• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hirarki Wilayah, Aksesibilitas, dan Persepsi Stakeholder dalam Penentuan Pusat Pemerintahan dan Pelayanan Kabupaten Aceh Timur

Pelaksanaan otonomi daerah seyogyanya bertumpu pada proses transformasi dan penguatan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan. Oleh karena itu, pegembangan wilayah menuntut peningkatan partisipasi masyarakat, kemandirian ekonomi, dan kemampuan melaksanakan otonomi. Kerjasama segitiga antara pemerintah, masyarakat, dan pelaku bisnis mutlak diperlukan untuk transformasi wilayah yang adil dan berkelanjutan. Walaupun masing- masing pihak memiliki visi dan kepentingan yang beragam namun tetap dapat membangun kerjasama atas dasar saling percaya antar pelaku pembangunan.

Menurut Baiquni (2004), trilogi kerjasama antara pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat tersebut diterjemahkan dalam bentuk strategi yang bertumpu pada kedaulatan rakyat. Artinya, otonomi bukan sekedar mengalihkan sebagian wewenang dan urusan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, tetapi sesungguhnya merupakan kebangkitan kesadaran kedaulatan di tangan rakyat. Pendekatan ini penting untuk dirumuskan kembali, mengingat wacana publik yang berkembang, seolah-olah hanya berkisar pada mengembangkan kemampuan dan memfungsikan pemerintah daerah, bukan memperkuat kedaulatan rakyat.

Ketiga komponen pelaku pembangunan juga berkepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan masalah penentuan pusat pemerintahan dan pelayanan Kabupaten Aceh Timur. Secara empiris, penentuan pusat pelayanan tidak begitu bermasalah dibandingkan dengan penentuan pusat pemerintahan. Penentua n pusat pelayanan hanya memungkinkan melalui pendekatan kuantitatif saja. Tetapi tidak demikian dengan penentuan pusat pemerintahan yang sarat dengan muatan politis, sehingga tidak cukup dengan hanya pendekatan kuantitatif, tetapi harus dibarengi dengan pendekatan kualitatif. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa masalah pusat pemerintahan secara sosial politis sangatlah sensitif, bahkan mengalahkan hasil kajian ilmiah yang mengedepankan aspek fisik dan teknis.

Tabel 10 Tabulasi hasil analisis penentua n pusat pemerintahan dan pelayanan Kabupaten Aceh Timur

Sumber: Hasil analisis.

Tabel 10 adalah hasil dari seluruh analisis yang dilakukan dalam kajian penentuan pusat pemerintahan dan pelayanan Kabupaten Aceh Timur. Untuk penentuan lokasi pusat pemerintahan, seluruh analisis menunjukkan bahwa Idi adalah lokasi yang tepat untuk itu, walaupun ada muncul pilihan Peureulak dari sebagian kecil anggota legislatif dan masyarakat, namun seperti dikemukakan di depan, kemunculan tersebut relatif lebih subjektif dan diwarnai ego kedaerahan yang kental.

Analisis skalogram yang menggunakan data Podes 2006 untuk menganalisis hirarki kecamatan, menghasilkan kesimpulan yang identik dengan spatial interaction analysis location-allocation model yang melihat tingkat aksesibilitas sebagai faktor yang menentukan dalam penentuan lokasi pusat pemerintahan dan pelayanan. Demikian juga dengan hasil AHP dengan menganalisis kriteria suatu pusat pemerintahan berdasarkan persepsi responden. Pendekatan actor-oriented analysis juga menghasilkan kesimpulan yang sama dengan analisis lainnya.

