• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSEPSI PEMANGKU KEPENTINGAN (STAKEHOLDER) TERHADAP PENENTUAN PUSAT PEMERINTAHAN

Kemampuan untuk memahami sikap dan perilaku masyarakat, serta nilai- nilai yang berkembang dalam masyarakat, sangat diperlukan agar pembangunan yang dilaksanakan tidak menimbulkan friksi- friksi sosial, politik, agama, dan budaya. Jika hal ini tidak dipahami, bukan hanya keharmonisan kehidupan masyarakat yang terganggu, bahkan kegiatan pembangunan yang sedang dilaksanakanpun akan mengalami gangguan, yang mengakibatkan kerugian material, waktu, tenaga, dan biaya yang sangat besar. . Dalam hal ini manusia menjadi focus of analysis, yang melihat manusia sebagai makhluk berbudaya

(human oriented disipline), yang menekankan pada behaviour, perception, dan activities. Penempatan manusia sebagai focus of analysis, salah satunya adalah melalui pendekatan actor-oriented analysis.

Dalam pendekatan ini, akan di-review dan diinterpretasi pendapat atau persepsi pemangku kepentingan (stakeholder) dari unsur-unsur pengambil kebijakan dan masyarakat terhadap masalah penentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur . Yang dimaksud dengan pengambil kebijakan, adalah unsur pemerintah daerah dari kalangan eksekutif dan legislatif. Sedangkan yang dimaksudkan masyarakat di sini, adalah masyarakat biasa, masyarakat dunia usaha, dan masyarakat akademis. Persepsi tersebut diperoleh melalui melalui wawancara, baik wawancara terstruktur melalui AHP maupun yang tidak terstruktur melalui actor-oriented approach

Persepsi Pengambil Kebijakan

Menurut Rushton, diacu dalam Rahman dan Smith (2000), beberapa kajian yang pernah dilakukan di negara-negara berkembang, keputusan penentuan lokasi suatu aktivitas umumnya dilakukan oleh pemerintah daerah, atau oleh pimpinan daerah, atau kedua-duanya. Sering sekali keputusan dibuat dengan mengabaikan berbagai analisa formal dari alternatif-alternatif yang ada, keputusan akhir bisa saja hanya berdasarkan pertimbangan politik atau mencari gampang saja, sehingga hasil yang diperoleh jauh sekali dari optimal.

Tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Kabupaten Aceh Timur, polemik dalam penentuan pusat pemerintahan, terus berlarut- larut dari sejak pemekaran pada tahun 2001 sampai sekarang. Polemik tersebut setiap hari me nghiasi lembaran mass media lokal, yang memuat berita tentang ketidakmenentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur. Memprihatinkan memang, nyaris lima tahun, sebuah kabupaten induk yang telah melahirkan satu kota dan satu kabupaten baru belum memiliki pusat pemerintahan.

Merujuk pada pendekatan actor-oriented, dimana setiap orang memiliki pandangan tertentu terhadap suatu permasalahan yang ditemuinya. Sehingga, jika saja dia memiliki kewenangan dalam pengambilan kebijakan terhadap permasalahan tersebut, hampir dapat dipastikan, kebijakan yang diambil cenderung berorientasi atau bertitik-tolak kepada cara pandangnya itu. Peluang inilah yang dapat menghitam-putihkan sebuah keputusan, seringkali bertolak belakang dengan pandangan umum yang rasional yang dipahami banyak orang. Walaupun tidak selalu keputusan yang diambil terkesan merugikan, namun yang menonjol adalah nuansa politis daripada teknis.

Melalui wawancara dengan eksekutif dan legislatif Pemerintah Kabupaten Aceh Timur, diharapkan dapat menggambarkan persepsi mereka terhadap masalah penentuan pusat pemerintahan tersebut.

