• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : TANAH DAN IDENTITAS PRIMORDIAL MARIND

B. BERTEMU MIFEE-MP3EI

2. Histeria Masyarakat Marind

Demikianlah proses masuknya MIFEE ke dalam kehidupan Marind, yang secara drastis mengondisikan mereka untuk berfikir keras dalam menyikapi tanah dan hutannya, dari sebagai penanda identitas menjadi aset ekonomi. Apa yang kemudian terjadi adalah situasi histeris mereka dalam merespon permasalahan yang ada. Tidak bisa dipungkiri bahwa kehidupan yang serba berkecupan dalam ukuran modern adalah hal yang diinginkan oleh setiap orang, dan tidak terkecuali adalah Marind. Akan tetapi bagi Marind semua itu menuntut nilai-nilai identitasnya sebagai hal yang harus dipertaruhkan. Walaupun sistem kehidupan modern telah mulai mereka jalani sejak masa kolonial Belanda, namun MIFEE yang secara langsung menghendaki pembukaan hutan secara massal ini pun mau tidak mau tetap menjadi sesuatu yang rumit dan kian menempatkan Marind dalam situasi keterbelahan antara adat dan modernitas. Maka tak bisa dihindari lagi, segala respon Marind adalah suatu bentuk mekanisme pertahanan diri di tengah kecamuk jati diri mereka sebagai tuan tanah dan laju modernitas.

145

Sekarang ini kita bingung, setiap hari harus pikir barang [MIFEE] ini dari pagi sampai sore tanpa kopi gula. Baru bagaimana sekolah anak-anak, bagaimana cari makan, aktivitas yang lain, semua itu tidak terurus gara- gara barang ini.166

Itulah perkataan Huber Kaize, seorang warga kampung Ndumande yang dipercaya oleh masyarakat untuk menjadi ketua pemuda di kampung. Dengan segala penerimaan dan pertanyaannya, sebagaimana dalam perkataan Huber Kaize tersebut, kehidupan masyarakat di kampung- kampung pertama yang telah berhubungan dengan perusahaan dilingkupi suasana baru, yaitu suasana yang serba bimbang, antara iya dan tidak, senang dan sedih, antara tahu dan bingung, dan seterusnya. Semua kebimbangan itu terkait dengan permasalahan uang Tali Asih yang diterima dari perusahaan, bayangan masyarakat tentang pembangunan, ketidak terimaan masyarakat atas penebangan hutan, hingga melahirkan resistensi dan penolakan terhadap perusahaan.

a. Tali Asih dan Simpang Jejak Kaki Leluhur

Jika bagi pihak perusahaan adalah dengan ditandatanganinya surat kesepakatan oleh kepala marga yang bersangkutan, maka apakah ujung yang menandai disepakatinya suatu keputusan terkait tanah bagi masyarakat Marind? Jawabnya tak lain adalah ketika di atas tanah tersebut tanaman wati

dihadirkan dan darah babi telah diteteskan melalui sebuah ritual.

Maka dijalankanlah kedua persyaratan tersebut sebagai sebuah momen perdana bagi suatu kerjasama jangka panjang antara Marind dan

146

perusahaan hingga di masa-masa yang akan datang. Dalam acara yang berlangsung kurang lebih setengah hari, berkas MoU telah ditandatangani oleh para kepala marga, uang Tali Asih secara langsung ataupun simbolik telah diserah-terimakan, tanaman wati telah ditambahkan, dan mata tombak di tangan kedua perwakilan dari masing-masing pihak telah menembus leher babi dan mengalirkan darahnya ke tanah. Tuntaslah sudah. Puluhan ribu hektar hutan telah menunggu untuk dibersihkan, pihak perusahaan telah menyimpan rapi surat kesepakatan yang secara sah telah ditandatangani oleh yang bersangkutan, sedangkan masyarakat telah mengantongi cash

maupun check sebesar milyaran rupiah untuk dibagikan kepada masing- masing anggota marga. Di hari berikutnya, tak ada sesuatu pun yang ditunggu kecuali pesta.

