• Tidak ada hasil yang ditemukan

Patriotisme : primordialisme masyarakat Marind melawan kosmopolitanisme MIFEE-MP3EI dI MERAUKE.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Patriotisme : primordialisme masyarakat Marind melawan kosmopolitanisme MIFEE-MP3EI dI MERAUKE."

Copied!
305
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Suku Marind adalah masyarakat yang mendiami kawasan yang secara teritorial kenegaraan berada dalam wilayah Kabupaten Merauke. Marind hidup dengan berpegang pada nilai-nilai adat yang bersumber dari ikatan primordial dengan tanah dan hutan. Ikatan ini terwujud ke dalam kehidupan masyarakat Marind dalam bentuk konsep identitasAnim-Ha(Manusia Sejati) yang menampung seluruh sistem pemaknaan atas kehidupan yang mereka jalani. Saat ini, Marind sedang berhadapan dengan program perekonomian Indonesia bernama Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) sebagai turunan dari mega proyek ekonomi Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dan secara legal formal mengakuisisi hutan yang secara adat dimiliki oleh suku Marind.

Pertemuan Marind dan MIFEE ini melahirkan suatu pertentangan terkait dengan bagaimana tanah dan hutan itu dimaknai. Marind dengan semangat Anim-Ha yang dipegangnya berjuang mempertahankan hutan sebagai bagian tak terpisahkan dari identitasnya, sementara pemerintah Indonesia menyikapi hutan tak lain sebagai aset ekonomi yang menyediakan peluang besar meraih keuntungan dan mengatasi ancaman krisis yang diwacanakannya. Pertentangan ini secara ideologis menghadapkan Marind dan Pemerintah Indonesia dalam wacana kecintaan kepada tanah air. Dengan MIFEE-MP3EI yang menjadi bagian dari arus besar kapitalisme neoliberal Asia, pemerintah Indonesia memposisikan nasionalisme sebagai nasionalisme pasar. Ideologi inilah yang ditentang oleh pergerakan masyarakat Marind yang secara primordial justru memperlihatkan patriotisme dan kecintaan kepada tanah kelahirannya (patria).

(2)

ABSTRACT

This thesis is a study about ideology that uses Lacanian-Žižek perspective to explain about Marind people movement against neoliberalism that is represented by the existence of Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) project. The Marind is a community who lives in Merauke Regency. Their lives are based on customary values, which are rooted in primordial ties between the Marind, their land and forest. This connection is manifested in Marind’ s lives in a form of identity concept called as Anim-Ha (The Real Man), which signify the whole system of meaning upon their lives. To date, an economic development program called MIFEE – as a program derivation from mega project of Indonesian Economic Acceleration and Expansion (MP3EI) – has been legally appropriating the forest that is claimed to be owned by the Marind under their customary law.

The interface between Marind and MIFEE produces a contestation in terms of how meanings were given to land and forest. The Marind within a spirit of Anim-Ha is struggling to defend their forest to be inseparable from their identity, whilst the government of Indonesia perceived the forest as merely an economic asset that is supposed to provide chances for profit and prevent the country from crises as reflected in their discourse about crises as threat. Ideologically, this contestation places the Marind in face to face with the Indonesia government within the discourse of love of country (patria). Through the MIFEE-MP3EI, which is part of the big wave of Asian neoliberal capitalism, Indonesia government has positioned nationalism merely as a market nationalism that is losing its patriotic spirit. On the other hand, primordial symptomatic movement of the Marind in relation to their forest demonstrated patriotism and love to their homeland.

(3)

i

PATRIOTISME:

PRIMORDIALISME MASYARAKAT MARIND MENGHADAPI KOSMOPOLITANISME MIFEE-MP3EI DI MERAUKE

KAJIAN IDEOLOGI MELALUI PERSPEKTIF SLAVOJ ŽIŽEK

TESIS

Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta.

Oleh: Zuhdi Siswanto NIM: 106322008

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)
(5)
(6)

iv

PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, Nama : Zuhdi Siswanto

NIM : 106322008

Program : Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas : Sanata Dharma

Menyetakan dengan sesungguhnya bahwa tesis

Judul : Patriotisme: Primordialisme Masyarakat Marind Menghadapi Kosmopolitanisme MIFEE-MP3EI di Merauke

Kajian Ideologi Melalui Perspektif Slavoj Žižek Pembimbing : 1. Dr. St. Sunardi

2. Dr. Katrin Bandel Tanggal diuji : 4 Februari 2014 Adalah benar-benar hasil karya saya.

Di dalam skripsi/karya tulis/makalah ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau simbol yang saya aku seolah-olah sebagai tulisan saya sendiri tanpa memberikan pengakuan kepada penuli aslinya.

Apabila kemudian terbukti bahwa saya melakukan tindakan menyalin atau meniru tulisan orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, saya bersedia menerima sangsi sesuai dengan peraturan yang berlaku di Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, termasuk pencabutan gelar Magister Humaniora (M.Hum.) yang telah saya peroleh.

(7)

v

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Nama : Zuhdi Siswanto

NIM : 106322008

Program : Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Demi keperluan pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta karya ilmiah yang berjudul:

PATRIOTISME:

PRIMORDIALISME MASYARAKAT MARIND MENGHADAPI KOSMOPOLITANISME MIFEE-MP3EI DI MERAUKE

(KAJIAN IDEOLOGI MELALUI PERSPEKTIF SLAVOJ ŽIŽEK

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lainnya demi kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya atau memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

(8)

vi

KATA PENGANTAR

Dalam kata pengantar ini saya hanya ingin menyampaikan rasa terima kasih saya sebesa-besarnya kepada berbagai pihak yang tanpa mereka saya yakin tesis ini belum akan selesai.

Untuk bapak dan ibu saya di Lamongan, terima kasih atas do a-doanya. Untuk istri saya tercinta, terima kasih atas senyum dan kesabarannya.

