiatan pemerintahan, terutama pada sektor pelayanan publik di kedua wilayah tersebut.

Berdasarkan fenomena tersebut, perumusan masalah tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah struktur hirarki kota-kota kecil menengah di wilayah Kabupaten Aceh Timur?

2. Dimanakah lokasi optimal pusat pemerintahan dan pelayanan Kabupaten Aceh Timur berdasarkan aksesibilitas dan tingkat perkembangan kecamatan?

(23)

Tujuan Penelitian

Dengan memperhatikan latar belakang, perumusan masalah, dan kerangka pemikiran di atas, maka dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pertimbangan untuk menjawab sejumlah permasalahan penting seputar penentuan pusat pemerintahan dan pelayanan yang terkait dengan perspektif pengembangan wilayah.

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

a. Mengidentifikasi hirarki pusat-pusat aktivitas & keberadaan kota kecil dan menengah yang dapat menunjang pembangunan wilayah di Kabupaten Aceh Timur.

b. Menentukan lokasi optimal pusat pemerintahan dan pelayanan Kabupaten Aceh Timur berdasarkan aksesibilitas dan tingkat perkembangan kecamatan.

c. Menggali persepsi dari unsur-unsur pengambil kebijakan dan masyarakat terhadap penentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

a. Memberikan sumbangan pemikiran kepada Pemerintah Kabupaten Aceh Timur sebagai bahan pertimbangan dan rekomendasi dalam penentuan pusat pemerintahan dan pelayanannya.

b. Sebagai bahan masukan untuk pembelajaran (learning process) dalam perumusan kebijakan pengembangan dan pembangunan wilayah, terutama yang berhubungan dengan penentuan lokasi suatu aktivitas.

c. Sebagai bahan rujukan dan rekomendasi bagi komponen masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah daerah dan DPRD; d. Sebagai salah satu bahan pembanding dan kajian bagi mahasiswa untuk

penelitian selanjutnya.

(24)

yang jelas akan semakin menghambat proses pembangunan wilayah dan pada gilirannya secara keseluruhan akan merugikan masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah itu sendiri. Penyelesaian yang baik dan dapat diterima semua pihak dapat diupayakan dengan melibatkan semua unsur pemangku kepentingan yang ada di daerah. Pendekatan yang obyektif diharapkan dapat muncul dari pendekatan akademis, sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan diterima semua pihak.

Kajian terhadap penentuan pusat pemerintahan dan pelayanan di Kabupaten Aceh Timur ini merupakan bagian dari upaya dimaksud, dengan harapan dapat memberikan konstribusi dan manfaat bagi semua pihak yang berkepentingan baik secara langsung atupun tidak terhadap masalah tersebut.

(25)

TINJAUAN PUSTAKA

Desentralisasi Penyelenggaraan Pemerintahan

Sejalan dengan diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999 juncto UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 juncto UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, maka telah terjadi desentralisasi yang cukup signifikan dalam kegiatan pemerintahan yang selama ini dikendalikan oleh pemerintah pusat. Menurut Hidayat (2004), desentralisasi dapat dilihat dari perspektif politik dan perspektif administrasi. Berdasarkan perspektif politik, desentralisasi merupakan devolusi kekuasaan (devolution of power) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sedangkan berdasarkan perspektif administrasi, desentralisasi adalah penyerahan wewenang untuk mengambil keputusan, perencanaan, dan pengaturan fungsi publik dari pemerintah pusat atau pemerintah yang lebih tinggi kepada pemerintah dan organisasi non pemerintah yang berada pada level yang lebih rendah.

(26)

penyelesaiannya, dan (3) jumlah masalah yang dihadapi pemerintah daerah lebih sedikit daripada masalah nasional sehingga lebih cepat penyelesaiannya.

Dalam kontek penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, pemerintah pusat telah melakukan desentralisasi berbagai bidang/urusan yang sebelumnya di kendalikan oleh pemerintah pusat. Namun demikian, terdapat bidang/urusan yang masih merupakan kewenangan pemerintah pusat, sebagaimana ditentukan dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 pasal 7 juncto UU Nomor 32 Tahun 2004 pasal 10, yakni: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Untuk penyelenggaraan kegiatan tersebut di daerah dilakukan dengan asas dekonsentrasi.

Konsep Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah

Perencanaan merupakan kegiatan yang sering dilakukan oleh berbagai pihak, baik perorangan maupun organisasi. Untuk memahami kegiatan yang dilakukan dalam perencanaan sangat tergantung pada kompleksitas masalah dan tujuan yang ingin dicapai. Secara sederhana, konsep perencanaan menurut Tarigan (2004) adalah menetapkan suatu tujuan dan memilih langkah- langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Selanjutnya, secara lebih lengkap Tarigan (2004 ) memberikan pengertian bahwa perencanaan berarti mengetahui dan menganalisis kondisi saat ini, meramalkan perkembangan berbagai faktor yang tidak dapat di kontrol (noncontrolable) namun relevan, memperkirakan faktor-faktor pembatas, menetapkan tujuan dan sasaran yang diperkirakan dapat dicapai, serta mencari langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut. Sedangkan menurut Friedman dalam Tarigan (2004), perencanaan pada asasnya berkisar pada dua hal. Pertama, penentuan pilihan secara sadar mengenai tujuan kongkret yang hendak dicapai dalam jangka waktu tertentu atas dasar nilai yang dimiliki masyarakat yang bersangkutan. Kedua, pilihan-pilihan di antara cara-cara alternatif yang efisien serta rasional guna mencapai tujuan-tujuan tersebut.

(27)

masyarakatnya mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut. Oleh karena itu, sebelum melakukan kegiatan pembangunan ekonomi pada suatu daerah perlu dilakukan perencanaan yang matang.

Arsyad (1999) berpendapat, terdapat tiga implikasi pokok dari perencanaan pembangunan ekonomi daerah, yaitu: (1) perlunya pemahaman tentang hubungan antara daerah dengan lingkungannya (horisontal dan vertikal) dimana daerah tersebut merupakan bagian darinya, (2) perlu memahami bahwa sesuatu yang tampaknya baik secara nasional (makro) belum tentu baik untuk daerah dan sebaliknya yang baik bagi daerah belum tentu baik secara nasional, dan (3) tersedianya perangkat kelembagaan untuk pembangunan daerah seperti administrasi dan proses pengambilan keputusan. Perencanaan yang efektif harus bisa membedakan apa yang seyogyanya dilakukan dan apa yang tidak dapat dilakukan.