Namun kegembiraan yang ditunggu oleh masyarakat dengan didapatkannya uang Tali Asih tersebut belumlah bisa diluapkan begitu saja, karena apa yang selanjutnya menunggu adalah sesuatu yang tidak sepele, bahkan menegangkan: penentuan batas tanah dan marga pemilik yang berhak atas uang Tali Asih, dan tidak jarang ini berarti duduk bersama merunut ulang sejarah perjalanan leluhur. Warga Sanggase menuntut warga Buepe pasca pembayaran pertama PT. Medco kepada warga Buepe sebesar Rp.300 Juta. Warga Sanggase mengklaim bahwa tanah yang saat ini menjadi dusun Buepe adalah milik mereka. Menurut Okto Waken dari Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke (SKP KaMe) yang turut hadir pada sidang adat kedua kampung tersebut, hal itu dibenarkan oleh ketidakmampuan warga Buepe dalam menceritakan sejarah perjalanan

147

leluhur mereka hingga sampai ke tempat yang dimaksud. Selanjutnya warga kedua kampung itu bersatu dan mengajukan tuntutan kompensasi tanah kepada PT. Medco, yang prosesnya memakan waktu hingga Sembilan bulan. Namun ketegangan pun terulang kembali setelah PT. Medco memberikan pembayaran kedua pada tanggal 21 Oktober 2011 sebesar Rp 3 Milyar. Warga Buepe merasa diperlakukan tidak adil oleh warga Sanggase, karena dari sejumlah uang tersebut mereka hanya mendapatkan bagian sebesar Rp 100 Juta saja.167

Di Ndumande, sebagaimana juga diceritakan oleh Okto Waken, ketegangan antar marga dipicu oleh perkataan salah seorang warga dalam rapat penentuan batas wilayah perusahaan yang menunjuk bahwa di Ndumande, marga Kaize adalah pendatang dari kampung lain. Dalam hitungan menit setelah itu, serombongan pemuda marga Kaize datang dengan parang di tangan. Maka untuk meluruskan sejarah itu, tete Moses Kaize dari Zanegi pun didatangkan sebagai tetua yang lebih tahu tentang sejarah masa lalu.168

Serupa tapi tak sama dengan apa yang terjadi antara warga kampung Selil dan Kindiki di distrik Ulilin. Selil adalah sebuah kampung yang terletak tak jauh dari perbatasan antara kabupaten Merauke dan kabupaten Mapi, merupakan wilayah kekuasaan Marind dari kampung Kindiki yang sejak puluhan tahun yang lalu telah menjadi tempat tinggal masyarakat suku Auyu,

167 Okto Waken. 2011. Uang Kompensasi Tidak Sesuai Kesepakatan, Konflik Warga Kampung

Sanggase Dan Buepe Berlanjut, Laporan Bidang Investigasi & Monitoring Basis : Monitoring Pasca Penyerahan Uang Kompensasi Dusun Buepe. Merauke: SKP-KAME.

148

dan selama itu pula kedua suku ini hidup tanpa perselisihan. Namun kondisi seperti itu ternyata tidak berlaku lagi sejak kedatangan perusahaan bernama PT. Berkat Cipta Abadi (BCA) dan memberikan sejumlah Tali Asih kepada masyarakat kampung Kindiki. Hal ini pada dasarnya telah menyinggung perasaan warga suku Auyu di kampung Selil karena kawasan hutan yang masuk ke dalam konsesi PT. BCA merupakan wilayah kampung Selil. Akan tetapi sebagai warga pendatang, masyarakat suku Auyu pun memilih untuk tidak banyak bicara, sebagaimana disampaikan oleh kepala kampung Selil :

Kita orang di sini, sebenarnya waktu dulu pengayauan itu sudah ada transaksi, peralihan status hak atas tanah ini, dari pihak pertama orang Marind sudah serahkan kepada kita. Jadi sebenarnya kita yang harus urus. Tapi karena uang yang tadi dibilang bunyi besar, orang sudah lompat lewat kita. Jadi kita diam saja. Biar nanti mereka atur sampai di mana

tanggungjawab mereka. Saya bilang dia, silahkan kau urus. Kau mau dapat pesawat, dapat mobil, silahkan kau urus. Tapi kau ingat, kalau sampai masyarakat adat kita ini punya hidup ke depan itu tidak bagus, kau punya dosa lebih besar dari kau punya pesawat itu.169