Terima kasih juga saya sampaikan kepada pak Dr. St. Sunardi dan mbak Dr. Katrin Bandel atas bimbingan dan segala perhatiannya yang tak kenal lelah, juga kepada romo Dr. Gregorius Budi Subanar S.J., pak Prof. Dr. A. Supratiknya, romo Dr. Benny Hari Juliawan S.J. serta segenap dosen IRB, terima kasih atas segala dukungan moral dan pemikirannya. Kepada mbak Desy Cicik dan mas Mul atas segala dukungan semangatnya.

Saya sampaikan juga terima kasih sebesar-besarnya atas kerjasama dan dukungan penuh dari Sekretariat untuk Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke (SKP-KAME) dan seluruh tim sesama peneliti selama di lapangan: Laksmi A. Savitri, om Yos, om Hari, Okto Waken, Kizito Heru, Muntaza, Henky, Yufiq dan semua anggota yang tak bisa saya sebutkan seluruhnya.

(9)

vii

Basik-Basik, Huber Kaize, pak Sitompul di Makaling, dan seluruh masyarakat Marind, Yeinan dan Kanum di Merauke.

Dan terakhir buat teman-teman IRB: Inyiak RM, Alwi, Irfan, pak Mardison, bung Benny, Armando, Nelly, Lisis, Gintani, Pongky, mas Windarto, Amsa, terima kasih atas kesediaannya untuk saling berbagi beban hidup ini. Aku rapopo. Piye perasaanmu?

(10)

viii ABSTRAK

Suku Marind adalah masyarakat yang mendiami kawasan yang secara teritorial kenegaraan berada dalam wilayah Kabupaten Merauke. Marind hidup dengan berpegang pada nilai-nilai adat yang bersumber dari ikatan primordial dengan tanah dan hutan. Ikatan ini terwujud ke dalam kehidupan masyarakat Marind dalam bentuk konsep identitas Anim-Ha (Manusia Sejati) yang menampung seluruh sistem pemaknaan atas kehidupan yang mereka jalani. Saat ini, Marind sedang berhadapan dengan program perekonomian Indonesia bernama Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) sebagai turunan dari mega proyek ekonomi Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dan secara legal formal mengakuisisi hutan yang secara adat dimiliki oleh suku Marind.

Pertemuan Marind dan MIFEE ini melahirkan suatu pertentangan terkait dengan bagaimana tanah dan hutan itu dimaknai. Marind dengan semangat Anim-Ha yang dipegangnya berjuang mempertahankan hutan sebagai bagian tak terpisahkan dari identitasnya, sementara pemerintah Indonesia menyikapi hutan tak lain sebagai aset ekonomi yang menyediakan peluang besar meraih keuntungan dan mengatasi ancaman krisis yang diwacanakannya. Pertentangan ini secara ideologis menghadapkan Marind dan Pemerintah Indonesia dalam wacana kecintaan kepada tanah air. Dengan MIFEE-MP3EI yang menjadi bagian dari arus besar kapitalisme neoliberal Asia, pemerintah Indonesia memposisikan nasionalisme sebagai nasionalisme pasar. Ideologi inilah yang ditentang oleh pergerakan masyarakat Marind yang secara primordial justru memperlihatkan patriotisme dan kecintaan kepada tanah kelahirannya (patria).

(11)

ix ABSTRACT

This thesis is a study about ideology that uses Lacanian-Žižek perspective to explain about Marind people movement against neoliberalism that is represented by the existence of Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) project. The Marind is a community who lives in Merauke Regency. Their lives are based on customary values, which are rooted in primordial ties between the Marind, their land and forest. This connection is manifested in Marind s lives in a form of identity concept called as Anim-Ha (The Real Man), which signify the whole system of meaning upon their lives. To date, an economic development program called MIFEE – as a program derivation from mega project of Indonesian Economic Acceleration and Expansion (MP3EI) – has been legally appropriating the forest that is claimed to be owned by the Marind under their customary law.

The interface between Marind and MIFEE produces a contestation in terms of how meanings were given to land and forest. The Marind within a spirit of Anim-Ha is struggling to defend their forest to be inseparable from their identity, whilst the government of Indonesia perceived the forest as merely an economic asset that is supposed to provide chances for profit and prevent the country from crises as reflected in their discourse about crises as threat. Ideologically, this contestation places the Marind in face to face with the Indonesia government within the discourse of love of country (patria). Through the MIFEE-MP3EI, which is part of the big wave of Asian neoliberal capitalism, Indonesia government has positioned nationalism merely as a market nationalism that is losing its patriotic spirit. On the other hand, primordial symptomatic movement of the Marind in relation to their forest demonstrated patriotism and love to their homeland.

(12)

x

BAB II : MIFEE-MP3EI: MENCARI KEUNTUNGAN MELALUI KRISIS ... 52

A. MERAUKE DAN KERENTANAN PANGAN DUNIA………. 53

1. Sebelum MIFEE ……… 55

a. Proyek Padi Kumbe (Koembe Project ……… 56

b. Panen Raya 2006 ……….. 60

c. Merauke sebagai Surplus Tanah ………. 62

2. Menuju MIFEE ……….. 67

a. Doktrin Krisis dan Empati Kemanusiaan Global ………... 67

b. Liberalisasi Komoditi Pangan dalam KADIN Feed the World Seminar 2010 .. 74

c. Arah Kebijakan menuju MIFEE ……… 80

B. KONEKTIVITAS: DARI MERAUKE KE ASIA TIMUR ……… 86

1. Interkonektivitas Indonesia ……… 86

a. Koridor Papua dan Kepulauan Maluku: MIFEE dalam MP3EI ………... 87

b. Mengapa MP3EI? ……….. 89

2. Indonesia dalam Regionalisme Asia ………... 91

a. Indonesia sebagai Potensi dan Tantangan ………... 93

b. Indonesia dalam Comprehensive Asia Development Plan………...……….. 96

c. Kosmopolitanisme: Jalan ASEAN menuju Kebebasan Tunggal ………... 99

BAB III : TANAH DAN IDENTITAS PRIMORDIAL MARIND ……… 104

A. MANUSIA ADALAH TANAH DAN BAHASA ……… 106

1. Tanah: dari Aturan hingga Semangat ………... 108

a. Sistem Kepemilikan ……… 110

c. Janji-janji: Perusahaan sebagai Manusia ……… 137

d. Impian vs MoU ………... 141

2. Histeria Masyarakat Marind ……… 144

(13)

