• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : MIFEE-MP3EI: MENCARI KEUNTUNGAN MELALUI KRISIS

A. MERAUKE DAN KERENTANAN PANGAN DUNIA

1. Sebelum MIFEE

Sebelumnya, selain hanya seputar isu Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan integritas NKRI, Marauke tidak ada, dalam artian tidak muncul sebagai pembahasan penting dalam arah dan rencana pembangunan Indonesia. Namun setelah wacana krisis pangan dan energi mulai mencuat ke permukaan, Merauke pun menjadi fokus perhatian pemerintah, terlebih setelah Presiden Susilo Bambang Yodoyono menghadiri acara panen raya di Merauke pada tahun 2006. Sejak saat itu, jadilah Merauke sebagai masa

62 Indra Tata. 2000. Menggugat Revolusi Hijau, Generasi Pertama. Yayasan Tirta Karangsari & Kehati

63

Sajogyo. 1993. De elop e t a d So ial Welfa e: I do esia s E pe ie es U de the Ne

56

depan Indonesia. Jadi, sebelum pembahasan mengarah lebih jauh tentang wacana yang berkembang menuju MIFEE, sebaiknya dipahami terlebih dahulu wacana tentang situasi historis di Merauke terkait dengan konsep

food estate tersebut.

a. Proyek Padi Kumbe (Koembe Project)

Sejak tanah Merauke (Marind) diinjak oleh para transmigran dari Jawa yang didatangkan oleh pemerintah Belanda pada sekitar tahun 1940- an,64 geliat pertanian berbasis persawahan mulai menampakkan dirinya. Hingga pada tahun 1955 pemerintah Belanda mulai dengan serius menggarap pertanian di Merauke dengan menggagas sebuah proyek yang dinamai dengan Koembe Project yang sekarang diingat dengan sebutan Proyek Padi Kumbe. Itulah pertama kalinya Merauke dijadikan sebagai wadah bagi proyek pertanian berskala luas dan menggunakan teknologi modern, sesuatu yang saat ini dinamai dengan food estate.

Overweel menjelaskan, pada era 1950-an pemerintah Belanda di Merauke mempunyai inisiatif untuk mulai mengembangkan pertanian. Dalam rencananya, inisiatif tersebut akan direalisasikan dalam dua bentuk, 1) yaitu lahan pertanian berskala besar yang dikuasai dan dikelola oleh Negara dan dilengkapi dengan suatu lembaga atau pusat penelitian, dan; 2)

bevolkingslandbouw (agriculturalpopulation), yaitu semacam pengembangan

64

Pemetintah Kabupaten Merauke. 1972. Marind: 70 Tahun Dalam Proses Akulturasi. Merauke: Dinas Sosial, hlm: 30.

57

pertanian rakyat dengan mengambil bentuk community development. Inisiatif ini dimaksudkan untuk mengembangkan pola pertanian subsisten masyarakat Marind agar mencapai tingkat yang mampu menghasilkan surplus. Selanjutnya jadilah Koembe Project itu sebagai realisasi dari bentuk yang pertama.65

Dalam rencananya, proyek ini akan membuka kawasan hutan seluas 10.000 ha untuk dijadikan persawahan, namun pada awal dijalankannya di tahun 1955 proyek ini baru bisa menyiapkan areal persawahan seluas 400 ha saja. Selain tidak didukung oleh kondisi tanah yang kering, proyek ini juga banyak mengalami gangguan serangga dan burung. Oleh karena itu dibutuhkan perawatan dan input pupuk yang intensif. Overweel juga menjelaskan bahwa Koembe Project belum sempat melampaui fase

eksperimennya untuk menjadi suatu kerja besar yang memberi keuntungan besar . Sementara di sisi lain, proyek ini juga memiliki masalah tersendiri dengan masyarakat Marind. Meskipun pada mulanya masyarakat Marind menyambutnya dengan antusias, menaruh perhatian besar dan banyak berpartisipasi sebagai buruh, akan tetapi kemudian mereka menarik diri keluar dari proyek karena merasa dirugikan: proyek tersebut telah mengambil tanah dan sumber penghidupan mereka.66 Hingga kemudian Irian Jaya jatuh ke tangan Indonesia dan proyek tersebut menjadi terbengkalai.