Namun, betapapun segala masalah telah terjadi, uang Tali Asih sudah di tangan, dan itu berarti nasi telah menjadi bubur , tetap saja, segala komoditi dan fasilitas hidup yang baru telah tak sabar menanti. Maka berhamburanlah para OKB (Orang Kaya Baru) Marind ini memenuhi setiap

dealer motor dan pertokoan besar di Merauke. Dealer Yamaha kehabisan stok motor RX King-nya, berbagai fasilitas elektronik dalam waktu tak lama juga telah memenuhi hampir setiap rumah di Sanggase dan Ndumande. Kehidupan masyarakat di dua kampung ini tiba-tiba berubah, dari yang nyaris hening menjadi hingar-bingar suara motor dan soundsistem. Hamparan pasir di pantai dimana sebelumnya hanya terlihat para nelayan

149

dan kawana burung-burung, selanjutnya menjadi arena balap motor. Seorang warga Ndumande Yeni Kaize mengatakan, sejak pembayaran uang Tali Asih

dari PT. Rajawali sebesar Rp. 6 Milyar, kehidupan masyarakat Ndumande mengalami perubahan. Hampir tiap malam anak-anak tidak bisa tidur karena bunyi-bunyi speaker bervolume tinggi, para lelaki mabuk dan baku kelahi di sudut-sudut kampung .170

Itulah pesta OKB Marind, yang mulai mengukir jejak bagi generasinya dimasa mendatang dengan roda motor. Sementara bersamaan dengan itu permasalahan baru yang timbul adalah Tali Asih sebagai sebuah bahasa. Bagi pihak perusahaan, Tali Asih adalah uang kompensasi dari seluruh luasan hutan masyarakat yang menjadi areal konsesinya. Lain halnya bagi masyarakat Zanegi maupun Ndumande, Tali Asih itu barulah uang ketok pintu , atau disebut juga uang pinangan . Dalam sebuah obrolan bersama

dalam membahas Tali Asih dan peta kampung di Ndumande, dengan mengibaratkan tanah sebagai anak perempuan, Fredy Ndiken menunjukkan bahwa PT. Rajawali telah melakukan survey melebihi batas wilayah yang diizinkan oleh masyarakat :

Perusahaan ini baru ketok pintu, baru melakukan pinangan, belum menikah, pernikahan belum terjadi dengan kami pu anak perempuan ini. Baru sekarang dia su ada mau selingkuh lagi dengan saudaranya yang lebih cantik. Belum kawin, perusahaan su perkosa anak perempuan ini.171

170

Yeni Kaize. 19/03/2012. Wawancara. Merauke: Ndumande. 171 Fredy Ndiken. 18/03/2012. Wawancara. Merauke: Ndumande.

150

b. Pembangunan: Antara Harapan dan Kecemasan

Ungkapan Fredy Ndiken tersebut memang terdengar seksis dan menyalahi konsep para Feminis tentang kesetaraan gender, sayangnya dalam konteks permasalahan ini bukan persoalan gender yang menjadi poin penting untuk dibahas, melainkan betapa ungkapan tersebut merepresentasikan suatu hubungan yang sangat mendalam antara Fredy dan hutannya. Bahwa masuknya PT. Rajawali merambah hutan tanpa seizin masyarakat bagi Fredy adalah sebuah tindak pemerkosaan terhadap darah dagingnya. Walaupun Fredy sebagai bagian dari masyarakat Ndumande tak bisa dipungkiri sama sekali tidak menolak kehadiran perusahaan. Mereka juga sangat menyadari bahwa mereka sendiri sangat menginginkan hidup sebagaimana yang mereka pandang lebih maju. Maju yang sepertinya bermakna material. Misalnya seperti para staf PT. Rajawali yang selalu tampil bersih berseri, rapi dan trendy; atau seperti para peneliti yang selalu datang dengan alat perekam suara dan kamera digital, serta yang konon berpendidikan tinggi.