xi

b. Pembangunan: Antara Harapan dan Kecemasan ……….... 150

c. Perampasan Hutan dan Keterasingan ………... 153

d. Resistensi ………... 156

BAB IV : PRIMORDIALISME, PATRIOTISME DAN NASIONALISME: MARIND DAN MIFEE-MP3EI DALAM TAFSIR IDEOLOGI ZIZEKIAN ..... 160

A. IDEOLOGI MARIND ……… 166

1. (In)Konsistensi Bahasa sebagai Simptom ……….. 166

a. Bahasa Penolakan ……… 168

b. Bahasa Penerimaan ………... 171

c. Cerita Identitas Lagi, dan Lagi ………... 175

2. Fantasi Marind……… 178

a. Keterasingan: Marind dalam Panggung Tragedi Kastrasi …………...……… 180

b. Membangun Hasrat, Membangun Narasi Fantasi ……… 183

c. Ajakan Semu dari Kemungkinan Lain ………... 186

3. Dorongan : Marind di Hadapan Nama Sang Ayah ... 189

a. Phallic Jouissance: Marind dalam Irasionalitas Totem ……….. 190

b. Prinsip Pemaknaan: Anim-Ha [in-itself] sebagai Penanda Utama ………. 193

c. Anim-Ha [for-itself] sebagai Jalan Sublimasi ……… 196

B. IDEOLOGI MIFEE/MP3EI ………..…… 199

1. Simptom Gagalnya Wacana Kemanusiaan ………..……. 200

a. Histeria Marind ………...…….. 200

b. Wacana Feed The World ………..………. 203

2. MIFEE-MP3EI sebagai Fantasi………..………... 206

a. Panggung Kastrasi : Mengapa Simbol Antagonis adalah Krisis? ……..………….. 207

b. Hasrat SBY dalam Intersubjektivitas Lacanian ………..……… 210

c. Akumulasi Kapital sebagai Pelanggar Inheren ………..……… 213

3. MIFEE-MP3EI : Krisis dan Peluang Negara Liberal ……..……….. 217

a. Krisis dan Peluang sebagai Komoditas ... 218

b. Potensi dan Tantangan : dari Surplus Nilai ke Surplus Jouissance……….…….. 221

c. Neoliberalisme sebagai Penanda Utama .………..…………. 224

C. PRIMORDIALISME MELAWAN KOSMOPOLITANISME: MARIND DAN MIFEE-MP3EI DALAM ANALISIS WACANA LACANIAN ………..……….. 228

1. Lokasi Kebebasan dalam Perspektif Lacanian ………..……… 229

a. Kebebasan sebagai yang-Real ………..……… 231

b. Antara Pengetahuan dan Kebenaran ………..………. 235

c. Antara Nasionalisme dan Patriotisme ……… 240

2. Nasionalisme Indonesia Hari Ini ………..……… 250

a. Cinta Tanah Air dalam Globalisasi Pasar ………..………... 251

b. Nasionalisme [Pasar] Tanpa Luka Primordial …..……….. 255

c. Membayangkan Negara-Bangsa: Membayangkan Ketakterbayangan ……….. 259

3. Patriotisme Histeris Marind ………... 264

a. Mengapa Primordialisme Lacanian Bukanlah SARA? ... 268

b. Primordialisme sebagai Kategori Politik Marind ……… 265

c. Dari Primordialisme ke Sublimasi: Dari Antagonisme ke Patriotisme ...……... 274

BAB V : KESIMPULAN ……….……….. 279

(14)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sejak beredarnya wacana krisis finansial, energi dan pangan

internasional pada tahun 2007-2008, berbagai negara miskin dan

berkembang di seluruh dunia merasa berada dalam keterancaman atas

keberlanjutan hidup warga masyarakatnya. Pangan dan dan energi pun

selanjutnya menjadi komoditas yang tak bisa lagi ditolak muncul sebagai

peluang sempurna dalam dunia bisnis internasional. Fenomena inilah yang

direspon oleh pemerintah Indonesia melalui semangat mengubah krisis

menjadi peluang . Maka dipilihlah Kabupaten Merauke sebagai kawasan

lumbung pangan dimana mega proyek perekonomian bernama Merauke

Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) didirikan. MIFEE pun secara legal

formal telah dan akan mengakuisisi tanah serta hutan yang secara adat telah

dimiliki dan menjadi jaminan atas keberlangsungan hidup masyarakat suku

Marind. Inilah gambaran dasar yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini,

yaitu pergerakan masyarakat Marind di Merauke dalam menyikapi mega

proyek MIFEE.

MIFEE yang merupakan imperialisme baru, dilahirkan oleh wacana

krisis yang dilontarkan oleh World Bank (2010) dan direspon oleh

(15)

2

opportunity . Wacana krisis ini menjelaskan bahwa pada tahun 2007-2008,

ketika semakin berkurangnya cadangan minyak bumi menyebabkan

menurunnya produksi BBM, terjadilah krisis energi yang selanjutnya

berakibat pada melonjaknya harga pangan dunia. Kepanikan pun melanda

hampir seluruh Negara di dunia. Negara-negara kaya yang berkebutuhan

pangan tinggi namun tidak memiliki lagi tanah sebagai alat produksi

berbondong-bondong mencari tanah di Negara lain yang bertanah luas.

Akhirnya krisis dunia pun dipandang sebagai peluang oleh

pemerintah Indonesia. Dengan berskala luas dan berbasis korporasi, MIFEE

digulirkan dengan mengalokasian lebih dari dua juta hektar tanah Merauke

untuk dikelola sejumlah perusahaan menjadi perkebunan skala luas, baik itu

untuk perkebunan padi, tebu, sawit, maupun perkebunan kayu untuk

kebutuhan energi. Hasilnya, lahirlah Perda No.14/2011 tentang Rencana Tata

Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Merauke th.2010-2030 yang

mengalokasikan ±50% dari 4,5 juta hektar luas seluruh kabupaten Merauke

sebagai lahan produksi bagi sekitar 47 perusahaan asing dan domestik.