Mengutip pendapat dari Blakely, Arsyad (1999) menyatakan bahwa

terdapat enam tahap dalam perencanaan pembangunan ekonomi, yaitu: (1) pengumpulan dan analisis data, (2) pemilihan strategi pembangunan daerah, (3) pemilihan proyek-proyek pembangunan, (4) pembuatan rencana tindakan, (5) penentuan rincian proyek, dan (6) persiapan perencanaan secara keseluruha n dan implementasinya.

(28)

Menurut Arsyad (1999), pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil perkapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang yang disertai oleh perbaikan sistem kelembagaan. Jadi pembangunan ekonomi harus dipandang sebagai suatu proses dimana saling keterkaitan dan saling mempengaruhi antara faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pembangunan ekonomi tersebut dapat diidentifikasi dan dianalisis dengan seksama.

Salah satu kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah adalah merumuskan dan mengeluarkan kebijakan. Menurut Keban (2004), kualitas suatu kebijakan dapat diketahui melalui beberapa parameter penting seperti proses, isi, dan konteks atau suasana dimana kebijakan itu dihasilkan atau dirumuskan. Pemerintah perlu memperhatikan isu- isu yang berkembang di masyarakat, sehingga dapat dirumuskan kebijakan yang tepat yang menjadi prioritas dalam kebijakan pembangunan. Oleh karena itu, analisis kebijakan dan proses kebijakan menjadi unsur yang penting dilakukan.

Menurut Saaty (1980), pada umumnya hal-hal yang berperan dalam pengambilan keputusan adalah: (a) perencanaan, (b) perumusan alternatif, (c) menetapkan berbagai prioritas, (d) menetapkan alternatif terbaik, (e) mengalokasikan sumber daya, (f) menentukan kebutuhan, (g) memprediksi hasil yang dicapai, (h) mendesain sistem, (i) penilaian hasil, (j) menjaga kestabilan sistem, (k) mengoptimalkan tujuan, dan (l) mengelola konflik. Saaty (1980) menekankan pentingnya pendekatan sistem dalam pengambilan keputusan, dengan memperhatikan struktur, fungsi, tujuan, dan lingkungan.

Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah

(29)

berinteraksi. Sehingga wilayah dapat didefinisikan, dibatasi, dan digambarkan berdasarkan ciri atau kandungan area geografis tersebut.

Sementara menurut Rustiadi et al. (2004), wilayah didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas yang spesifik (tertentu), dimana bagian-bagian dari wilayah tersebut (sub wilayah) satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Dari definisi tersebut, terlihat bahwa tidak ada batasan yang spesifik dari luasan suatu wilayah. Batasan yang ada lebih bersifat meaningfull, baik untuk perencanaan, pelaksanaan, monitoring, pengendalian, maupun evaluasi. Dengan demikian, batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis (berubah-ubah).

Konsep wilayah yang paling klasik, menurut Hagget, Cliff, dan Frey (1977) diacu dalam Rustiadi et al. (2004), mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah homogen (uniform/homogenous region), (2) wilayah nodal (nodal region), dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor- faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen sedangkan faktor- faktor yang tidak dominan dapat beragam (heterogen).

Pada dasarnya terdapat beberapa faktor penyebab homogenitas wilayah. Secara umum terdiri atas penyebab alamiah dan penyebab artifisial. Faktor alamiah yang dapat menyebabkan homogenitas wilayah adalah kelas kemampuan lahan, iklim, dan berbagai faktor lainnya. Sedangkan homogenitas yang bersifat

artifisial adalah homogenitas yang didasarkan pada pengklasifikasian berdasarkan aspek tertentu yang dibuat oleh manusia. Contoh wilayah homogen artifisial

adalah wilayah homogen atas dasar kemiskinan (peta kemiskinan).

Karena pada umumnya wilayah homogen sangat dipengaruhi oleh potensi sumberdaya alam dan permasalahan spesifik yang seragam, maka menurut Rustiadi et al. (2004), wilayah homogen sangat bermanfaat dalam:

1. Penentuan sektor basis perekonomian wilayah sesuai dengan potensi/daya dukung utama yang ada (comparative advantage).

(30)

Konsep wilayah nodal didasarkan atas asumsi bahwa suatu wilayah diumpamakan sebagai suatu “sel hidup” yang mempunyai plasma dan inti. Inti (pusat simpul) adalah pusat-pusat pelayanan/permukinan sedangkan plasma adalah daerah belakang (peripheri/hinterland) yang mempunyai sifat-sifat tertentu dan mempunyai hubungan fungsional (Rustiadi et al. 2004). Pusat wilayah berfungsi sebagai:

1. Tempat terkonsentrasinya penduduk (pemukiman). 2. Pasar bagi komoditi-komoditi pertanian maupun industri. 3. Pusat pelayanan terhadap daerah hinterland.

4. Lokasi pemusatan industri manufaktur yang diartikan sebagai kegiatan mengorganisasikan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan suatu output tertentu.

Sedangkan hinterland berfungsi sebagai:

1. Pemasok (produsen) bahan-bahan mentah dan atau bahan baku. 2. Pemasok tenaga kerja melalui proses urbanisasi.

3. Daerah pemasaran barang dan jasa industri manufaktur umumnya terdapat suatu interdependensi antara inti dan plasma. Secara historik, pertumbuhan pusat-pusat atau kota ditunjang oleh hinterland yang baik. Misalnya, walaupun Solo dan Jogjakarta relatif lebih dahulu berkembang namun Jakarta, Bandung, dan Medan terbukti lebih pesat perkembangannya karena sangat ditunjang oleh hinterland yang mendukung.

4. Penjaga fungsi- fungsi keseimbangan ekologis.

Secara filosofis suatu batas wilayah nodal memotong suatu daerah pada suatu garis yang memisahkan dua daerah karena memiliki orientasi terhadap pusat pelayanan yang berbeda. Dengan demikian batas fisik dari setiap daerah pelayanan bersifat sangat baur dan dinamis. Disamping itu, batas wilayah nodal sangat dipengaruhi oleh perkembangan sistem transportasi sebab kemampuan suatu pusat wilayah melayani hinterland-nya sangat ditentukan oleh sistem transportasi yang ada.

(31)

tersebut yang bisa bersifat alamiah maupun artifisial dimana keterkaitannya sangat menentukan sehingga perlu perencanaan secara integral. Sebagai contoh, secara alamiah suatu daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu wilayah yang terbentuk dengan matrik dasar kesatuan hidrologis yang perlu direncanakan secara integral. Sedangkan secara artifisial wilayah Jabotabek yang mempunyai keterkaitan faktor- faktor sosial ekonomi yang cukup signifikan juga perlu direncanakan secara integral. Namun cara klasifikasi konsep wilayah seperti tersebut di atas ternyata kurang mampu menjelaskan kompleksitas atau keragaman konsep-konsep wilayah yang ada.