Eksekutif

Mewakili eksekutif Pemerintah Kabupaten Aceh Timur, yang diwawancarai adalah Ketua Tim Staf Ahli Bupati, Sekretaris Bappeda, Kabag Pemerintahan Gampong dan Mukim, Inspektur Inspektorat, dan Danramil Ranto Peureulak. Dalam pembahasan ini, yang dipaparkan hanya pendapat dari Drs. Nabhani, MM: Ketua Tim Staf Ahli Bupati, karena seluruh pejabat daerah dari eksekutif yang ditemui, merekomendasikan beliau sebagai nara sumber paling berkompeten dalam masalah ini. Setelah melakukan wawancara dengan berbagai responden/informan, akhirnya penulis sependapat bahwa pendapat beliau dapat menggambarkan pendapat eksekutif secara umum. Pendapat dari Nabhani, Staf Ahli Bupati Aceh Timur adalah seperti berikut ini (wawancara tanggal 27 Juni 2006):

Sewaktu saya masih wakil bupati, saya sudah duduk sebagai ketua tim pengarah panitia penentuan ibukota Kabupaten Aceh Timur. Sampai sekarangpun sebagai staf ahli bupati, bersama teman-teman lain kami masih berusaha memberikan konstribusi pemikiran agar masalah ibukota Aceh Timur dapat segera terselesaikan dan tidak berlarut- larut seperti ini.

Lokakarya, penelitian, survei, seminar, atau kajian tentang ibukota Aceh Timur sudah beberapa kali dilakukan. Tinggal keberanian dan kemauan Pemda saja untuk memutuskannya dengan segala konsekuensi yang ada. Selama ini terkesan seperti ada rasa hana mangat hana meuoh, sehingga masalah tersebut dibiarkan tergantung begitu saja tanpa ada solusinya, ditambah lagi adanya intrik-intrik kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan yang membuat masalah semakin mengambang.

Semua memaklumi, bahwa alternatif untuk ibukota Aceh Timur adalah Peureulak, Idi, dan Peudawa. Namun Peudawa tidak usah dibicarakan lagi karena dari segi apapun tidak punya kapasitas untuk jadi ibukota. Ide Peudawa itukan di munculkan oleh Pak Azman waktu beliau jadi bupati.

Berdasarkan hasil survei dan penilaian terhadap kedua lokasi tersebut, jelas Idi lebih tepat dan lebih pantas jadi pilihan sebagai ibukota Aceh Timur. Bahkan dua minggu yang lalu saya dipercayakan sebagai narasumber dalam seminar penentuan ibukota, jelas dan tegas saya sampaikan, bahwa yang paling cocok untuk ibukota Aceh Timur adalah Idi. Namun karena keputusan ini juga merupakan keputusan politik, pasti akan ada konsekuensi politisnya yang tentu akan diblow-up oleh sementara pihak yang punya pendapat berbeda. Konsekuensinya, jika kita memilih Idi, masyarakat Peureulak akan kecewa, demikian juga sebaliknya, dan jika ini terjadi dan pemerintah tidak dapat mengantisipasinya, maka pemerintah dapat mengakomodir aspirasi masyarakat kedua wilayah tersebut dengan alternatif sebagai berikut:

1. Jika Idi diusulkan menjadi ibukota Kabupaten Aceh Timur, maka pada saat yang sama, Peureulak diusulkan menjadi kabupaten baru, misalnya dengan nama Kabupaten Aceh Peureulak.

2. Jika Peureulak diusulkan menjadi ibukota Kabupaten Aceh Timur, maka pada saat yang sama, Idi diusulkan menjadi kabupaten baru dengan nama Kabupaten Idi Raya.

Semua alternatif di atas dimungkinkan menurut PP No. 129/2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.

Menurut yang saya ketahui dan pahami, yang dimaksud pusat pemerintahan kabupaten adalah wilayah kecamatan dimana pemerintah kabupaten tersebut berkedudukan, sedangkan ibukota kabupaten adalah ibukota dari kecamatan tempat pusat pemerintahan kabupaten tersebut berkedudukan, dan yang dimaksud dengan titik pusat pemerintahan adalah lokasi dimana Sekretariat Daerah dan Sekretariat DPRD berlokasi.

Kalau merujuk ke Depdagri, jelas Idi adalah lokasi yang paling tepat. Kepada Bupati Azman berkali-kali kami ingatkan untuk tidak membiarkan masalah ini

berlarut- larut, tapi malah sebaliknya, beliau waktu itu tetap bertahan dengan pendapatnya sendiri. Walaupun kalau kita coba ikuti pola pikirnya, terkesan juga tidak konsisten dengan pendapatnya tersebut. Kita tidak tahu apa alasan sesungguhnya dari beliau saat itu sehingga menunda penyelesaian masalah ini, akhirnya seperti ini jadinya.