METODE ANALISIS

KUANTITATIF KUALITATIF

ACTOR-ORIENTED APPROACH

LOKASI

SKALOGRAM P-MEDIAN AHP

EKSEKUTIF LEGISLATIF AKADEMISI DUNIA

USAHA MASYARAKAT Pusat Pemerintahan: - I d i X X X X X X X X - Peureulak X X Pusat Pelayanan: Hirarki I - I d i X X Hirarki II - Peureulak X X - Kuta Binje X - Simpang Ulim X X

Hirarki sistem kota-kota kecamatan dapat digunakan untuk memilih atau menentukan pusat pemerintahan dan pelayanan baru. Asumsi dasar bahwa kota kecamatan yang memiliki tingkat perkembangan tinggi berpotensi besar untuk dikembangkan menjadi pusat pemerintahan dan pelayanan. Analisis aksesibilitas dengan kendala jarak tempuh untuk menuju pusat pemerintahan dan pelayanan dengan metode p-median sebagai salah satu model lokasi-alokasi, dapat membantu menemukan lokasi yang optimal pusat pemerintahan dan pelayanan dimaksud. Terpilihnya kota dengan tingkat perkembangan tinggi untuk pusat suatu aktifitas berkaitan erat dengan tingkat aksesibilitasnya, semakin baik aksesibilitasnya, semakin mudah dia berkembang, demikian juga sebaliknya.

Jika dikaji lebih jauh, menarik untuk diperhatikan, bahwa antara hasil analisis kuantitatif berkorelasi dengan hasil analisis kualitatif. Fenomena ini menunjukkan, pada prinsipnya walaupun persepsi para stakeholders dianggap subjektif dari sudut analisa kuantitatif, namun persepsi tersebut tetap lahir dari pemahaman yang rasional terhadap informasi yang diterima dari lingkungan sekitar, sehingga persepsi yang muncul cukup logis dan dapat diterima secara ilmiah. Tidak dimungkiri, seiring dengan bergulirnya waktu, akan terjadi benturan-benturan kepentingan yang menggiring pandangan yang pada awalnya adalah subjektif yang objektif menjadi sepenuhnya subjektif. Munculnya konflik kepentingan antara para rent seekers inilah yang memicu hal- hal yang sebenarnya dapat diselesaikan dengan baik, tetapi malah menjadi polemik tak berkesudahan.

Seandainya semua pihak yang berkepentingan di Kabupaten Aceh Timur memiliki kemauan baik dan kuat untuk menuntaskan masalah yang berhubunga n dengan penentuan pusat pemerintahannya, diyakini bahwa masalah tersebut akan terselesaikan dengan baik, karena pada prinsipnya semua hasil analisis baik kuntitatif maupun kualitatif menunjukkan hasil yang sama.

Bertitik tolak dari pengalaman kasus yang terjadi di Kabupaten Aceh Timur, maka pemerintah pusat dan daerah harus mengantisipasi sepenuhnya terhadap kemungkinan munculnya konflik dalam penentuan pusat pemerintahan suatu wilayah. Antisipasi tersebut dapat dilakukan melalui kajian penentuan pusat pemerintahan yang komprehensif dengan melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan untuk itu. Antisipasi tersebut juga harus dilakukan jauh hari

sebelum pemekaran atau pembentukan suatu wilayah administratif yang baru ditetapkan.

Sebaik dan sesempurna apapun kajian yang dilakukan dengan segala implikasinya, keputusan akhir sebagai implementasi dari hasil kajian tetap akan berpulang kepada keputusan politik atau pemerintah sebagai penentu kebijakan. Namun, di luar sistem tersebut, semuanya memiliki hak dan kewajiban untuk memberikan kontribusi pemikiran atau saran-saran sebagai warga negara.

Interpretasi Kronologis Penentuan Pusat PemerintahanKabupaten Aceh Timur

Kronologis dari proses penentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur dari tahun 2001 sampai Juli 2006 dan interpretasi penulis dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Kabupaten Aceh Timur dimekarkan melalui UU No. 3 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Langsa dan UU No. 4 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Aceh Tamiang. Dimana Kota Langsa ibukotanya Langsa, Kabupaten Aceh Tamiang ibukotanya Karang Baru, dan Kabupaten Aceh Timur belum memiliki ibukota.

2. Tanggal 26 Pebruari 2002, dikeluarkan Surat Keputusan Bupati Aceh Timur No. 027 Tahun 2002 tentang Pembentukan Panitia Seminar Penetapan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur yang diketuai oleh Teuku Syahril, Sekretaris Daerah Kabupaten Aceh Timur.