Kami selama ini setiap datang ke Merauke, melihat rumah-rumah bagus dan macam-macam. Jadi kami ini juga ada bermimpi kapan kami bisa punya rumah seperti itu. Kami juga mau kami punya hidup maju. Tapi kalau hutan ditebang, baru kasuari, buaya, dia mau kemana?172

Demikianlah kebimbangan yang diutarakan oleh ketua LMA Ndumande. Sangat terlihat bahwa apa yang ia sebut sebagai maju adalah rumah-rumah bagus, dan mungkin juga pakaian, kendaraan, serta segala macam fasilitas hidup lain dengan Merauke sebagai ukurannya. Sedangkan di

151

sisi lain, ia juga sadar bahwa tanpa hutan, yang artinya juga tanpa kasuari, buaya dan segala jenis kehidupan hutan lainnya, hidup dan masa depannya menjadi suatu hal yang tak mampu mereka bayangkan. Begitu juga dengan kebingungan seorang warga kampung Bupul distrik Elikobel yang menjelaskan :

Kami di sini masih bingung yang mana yang bagus, karena kami juga kurang berpikir mampu datangkan kami punya ekonomi. Sebenarnya ekonomi itu dari kami sendiri. Jadi kira-kira bisakah didatangkan untuk kami perusahaan atau pengusaha yang bisa olah kita punya hasil sedikit-sedikit yang ada disekitar sini. Mungkin bisa beli karet kah begitu dengan harga yang baik.

Kita sekarang orang tua-tua ingin pembangunan, padahal pembangunan ini pembangunan bagaimana? Kita tidak mengerti itu apa pembangunan. Pembangunan rumah kah? Pembangunan bongkar-bongkar hutan kah? Kita tidak tahu. Pikiran kita disuap terus pembangunan dari pemerintah yang bangun kita, padahal sebenarnya kita itu harus bangun diri sendiri. Kita tidak pikir kalau perusahaan yang datang itu pemerintah yang arahkan dia kesini, padahal yang setujui itu kami tuan dusun di sini, yang punya hak. Kalau kita pikir-pikir, mau kasih, boleh, terus anak cucu kami mau lari ke PNG (Papua New Ginea), terlantar, dan nanti mati seperti binatang. Itu pasti.173

Maka keterasingan anak cucu pun menjadi kecemasan yang tak bisa ditawar lagi, ketika bahkan sebagai sebuah istilah, kata pembangunan itu sendiri hanya merupakan selogan yang maknanya tak mampu dimengerti secara pasti oleh masyarakat. Bahkan ia semakin tidak dimengerti lagi manakala pemerintah yang meyerukan pembangunan itu justru mendatangkan perusahaan yang bertujuan membongkar-bongkar hutan. Sehingga yang bisa ditangkap oleh masyarkat sebagai pembangunan tak lain adalah eksploitasi hutan. Oleh karena itu bagi warga Kampung Bupul tersebut, tak ada harapan selain pada diri sendiri, meski masa depan anak cucu baru bisa dibangun dari hasil karet yang tak banyak. Mungkin itulah semangat, semangat dari

152

kehidupan yang dikatakan susah oleh bapak Bernadus Mahuze selaku ketua adat golongan Ezam di kampung Wayau :

Kita ini memang orang susah, padahal kita ini orang kaya, semua ada. Tapi datang pemerintah kuasai semuanya, akhirnya su berubah. Kita jadi susah. Mau kembali ke adat su tidak bisa, mau kejar suku yang maju juga su

susah.174

Kesusahan itulah yang melahirkan semangat warga Bupul untuk membangun dirinya sendiri. Kesusahan itu juga yang menghadirkan mimpi- mimpi tentang rumah-rumah bagus bagi ketua LMA Ndumande, juga yang mendorong kepala kampung Selil untuk pergi mencari tahu nasib warga kampung Asiki di distrik Getentiri kabupaten Bovendigul, dimana PT. Korindo menjalankan produksi kelapa sawitnya.

Saya kemarin baru pi ke Asiki, saya sudah lihat semua. Tuan dusun [pemilik tanah/hutan], dia menjadi karyawan disitu. Dia dodos kelapa sawit, satu rangka besar itu tumbuk di sini [muka] sampai bengkak macam muka perahu. Dia menderita, duduk di bawah kelapa sawit baru ikat baju bikin di

sini [tutup muka]. Saya lihat dia. Eh kau mengapa?. Aduh saudara, saya ini dodos, baru kelapa jatuh. Saya ini tuan dusun, tapi dipekerjakan oleh perusahaan. Itu satu contoh yang saya lihat, dan jangan sampai kita ke

depan seperti itu.175

Bukan berubahnya muka seseorang menjadi muka perahu karena kejatuhan bongkahan kelapa sawit, apa yang menjadi kecemasan kepala kampung Selil tersebut adalah kenyataan bahwa seorang tuan akhirnya harus menjadi pekerja di dusun (tanah/hutan)nya sendiri, kenyataan yang tak mampu ia terima dengan nalar ke-adat-annya. Begitu juga dengan warga Bupul, bapak Bernadus Mahuze di Wayau, juga ketua LMA dan Fredy Ndiken di Ndumande. Kecemasan telah menjadi penyakit baru yang tak bisa dihindari sudah