Pertanyaan besarnya adalah, bagaimana dengan Marind sebagai

masyarakat suku asli, bukankah program tersebut akan berhadapan secara

langsung dengan mereka sebagai pemilik tanah/hutan di sana? Jawabnya

adalah Ya. Sedari awal disosialisasikan, MIFEE telah menuai banyak protes

dari masyarakat sipil di Merauke dan Papua melalui berbagai macam bentuk.

Mereka membentuk Solidaritas Rakyat Papua Tolak MIFEE (SORPATOM) dan

(16)

3

mendesak pemerintah pusat dan daerah agar mencabut segala bentuk MoU

sehubungan dengan program tersebut. Sepanjang tahun 2011 masyarakat

kampung Sanggase dan Buepe menuntut puluhan milyar kepada PT. MEDCO

atas hutan di tanah ulayat yang sudah ditebang habis. Masyarakat kampung

Ndumande memblokir jalan yang dilewati PT. Rajawali dengan merobohkan

beberapa pohon kelapa serta menandainya dengan simbol-simbol adat.

Masyarakat kampung Zanegi berkali-kali mendatangi kantor PT. SIS dan

mengajukan 9 tuntutan, menjatuhkan kendaraan alat berat ke rawa, hingga

memaksa diri bertahan dengan mendirikan bevak1 dan bercocok tanam di

lahan yang dikuasai perusahaan, dengan alasan bahwa itu adalah tanah dari

moyang. Itulah fenomena yang ingin dikaji dalam tesis ini: kondisi dimana

suatu masyarakat yang sebagian besar pola hidupnya adalah berburu dan

meramu harus berhadapan dengan tekanan sekaligus pukauan dari suatu

kekuatan sistem produksi modern bermodal besar yang bergerak secara

formal dan politis.

MIFEE yang oleh pemerintah direncanakan untuk menjawab

persoalan keamanan stok pangan dan energi, pada prakteknya justru telah

mengancam tak hanya ketersediaan pangan masyarakat setempat, bahkan

juga siklus dan moda produksi kultural yang mereka miliki. MIFEE telah

melahirkan protes dan berbagai macam tuntutan dari masyarakat sejak awal

mula beroprasinya PT. Medco Industri Lestari di kampung Buepe dan Zanegi,

setahun sebelum program tersebut diresmikan pada 11 Agustus 2010 oleh

1

(17)

4

pemerintah Indonesia. Namun dengan berbekal surat izin lokasi dari Pemkab

Merauke, ditambah izin HTI dari Kementrian Kehutanan,

perusahaan-perusahaan itu pun tetap menjalankan operasinya.

Pun begitu, bukan berarti masalah telah selesai. Dalam perjalanan

selanjutnya, masyarakat kampung Ndumande distrik Malind yang telah

melakukan transaksi dengan PT. Rajawali dan menerima uang sebesar 6

milyar rupiah (yang oleh perusahaan disebut dengan uang Tali Asih, namun

bagi masyarakat adalah uang pinangan atau ketok pintu) menuntut ulang

perusahaan dengan alasan bahwa perusahaan telah melanggar janji

sehubungan dengan batas luasan yang telah disepakati. Masyarakat

menganggap bahwa perusahaan boleh menggarap tanah yang sudah

diizinkan saja, karena jika lebih maka akan merusak banyak wilayah sakral:

tempat dimana para leluhur (dema) mereka berdiam.

Pada tanggal 19-20 April 2012 masyarakat Marind menyelenggarakan

sidang adat di kampung Makaling distrik Okaba (selanjutnya disebut Sidang

Makaling) untuk membicarakan kondisi masuknya investasi terkait program

MIFEE yang akan menjadikan tanah mereka sebagai objek produksi. Dalam

pertemuan tersebut para Ketua Adat bersumpah di depan ka u2 dan

menghasilkan satu pernyataan bahwa: selain kepada anak cucu, masyarakat

Marind dari distrik Okaba dan Tubang tidak akan memberikan tanah dan

hutannya kepada siapapun. Tidak juga kepada MIFEE.

2

(18)

5

Fenomena masyarakat suku Marind tersebut perlu untuk dilihat

sebagai upaya untuk mempertahankan diri dan kehidupannya: ketika di

tengah kehidupan berhutan yang telah berjalan sebagaimana biasa, tiba-tiba

hadir gelombang besar perusahaan-perusahaan penggarap hutan yang

dikawal oleh undang-undang dan hukum Negara, dan secara teritori

membatasi ruang hidup mereka dan menjauhkan mereka dari tradisi

berhutan. Setelah Sidang Makaling, protes-protes terus berjalan walaupun

pada tingkatan kecil kehidupan sehari-hari. Misalnya, di kampung-kampung

yang sebagian tanahnya sudah dikuasai oleh perusahaan, masyarakat

akhirnya menolak untuk bekerja di perusahaan tersebut dan memilih

berkebun, menanam sagu (makanan pokok) sebanyak jumlah cucu-cucunya,

serta mendirikan bevak di hutan.

Membangun bevak dan berkebun di tanah yang dikuasai perusahaan,

sepintas itu adalah hal yang biasa. Namun itu harus dipahami sebagai sikap

untuk mempertahankan hak atas tanah yang mereka miliki. Sikap yang di

dalamnya terkandung suatu ikatan primordial terhadap tanah, sekaligus

bayangan tentang diri, keluarga, bahkan kehidupan anak cucu di masa depan.

Itu adalah resistensi yang tidak mungkin terjadi begitu saja tanpa kekuatan

yang mendasarinya dan bersifat ideologis. Dengan demikian semangat untuk

mempertahankan tanah pun bukan hanya berlandaskan pada kepentingan

ekonomis dan material saja, namun juga eksistensial, mengandung nilai-nilai

(19)

6

Ini merupakan poin penting: program yang bernama MIFEE ternyata

telah menggores dan melukai masyarakat tak hanya di permukaan tanah,

melainkan hingga titik terdalam, yaitu identitas primordial mereka; bahwa

bagi masyarakat persoalan ini bukan sekedar persoalan tanah atau hutan

secara material dan ekonomis, namun lebih jauh persoalan ideologis terkait

nilai-nilai mitologis landasan kehidupan primordial mereka yang hendak

dikoyak.