Catatan: Seminar penentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur dilaksanakan pada tanggal 3 dan 4 April 2002. Dalam seminar tersebut timbul wacana tiga alternatif lokasi pusat pemerintahan, yaitu: Kecamatan Peureulak, Kecamatan Peudawa, dan Kecamatan Idi Rayeuk.

3. Tanggal 20 April 2002, Panitia Seminar Penetapan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur mengeluarkan Surat Keputusan No. 16/KEP/2002 tentang Pembentukan Tim Perumus Hasil Seminar dan Lokakarya Penetapan Pusat Pemerintahan Ibukota Kabupaten Aceh Timur, diketuai oleh Zulkifli UA, Anggota DPRD Kabupaten Aceh Timur.

Catatan: Tim perumus hasil seminar dan lokakarya mengadakan rapat pada tanggal 10, 14, dan 22 Mei 2002. Rapat tersebut menghasilkan keputusan menentukan kriteria penilaian dan membentuk tim investigasi lapangan yang akan menilai ke 3 alternatif lokasi berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Tim investigasi ini terdiri dari Bappeda, BPN, LSM, akademis, dan konsultan.

4. Tanggal 10 Mei 2002, Panitia Seminar Penetapan Pusat Pemerintahan Ibukota Kabupaten Aceh Timur mengeluarkan Surat Keputusan No. 16/KEP/2002 tentang Pembentukan Tim Investigasi Lapangan Untuk Penetapan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur yang diketuai oleh Bakhtiar Harun, Rektor Universitas Samudera Langsa.

Catatan: Tim investigasi lapangan yang dibentuk melaksanakan survey dari tanggal 16 sampai 25 Mei 2002. Hasil survey ke-3 lokasi adalah: Kecamatan Idi Rayeuk memperoleh bobot tertinggi = 58, disusul Kecamatan Peureulak = 52, dan Kecamatan Peudawa = 38,5.

5. Tanggal 10 Juni 2002, Bupati Aceh Timur mengeluarkan Surat Keputusan No. 103 Tahun 2002 tentang Pembentukan Panitia Lokakarya Penetapan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur yang diketuai oleh Zulfatir Manaf, Kepala Bagian Pemerintahan Sekretariat Daerah Kabupaten Aceh Timur. Catatan: Pada tanggal 17 Juni 2002 dilaksanakan acara lokakarya yang

membahas hasil seminar dan hasil investigasi lapangan dari 3 alternatif lokasi yang ada. Seyogyanya, jika melihat pada hasil investigasi lapangan, maka yang terpilih untuk menjadi lokasi pusat pemerintahan adalah Kecamatan Idi Rayeuk, namun dalam forum lokakarya tersebut mulai muncul nuansa sosial-politis yang didasarkan pada perbedaan visi para pengambil kebijakan, sehingga lokakarya dimaksud tidak menghasilkan suatu kesepakatan yang dapat menjadi pegangan atau rekomendasi dalam penentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur. Karena tidak diperoleh kata sepakat, maka panitia seminar mengembalikan masalah penentuan pusat pemerintahan kepada kebijakan Bupati Aceh Timur. Tidak adanya kesepakatan inilah yang menjadi awal dari konflik masalah ibukota Kabupaten Aceh Timur dan menjadi komoditas politik bagi para elit daerah denga n mengangkatnya menjadi bagian dari isu kampanye untuk kepentingan kelompok, pribadi, atau golongan yang berminat ikut suksesi. Di satu sisi, terkesan betapa lemahnya pemerintah daerah cq bupati sebagai sebuah institusi resmi yang tidak mampu menyelesaikan masalah krusial dalam penentuan pusat pemerintahan wilayahnya. Di sisi lain, jika ditelusuri lebih jauh, ternyata hampir semua komponen dalam struktur pemerintah daerah dan masyarakat umum tidak yakin sama sekali bahwa hal itu sulit diputuskan, namun mereka lebih yakin ini adalah bagian dari