65 Jeroen A. Overweel. 1992. Suku Marind Dalam Alam dan Lingkungannya yang Berubah. Merauke: YAPSEL, hlm: 42.

66

Pemetintah Kabupaten Merauke. 1972. Marind: 70 Tahun Dalam Proses Akulturasi. Merauke: Dinas Sosial, hlm: 67.

58

Hingga saat ini situs-situs dari proyek padi Kumbe tersebut masih bisa didapati di daerah Kurik di Merauke. Antara lain adalah berbagai peralatan bekas dan beberapa bangunan tua yang dulunya merupakan gudang penyimpanan dan penggilingan padi serta tempat tinggal pekerja. Sejak tahun 2006 hingga kini banyak sekali pemberitaan atau penceritaan tentang bagaimana proyek ini ada dan berjalan pada masanya. Namun, lebih dari situs-situs tersebut, yang tersisa tidak lebih hanyalah cerita indah dengan rujukan data yang tidak sepenuhnya bisa dipertanggungjawabkan.

Antara lain dari publikasi tentang proyek padi Kumbe mengatakan bahwa proyek ini berjalan lancar dan hasil yang cukup maksimal dengan dua kali panen dalam setahun, hingga mampu mencukupi kebutuhan beras sampai di beberapa kota lain di Papua seperti Jayapura, Sorong, Manokwari, Fakfak, serta Papua Nugini.67 Juga bahwa pemerintah Belanda telah berhasil membangun basis pertanian di Merauke selama kurun waktu 1939-1958.68 Terlebih lagi adalah bahwa pemerintah Belanda telah membangun Kumbe Rice Estate sejak 1939 dan mentargetkan wilayah Merauke sebagai gudang pangan untuk kawasan Asia Pasifik sebagai antisipasi pecahnya Perang Dunia ke-2 pada 1942-1945.69

67 KOMPAS. 2012. Ekspedisi Tanah Papua: Menjembatani Pola Subsisten ke Pertanian. http://cetak.kompas.com/read/2012/06/27/03313834/menjembatani..pola.subsisten.ke.pert anian, diakses pada 17/12/2012.

68 Kementrian Sekretariat Negara RI. 2012. Food Estate: Harapan Ketahanan Pangan Masa

Depan.

http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=4314&Itemid=29, diakses pada 17/12/2012.

69

Made Oka A. Manikmas. 2010. Merauke Integrated Rice Estate (MIRE): Kebangkitan Ketahanan dan Kemandirian Pangan di Ufuk Timur Indonesia, Jurnal Analisis Kebijakan Pertania Vol.8 No.4. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.

59

Dari hasil pencarian data, penulis menemukan bahwa pada kurun waktu 2010-2012, hampir semua berita atau tulisan tentang proyek tersebut yang terdapat di situs-situs internet, baik yang berbentuk blog atau website, milik perorangan, lembaga, atau instansi pemerintahan, menyatakan bahwa proyek padi ini dibangun oleh pemerintah Belanda pada tahun 1939. Fenomena kesalahan data historis ini menurut penulis diawali oleh tulisan Manikmas (2010) yang menyatakan hal tersebut. Padahal jika dirunut kembali dalam sejarah penguasaan Belanda di Merauke maka pernyataan atau berita itu tidak akan ditemukan. Jadi, semua data dan berita sebagaimana telah penulis sebutkan dalam paragraf sebelumnya adalah salah.

Terlepas dari kesalahan atau kebohongan data sejarah tersebut, tidak bisa dipungkiri bahwa wacana tentang Koembe Project ini, bahwa Merauke pernah berhasil dalam upaya penyediaan dan memenuhi kebutuhan pangan (beras) hingga kawasan Asia-Pasifik, telah menjadi salah satu alasan yang dibanggakan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk melegitimasi prospek dari kesuksesan program food estate yang dijalankan saat ini. Terlebih lagi karena di beberapa kawasan di Merauke memang telah terdapat areal persawahan yang tumbuh subur dan menghasilkan panen raya yang berlimpah pada setiap tahunnya, yaitu kawasan yang menjadi daerah pemukiman warga transmigran dari Jawa.