Berangkat dari kondisi tersebut penulis berpikir cukuplah kiranya itu

dijadikan sebagai dasar untuk memposisikan segala bentuk protes

masyarakat bukan hanya sebagai suatu gerakan perlawanan atau penyikapan

terhadap MIFEE, lebih dari itu, adalah perjuangan patriotik atas nama cinta

terhadap tanah dan hutannya. Walaupun tidak nampak semasif dan sesolid

gerakan-gerakan lain, misalnya gerakan buruh di Jakarta atau gerakan petani

di Pasundan, namun gerakan masyarakat Marind ini memiliki basis yang jelas

yaitu ikatan primordial mereka terhadap tanah dan hutan, sebuah ikatan

yang membesarkan dan membuat mereka merasa ada. Selebihnya, dua hal

yang ingin digali dalam penelitian ini adalah apa makna tanah bagi

masyarakat Marind, serta bagaimana pergerakan mereka menghadirkan

dirinya di hadapan MIFEE. Oleh karena itu perlu untuk juga menelusuri

MIFEE secara lebih jauh dengan memposisikannya sebagai hasil dari suatu

konstelasi perekonomian dalam skala yang lebih besar.

Jika MIFEE ini dilihat dalam skala yang lebih luas, akan tampak bahwa

(20)

7

pemerintah terkait dengan pengembangan perekonomian nasional Indonesia

yang disebut dengan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan

Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 yang disahkan oleh Perpres

no.32/2011. MIFEE direncanakan akan menjadi salah satu motor penghasil

laba pada koridor ekonomi Maluku-Papua, yakni salah satu dari enam

koridor yang menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di setiap

region.

Tidak berhenti di sini, MP3EI pun masih merupakan keturunan dari

suatu kesepakatan pengembangan ekonomi di level yang lebih besar, yaitu

ASEAN dan Negara-negara Aisa Timur (Jepang, Korea dan Cina). Di sini

MP3EI adalah perwujudan dari Indonesia Economic Development Corridors

(IEDC), yaitu suatu kajian ekonomi yang dihasilkan dari kerjasama antara

Kementrian Koordinator Perekonomian Indonesia dengan Menteri Ekonomi,

Perdagangan dan Industri Jepang. Kajian yang selanjutnya melahirkan

kebijakan yang mengatur masa depan perekonomian Indonesia ini

merupakan upaya untuk secara spasial mengkoneksikan Indonesia dalam

Comprehensive Asia Development Plan (CADP), yaitu suatu agenda untuk

mengintegrasikan Negara-negara ASEAN+3 dalam satu rencana

pertumbuhan ekonomi, yang digagas oleh Asian Development Bank (ADB)

demi mewujudkan ASEAN Free Trade Agreement (AFTA) yang dilaksanakan

di Singapura pada 28 Januari 1992.3

3

(21)

8

Dengan demikian, kehadiran MIFEE-MP3EI membuktikan keterikatan

sistem pembangunan nasional Indonesia pada moda produksi pangan global

yang berlandaskan pada akumulasi kapital atau disebut sebagai rejim pangan

global. Apa yang dihadapi oleh para tuan tanah4 di Merauke adalah suatu

gelombang sangat besar yang bisa jadi berada di luar bayangan mereka,

walaupun saat ini mereka sedang menghadapinya. Sehingga pertanyaan

besar yang terbersit seketika adalah inikah pembangunan yang berkeadilan?

Pembangunan seperti inikah wajah dari apa yang selama ini disebut dengan

membangun negara-bangsa? Mengapa?

Dari kegelisahan semacam itulah tesis ini berawal. Marind sebagai

salah satu tuan tanah di Merauke, ketika kekuatan produksi kapitalis datang

dalam bentuk MIFEE-MP3EI memisahkan mereka dari tanah, ketika mereka

menyatakan kemarahannya atas hutan dan tanah moyang yang hilang,

sesunguhnya kekuatan ideologis semacam apa yang ada dalam diri mereka?

Bagaimana kekuatan ideologis itu menuntun mereka hingga menyatakan

sikap dan membahasakan subjektifitasnya? Bagaimana juga ideologi yang

dianut oleh sistem pembangunan nasional? Bagaimana keduanya bisa

dianggap sebagai bentuk atau sikap atas kecintaan terhadap tanah air? Itulah

kegelisahan mendasar yang ingin dijawab dalam tesis ini.

(22)

9

B. TEMA

Penelitian ini selanjutnya akan mengambil tema Ideologi-Politik

Subjek Menghadapi Kapitalisme Neoliberal.

C. RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang tersebut saya mencoba untuk menarik suatu

pemahaman bahwa setiap protes atau resistensi masyarakat suku Marind di

Merauke kepada MIFEE adalah suatu sikap ideologis dalam mempertahankan

hidup, karena mempertahankan tanah adalah mempertahankan identitas

primordial mereka yang terbentuk secara mitologis, juga sekaligus

mempertahankan keberlangsungan hidup generasi di masa depan. Maka

berangkat dari sini, selanjutnya terdapat tiga pertanyaan besar yang harus

dijawab dalam penelitian ini, yaitu:

1. Apa makna tanah bagi identitas primordial masyarakat suku Marind di

Merauke?

2. Ideologi macam apa yang terlahir dari ikatan primordial tersebut untuk

menghadapi kekuatan modal?

3. Bagaimana ideologi Marind berhadapan dengan ideologi kapitalisme

sebagaimana dibawakan lewat MIFEE-MP3EI, dan bagaimana kaitannya

(23)

10

D. TUJUAN

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah berkeinginan untuk :

1. Memahami makna tanah bagi identitas primordial masyarakat suku

Marind di Merauke.

2. Menganalisa jenis ideologi semacam apa yang terlahir dari ikatan

primordial tersebut untuk menghadapi kekuatan modal.