Sekarang sudah berganti bupati, mudah-mudahan dalam masa Bupati Azwar ini, masalah ibukota dapat kita selesaikan dengan “indah”. Janganlah sampai kita ini diserapahi anak cucu gara- gara salah membuat keputusan. Contoh buruk sudah cukup banyak. Seperti Jantho di Aceh Besar, saya rasa Anda sendiripun walaupun diberikan rumah bagus dan isteri cantik bak bidadari belum tentu mau tinggal di Jantho. Terminal Langsa juga begitu, itukan kesalahan menentukan lokasi pada masa Bupati Alauddin. Sekarang hasilnya apa? Terminal tidak berfungsi, malah hutang dengan Depkeu semakin membengkak. Ka lagee ta peutimang gaki euntot. Padahal kalau mau ditempatkan di Simpang Commodore sudah tidak terbayang bagaimana majunya sekarang. Kampus Unsam juga begitu, bagaimana kampus itu bisa berkembang, akses ke sana buruk sekali. Jauh-jauh hari saya sudah ngomong, tetapi tidak ada yang mau “dengar”.

Saya senang Anda mau buat penelitian masalah ini, dan itu juga termasuk tanggung jawab Anda sebagi putra daerah. Mudah- mudahan Pemda mau mempertimbangkan hasil penelitian Anda sebagai masukan dalam membuat keputusan nantinya.

Legislatif

Dalam masalah penentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur, dari anggota DPRD cenderung terpecah dalam dua kelompok. Pertama, kelompok yang menghendaki Peureulak menjadi ibukota,dimotori oleh Muslim A.Gani, SH sebagai Ketua Komisi A yang membidangi Bidang Pemerintahan. Kedua, kelompok yang menghendaki Idi menjadi ibukota, dimotori oleh Rusli Ranto, SH sebagai Wakil Ketua DPRD. Di bawah ini, dicantumkan pendapat Ketua Komisi A dan Wakil Ketua DPRD Kabupaten Aceh Timur tersebut.

1. Muslim A.Gani, SH: Ketua Komisi A DPRD Kabupaten Aceh Timur.

(Wawancara tanggal 7 Juli 2006).

Sebenarnya, seminggu yang lalu saya sudah sepakat untuk segera memutuskan masalah ini pada tanggal 6 Juli, dengan apapun resiko akan kita tanggung bersama. Tapi sekarang saya tidak mau lagi, selaku Ketua Komisi A saya sudah memutuskan untuk menunda pembahasan masalah ibukota sampai waktu yang tidak terbatas. Kemungkinan pembahasan akan kita buka kembali tahun 2007, setelah terpilih bupati baru yang definitif.

Orang menganggap saya yang menghambat dan mengulur-ulur pembahasan masalah ibukota. Sebenarnya tidak, hanya saya tidak mau Pak Azwar selaku bupati dan Pak Rusli selaku wakil ketua dewan mengintervensi proses ini, dengan menyarankan dan membentuk opini bahwa seolah-olah Idi sangat cocok menjadi ibukota. Padahal belum tentu, kan masih ada Peureulak, Saya bukan orang asli Peureulak, tapi saya rasa Peureulak juga pantas jadi ibukota Aceh Timur.

Kan sayang bupati, kalau bupati sudah mengusulkan Idi sebagai ibukota, lalu kami dewan memutuskan lain, dimana harga diri bupati. Nah di antaranya untuk menyelamatkan nama bupati inilah maka saya memutuskan untuk menunda pembahasan masalah ibukota sampai terpilih bupati baru.

Untuk menghindari konflik baru dalam suasana damai ini, saya telah mengirim surat kepada Ketua Dewan selaku Koordinator Komisi A, agar menunda pembahasan masalah ibukota untuk sementara waktu.

Memang saya berbeda pendapat dengan wakil ketua, dan itu juga dibesar- besarkan oleh orang lain, tapi saya rasa masing- masing dari kami tetap punya kemauan untuk menyelesaikan masalah pentuan ibukota ini.

2. Rusli Ranto, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Aceh Timur. (Wawancara tanggal 6 Juli 2006).

Saya berharap hadirnya Pak Mirza melakukan penelitian di sini, dapat membawa pencerahan baru bagi teman-teman di dewan. Soalnya Anda bisa lihat sendirikan bagaimana panasnya suasana polemik masalah ibukota yang muncul di koran setiap hari. Malah ada opini, antara saya dengan Muslim Ketua Komisi A sudah tidak harmonis lagi, karena saling tuding-tudingan di koran-koran.