skenario politik pimpinan daerah yang memanfaatkan masalah ini untuk memenangkan suksesi pemilihan bupati pada periode berikutnya. Opini masyarakat ini didasarkan pada logika sederhana, bahwa seorang pimpinan daerah yang memutuskan untuk menetapkan suatu wilayah sebagai pusat pemerintahan, jika pimpinan daerah tersebut berminat untuk mencalonkan diri lagi, kemungkinan dia akan kehilangan dukungan dari masyarakat di wilayah yang tidak terpilih sebagai pusat pemerintaha n. Jika ditinjau dari pendekatan actor-oriented analysis, hal ini dapat saja terjadi, “sang aktor” yang punya wewenang akan membuat kebijakan yang berorientasi mengamankan kepentingannya, walaupun secara partial

yang muncul kepermukaan adalah seolah-olah demi kepentingan daerah atau kepentingan masyarakat, dan itu lazim terjadi di negara dunia ketiga (Long 2001).

6. Tanggal 17 Desember 2002, Bupati Aceh Timur melalui surat No.19422/110 mengajukan usulan kepada DPRD Kabupaten Aceh Timur untuk mempertimbangkan dan membahas kemungkinan penetapan lokasi pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur di wilayah antara Gampong Beusa Kecamatan Peureulak Barat sampai dengan Seuneubok Barat Kecamatan Idi Rayeuk.

Catatan: Usulan bupati ke DPRD terkesan naif dan keliru. Pertama, karena wilayah yang diusulkan bukan wilayah yang telah disurvei sebagaimana yang diwacanakan dalam seminar dan lokakarya, sehingga tidak punya dasar teknis-akademis sama sekali. Kedua, pengajuan suatu wilayah untuk pusat pemerintahan harus jelas menyebutkan wilayah mana yang dimaksud, wilayah tersebut harus berada dalam satu kesatuan administrasi di bawah hirarki wilayah yang membutuhkan pusat pemerintahan. Wilayah yang diusulkan harus wilayah yang memiliki tingkat perkembangan yang tinggi. Jadi tidak bole h absurd apalagi sampai mencakup antara tiga wilayah kecamatan yang luas. Ini identik dengan yang dimaksud oleh Rahman dan Smith (2000), sebagai the final locational decisions made on political or pragmatic consideration.

7. Tanggal 27 Januari 2003, tokoh-tokoh masyarakat dari 12 kecamatan dalam eks Kewedanaan Idi membentuk Panitia Penempatan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur yang diketuai oleh Iskandar Aba Aminy.

Catatan: Panitia ini dibentuk atas dasar gerakan moral yang berangkat dari keprihatinan para tokoh masyarakat atas berlarut- larutnya masalah penentuan ibukota Kabupaten Aceh Timur. Panitia ini mencoba menggerakkan pimpinan daerah untuk kembali ke format hasil seminar dan lokakarya, dan untuk tidak mempolitisir masalah yang ada. Namun pimpinan daerah tetap bersikukuh untuk tidak merujuk

pada hasil tersebut. Hal seperti inilah yang disitir dalam Rahman dan Smith (2000), sebagai in the absence of any formal analysis and generation of alternatives.

8. Tanggal 14 Pebruari 2003, DPRD Kabupaten Aceh Timur mengeluarkan Surat Keputusan No. 4 Tahun 2003 tentang Persetujuan Penetapan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur, yaitu antara Gampong Beusa Kecamatan Peureulak Barat sampai dengan Seuneubok Barat Kecamatan Idi Rayeuk.

Catatan: DPRD sebagai lembaga yang seharusnya membawa aspirasi rakyat ternyata malah membawa aspirasi pimpinan daerah, walaupun mereka mengetahui aspirasi tersebut bertentangan dengan ketentuan- ketentuan umum yang berlaku. Pada sisi lain, dari segi legalitas, DPRD saat itu tidak boleh mengeluarkan keputusan penting apapun sebagai konsekuensi lahirnya UU No. 3 Tahun 2001 dan UU No.4 Tahun 2002, karena sebagian besar dari mereka bukan lagi anggota DPRD yang mewakili Kabupaten Aceh Timur, tetapi sudah mewakili Kota Langsa dan Kabupaten Aceh Taminang. Untuk itu harus dipilih anggota DPRD Pergantian Antar Waktu yang seluruh anggotanya mewakili Kabupaten Aceh Timur setelah pemekaran. Anggota DPRD Kabupaten Aceh Timur Pergantian Antar Waktu inilah yang berhak mengeluarkan keputusan-keputusan di Kabupaten Aceh Timur.