Menurut Rustiadi et al. (2004), pemahaman wilayah dapat dilihat seperti pada Gambar 1. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa wilayah merupakan suatu sistem yang mempunyai keterkaitan fungsional yang berbeda, namun sayangnya pendekatan perencanaan dan pengelolaan wilayah seringkali lebih didasarkan pada aspek administrasi-politik daripada aspek keterkaitan wilayah sebagai sebuah sistem.

Dalam prakteknya di Indonesia terdapat beberapa istilah yang merujuk kepada pengertian wilayah, di antaranya adalah pemakaian istilah daerah dan kawasan. Menurut Rustiadi et al. (2004), meskipun pengertian daerah tidak disebutkan secara eksplisit namun umumnya dipahami sebagai unit wilayah berdasarkan aspek administrasif. Sedangkan penggunaan, istilah kawasan di Indonesia digunakan karena adanya penekanan-penekanan fungsional dari suatu unit wilayah. Karena itu batasan/definisi dari konsep kawasan adalah adanya karakteristik hubungan dari fungsi- fungsi dan komponen-komponen di dalam suatu unit wilayah, sehingga batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional. Dengan demikian, setiap kawasan atau sub-kawasan memiliki fungsi-fungsi khusus yang tentunya memerlukan pendekatan program tertentu sesuai dengan fungsi yang dikembangkan tersebut.

(32)
[image:32.596.111.541.91.459.2]

Gambar 1 Kerangka klasifikasi konsep wilayah. (Sumber: Rustiadi et al. 2004)

Strategi pengembangan suatu wilayah sangat ditentukan oleh karakteristik dan potensi yang terdapat di wilayah tersebut. Oleh karena itu, sebelum melakukan perumusan kebijakan yang dilaksanakan perlu mengetahui tipe/jenis wilayahnya. Menurut Tukiyat (2002), secara umum terdapat lima tipe wilayah dalam suatu negara, yaitu:

1. Wilayah yang telah maju.

2. Wilayah netral, yang dicirikan dengan adanya tingkat pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi.

3. Wilayah sedang, yang dicirikan adanya pola distribusi pendapatan dan kesempatan kerja yang relatif baik.

4. Wilayah yang kurang berkembang atau kurang maju, yang dicirikan adanya tingkat pertumbuhan yang jauh di bawah tingkat pertumbuhan Wilayah

Homogen

Sistem/

Fungsional

Perencanaan/ Pengelolaan

Sistem Sederhana

Nodal (pusat - hinterland )

Desa - Kota

Budidaya - Lindung

Sistem Sosial - Politik:

cagar budaya, wilayah etnik Sistem ekonomi:

Agropolitan, kawasan produksi, kawas an industri

Sistem ekologi: DAS, hutan, pesisir

Umumnya disusun/dikembangkan berdasarkan:

Konsep homogen/fungsional: KSP, KATING, dan

sebagainya

Administrasi-politik: propinsi, Kabupaten, Kota
(33)

nasional dan tidak ada tanda-tanda untuk dapat mengejar pertumbuhan dan pengembangan.

5. Wilayah tidak berkembang.

Pada era otonomi daerah saat ini, maka salah satu konsep pengembangan wilayah yang perlu mendapat perhatian adalah pengembangan ekonomi wilayah. Oleh karena itu, menurut Tukiyat (2002), konsep pengembangan ekonomi wilayah harus berorientasi pada pertumbuhan ekonomi wilayah dengan menggali potensi produk unggulan daerah.

Salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam kegiatan pengembangan wilayah adalah menyusun perencanaan wilayah. Menurut Tarigan (2004), perencanaan wilayah adalah perencanaan penggunaan ruang wilayah (termasuk perencanaan pergerakan di dalam wilayah) dan perencanaan kegiatan pada ruang wilayah tersebut. Perencanaan penggunaan ruang wilayah diatur dalam bentuk perencanaan tata ruang wilayah, sedangkan perencanaan kegiatan dalam wilayah diatur dalam perencanaan pembangunan wilayah. Tata ruang wilayah merupakan landasan dan juga sekaligus juga sasaran dari perencanaan pembangunan wilayah.

Perencanaan pembangunan wilayah tidak mungkin terlepas dari apa yang sudah ada saat ini di wilayah tersebut. Aktor/pelaku pembangunannya adalah seluruh masyarakat yang ada di wilayah tersebut, termasuk di dalamnya pemerintah daerah serta pihak-pihak luar yang ingin melakukan kegiatan di wilayah tersebut. Paling tidak terdapat dua peran pemerintah daerah yang cukup penting dalam pembangunan wilayah, yakni sebagai pengatur atau pengendali (regulator) dan sebagai pemacu pembangunan (stimulator). Dana yang dimiliki pemerintah dapat digunakan sebagai stimulan untuk mengarahkan investasi swasta atau masyarakat umum ke arah yang diinginkan oleh pemerintah.

(34)

Kota dalam Perspektif Pengembangan Wilayah

Dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 juncto UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dikatakan bahwa pemerintah daerah terdiri dari tiga tingkatan, yaitu wilayah provinsi, wilayah kabupaten dan kota, dan wilayah kecamatan. Kabupaten sebagai daerah otonom merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas tertentu. Kabupaten berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat nenurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Menyinggung masalah kota sebagai ibukota dan pusat pemerintahan suatu wilayah tidak akan terpisah dari pada konsep wilayah administratif-politis. Menurut Rustiadi et al. (2004), konsep ini didasarkan pada suatu kenyataan bahwa wilayah berada dalam satu kesatuan politis yang umumnya dipimpin oleh suatu sistem birokrasi atau sistem kelembagaan dengan otonomi tertentu. Sering pula wilayah administratif ini disebut sebagai wilayah otonomi, artinya suatu wilayah yang mempunyai suatu otoritas melakukan keputusan dan kebijaksanaan sendiri dalam sumberdaya di dalam wilayahnya. Wilayah administratif merupakan wilayah yang dibatasi atas dasar kenyataan bahwa wilayah tersebut berada dalam batas-batas pengelolaan administrasi/tatanan politis tertentu, seperti: negara, provinsi, kabupaten, dan lain sebagainya. Ketika suatu wilayah dikatakan sebagai wilayah politik maka tekanan pembangunan disamping mengupayakan tujuan optimalisasi pemanfaatan ruang juga bertujuan menciptakan equity atau pemerataan dan keadilan pembangunan antar kawasan menjadi semakin dominan (Rustiadi et al. 2004).