Saya tidak ingin masalah ini jadi begini, dimana harga diri kita di mata masyarakat dan di mata eksekutif, wewenang dan tugas yang diberikan tidak bisa kita selesaikan. Kami sudah beberapa kali survei lapangan masalah ibukota, hasilnya ya Idi. Dalam seminar sebulan yang lalu, juga saya sampaikan ke peserta seminar, saya tetap akan memperjuangkan Idi sebagai ibukota, karena obyektifnya lokasi yang representatif dan strategis di Idi. Tapi, kalau mau mengedepankan emosional, bilang saja dimana saja sesesuka hati kita, walaupun tidak logis, saya kan tidak mau begitu. Apapun yang kita lakukan akan dicatat oleh anak cucu kita sebagai sejarah, masak kita mau tinggalkan sejarah yang jelek hanya karena salah bikin keputusan.

Secara institusi kita kan punya Komisi A, yang membidangi Bidang Pemerintahan, merekalah yang menangani masalah ini, kalau mereka tidak sanggup, terpaksa kita ambil alih dan kita bawa ke paripurna. Teman-teman di Komisi A sebagian besar punya kemauan untuk menuntaskan masalah ini, tapi kendalinya kan ada ada di tangan Muslim selaku Ketua Komisi A. Dia begitu saja membatalkan rapat komisi untuk membicarakan masalah ibukota tanpa kompromi dengan yang lain. Dia memutuskan untuk menunda pembahasan tentang ibukota sampai terpilihnya bupati yang definitif, itukan tidak benar. Padahal Gubernur NAD sudah menyurati bupati untuk segera menetapkan

ibukota, pindah dari Langsa, dan menyerahkan seluruh aset ke Pemkot Langsa. Bupati juga sudah meminta kita untuk membahas masalah ini.

Saya sepakat, ini tidak hubungannya dengan status bupati sebagai pj atau bukan. Buktinya, sebelumnya selama 5 tahunan kita dipimpin bupati definitif, ternyata juga tidak bisa menyelesaikan masalah ini. Ini kan soal kemauan saja, kalau kita mau selesaikan, ya selesai, kalau tidak mau, sampai kapanpun tidak akan selesai, siapapun bupatinya. Jangan ambil untung pribadi dalam masalah ini, ketentuan teknis sudah ada, ikuti saja itu, jangan dipolitisir. Dilihat dari sudut apapun Idi layak jadi ibukota, kita tetapkan saja, biar kita segera bisa membangun fasilitas yang kita perlukan. Masak kita mau usulkan yang tidak layak, mana mau pemerintah pusat memproses PP-nya.

Minggu depan Komisi A akan studi banding masalah penentuan ibukota ke Banten, saya juga tidak tau bagaimana urgensinya. Okelah, itu urusan teman- teman di Komisi A, saya tidak ikut. Tetapi sepulang studi banding saya akan tanya, “Sekarang apa lagi?, apa kita sudah bisa duduk untuk membahas masalah ibukota kita sendiri, toh kitakan sudah studi banding, alasannya apa lagi?”

Untuk menuntaskan masalah ini saya akan mengupayakan segera kita lakukan sidang paripurna.

Saya punya harapan dengan penelitian Pak Mirza ini dapat memancing teman- teman di dewan, terutama Komisi A, untuk bergerak kembali menuntaskan pembahasan masalah ibukota, soalnya setahu saya, biasanya pendekatan mahasiswa lebih obyektif daripada yang lain yang penuh dengan intrik-intrik politik.

Persepsi Masyarakat

Pendekatan dengan ikut mempertimbangkan berbagai masukan, pendapat, dan aspirasi masyarakat dalam suatu proses pengambilan keputusan, merupakan bagian dari pendekatan perencanaan partisipatif. Masyarakat yang dimaksudkan di sini adalah komponen yang berada di luar pemerintahan daerah, yaitu masyarakat umum, masyarakat dunia usaha, dan masyarakat akademis. Dalam beberapa hal, untuk masalah yang sama, dapat saja ketiga komponen masyarakat tersebut memiliki orientasi pendapat yang identik satu dengan lainnya. Namun, dalam banyak hal dapat saja berbeda ekstrim, karena kepentingan, cara pandang, dan pemahaman yang berbeda terhadap masalah yang dihadapi.