9. Tanggal 17 Pebruari 2003, Tgk.H.Hasballah Hanafiah menyampaikan surat kepada Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tentang Sanggahan Terhadap Keputusan DPRD Kabupaten Aceh Timur N0. 4 Tahun 2003.

Catatan: Tgk. Hasballah Hanafiah adalah mantan Ketua DPRD Kabupaten Aceh Timur sebelum reformasi. Sebagai tokoh masyarakat merasa punya tanggung jawab moral untuk meluruskan kekeliruan pemerintah daerah dengan menyurati Gubernur Provinsi NAD. Harapannya adalah agar gubernur dapat menindaklanjuti dengan mendudukkan masalah ini pada proporsi yang sebenarnya. Gubernur merespon positif hal ini dengan meneruskan surat tersebut kepada Mendagri (lihat Nomor 11) dan mengabaikan surat bupati (lihat

Nomor 10). Ini menunjukkan bahwa gubernur juga menyadari bupati telah bertindak di luar koridor sehingga tidak memproses usulan bupati tersebut.

10.Tanggal 28 Pebruari 2003, Bupati Aceh Timur melalui surat No.130/2663 mengajukan usulan kepada Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam untuk mengajukan ke Departemen Dalam Negeri lokasi Pusat Pemerintahan

Kabupaten Aceh Timur, yaitu antara Gampong Beusa Kecamatan Peureulak Barat sampai dengan Seuneubok Barat Kecamatan Idi Rayeuk.

Catatan: Adanya upaya tokoh-tokoh masyarakat untuk mengembalikan masalah penentuan ibukota kembali berpatokan pada hasil seminar dan lokakarya bukannya menyadarkan pimpinan daerah, tetapi malah tetap bersikukuh mengusulkan kepada gubernur. Berpijak pada UU No.22 Tahun 1999 Pasal 5 ayat (3) juncto UU No.32 Tahun 2004 Pasal 7 ayat (2), menyatakan bahwa usulan pemindahan ibukota dengan persetujuan DPRD, diajukan langsung oleh pemerintah daerah ke pemerintah pusat melalui Mendagri untuk ditetapkan dengan peraturan pemerintah, jadi bukannya ke gubernur. Barangkali, pimpinan daerah sudah menyadari, kalaupun ini diajukan ke Mendagri, pasti juga ditolak karena tidak memenuhi ketentuan, sehingga disiasati dengan mengusulkan melalui gubernur. (lihat

Nomor 6 dan 9).

11.Tanggal 7 Maret 2003, Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam melalui surat No.135/4697 meneruskan Surat Pernyataan Masyarakat Idi tentang Ibukota Kabupaten Aceh Timur kepada Menteri Dalam Negeri.

Catatan: (lihat Nomor 9).

12.Tanggal 26 Maret 2003, Bupati Aceh Timur mengeluarkan Surat Keputusan No. 361 Tahun 2003 tentang Pembentukan Panitia Persiapan Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur yang diketuai Teuku Syahril, Sekretaris Daerah Kabupaten Aceh Timur.

Catatan: Suatu tindakan berlebihan membentuk panitia pembangunan, sedangkan lokasi dimana bangunan akan ditempatkan belum ada kejelasannya. Hal yang terpenting dari semua itu, adalah lahirnya peraturan pemerintah tentang penetapan pusat pemerintahan, setelah adanya peraturan pemerintah tersebut, baru pemerintah daerah dapat mengajukan dan merealisasikan anggaran untuk pembangunan pusat pemerintahan. Seandainya pemerintah daerah ngotot jalan terus walau tanpa dasar hukum, maka hal itu akan menjadi tindakan penyalahgunaan wewenang yang melanggar hukum.