Konsep kota kabupaten sebagai kota dalam tata ruang mempunyai beberapa elemen yang dapat dilihat secara terpisah. Namun, jika dilihat secara bersamaan akan dapat dipergunakan dalam ruang lingkup yang lebih luas, yaitu organisasi tata ruang kegiatan manusia. Unsur-unsur tata ruang yang penting adalah jarak, lokasi, bentuk, dan ukuran. Unsur-unsur ini secara bersama menyusun unit tata ruang yang disebut wilayah.

(35)

konsep ruang juga dibahas pada hubungan fungsional dalam konsep jarak dan ruang relatif. Perubahan ukuran jarak dapat mengubah seluruh unit tata ruang. Konsep ruang relatif yang didasari oleh jarak relatif yang merupakan fungsi dari pandangan atau persepsi ruang dari individual atau kelompok sosial. Dalam konsep ruang absolut, jarak diukur secara fisik, sedangkan dalam konsep ruang relatif, jarak diukur secara fungsional berdasarkan unit waktu, ongkos, dan usaha (Yunus 2005).

Salah satu dari fungsi ibukota kabupaten adalah sebagai kota penyangga yang diharapkan akan mampu mengurangi arus migrasi ke kota yang berhirarki lebih tinggi. Kota itu sendiri merupakan tempat konsentrasi penduduk dengan berbagai macam variasi kegiatan dari berbagai sektor yang mempunyai tingkat spesialisasi tinggi. Kota terletak pada lokasi yang memiliki cukup akses, serta dipandang sebagai daerah modern, dinamis dan inovatif.

Menurut Sarundajang (1997), fungsi ibukota kabupaten dikaitkan dengan pembangunan di Indonesia antara lain adalah:

1. Pendorong ekonomi daerah yang dapat memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional dan regional.

2. Sebagai kota penyangga yang diharapkan akan mampu mengurangi arus migrasi langsung ke kota-kota besar, metropolitan, dan megapolitan.

3. Sebagai pusat pertumbuhan yang berfungsi untuk merangsang perkembangan daerah perdesaan.

Menurut Yunus (2005), ada empat fungsi dasar kota. Keempat fungsi tersebut adalah:

1. Pusat pelayanan terhadap wilayah belakang. 2. Pusat komunikasi antar wilayah.

3. Pusat produksi barang-barang.

4. Merangsang perkembangan daerah sekitar.

(36)

koleksi dan distribusi arus produksi, kapital, dan jasa yang memperlihatkan hubungan ketergantungan timbal balik (Yunus 2005).

Fungsi utama kota adalah memberikan pelayanan kepada wilayah belakangnya (hinterland services). Pelayanan tersebut berupa penyediaan fasilitas pemasaran dan pelayanan jasa yang sangat tergantung pada kemampuan kota itu sendiri dalam penyediaan fasilitas- fasilitas yang dibutuhkan. Selain itu juga dipengaruhi oleh kemampuan wilayah belakang dalam memasok barang-barang yang akan dibutuhkan wilayah kota. Kota mempunyai peran dan fungsi sebagai pusat pelayanan terhadap hinterland-nya apabila antara kota dengan hinterland

terjadi suatu hubungan timbal balik yang saling menguatkan.

Teori Tempat Sentral

Menurut Djojodipuro (1992), teori tempat sentral diperkenalkan pada tahun 1933 oleh Walter Christaller yang dikenal dengan central place theory. Teori ini menerangkan hirarki aktivitas jasa dari tingkat yang paling bawah yang terdapat di kota kecil hingga kota besar. Kota besar memiliki banyak ragam jenis kegiatan jasa dengan skala besar, makin kecil sebuah kota maka akan makin sedikit pula ragam kegiatan jasa dan makin kecil skala pelayanannya. Sejalan dengan hirarki jasa yang dimiliki, maka akan diperoleh suatu susunan hirarki berbagai kota pusat kegiatan di suatu daerah.

Setiap kegiatan pelayanan dari tempat sentral mempunyai batas ambang penduduk dan jangkauan pasar. Batas ambang penduduk atau treshold population

adalah jumlah penduduk minimum yang dibutuhkan untuk dapat mendukung suatu penawaran jasa pelayanan. Jika jumlah penduduk di bawah batas ambang tersebut, maka kegiatan pelayanan dari sektor yang dimaksud tidak akan dapat disediakan. Jangkauan pasar atau market range suatu aktivitas jasa adalah jarak yang rela ditempuh seseorang untuk mendapatkan jasa yang dibutuhkannya. Apabila jarak tempuh semakin jauh, maka konsumen akan memilih alternatif lain yang lebih terjangkau untuk memperoleh jasa yang sama.

(37)

1. Daerah yang bersangkutan merupakan daerah yang sama datar dengan penyebaran sumberdaya alam dan penduduk yang terdistribusi merata. 2. Penduduk tersebut memiliki mata pencaharian yang sama, seperti bertani.

Konsep dasar dari teori tempat sentral yang dikembangkan oleh Christaller tersebut adalah sebagai berikut:

1. Wilayah yang dilayani oleh tempat sentral adalah wilayah komplementer bagi tempat sentral.

2. Tempat sentral mempunyai kegiatan sentral, yaitu yang melayani wilayah terluas yang disebut tempat sentral orde tertinggi, sedangkan tempat sentral yang melayani wilayah lebih kecil disebut tempat sentral orde rendah.

3. Batas pelayanan dari setiap kegiatan sentral digambarkan sebagai batas jangkauan dari komoditi tersebut.

4. Permintaan terhadap komoditi dari tempat sentral tersebut tergantung secara timbal balik pada distribusi dan variasi kondisi sosial-ekonomi penduduk serta konsentrasi penduduk di setiap tempat sentral.

5. Permintaan terhadap kegiatan di tempat sentral tergantung pada jarak dan usaha konsumen untuk memperoleh komoditi tersebut. Diasumsikan bahwa permintaan terhadap komoditi tersebut akan semakin berkurang hingga mencapai titik nol untuk setiap pertambahan jarak dari tempat sentral.

Menurut Richardson (1977) seperti dikutip oleh Yunus (2005), pertumbuhan suatu daerah perkotaan merupakan fungsi dari penduduk dan tingkat pendapatan wilayah belakangnya. Peningkatan pertumbuhan wilayah kota tergantung pada laju permintaan wilayah belakangnya terhadap barang dan jasa pelayanan dari kota.