174

Bernadus Mahuze. 06/03/2012. Wawancara. Merauke: Wayau. 175 Kepala Kampung Selil. 06/04/2012. Wawancara. Merauke: Selil.

153

diderita oleh masyarakat Marind dan sekitarnya. Sebuah penyakit yang terlahir justru dari apa yang selama ini telah mereka tunggu: pembangunan.

c. Perampasan Hutandan Keterasingan

Aiwa, itulah kata dalam bahasa Marind yang selanjutnya kerap terdengar dari mulut warga Zanegi, juga warga kampung lain yang melihat Zanegi dan Boepe. Aiwa yang berarti aduh, menjadi satu-satunya kata yang paling mampu membahasakan apa yang saat ini sedang masyarakat rasakan. Seorang warga Zanegi yang gemar mencipta lagu bernama Natalis Basik- basik, dalam salah satu lagunya menuliskan :

Aiwa, onggat, naze Amam ha, amam ha ka bateno

Anim bate naindepa ombe Sayawi istamna mabateh ni

Aduh, anak, cucu

Tersesat, tersesat tak ada jalan Orang telah menipu kita

Tempat hidup kita sudah terlepas176

Lagu ini ia ciptakan setelah melihat kondisi hutannya yang telah terbuka, kondisi ekonomi serta kehidupan masyarakat di kampungnya yang dengan cepat telah berubah menyedihkan. Masyarakat yang sebagaimana dikatakan oleh bapak Bonesius Gebze dalam sebuah film dokumenter berjudul Mama Malind Su Hilang telah dihidupi oleh ibu, yaitu hutan yang melahirkan, membesarkan, memelihara dan melindungi mereka,177 adalah masa lalu. Dalam sebuah pertemuan kampung, Natalis mempertanyakan hal yang

176

Natalis Basik-Basik. 2012. Aiwa. Merauke: Zanegi. 177

Nanang Sujana. 2012. Mama Malind Su Hilang, Film Dokumenter. Jakarta: Gekko Studio, Pusaka Produksi, SKP-KAME.

154

bahkan tidak ada yang tahu kepada siapa pertanyaan itu sebaiknya harus diajukan:

Beberapa tahun yang lalu hutan masih utuh, masyarakat bisa cari makan di pinggir-pinggir kampung. Sekarang setelah perusahaan datang, tiba-tiba tanah habis. Lalu siapa nanti yang akan memberi makan masyarakat? Perusahaan? Pemerintah? Atau siapa? Karena kebutuhan, bisa jadi masyarakat akan serahkan piring makan ke perusahaan. Lalu siapa yang akan bertanggungjawab? Pemerintah sebagai pihak ketiga menyerahkan Setiap perjanjian kepada masyarakat dan perusahaan, baru kemudian dia sembunyi.178

Apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat Zanegi dan Boepe saat ini hanyalah mencari kemungkinan jalan untuk juga mengambil manfaat dari perusahaan, sambil tidak kuasa untuk tidak meratapi ribuan hektar hutannya yang telah rata dengan tanah. Itulah hal yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, bahwa kehidupan mereka tiba-tiba saja tersingkap diantara hamparan tanah lapang terbuka yang tak lagi memungkinkan menjadi tempat perburuan. Kemana rusa, kasuari dan kangguru. Untuk berburu mereka kini harus berjalan menyusuri jalanan perusahaan hingga belasan kilo meter dengan sesekali berpapasan dengan truk pengangkut kayu. Binatang buruan sudah sangat jauh berkurang, bahkan tak jarang mereka pulang dengan tangan hampa. Seperti halnya yang dikatakan oleh tete Moses Kaize dan Paulus Mahuze:

Dulu berburu bisa dapat rusa sepuluh ekor. Sekaring paling cuma dapat satu ekor, dan sering tidak dapat sampai seminggu berburu. Dulu daging dibagi- bagi makan. Sekarang langsung dijual ke ojek Rp. 25.000/kg. Rusa paling besar kurang lebih 40kg./ekor. Tapi sekarang sudah tidak dapat yang besar. Tinggal anak-anaknya saja yang sekitar 20kg/ekor. Hutan berkurang, binatang berkurang, tinggal manusianya saja yang tinggal dengan tidak dapat makan.179

178

Natalis Basik-Basik. 28/02/2012. FGD. Merauke: Zanegi.