3. Menganalisa bagaimana ideologi tersebut berhadapan dengan ideologi

kapitalisme sebagaimana dibawakan lewat MIFEE-MP3EI, dan mencari

suatu pelajaran yang berharga bagi situasi kebangsaan Indonesia saat ini.

E. MANFAAT

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat dalam dua

level, yaitu akademis dan praksis. Secara akademis penelitian ini diharapkan

bermanfaat bagi setiap pembahasan teoritis atas kehidupan masyarakat

Marind dan Papua pada umumnya, khususnya terkait bagaimana seharusnya

secara politis mereka dinilai dan diposisikan. Sementara secara praksis

penelitian ini diharapkan bisa memberi submbangan reflektif bagi

masyarakat secara umum dan pemerintah secara khusus agar pertentangan

antara Marind dan MIFEE ini dilihat sebagai permasalahan ideologis terkait

dengan bagaimana masyarakat memposisikan dirinya sebagai subjek yang

berdaulat, sebagai masyarakat yang memegang teguh kecintaannya pada

(24)

11

F. KAJIAN PUSTAKA

Sebelum penelitian ini dilakukan, dibutuhkan untuk menilik berbagai

hasil penelitian sebelumnya yang terkait dengan tema yang sama. Hal ini

dimaksudkan agar secara kritis penelitian ini bisa berkorelasi dengan hasil

kajian yang sudah ada. Adapun beberapa pustaka yang akan penulis kaji

antara lain adalah buku berjudul MIFEE Tak Terjangkau Angan Malind

karya Yando Zakaria, Emilianus Ola Kleden dan Y.L. Franky (2011); buku

berjudul Adat Dalam Politik Indonesia yang diedit oleh Jamie S. Davidson,

David Henley dan Sandra Moniaga (2010), dan; artikel Tania Li (2000) yang

berjudul Articulating Indigenous Identity in Indonesia: Resource Politic and

the Tribal Slot .

1. MIFEE Tak Terjangkau Angan Malind 5

Sejak dijalankannya program MIFEE di Merauke, buku MIFEE Tak

Terjangkau Angan Malind ini adalah buku pertama yang diterbitkan dan

membahas dinamika permasalahan MIFEE dari hasil kajian lapangan.

Penelitian iniadalah program dari sebuah LSM bernama Pusaka dari Jakarta.

Buku yang ditulis oleh Yando Zakaria dkk. itu menjelaskan bahwa MIFEE

lahir melalui serangkaian proses kebijakan nasional yang didukung oleh ide

dan ambisi Bupati Gebze untuk menjadikan MIFEE sebagai lumbung pangan

nasional. Melebihi ide itu bahkan Presiden Yudhoyono menjadikan MIFEE

5

(25)

12

sebagai pusat produksi pangan dan energi berskala besar dan modern yang

berorientasi mencukupi pangan domestik dan meningkatkan devisa melalui

ekspor.

Apakah MIFEE layak sebagai justifikasi kesejahteraan rakyat?

Menurut Zakaria dkk., secara komponensial MIFEE diperkirakan akan

menimbulkan sejumlah dampak negatif di berbagai aspek kehidupan.

Pertama, dibutuhkan evolusi berabad-abad dari moda produksi berburu

meramu menjadi moda produksi bertani. Dengan pola kehidupan berburu

meramu bagaimana orang Malind bisa memasuki moda produksi baru yang

akan dibawa oleh MIFEE, justru yang akan terjadi adalah ketersingkiran

orang Papua asli (OPA) yang akan semakin mempertegas jarak antara

mereka dan pendatang. Selain itu, penghancuran situs-situs penting yang

menjadi pelabuhan spiritualitas orang Malind akan menyebabkan mereka

semakin terperosok pada mentalitas negatif sehingga terus menerima stigma

sebagai pemalas dan pemabuk.

Beragam reaksi menolak bermunculan setelah MIFEE dikenal publik.

Di Merauke berdiri SORPATOM (Solidaritas Rakyat Papua Tolak MIFEE). Di

Jakarta juga terjalin suatu forum komunikasi yang mengkritik MIFEE.

Sementara, masyarakat di 7 kampung di Merauke juga telah bermusyawarah

dan menyatakan akan menolak MIFEE, juga belasan kampung lain

menyatakan hal yang sama.

Di bagian penutup Zakaria dkk. menyampaikan bahwa pihak luar

(26)

13

Papua pada umumnya. Kelemahan itu terletak pada pola hidup berburu dan

meramu yang bersifat ekstraktif atau cepat dapat dan mudah, karena masih

melimpahnya kekayaan alam. Akibatnya kemudahan baru ditawarkan untuk

mendapat kemewahan seperti motor, handphone, dll. Kehidupan kota yang

disimbolisasi oleh fasilitas material ini menjadi pukauan yang dipermudah

ketika mereka mau melepaskan tanah: mau motor, lepaskan tanah.

Kelemahan lain adalah soal keabsahan transaksi. Tanda tangan

mereka didapat dengan mudah oleh perusahaan karena tanda tangan ditukar

uang. Mereka tidak memerlukan keabsahan, tapi perusahaan yang

membutuhkannya. Akibatnya, menuntut ulang bisa terjadi. Untuk mencegah

itu, maka perusahaan menemukan keabsahan ala Malind, yakni dengan

upacara potong babi. Dengan demikian, yang diuntungkan dari semua proses

itu lagi-lagi adalah perusahaan. Zakaria dkk. menutup dengan satu saran

bahwa yang dibutuhkan oleh orang Papua di pedesaan adalah suatu

affirmative action yang melindungi mereka, bukan menggiring mereka untuk

ikut pada budaya modern.

Dari ringkasan tersebut terlihat bahwa Zakaria dkk. cenderung lebih

menfokuskan perhatian mereka pada sistem kerja MIFEE beserta berbagai

konsep dan prakteknya, sehingga pembahasan mengenai masyarakat Marind.