Pertumbuhan pesat pada pusat kota pada hakikatnya akan meningkatkan kepadatan penduduknya, yang akan berimplikasi pada berkurangnya tingkat ketenangan, kesehatan lingkungan, dan kenyamanan hidup atau akan meningkatkan permasalahan kualitas hidup. Apabila penduduk kota mempunyai kemampuan untuk berpindah, maka mereka akan memilih untuk pindah ke

(38)

Sedangkan pusat kota hanya menjadi tempat bekerja atau melakukan aktivitas ekonomi. Pada gilirannya perpindahan penduduk dari pusat kota ke wilayah belakangnya akan mengakibatkan populasi di pusat kota semakin berkurang, sedangkan di hinterland akan bertambah. Fenomena ini dikenal dengan istilah fenomena kue donat.

Teori Lokasi dan Pemusatan Kegiatan

Menurut Hanafiah (1989), pemerintah sebagai penentu lokasi mempunyai kekuatan atau kewenangan yang dapat mempengaruhi penentuan lokasi berbagai kegiatan ekonomi rumah tangga dan perusahaan melalui kegiatan masyarakat yang tersebar secara spasial, dan bertujuan untuk memaksimumkan pelayanan kepada masyarakat melalui penyebaran fasilitas pelayanan secara merata.

Kajian tentang teori lokasi secara komprehensif dilaksanakan oleh Alfred Weber pada tahun 1909 (Tarigan 2005). Apabila Von Thunen menganalisis lokasi kegiatan pertanian, maka Weber mengana lisis lokasi kegiatan industri atas prinsip minimisasi biaya. Weber mengemukakan teori lokasinya berdasarkan asumsi-asumsi sebagai berikut:

1. Lokasi kajian adalah suatu wilayah yang terisolasi, mempunyai iklim yang homogen, konsumen terkonsentrasi pada beberapa puasat aktivitas, dan kondisi pasar adalah persaingan sempurna.

2. Beberapa sumberdaya alam, seperti tanah liat, pasir, dan air tersedia dimana- mana dalam jumlah yang memadai (ubiquitous).

3. Bahan-bahan lainnya tersedia secara sporadis pada tempat-tempat tertentu dengan jumlah terbatas.

4. Tenaga kerja tidak tersedia secara luas, tetapi terbatas pada beberapa lokasi dengan mobilitas yang tetap.

Menurut Hanafiah (1989), teori lokasi Weber lebih menekankan pada lokasi industri, dengan anggapan bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi lokasi tersebut adalah:

(39)

Biaya transportasi dan biaya tenaga kerja merupakan faktor umum yang secara fundamental berpengaruh dalam penentuan lokasi kegiatan industri, biaya transportasi berband ing lurus dengan dengan jarak tempuh, dan ketersediaan tenaga kerja dengan upah yang rendah di lokasi tertentu akan mempengaruhi keputusan pemilihan lokasi.

2. Kekuatan aglomerasi dan deglomerasi (aglomerative and deglomerative force).

Kekuatan aglomerasi dan deglomerasi adalah faktor yang juga turut menentukan konsentrasi atau penyebaran berbagai kegiatan ekonomi dalam suatu pola tata ruang. Sampai pada tingkat tertentu kegiatan ekonomi akan cenderung terkonsentrasi atau mengumpul pada suatu lokasi tertentu. Bila hal ini berlangsung terus menerus, maka akan timbul kejenuhan ekonomi pasar lokal yang ditandai oleh diseconomic of scale, dan ini akan mengakibatkan menyebarnya kegiatan ekonomi ke wilayah lain di sekitarnya.

Berdasarkan faktor tersebut di atas, maka lokasi industri akan cenderung akan memilih lokasi dengan biaya input yang paling minimum. Weber menyatakan bahwa biaya transportasi merupakan faktor utama dalam determinasi lokasi, asumsinya adalah bahwa biaya transportasi bertambah secara proporsional dengan bertambahnya jarak angkut, sedangkan faktor lainnya merupakan faktor yang dapat memodifikasi lokasi.

Salah satu kelemahan dari teori Weber adalah hanya menekankan pada biaya input dan kurang memperhatikan aspek permintaan pasar, padahal pasar adala h termasuk salah satu variabel dalam menentukan lokasi industri. Konsumen tersebar di wilayah yang luas dengan intensitas permintaan yang berbeda-beda, sehingga pasar menjadi faktor penting dalam pemilihan lokasi yang optimum, yaitu lokasi dimana dapat diperoleh laba maksimum. Hal ini dikemukakan oleh Losch pada tahun 1939, seperti dikutip oleh Hanafiah (1989). Dalam konsep teori lokasinya, Losch mendasarkan pada asumsi:

1. Tidak ada perbedaan spasial dalam distribusi input, seperti bahan baku, tenaga kerja, dan modal pada suatu wilayah yang homogen.

(40)

3. Tidak ada interdependensi antara perusahaan.

Apabila Weber melihat persoalan dari sisi produksi, maka Losch melihat persoalan dari sisi permintaan pasar atas dasar prinsip lokasi yang dapat memaksimumkan laba. Losch mengatakan bahwa lokasi penjual sangat berpengaruh terhadap jumlah konsumen yang dapat digarapnya. Makin jauh dari tempat penjual, konsumen makin enggan membeli karena biaya transportasi unt uk mendatangi tempat penjual semakin mahal. Produsen harus memilih lokasi yang menghasilkan penjualan terbesar yang identik dengan penerimaan terbesar. Pandangan ini mengikuti pandangan Christaller. Atas dasar pandangan tersebut Losch cenderung menyarankan lokasi produksi berada di pasar atau di dekat pasar (Tarigan 2005).

Menurut Isard (1960) dalam Tarigan (2005), masalah lokasi merupakan masalah penyeimbangan antara biaya dengan pendapatan yang dihadapkan pada suatu situasi ketidak pastian yang berbeda-beda. Keuntungan relatif dari lokasi sangat dipengaruhi oleh faktor dasar (a) biaya input atau bahan baku, (b) biaya transportasi, dan (c) keuntungan aglomerasi.

Perkembangan dari teori Losch dikembangkan lebih lanjut oleh Isard pada tahun 1956 dengan konsep aglomerasi. Konsep aglomerasi Isard adalah:

1. Faktor skala usaha yang ekonomis, yaitu suatu besaran skala usaha dari suatu perusahaan tertentu, sebagai konsekuensi dari perluasan perusahaan di suatu lokasi.