60 b. Panen Raya 2006

Suatu penanda dari serangkaian momentum yang mendorong dilahirkannya megaproyek MIFEE ini pada mulanya adalah perayaan panen raya 2006 di distrik Tanah Miring kabupaten Merauke, suatu perayaan panen padi dimana Presiden Susilo Bambang Yudoyono bersama Ani Yudoyono dan disertai rombongan yang terdiri dari Menko Perekonomian Aburizal Bakrie, Menko Polhukam Widodo A. S., Menteri Pertanian Antor Apriyantono, Mendiknas Bambang Sudibyo dan Rektor IPB Ahmad Anshori datang untuk menghadiri dan memberikan sambutan dalam acara tersebut.

Dalam sambutannya pada acara tersebut, banyak hal yang disampaikan oleh Presiden SBY terkait dengan pembangunan Papua ke depan. Secara umum terdapat beberapa topik atau poin yang bisa diambil dari pidato sambutan presiden tersebut. Namun dari beberapa poin itu, hal yang akhirnya menjadi wacana paling menonjol adalah yang keempat, yaitu prospek Merauke sebagai lumbung pangan di masa yang akan datang. Selain karena bisa dikatakan bahwa momen tersebut diciptakan memang untuk mengangkat wacana pangan, khususnya keberhasilan produksi pangan di Merauke, terdapat juga beberapa pernyataan lain yang mendukungnya, yang antara lain adalah sambutan dari bupati Merauke Johanes Gluba Gebze yang melaporkan bahwa Luas lahan produktif yang tersedia di sini baik lahan

61

basah maupun lahan kering 2,390 juta ha, dengan total produksi tiap tahun mencapai . ton .70

Pernyataan Bupati Gluba Gebze tersebut dilengkapi oleh PJS Gubernur Papua Sodjuangon Situmorang yang menjelaskan bahwa panen raya yang menuai hasil mencapai 30.000 ton tersebut barulah dari 15.845 ha lahan pertanian sawah saja, dan sesungguhnya potensi lahan masih sangat luas dan bisa dikembangkan untuk dikelola di masa depan . Dan sebagai penguat dari wacana ketersediaan lahan tersebut adalah penjelasan dari Menteri Pertanian Anton Apriantono yang melaporkan bahwa dari , juta ha potensi lahan pertanian tanaman pangan yang ada di Papua, sekitar 2,3 juta ha diantaranya terdapat di Merauke. Dan dengan optimalisasi pemanfaatannya, Merauke akan mampu meningkatkan produktivitas padi yang akan beperan dalam kebutuhan pangan lokal, kebutuhan nasional bahkan ekspor .71

Demikianlah cerita singkat dan terbatas tentang panen raya 2006 di Merauke sebagai momentum pertama yang menjadi cikal-bakal MIFEE. Sangat terlihat beberapa kepentingan yang secara strategis bertemu (baca: dipertemukan) dan saling mengungkapkan hasrat yang searah dan menuju sesuatu yang sama, yaitu industrialisasi pangan berskala besar, hingga akhirnya pada bulan Desember 2007, bupati Merauke John Gluba Gebze

70 Sekretariat Kepresidenan RI. 2006. Presiden Tiba di Merauke: Puluhan Ribu Rakyat Papua

Sambut Dengan Kibaran Merah Putih.

http://www.presidenri.go.id/index.php/fokus/2006/04/04/361.html, diakses pada 19/01/2011.

71

Departemen Dalam Negri RI. 2011. Presiden di Merauke: Merauke Diharapkan Jadi Lumbung Padi Nasional. www.depdagri.go.id/news/2006/04/06/merauke-diharapkan-jadi-lumbung- padi-nasional, diakses pada 19/01/2011.

62

diundang menghadap Menko Perekonomian di Jakarta untuk mempresentasikan gagasannya tentang Merauke Intregated Rice Estate

(MIRE).