155

Dalam sebuah perjalanan sepulang dari memancing bersama mama- mama di hutan milik marga Gebze di Zanegi, istri bapak Bonesius Gebze mengeluhkan bahwa saat ini memancing ikan menjadi lebih sulit. Ia menjelaskan bahwa sulit didapatnya ikan itu dikarenakan pupuk dan pestisida untuk penanaman accasia mangium yang digunakan di hutan produksi PT. SIS telah terbawa arus air hujan hingga mengalir ke sungai. Air sungai pun menjadi keruh, dan karena keruh, ikan-ikanpun jadi kesulitan melihat umpan.

Dalam pertemuan Makaling, setelah menonton video dokumentasi areal penebagan Medco Group di Zanegi dan Buepe, bapak Matias Mahuze dalam Sidang Makaling mengatakan :

Sagu ditebang, dikubur lagi, marga Mahuze dihina. Sagu punya hubungan dengan saya marga Mahuze. Kelapa punya hubungan denga Gebze. Kalau dia habis, sagu su tidak ada, Mahuze dimana, dia mau kemana, mau diantara lagit dan bumi kah?, negeri ini kami punya. Jadi kalau kita lihat tadi, hutan sudah jadi laut, kasihan, kita pu saham [kangguru] Samkakai mau kemana, kita pu kasuari Kaize mau kemana, semua marga su hilang, Marind juga hilang dari negeri ini kalau kita mau jual tanah ini.180

Semut mati di kantong gula , atau tikus mati di lumbung padi , atau banyak lagi istilah yang sering digunakan orang untuk menggambarkan kondisi masyarkat Zanegi dan Buepe saat ini. Namun pada kanyataannya adalah lebih dari itu ketika sebagaimana dikatakan oleh bapak Matias Mahuze, sebagaimana juga telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa bagi Marind hutan dan seisinya bukanlah sekedar aset ekonomi, melainkan juga identitas, yang-primordial, yang jauh lebih tak terjangkau bahkan tak mungkin terjangkau oleh orang lain. Dengan demikian, aiwa yang

156

diteriakkan oleh Natalis Basik-basik pun tak hanya tentang rintihan lapar semut dan tikus karena hilangnya gula dalam kantong atau dicurinya padi dari lumbung . Lebih dari itu, teriakan tersebut adalah tentang keterasingan atas hilangnya hutan, yang berarti juga terkoyaknya primordialitas serta tak utuhnya lagi wajah Anim-Ha.

d. Resistensi

Demi mempertahankan apa yang mereka yakini sebagai Anim-Ha

itulah Sidang Makaling diselenggarakan. Sebuah sidang adat yang diprakarsai sendiri oleh para tetua adat kampung Makaling. Melalui kepala kampungnya dan dengan dukungan dari kedua kepala distrik, mereka mengundang semua perwakilan adat dari setiap kampung di sepanjang pesisir selatan kabupaten Merauke dari muara Bian sampai muara Kimam. Semuanya bebas berbicara, laki-laki, perempuan, tua dan muda. Atas nama tanah dan leluhur, semua meneriakkan penolakannya.

Kami ketua-ketua adat, dari Wamal sampai Sanggase, melakukan perjanjian bahwa perusahaan tidak akan masuk lagi. Apa yang terjadi ini tolong diceritakan, bahwa ketua adat Wamal, Dokip, Yowid, Woboyu, Dodalim, Wambi, Dufmila, Makaling, Iwol, Sanggase, Okaba, Alaku, Alateb, telah duduk bicara tentang perusahaan masuk, dan tidak. Terima kasih pada bapak distrik Okaba dan distrik Tubang. Dukung kami ketua-ketua adat dari

Dokumen terkait