Hal itu tidak bisa dihindari karena merupakan konsekuensi dari judul yang

dipakai, sehingga yang menjadi fokus kajian adalah MIFEE sebagai sebuah

program, dan tidak begitu banyak membicarakan resistensi masyarakat

(27)

14

telah terkandung secara paradigmatik sedari awal ketika di bagian penutup

pembaca akan menjumpai Zakaria dkk. memposisikan Marind sebagai

masyarakat yang lemah dan butuh dilindungi. Dengan kata lain, hingga

penutup bukunya Zakaria dkk masih memposisikan Marind sebagai

masyarakat yang powerless.

2. Adat Dalam Politik Indonesia 6

Secara umum yang dibahas dalam buku ini adalah dinamika

kebangkitan gerakan sosial yang membawa bendera adat di Indonesia pasca

reformasi 1998 yang disebut dengan gerakan masyarakat adat (indigenous

peoples). Kebangkitan gerakan ini menjadi terlihat jelas dengan terbentuknya

sebuah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada tahun 2009 yang

mengusung wacana kedaulatan masyarakat adat.

Dalam resensinya yang dimuat di jurnal Jentera, Yance Arizona,

seorang aktivis dari Epistema Institute Jakarta menjelaskan bahwa

kebangkitan gerakan masyarakat adat ini tidak terlepas dari empat faktor

pendukung yang melatarinya, yaitu: Pertama: kebangkitan gerakan

masyarakat adat tribal peoples, indigenous peoples yang terkadang juga

disebut masyarakat "dunia keempat" (fourth world peoples) ini hasil dari

wacana yang diusung oleh beberapa organisasi internasional; Kedua: faktor

represi Orde Baru. Gerakan ini beranjak dari satu asumsi kesadaran bersama

6

(28)

15

bahwa mereka adalah korban dari kebijakan dan program-program

pembangunan selama Orde Baru berkuasa; Ketiga: faktor keterbukaan pasca

Orde Baru. Runtuhnya Orde Baru membuka ruang keterlibatan massa yang

massif di Indonesia, dan; Keempat: warisan ideologis pemikiran kolonial

seperti hukum adat (adatrecht), beschickingrecht yang dipadankan dengan

hak ulayat dan juga masyarakat hukum adat (adatrechtgemeenschap) yang

dipelopori oleh Cornelis Van Vollenhoven, professor di Universitas Leiden

sejak tahun 1909 dan bapak dari Leiden School yang melahirkan

konsep-konsep kunci dalam wacana adat sampai saat ini.7

Selain faktor pendukung kemunculannya, Davidson dan Henley dalam

pengantarnya menyatakan bahwa politik adat ini adalah sebentuk

konservatisme radikal di mana mereka melakukan tuntutan atas keadilan,

bukan atas nama keterpinggiran atau ketidakpunyaan melainkan atas nama

nenek moyang, komunitas dan lokalitas. Sehingga adat, dalam kenyataannya,

justru menentang perjuangan keadilan yang lain, misalnya keadilan gender.

Hal ini mengindikasikan bahwa adat yang dipakai untuk mendorong

demokratisasi tersebut masih menyisakan problem-problem anti-demokrasi

di dalam lokalitasnya.

Paradoks dari politik adat ini juga terletak pada sifatnya yang inklusif

sekaligus eksklusif. Menjadi inklusif ketika adat dipakai oleh para elitnya

untuk meneguhkan posisi politik dan otoritasnya dalam penentuan alokasi

sumber daya sebagaimana yang tercermin dalam kebangkitan kembali

(29)

16

sultan-sultan seantero negeri. Namun di sisi lain adat berubah menjadi

eksklusif ketika berhadapan dengan kelompok-kelompok lain atas nama hak

etnis.

Satu hal lagi yang dipertanyakan dalam buku ini adalah ketika posisi

adat dikaitkan dengan pengelolaan sumber daya alam. Maka pengelolaan

sumber daya alam oleh masyarakat adat diasosiasikan sebagai pengelolaan

sumber daya alam secara lebih arif (ecological noble savage) pun memiliki

sejumlah kerumitan ketika dihadapkan dengan proyek konservasi oleh

negara sebagaimana digambarkan oleh Tania Li di Sulawesi Tengah.

Dari penjelasan tersebut bisa dilihat bahwa buku Adat Dalam Politik

Indonesia ini telah memberikan sumbangsih kritis pada wacana gerakan

masyarakat adat di Indonesia. Secara umum buku ini menjelaskan bagaimana

adat saat ini telah berkembang menjadi alat politik untuk memperjuangkan

hak atas sumber daya alam yang dimiliki oleh masyarakat. Buku ini juga telah

beranjak meninggalkan esensialitas adat sebagaimana yang diusung oleh

AMAN, namun sayangnya buku ini masih saja mengandaikan bahwa adat

yang esensial itu masih ada, hanya saja tidak lagi bisa diterapkan

sepenuhnya: adat masih diposisikan sebagai seperangkat ideologi harmoni8

yang terpisah dari manusianya, sehingga ini mengimbas pada ketidakhadiran

adat itu sendiri dalam setiap gerakan manusianya, kecuali hanya sekedar

sebagai alat politik.

(30)

17

Jika adat sebagai ideologi itu diposisikan sebagai sesuatu yang

terpisah dari masyarakat, lalu ideologi semacam apa yang menjadi

pendorong bagi gerakan yang disebut sebagai gerakan masyarakat adat? Ini

merupakan paradoks ketika pada akhir dari pendahuluannya, Henley dan

Davidson dengan serius menggulirkan wacana tentang kebangkitan adat9,

karena ternyata adat hanya diposisikan sebagai alat pendukung suatu

gerakan masyarakat. Konsekwensinya, dari buku ini penulis merasa belum

mendapatkan penjelasa tentang basis ideologis dari gerakan sosial yang

dijelaskannya.