Merauke sebagai daerah atau kawasan yang memiliki banyak lahan berlebih atau yang dianggap masih belum termanfaatkan secara maksimal, daerah terujung timur yang jarang terjamah oleh gerakan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, seketika menjadi anugerah yang tiada tara bagi masa depan perekonomian Indonesia. Dan sebagaimana dijelaskan secara panjang lebar oleh Food and Agriculture Organization (FAO) dalam laporan tahunannya, dari 2005 hingga 2009, kebutuhan pangan akan selalu meningkat, dan krisis pangan mulai bisa dirasakan oleh banyak Negara, sementara bicara pangan adalah bicara pertanian, sedangkan pertanian sejauh ini masih sangat tergantung dengan ketersediaan lahan. Merauke pun selanjutnya menjadi anak kesayangan pemerintah Indonesia, terbayang sebagai lumbung yang akan menyuapkan makanan ke mulut bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa lain di dunia di masa depan.

c. Merauke sebagai Surplus Tanah

Pasca acara panen raya tersebut, khususnya sepanjang tahun 2007, sebagai instansi teknis yang merupakan salah satu objek koordinasi dari Kementrian Koordinator Perekonomian RI, Departemen Pertanian RI banyak disibukkan dengan kerja-kerja penelitian yang berhubungan dengan prospek pengembangan pertanian pangan di Merauke. Bersama Pusat Penelitian dan

63

Pengembangan Tanaman Pangan Bogor dan beberapa lembaga lain di bidang pertanian dan tamanan pangan, berbagai penelitian dilakukan dengan berdasarkan beberapa perspektif terkait dengan kondisi teknis geologis hingga analisis ekonomi, sosial dan budaya di Merauke. Hasilnya dipublikasikan dalam berbagai bentuk dan menjelaskan bagaimana Merauke seolah menjadi kawasan yang tak terbayangkan sebelumnya, suatu kawasan potensial yang menjanjikan kesejahteraan suatu masyarakat agropolitan Indonesia.

Adi Widjono dari perspektif sosial budaya mengatakan bahwa padi layak dikembangkan secara optimal di Merauke dengan memperhatikan budaya asli, artinya berbagai komoditas tradisional dan berpotensi lain yang perlu ikut dikembangkan secara seimbang. Proyek ini juga perlu menunda untuk mendatangkan tenaga kerja terampil dari luar Merauke, karena itu bisa menurunkan daya saing masyarakaat asli. Untuk itu diperlukan sistem penyuluhan yang besar, sistematis, dan terencana, terutama untuk kulturasi masyarakat asli pada budi daya padi. Penyuluhan harus berfungsi sebagai jembatan informasi dua-arah: sebagai katalisator kesaling-mengertian antara masyarakat tani dan, khususnya, pemerintah. Penyuluhan ini juga harus mampu menyadarkan dan memberdayakan masyarakat asli. Di pihak lain, sosialisasi juga perlu diberikan kepada masyarakat pendatang agar lebih memahami dan menghargai budaya asli, sembari mengembangkan berbagai

64

sektor dan subsektor lain [infrastruktur] secara simultan, seperti sarana transportasi, sistem tata niaga, industri pasca panen, dan sebagainya.72

Sementara itu dari prespektif yang lebih teknis Djaenudin melaporkan bahwa di sepanjang kabupaten Merauke terdapat 699.595 ha lahan basah dan kering yang sangat menguntungkan untuk pertumbuhan dan produktifitas tanaman dengan menggunakan pendekatan intensif dan ekstensif. Merauke juga mengalami bulan-bulan kering dan banyaknya sinar matahari, sementara secara umum kondisi tanah dan air cukup baik. Dengan ditambah perhatian lebih pada ketersediaan air di musim kemarau dan pengaturan musim tanam, maka seluruh luas lahan tersebut akan menjadi sangat baik.73

Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Agus Supriatna Somantri & Ridwan Thahir mengatakan bahwa jika Merauke akan dicanangkan sebagai lumbung pangan bagi kawasan Indonesia Timur maka dibutuhkan skenario kebijakan yang mendukung dan mendorong peningkatan pendayagunaan lahan (membuka lahan baru) dan peningkatan produksi melalui mekanisasi yang lebih intensif. Hal ini dianggap sangat penting mengingat kebutuhan beras di kawasan Indonesia Timur yang selalu meningkat.74

72

Adi Widjono. 2006. Analisis Sosial Budaya Pengembangan Padi di Merauke, Jurnal Iptek Tanaman Pangan No.1. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengambangan Tanaman Pangan. 73 D. Djaenudin. 2007. Potensi Sumber Daya Lahan untuk Perluasan Areal Tanaman Pangan di

Kabupaten Merauke, Jurnal Iptek Tanaman Pangan Vol.2 No.2. Bogor: Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian.