2. Faktor lokalisasi yang ekonomis, yaitu lokasi yang ekonomis bagi sekelompok perusahaan industri yang sejenis, sebagai konsekuensi dari peningkatan produksi total pada suatu lokasi.

3. Faktor urbanisasi yang ekonomis, yaitu suatu lokasi yang ekonomis bagi semua perusahaan dari berbagai jenis industri, sebaga i konsekuensi kegiatan ekonomi secara keseluruhan di suatu tempat berdasarkan jumlah penduduk, tingkat pendapatan, produksi dan tingkat kesejahteraan setempat.

(41)

bersangkutan. Hal ini terjadi karena adanya berbagai keuntungan yang dihasilkan oleh daerah-daerah pemusatan yang menjadi daya tarik bagi penduduk dan perusahaan atau aktivitas ekonomi untuk memilih lokasi pada daerah-daerah tersebut. Keuntungan-keuntungan tersebut dinamakan dengan keuntungan aglomerasi.

Keuntungan aglomerasi, dapat didefinisikan sebagai keuntungan yang diperoleh individu penduduk atau perusahaan, dan oleh masyarakat dan industri secara keseluruhan pada suatu daerah dimana terjadi pemusatan kegiatan. Keuntungan ini merupakan keuntungan eksternal yang diakibatkan oleh adanya pemusatan geografi kependudukan, perusahaan, aktivitas sosial ekonomi, ketersediaan sarana dan prasaran fasilitas pelayanan umum dari berbagai institusi dan kelembagaan baik pemerintah maupun swasta.

Konsep aglomerasi dapat timbul pada berbagai skala, dimana pusat-pusat aglomerasi yang lebih kecil akan cenderung mengitari pusat aglomerasi yang lebih besar. Pusat dengan tingkat terendah akan melaksanakan berbagai fungsi atau menyediakan berbagai barang dan jasa yang jumlah dan jenisnya terbatas oleh terbatasnya jumlah penduduk ataupun sumberdaya yang dimiliki wilayah tersebut. Pada umumnya aglomerasi terjadi pada bidang pelayanan administrasi, kesehatan, sosial, keuangan, perdagangan, tenaga kerja, dan lalu lintas perhubungan.

Setiap pemusatan akan menghasilkan pengaruh positif dan negatif. Adanya pemusatan yang berlebihan pada daerah-daerah tertentu, di samping akan menimbulkan masalah sosial ekonomi dan lingkungan hidup, juga akan menyebabkan dana dan sumberdaya untuk pembangunan wilayah lain menjadi terbatas. Apalagi dengan adanya aktivitas lembaga pemerintahan yang berhirarki lebih tinggi di suatu wilayah, maka perhatian pemerintah terhadap wilayah tersebut cenderung lebih besar dibandingkan terhadap wilayah lainnya.

(42)

daerah inti ini menjadi pusat pelayanan bagi daerah sekitarnya. Pemusatan pusat pelayanan akan memberikan keuntungan antara lain:

1. Pemanfaatan dan pengelolaan fasilitas pelayanan akan lebih intensif daripada tidak dipusatkan.

2. Fungsi dari setiap fasilitas pelayanan akan lebih efisien.

3. Mengoptimalkan fungsi berbagai kelembagaan dan social capital

masyarakat.

Usaha penekanan biaya operasional dalam rangka meningkatkan efisiensi fasilitas pelayanan atau untuk mendapatkan pasar dan jumlah konsumen yang cukup besar bagi fasilitas pelayanan, cenderung dapat mengurangi banyaknya pusat-pusat pelayanan, sehingga dapat meningkatkan biaya perjalanan konsumen. Jika ditinjau dari segi usaha untuk meningkatkan kesamaan jarak maksimum yang bersedia ditempuh oleh setiap konsumen, maka jumlah pusat-pusat pelayanan perlu ditambah sehingga biaya perjalanan atau jarak ekonomi dapat dikurangi.

Menurut Rushton (1979), permasalahan lokasi yang terjadi di negara berkembang adalah:

1. Belum berkembangnya sistem transportasi.

Sistem transportasi yang ada belum terintegrasi dengan lokasi fasilitas pelayanan masyarakat sehingga sangat menyulitkan bagi masyarakat yang membutuhkan pelayan.

2. Fasilitas pelayanan tidak sesuai dengan kebutuhan.

Sering terjadi fasilitas yang tersedia tidak sesuai dengan kebutuhan dalam ukuran tata ruang, sehingga keberadaan fasilitas yang telah ada tidak dapat memenuhi suatu permintaan yang sesuai dengan yang diperlukan.

3. Kesalahan lokasi akibat pengaruh sistem kolonial.

Perlunya perbaikan pada sistem pola lokasi yang dibangun oleh sistem kolonial karena hal ini sering menjadi kendala dalam perencanaan pembangunan di masa sekarang dan akan datang, seperti diketahui bahwa sistem kolonial dibangun untuk tujuan dan sesuai dengan keperluan dan kepentingan pemerintah kolonial pada saat itu.

(43)

Upaya pemerataan kesejahteraan masyarakat di suatu wilayah perlu dijadikan perhatian, sehingga perencanaan pembangunan fasilitas pelayanan di suatu wilayah dapat mengarah kepada pencapaian tujuan untuk meningkatkan tingkat pemerataan kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut.

Penetapan lokasi dari suatu jenis kegiatan hendaknya tidak hanya sekedar menerangkan kegiatan tersebut sebagaimana adanya, melainkan harus dibuat keputusan yang rasional serta dikemukakan alasan mengapa kegiatan tersebut berada di suatu tempat. Cara terbaik untuk menyediakan pusat pelayanan kepada penduduk yang mendasarkan pada aspek keruangan adalah dengan menempatkan lokasi kegiatan pada hirarki wilayah yang luasnya makin meningkat dan berada pada tempat sentral. Tempat sentral adalah tempat yang memungkinkan partisipasi manusia dalam jumlah maksimal, baik bagi mereka yang terlibat dalam aktivitas maupun yang menjadi konsumen dari pelayanan yang dihasilkan (Rushton 1979).

Hirarki Pusat Aktivitas

Distribusi spasial dari berbagai aktivitas dengan treshold yang berbeda akan mengarah pada tumbuhnya berbagai tingkatan lokasi pusat pelayanan, dan selanjutnya distribusi pusat-pusat ini akan membentuk pola spasial sistem lokasi pusat-pusat pelayanan.

(44)

tidak dapat menggambarkan dengan cukup baik aktivitas ekonomi riil yang terjadi.