Akademis

Dalam masalah penentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur, setiap komponen masyarakat memiliki pandangan masing- masing. Pandangan dari kelompok masyarakat akademis diwakili oleh pendapat Bakhtiar Harun Rektor Universitas Samudra Langsa, seperti tercantum di bawah ini (wawancara tanggal 17 Juli 2006):

Saya terlibat jauh dalam masalah penentuan pusat pemerintahan Aceh Timur sejak tahun 2002. Waktu itu, saya dipercayakan menjadi Ketua Tim Survei Lapangan untuk menilai 3 lokasi calon ibukota, yaitu Peureulak, Peudawa, dan Idi. Hasil survei menunjukkan Idi memperoleh skor paling tinggi. Sehingga kita merekomendasikan ke panitia seminar, Idi adalah lokasi yang strategis dan representatif untuk ibukota Aceh Timur.

Saya tidak habis pikir, belakangan malah muncul ide untuk menjadikan Peudawa sebagai ibukota. Padahal dari hasil survei, Peudawa memiliki skor paling rendah. Kesannya hasil kerja panitia dan hasil lokakarya sia-sia saja, dikesampingkan begitu saja oleh pimpinan daerah waktu itu. Ujungnya, seperti Anda lihat sendiri, sampai sekarang kita belum punya ibukota.

Ini pelajaran pahit buat kita, betapa keragu-raguan seorang pimpinan dan segenap jajarannya dalam membuat keputusan, akan mengorbankan seluruh peluang yang ada. Termasuk peluang untuk membangun wilayah sebagai implikasi dari pemekaran wilayah. Aceh Tamiang yang dilahirkan belakangan, malah lebih baik dari kita yang melahirkan ini.

Menempatkan ibukota di Peudawa sah-sah saja, tapi, kapan kita bisa pindah ke sana, 5 tahun lagi, 10 tahun lagi? Toh di Peudawa tidak ada apa-apa, katakanlah kita mau membangun, dari mana sumber dananya, apa dengan berhutang? Terminal Langsa saja belum lunas, mau tambah hutang lagi. Kita harus berpikir rasional dan realistis.

Terus terang saya katakan, kalau seandainya ibukota kita di Idi, dan besok saya diperintahkan pindah ke Idi, besok juga saya siap pindah. Mengapa? Karena di Idi sudah ada sarana prasarana dasar yang bisa kita manfaatkan untuk menjalankan roda pemerintahan, terutama sektor pelayanan publik. Kalau di Peudawa apa bisa seperti itu? Para pegawai mau tinggal dimana? Anak-anaknya mau sekolah dimana? Kalau di Idi dari TK sampai Perguruan Tinggi ada, rumah yang dapat disewa pegawai juga ada, sambil menunggu membangun rumah sendiri.

Semuanya tidak sesederhana yang kita bayangkan. Yang logis sajalah. Ini belum kita lihat kriteria Depdagri, kalau kita lihat kriteria Depdagri, Peudawa itu tidak masuk hitungan. Peureulak juga bagus, tetapi tetap lebih layak dan strategis di Idi.

Inilah jeleknya kalau kita mengedepankan ego primordial dan pendekatan politis daripada pendekatan teknis akademis. Kalau kita ingin ma salah ibukota segera tertuntaskan, mari kita duduk bersama dan kembali ke hasil seminar

dan lokakarya sebelumnya, atau buat survei ulang yang obyektif. Dan kalau itu kita lakukan, saya yakin Idi akan terpilih.

Sekarang Mirza membuat penelitian masalah ini, ini akan jadi pembanding dari yang sudah kami lakukan dulu, dengan metoda yang lebih sederhana tentunya. Ini akan menjadi suatu kontribusi buat kita semua.

Dunia Usaha

Peran masyarakat dunia usaha atau swasta dengan enterpreuneurship- nya, terhadap kemajua n suatu wilayah tidak diragukan lagi. Dunia usaha menggerakkan roda perekonomian wilayah, membuka lapangan kerja, dan membangun berbagai sarana prasarana wilayah. Pemerintah tidak dapat berbuat banyak tanpa melibatkan swasta, swasta juga tidak dapat berinvestasi tanpa ada iklim dan ruang yang diberikan oleh pemerintah. Semuanya harus bersinergi dalam prinsip reinventing goverment.