74 Adi Putra Tahir. 2010. Laporan Ketua Umum KADIN Indonesia pada Pre-Opening Semina

Nasional dan Pameran Pasok Dunia, "Feed The World". KADIN: http://www.kadin- indonesia.or.id/id/doc/sambutan%20KU%20Kadin%20Indonesia.pdf, diakses pada 28/01/2013.

65

Dalam perkembangan selanjutnya, pada bulan Desember 2008 terdapat hasil penelitian dari Balai Penelitian Tanah yang menganalisis potensi kawasan Kabupaten Merauke melalui tinjauan dari aspek pengelolaan tanah dan air. Dari hasil analisisnya, IG.M. Subiksa sepertinya lebih menjanjikan bagi masa depan rice estate ini dibandingakan dengan hasil penelitian dari tinjauan yang sama yang dilakukan sebelumnya oleh Djaenudin. Subiksa menyatakan bahwa di kabupaten Merauke terdapat lahan basah seluas 1,2 juta ha yang memiliki potensi untuk pengembangan padi skala luas. Tersedia juga teknologi pada lahan sejenis yang merupakan peluang pemasaran dan pertumbuhan ekonomi Kabupaten Merauke hingga melebihi rata-rata nasional. Adapun mengenai kendala yang harus diatasi sepertinya Subiksa sependapat dengan Djaenudin mengenai minimnya air di musim kemarau, dan dengan Adi Widjono mengenai kurang tersedianya infrastruktur yang menunjang proyek tersebut. Namun selain dua hal itu, Subiksa juga menekankan bahwa yang menjadi kendala dalam rencana pengembangan rice estate tersebut adalah permasalahan sumber daya manusia baik kuantitas maupun kualitasnya, serta masalah kepemilikan lahan.75

Luas lahan potesial yang dimiliki oleh Merauke pun masih berkembang dari hasil penelitian selanjutnya. Menurut tulisan Manikmas pada 2010 tentang rencana MIRE, Merauke memiliki lahan yang potensial untuk pengembangan komoditas pertanian padi sawah seluas 1,9 juta ha,

75

IG. M. Subiksa. 2008. Prospek Pengembangan Rice Estate di Kabupaten Merauke: Tinjauan Dari Aspek Pengelolaan Tanah dan Air, Jurnal Sumberdaya Lahan Vol.2 No.2. Bogor: Balai Penelitian Tanah.

66

ditambah lagi dengan lahan kering yang cocok untuk tanaman pangan jenis lain seluas 0,5 juta ha. Dengan berdasar pada pengetahuan yang kompleks dalam hal delineasi kesesuaian lahan, Manikmas menjelaskan bagaimana memahami tipologi kawasan dan lahan Merauke sebagai agroekosistem dengan berbagai tipe, hingga masalah kesesuaian lahan dan sebaran lahan yang tersedia. Semua penjelasan tersebut memang dialamatkan pada terbukanya Merauke sebagai basis potensial bagi pengembangan sistem agroekonomi di kawasan timur Indonesia.76

Dari beberapa rangkuman singkat hasil-hasil kajian yang dilaporkan oleh beberapa lembaga penelitian pertanian di Bogor tersebut bisa dilihat bagaimana Merauke diangkat sebagai anugerah yang menjanjikan kesejahteraan di masa depan. Dalam kurun sekitar 2-3 tahun, Merauke – yang maknanya telah menyempit hingga yang paling terbayang hanyalah tanah/lahan – menjadi sesuatu yang extended, tak terduga sebelumnya, dan merupakan surplus. Maka layaknya suatu surplus, tidak ada hal terbaik untuknya selain dilekatkan padanya sebuah nilai guna sebagai alasan rasional dari pengembangan sistem produksi agar menghasilkan akumulasi di tingkat lebih lanjut. Merauke pun menjadi lahan terbuka dengan keberadaan masyarakat yang segala permasalahannya seolah bisa diskusikan selanjutnya.

76 Made Oka A. Manikmas. Ibid.,

67

Dokumen terkait