Pemikiran awal ini kemudian diperkaya oleh Christaller dan Losch dalam Smith (1976), dengan “teori lokasi pusat” yang mulai mencoba untuk menjelaskan mengapa dalam suatu wilayah bisa muncul pusat-pusat aktivitas. Menurut Christaller setiap produsen mempunyai skala ekonomi yang berbeda sehingga aktivitasnya akan menjadi efisien apabila jumlah konsumennya mencukupi. Karena itu secara lokasional aktivitas dari suatu produsen ditujukan untuk melayani wilayah konsumen yang berada dalam suatu jarak atau range tertentu. Dengan demikian wilayah cakupan dari produk yang dihasilkan akan sangat tergantung kepada seberapa jauh keinginan konsumen melakukan perjalanan untuk memperolehnya, elastisitas demand, harga produk, biaya transport, dan frekuensi penggunaannya.

Area di sekitar produsen atau suplier yang memiliki tingkat demand

konsumen yang mencukupi terhadap barang dan jasa yang dihasilkan disebut dengan istilah treshold. Setiap produk yang dihasilkan, termasuk dalam hal ini fasilitas umum, mempunyai wilayah treshold-nya sendiri. Karena itu distribusi spasial dari aktivitas produksi bisa diprediksi berdasarkan wilayah treshold-nya. Dari sisi karakteristik suplai, aktivitas ekonomi skala besar akan berada di pusat pelayanan hirarki I karena wilayah treshold-nya luas. Sementara dari sisi karakteristik demand, produk yang sifatnya inelastis dan frekuensi penggunaannya tidak terlalu sering juga akan berada di pusat pelayanan hirarki I, sebagai upaya untuk mengoptimalkan keuntungan melalui maksimisasi jumlah konsumen yang harus dilayani.

Sistem lokasi pusat-pusat pelayanan dapat diidentifikasi melalui pendekatan

top down, yaitu dari aktivitas produksi dengan treshold tinggi ke rendah, atau

bottom up, yaitu dari aktivitas produksi dengan treshold rendah ke tinggi. Christaller diacu dalam Smith (1976), melakukan identifikasi melalui pendekatan

(45)

menyediakan barang dan jasa yang lebih rendah, yaitu barang dan jasa yang dihasilkan oleh aktivitas produksi yang treshold-nya rendah. Keberadaan barang dan jasa yang lebih rendah di lokasi pusat utama disebabkan karena produsen dengan treshold rendah ingin mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi dari

treshold-nya itu sendiri. Sementara itu lokasi pusat pelayanan yang lebih rendah hanya akan menyediakan barang dan jasa yang lebih rendah.

Sedangkan Losch diacu dalam Smith (1976), melakukan identifikasi melalui pendekatan bottom up. Hasil analisanya menunjukkan bahwa lokasi pusat utama hanya akan menyediakan barang dan jasa utama, sedangkan lokasi pusat yang lebih rendah hanya akan menyediakan barang dan jasa yang lebih rendah. Menurut Smith (1976), pemikiran Losch ini banyak ditentang oleh para peneliti, karena dengan menggunakan teknik skalogram berdasarkan skala Gutman, secara empiris tidak pernah ditemukan lokasi pusat pelayanan yang hanya menyediakan barang dan jasa utama saja.

Pada perkembangan selanjutnya, Isard (1975), mulai mempertanyakan kegunaan dari teori yang tidak mampu melakukan prediksi karena asumsinya yang kurang realistis. Berkaitan denga n teori lokasi pusat, asumsi-asumsi yang dikritisi mencakup kondisi wilayah yang homogen, terjadinya persaingan sempurna antar produsen/suplier, lokasi produsen/suplier hanya didasarkan pada

treshold, hanya ada satu produsen/suplier pada satu pusat, dan konsumen

melakukan perjalanan hanya untuk satu tujuan saja.

Berdasarkan hasil temuan empiris, produsen/suplier selain menyediakan jasa untuk konsumen, pada dasarnya juga menjadi konsumen bagi produsen/suplier yang lain. Karena itu antar produsen/suplier pun saling terkait dalam kerangka sistem supply dan demand. Dengan demikian, sebenarnya para produsen/suplier akan muncul di satu lokasi apabila terjadi konsentrasi demand di lokasi tersebut. Menurut Isard (1975), teori lokasi pusat tidak mempertimbangkan adanya konsentrasi demand, dan munculnya lokasi pusat utama dalam kondisi wilayah yang relatif homogen justru mengganggu asumsi dasar dari teorinya.

(46)

untuk melakukan perjalanan. Fakta empiris ini menggugurkan asumsi bahwa konsumen melakukan perjalanan hanya untuk satu tujuan, dan sekaligus membuat asumsi bahwa lokasi produsen/suplier hanya ditentukan oleh treshold- nya menjadi tidak realistis. Apabila produsen/suplier memilih lokasi hanya berdasarkan

treshold-nya, mereka akan memilih lokasi yang lebih jauh untuk bisa melayani wilayah konsumen yang lebih luas. Tetapi karena bagi konsumen membeli berbagai barang dalam satu kali perjalanan membuat ongkos transport menjadi lebih murah, maka produsen/suplier yang berbeda akan memilih lokasi yang berdekatan untuk melayani keinginan konsumen.

Crissman diacu dalam Smith (1976), mencoba untuk memperbaiki teori lokasi pusat dengan mengubah asumsinya. Dengan menggunakan pendekatan top down seperti yang dilakukan oleh Christaller, maka dia mengemukakan bahwa lokasi pusat utama ini mempunyai wilayah hinterland yang jauh lebih besar daripada yang diperkirakan oleh Christaller.

Dari berbagai uraian di atas, diketahui bahwa berkembangnya suatu lokasi menjadi pusat pelayanan, secara alamiah terjadi karena adanya proses aglomerasi yang bertujuan untuk mengoptimalkan economic of scale (biaya per satuan input menjadi lebih murah apabila skala aktivitasnya menjadi lebih besar) dan

economic of scope (nilai tambah akan meningkat apabila berbagai aktivitas ekonomi yang berbeda digabungkan).