13.Tanggal 19 Agustus 2003, 21 orang tokoh masyarakat eks Kewedanaan Idi, yang diketuai Tgk.H.Hasballah Hanafiah menyampaikan surat pemberitahuan kepada Pimpinan DPRD Kabupaten Aceh Timur tentang ketersediaan lahan yang strategis dan representatif untuk lokasi pembangunan pusat pemerintahan di Kecamatan Idi Rayeuk.

Catatan: Para tokoh masyarakat eks Kewedanaan Idi terus mengupayakan percepatan penentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur,

termasuk dengan cara memfasilitasi informasi ketersedian lahan yang representatif dan strategis yang ada di Kecamatan Idi Rayeuk yang dapat digunakan untuk lokasi pembangunan sarana prasarana pusat pemerintahan sekaligus sebagai pusat pelayanan. Seharusnya, pemerintah mengapresiasi social capital seperti ini dengan menindaklanjuti sebagaimana mestinya.

14.Tanggal 21 Nopember 2005, Bupati Aceh Timur melalui surat No.641/10591/2005, meminta persetujuan DPRD Kabupaten Aceh Timur untuk menetapkan lokasi pembangunan Pusat Perkantoran Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur di Kecamatan Peudawa dan Kecamatan Peureulak Barat.

Catatan: Menurut ketentuan, lokasi pembanguna n perkantoran belum bisa ditetapkan karena belum ada dasar hukum, yaitu belum adanya peraturan pemerintah tentang penetapan pusat pemerintahan. Jika ini dipaksakan, jelas akan menjadi preseden buruk akan ketidak berkemauannya pimpinan daerah untuk bertindak sesuai ketentuan yang berlaku.

15.Tanggal 23 Nopember 2005, Bupati Aceh Timur melalui surat No.641/10669/2005, meminta persetujuan DPRD Kabupaten Aceh Timur untuk menetapkan nama ibukota Kabupaten Aceh Timur dengan nama Banda Khalifah.

Catatan: Terlepas dari polemik yang ada, penamaan lokasi dimaksud dengan nama Banda Khalifah kurang tepat, karena Banda Khalifah berkaitan dengan sejarah masuknya Islam ke Aceh dan lokasinya bukan di tempat tersebut. Kalaupun ini dilaksanakan, dikhawatirkan akan timbul kesan adanya upaya menggeser dan mengaburkan fakta sejarah.

16.Tanggal 21 Maret 2006, Bupati Aceh Timur melalui surat No.135/2260, meminta kepada DPRD Kabupaten Aceh Timur untuk menetapkan lokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur di Peudawa Kecamatan Peudawa. Catatan: Surat ini semakin mempertegas kesan betapa “konsistennya”

pimpinan daerah untuk bertindak “tidak konsisten” dengan apa yang telah diputuskannya sendiri. Berulangkali usulan lokasi ibukota berpindah-pindah tanpa alasan dan dasar hukum yang jelas, namun tidak pernah merujuk pada hasil seminar dan lokakarya yang telah difasilitasi oleh pemerintah daerah sendiri. Barangkali, jika pemerintah daerah komitmen dengan hasil seminar dan lokakarya, tentunya keadaan tidak akan seperti ini.

17.Tanggal 19 April 2006, tokoh masyarakat dari 12 kecamatan ex Kewedanaan Idi menyampaikan Surat Dukungan Penetapan Idi Menjadi Ibukota Kabupaten Aceh Timur kepada Pimpinan DPRD Kabupaten Aceh Timur.

Catatan: Sudah 4 tahun masalah ibukota tidak tertuntaskan, selama itu pula pelayanan publik tidak berjalan dengan baik. Pembangunan di Aceh Timur nyaris jalan ditempat, atau boleh dikatakan malah mundur sama sekali. Surat dari tokoh masyarakat dari 12 kecamatan kembali mengingatkan eksekutif dan legislatif untuk segera menyelesaikan masalah ibukota. Sebelumnya, pemerintah daerah dapat saja berlindung pada isu keamanan yang tidak kondusif, sehingga kalaupun ibukota sudah ditetapkan, pemerintahan tetap tidak akan bisa dijalankan dengan efektif. Namun, penandatanganan Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki-Finlandia tanggal 15 Agustus 2005, menjadi titik balik bagi semua pihak untuk berbuat yang terbaik bagi masyarakat Aceh.