Pandangan dari kalangan dunia usaha diharapkan dapat terwakili dari pendapat Iskandar Aba Aminy, yang disamping sebagai pengurus inti Gapensi dan Kadin Aceh Timur, juga ditunjuk oleh tokoh masyarakat sebagai Ketua Panitia Penempatan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur. Dalam susunan panitia bentukan tokoh masyarakat ini, tidak terdapat unsur kepengurusan dari pemerintahan daerah, baik dari legislatif maupun eksekutif. Dalam kepengurusannya ada pengacara, pengusaha hasil bumi, kontraktor, dan tokoh masyarakat. Pendapat dari Iskandar Aba Aminy tersebut sebagai berikut

(wawancara tanggal 15 Juli 2006):

Saya senang kebetulan sekali ada yang mau meneliti masalah ini, mudah- mudahan ada manfaat buat kita semua.

Saya sudah berusaha semaksimal mungkin agar kita segera punya ibukota. Malah sampai ke Bapak Gubernur di Banda Aceh dan Mendagri di Jakarta kita datangi, supaya Aceh Timur punya ibukota. Kami panitia melakukan studi dan survei untuk ini, hasilnya Idi yang layak jadi ibukota. Tetapi Anda kan tau, kalau Bupati Azman tidak mengajukan Idi sebagai ibukota, tapi Peudawa. Imbasan masalah ibukota pula yang belakangan membuat hubungan kami jadi kurang harmonis lagi sampai sekarang, padahal kami sama-sama dari Simpang Ulim, malah orangtua kami kawan kompak.

Kami, teman-teman panitia tidak mengatakan bagaimanapun juga harus Idi, tapi kami katakan, bagaimanapun juga dalam masalah ibukota ini harus obyektif, jangan dipolitisir seperti itu, kasihan kan Aceh Timur kita ini, semakin tertinggal pembangunannya di banding daerah lain di Aceh, padahal dulunya Aceh Timur identik dengan Aceh yang ‘makmur’. Sekarang Anda

lihat sendiri, kita ini tidak ada apa-apanya, malu rasanya masalah ibukota saja tidak sanggup kita putuskan.

Sekarang kita dapat bupati baru, walaupun cuma penjabat, besar harapan kita bupati baru ini dapat mengakomodir harapan masyarakat semua. Kami semua siap mendukung kebijakan bupati yang mau bertindak obyektif dalam masalah ibukota ini. Kami menyarankan ke bupati, agar dalam penentuan ibukota kembali ke konsep teknis-akademis. Toh hasil lokakarya dan seminar yang melibatkan semua unsur sudah ada, yah kita sepakat saja untuk kembali merujuk ke situ, selesaikan. Jangan berlarut- larut seperti ini, malu kita sama masyarakat, biar segera bisa kita urus masalah lain yang lebih urgen menyangkut kesejahteraan masyarakat. Apalagi kita sudah damai, jangan sampai kehilangan moment seperti ini.

Saat ini saya dan teman-teman, termasuk Pak Nabhani, akan terus berusaha agar masalah ibukota dapat tuntas tahun ini juga, bupati sekarang dan gubernur juga sepakat begitu.

Nanti jika ada perkembangan baru dalam masalah ini, saya akan hubungi Pak Mirza, dan Pak Mirza juga jika ada masukan sampaikan saja ke kami, biar sama-sama kita pikir masalah ini, kalau bukan kita putra Aceh Timur yang bergerak, siapa lagi?

Saya juga merasa prihatin dengan sikap DPR yang sepertinya juga tidak punya kemauan yang sungguh-sungguh untuk membicarakan masalah ibukota, padahal mereka wakil rakyat, tapi kok malah tidak menyadari mana yang prioritas mana yang tidak untuk diselesaikan. Mudah- mudahan bupati kita sekarang dapat mendekati DPR agar sama-sama secepatnya menyelesaikan masalah ibukota ini.

Masyarakat Umum

Masyarakat umum yang dimaksudkan di sini, adalah masyarakat biasa yang tidak terikat dengan suatu profesi, institusi, ataupun kelembagaan formal, baik yang difasilitasi oleh pemerintah maupun swasta. Termasuk di dalamnya yang dimintai pendapatnya, yaitu: M.Naser; tukang bangunan, T.Banta Ridi; pensiunan guru, M.Sadli; nelayan, Zubir; penjual perbekalan nelayan, Asnawi; petani, Ansari; LSM, Bakhtiar; jualan kopi, Tgk. Yahya Hanafi dan Tgk. Nurdin Nur;

Dokumen terkait