Selanjutnya menur ut Smith (1976), teori lokasi pusat ini akan sangat membantu dalam mengenali sistem hirarki pusat wilayah yang terjadi di lapangan secara empiris. Fakta empiris pertama yang dijumpai adalah sistem hirarki pusat yang berjenjang seperti distribusi log- normal (rank-size distribution of urban center). Menurut Berry diacu dalam Smith (1976), hal ini terjadi karena proses

trickle down effect dapat berjalan dengan baik. Tenaga kerja di kota-kota besar akan menuntut upah yang lebih tinggi, sehingga industri akan bergeser ke wilayah-wilayah yang upah tenaga kerjanya lebih rendah. Karena itu industri akan bergeser dari kota-kota besar ke kota-kota yang lebih kecil dan multiplier effect dari bergesernya lokasi industri ini akan mendorong proses trickle down

(47)

lama dan adanya kompetisi diantara perusahaan dalam memperoleh faktor produksi dan tenaga kerja. Karena it u menurut Smith (1976), kondisi ini umumnya terjadi pada wilayah-wilayah yang perekonomiannya sudah matang, masyarakat industri, dan negara-negara maju.

Fakta empiris kedua adalah sistem hirarki pusat dimana lokasi pusat utama sangat dominan (primate system). Dalam primate system, tidak semua bagian dari suatu wilayah mendapatkan pelayanan yang sama, tetapi ada satu pusat yang dipilih untuk dikembangkan melebihi share dari produsen/suplier yang secara riil ada di lokasi tersebut, memonopoli aktivitas ekono mi seluruh wilayah, dan meninggalkan wilayah hinterland yang jauh menjadi tidak terlayani. Banyak orang berpikir bahwa fakta empiris ini mirip dengan model Von Thunen, dimana munculnya primate center justru akan mendorong komersialisasi dan intensifikasi di wilayah hiterland-nya. Tetapi perlu diingat bahwa model Von Thunen tidak mempertimbangkan faktor- faktor ekonomi bisa bergerak dengan bebas.

Menurut Kelley diacu dalam Smith (1976), apabila tidak ada alternatif ekonomi yang lebih baik bagi produsen yang jauh dari pusat pasar, maka mereka akan menyesuaikan intesitas produksinya dengan pertumbuhan penduduk. Pada kondisi yang kompetitif, hal ini akan mendorong berkembangnya pusat pasar di daerah periphery. Tetapi menurut Smith (1976), apabila jaringan transportasi, modal, dan industri terkonsentrasi di satu pusat (primate center), intensifikasi produksi di daerah periphery hanya akan menyebabkan harga yang lebih rendah bagi produk periphery yang dihasilkan (term of trade-nya rendah).

(48)

perusahaan di primate center mempunyai keuntungan dari kondisi pasar

monopsony dalam memperoleh faktor produksi dan tenaga kerja.

Pola Spasial Hirarki Pusat Aktivitas

Pola spasial keterkaitan antar hirarki pusat-pusat aktivitas dan jalan yang menghubungkannya mempunyai peranan yang sangat pening dalam mewujudkan keberimbangan pembangunan antar wilayah, dan membangun interaksi antar wilayah yang saling memperkuat. Menurut Smith (1976), berdasarkan fakta empiris terdapat tiga jenis pola spasial yang mengakibatkan suatu wilayah selalu berada dalam kondisi tertinggal, yaitu: (1) dendritic system, (2) solar system, dan (3) network system.

Dendritic system berarti pola hubungan antara desa – kota kecil – kota menengah – kota besar, yang memiliki bentuk seperti pola aliran sungai yang terdiri dari induk dan anak-anak sungainya. Beberapa desa langsung terhubung dengan kota kecil. Beberapa kota kecil langsung terhubung dengan kota menengah, demikian seterusnya. Dalam pola ini, interaksi antar desa atau antar kota kecil tidak ada sama sekali. Pola seperti ini akan mengakibatkan komoditas yang dihasilkan petani mengalir langsung ke wilayah pusat kota sehingga meninggalkan perekonomian desa atau perekonomian domestik dalam kondisi ketertinggalan. Pusat wilayah pada hirarki yang lebih rendah akan berada di bawah kontrol pusat wilayah pada hirarki wilayah yang lebih tinggi, karena pusat wilayah pada hirarki yang lebih rendah tidak bisa memilih pusat wilayah lain pada hirarki yang lebih tinggi yang bisa menawarkan harga lebih kompetitif.

Solar system berarti pola hubungan dimana kota besar langsung

(49)

Network system berarti pola hubungan yang bersifat simetris atau sejajar antar wilayah, dan tidak ada wilayah yang menjadi pusat. Pola ini biasa ditemui di wilayah-wilayah yang aktivitas ekonominya masih sederhana dan terisolasi dari pusat-pusat aktivitas di perkotaan. Pada pola ini transaksi yang dilakukan selain bersifat ekonomi juga bersifat sosial, yaitu untuk menjalin kekerabatan. Wilayah pada pola ini menjadi lemah karena tidak ada dorongan dari luar untuk maju.

Penempatan Fasilitas Publik dan Location-allocation Models

Optimalisasi dan efisiensi suatu wilayah sebagai pusat pemerintahan dan pusat pelayanan dengan penempatan fasilitas publik sangat penting untuk mendor

Gambar

Gambar 1  Kerangka klasifikasi konsep wilayah.
Gambar 2  Hubungan location-allocations models dengan penentuan       lokasi penempatan fasilitas
Tabel 1  Daftar data kependudukan dan jenis sarana-prasarana yang dianalisis
Tabel 2  Skalogram Kabupaten “X”
+7

Referensi

Dokumen terkait

Globalni cilj je opredeljen kot »PRESOJANJE BONITETE PODJETJA«, kriteriji so »KVANTITATIVNI DEJAVNIKI« in »KVALITATIVNI DEJAVNIKI«, atributi pa so »STOPNJA

Berdasarkan perhitungan statistik secara anava tunggal ternyata terdapat perbedaan yang bermakna, juga pada perhitungan LSD hal ini berarti seiring dengan peningkatan

Faktor yang mempengaruhi respon terhadap glukosa darah yaitu komposisi dari makanan, jenis dari karbohidrat yang terdapat pada makanan, struktur fisik dan kimia

[r]

Peranan kegiatan Promosi Untuk Menarik Minat Pengguna Menjadi Anggota Perpustakaan Pada Badan Perpustakaan, Arsip, dan Dokumentasi (BPAD) Provinsi Sumatera Utara.. Medan:

Dari beberapa pendapat di atas dapat dikemukakan bahwa publikasi merupakan kegiatan promosi yang dilakukan dalam bentuk penyajian gagasan, barang atau jasa melalui media

bukan berarti saya hendak mengatakan kepada kita untuk tidak berhak terhadap uang ataupun berkat yang kita miliki tersebut, tetapi hal ini lebih didasarkan pada kesadaran kita

Pada PES 2013, akan lebih mudah dalam melakukan dribbling untuk melewati pemain lawan, namun lebih susah dalam melakukan umpan 1-2 jika dibandingkan PES 20121. Trik dalam