18.Tanggal 10 Mei 2006, Panitia Penempatan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur mengajukan surat kepada Penjabat Bupati Aceh Timur untuk menetapkan Idi sebagai Ibukota Kabupaten Aceh Timur.

Catatan: Desakan ini semakin kuat, disamping karena Idi memang layak untuk dijadikan ibukota juga kondisi keamanan sudah sangat kondusif untuk memulai pembangunan sarana prasarana umum. 19.Tanggal 20 Juni 2006, Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

mengeluarkan surat No.140/13212 yang memerintahkan Pejabat Bupati Aceh Timur agar segera mengambil langkah- langkah untuk pemindahan Ibukota Kabupaten Aceh Timur ke luar wilayah Kota Langsa.

Catatan: Ketidakjelasan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur bukan hanya merugikan masyarakat Aceh Timur, tetapi juga merugikan pihak Pemerintah Kota Langsa, karena banyak asset yang seharusnya harus sudah diserahkan kepada Pemerintah Kota Langsa, masih dikuasai Pemerintah Kabupaten Aceh Timur. Berdasarkan kedua faktor inilah, Gubernur Provinsi NAD mengeluarkan surat perintah kepada Pemkab Aceh Timur untuk segera memindahkan pusat pemerintahannya dari Kota Langsa ke salah satu kecamatan di wilayah Kabupaten Aceh Timur.

20.Dalam periode bulan Juli 2006, Penjabat Bupati Aceh Timur mulai menindaklanjuti surat gubernur tersebut dengan melakukan kordinasi dengan setiap unsur eksekutif pemerintah daerah, sehingga lahir kesepakatan untuk mengusulkan Idi menjadi pusat pemerintahan. Usulan ini tidak semulus yang

dibayangkan pihak eksekutif, karena beberapa anggota legislatif dari Komisi A DPRD Kabupaten Aceh Timur berpendapat berbeda, mereka menginginkan Peureulak yang dijadikan pusat pemerintahan bukannya Idi. Secara politis, wajar mereka memiliki pendapat berbeda karena mereka mewakili daerah pemilihan Peureulak, namun, dalam kasus ini seharusnya dalam kapasitas mewakili Aceh Timur untuk kepentingan masyarakat Aceh Timur.

21.Tanggal 3 Agustus 2006, Komisi A DPRD Kabupaten Aceh Timur, atas desakan berbagai pihak, mengadakan voting untuk menentukan lokasi yang akan diusulkan sebagai pusat pemerintahan antara Peureulak dan Idi. Hasilnya, 9 suara untuk Idi dan 2 suara untuk Peureulak.

Catatan: Keputusan Komisi A secara yuridis- formal belum bisa dijadikan keputusan DPRD, untuk menjadikannya sah sebagai keputusan DPRD harus dibawa dalam sidang paripurna, sehingga sah sebagai sebuah pruduk hukum yang dapat dijadikan landasan hukum.

22.Tanggal 30 Agustus 2006, DPRD Kabupaten Aceh Timur mengadakan sidang paripurna untuk menentukan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur. Sidang paripurna menetapkan Idi sebagai pusat pemerintahan atau ibukota Kabupaten Aceh Timur.

Catatan: Ini adalah kemajuan yang luar biasa yang pernah dicapai dalam proses penentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur. Diakui, memang ada pihak-pihak yang kurang puas terhadap keputusan tersebut, namun jangan sampai kehilangan momen terbaik yang sudah diraih ini. Semua pihak harus memelihara dan mengawal keputusan ini, hingga melahirkan peraturan pemerintah untuk legalitas hukum untuk dapat diimplementasikan di lapangan.

Sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan “Perubahan batas suatu daerah, perubahan nama

Dokumen terkait