3. Articulating Indigenous Identity in Indonesia: Resource Politic and

the Tribal Slot 10

Tidak berbeda jauh dengan tulisannya dalam buku Adat Dalam Politik

Indonesia, dalam artikel ini Li juga mengatakan bahwa sesuatu yang disebut

sebagai masyarakat adat itu tak lain hanyalah konstruk yang diterima oleh

suatu masyarakat tertentu karena sesuai dengan budaya dan sejarah

masyarakat tersebut. Secara singkat Li menjelaskan bahwa identifikasi diri

sebagai kelompok masyarakat adat adalah, pertama: Sebuah positioning yang

diambil dari praktek-praktek yang tersedimentasi secara historis, bentang

makna, praktek makna. Positioning ini timbul dari suatu pola perjuangan

partikular dan keterikatan mereka terhadap konteks; kedua: Persilangan

9

Ibid., hlm: 55. 10

(31)

18

(conjunctures) dari berbagai keadaan yang menciptakan suatu krisis dimana

sekelompok masyarakat harus mengartikulasikan identitasnya, dan itu

dilakukan sebagai pilihan (agensi). Yang disebut dengan kombinasi dari

berbagai keadaan itu adalah bagaimana Negara menyebut kelompok

masyarakat itu, dan bagaimana NGO menyebut kelompok masyarakat

tersebut: Negara menyebutnya sebagai masyarakat terasing atau ter pencil

dan orang kampung;11 sementara NGO menamai mereka dengan masyarakat

adat, tradisional, dan asli.

Dalam hal ini Li menyandarkan kerangka analisisnya kepada teori

artikulasi Stuart Hall, bahwa artikulasi adalah sebentuk koneksi yang dapat

memiliki makna ganda, yaitu: pertama, proses megeksplisitkan suatu

identitas kolektif, posisi, atau seperangkat kepentingan (menjadikannya

terartikulasi, dimengerti, dapat dibedakan, dan dipahami oleh pembaca atau

pendengarnya); kedua, menyambungkan atau mengartikulasikan posisi

tersebut dengan subjek politik tertentu. Dalam paragraf yang dikutip oleh Li,

Hall menjelaskan:

Atrikulasi adalah suatu bentuk koneksi yang dapat menyatukan dua elemen yang berbeda dalam kondisi tertentu. ini adalah sebuah pertautan yang tidak absolut dan tidak esensial selamanya. Anda harus bertanya, dalam kondisi seperti apa sebuah koneksi atau pertautan bisa terjadi? Dengan demikian, yang disebut sebagai kesatuan wacana sebenarnya adalah artikulasi dari elemen-elemen yang berbeda dan dapat dibedakan, yang dapat diartikulasi ulang dalam cara yang berbeda-beda karena mereka tidak memiliki alamat (belongingness). Kesatuan yang menjadi penting adalah pertautan antara wacana yang diartikulasikan dan kekuatan-kekuatan sosial, yang dalam kondisi historis tertentu dapat dihubungkan. Dengan demikian, teori artikulasi adalah, pertama: suatu cara untuk memahami bagaimana elemen-elemen ideologis dalam kondisi-kondisi tertentu

11

(32)

19

berkoherensi dalam suatu wacana, dan; kedua: adalah suatu cara untuk menanyakan bagaimana elemen-elemen ini menjadi atau tidak menjadi terartikulasikan dalam suatu kombinasi keadaan tertentu pada subjek politik tertentu.

Dengan berangkat dari pemikiran Hall tersebut, Li selanjutnya

menjelaskan bahwa

Identitas kultural dengan demikian datang dari suatu tempat dan memiliki sejarah, tapi sama sekali tidak fix secara abadi di satu masa lalu yang esensial. Identitas tersebut adalah subjek dari permainan terus-menerus antara sejarah, budaya dan kuasa. Ia adalah sebuah irisan atau titik-titik yang tidak stabil dari suatu proses identifikasi. Sehingga identitas bukan sebuah esensi tapi sebuah positioning.

Pada titik inilah Hall, menurut Li, menolak ide tentang suatu hubungan

langsung antara posisi sosial atau posisi kelas dengan wacana dimana

masyarakat memaknai hidupnya.

Hal menarik yang bisa diambil dari tulisan ini adalah penjelasan

bahwa apa yang dipahami sebagai masyarakat bukanlah suatu kondisi atau

keberadaan yang hadir begitu saja, melainkan adalah juga hasil dari

rangkaian perjalanan sejarah, sehingga identitas subjek atau sebuah

masyarakat pada akhirnya selalu bergulir tak henti, berada senantiasa pada

hasilnya yang tidak pernah paripurna. Namun permasalahan yang masih

tersisa dari pendekatan ini adalah, jika memang posisi sosial itu tidak

memiliki hubungan langsung dengan wacana, lalu dari mana posisi-posisi

tersebut mampu menghadirkan dirinya? Bukankah secara genealogis,

sejarah, budaya dan kuasa yang ditempatkan sebagai kekuatan yang

membentuk irisan identitas itu juga hasil dari pergerakan wacana? Dan

ketika subjek atau masyarakat mengartikulasikan dirinya dan memilih posisi

(33)

20

rasionalisasi kesadaran politis akan sebuah posisi? Sehingga dengan

demikian, masyarakat, sebagaimana yang dikatakan oleh Laclau, tak lain

adalah wacana.12

Dari penjelasan ini, apa yang masih tersisa sebagai sebuah pertanyaan

teoritik, jika kembali pada beberapa poin dari penjelasan Li, adalah apa yang

membuat identitas subjek atau sebuah posisi masyarakat (baca: ideologi),

walaupun secara sadar telah dipilihnya, ia tetap saja tak pernah stabil? Apa

yang membuat proses identifikasi, walaupu merupakan hasil irisan dan

sejarah, budaya dan kuasa, tetap saja tak pernah menghasilkan kesimpulan

yang final atas suatu identitas subjek? Pertanyaan-pertanyaan tersebutlah

yang melatar belakangi penulis memilih pendekatan psikoanalisa Lacanian

Žižek sebagai kerangka teori dalam melakukan pembahasan tentang ideologi

ini.

G. KERANGKA TEORI

Seiring dengan berkembangnya budaya kontemporer yang disertai

dengan berkembangnya pula permasalahan ketimpangan dan ketidakadilan

terkait dengan semakin derasnya gelombang objektifisasi kapitalistis segala

lini kehidupan masyarakat, pemikiran sosial kritis pun semakin dituntut

untuk menyediakan kerangka konseptual yang mampu mengimbangi dan

mempertahankan subjektifitas masyarakat. Kondisi yang demikian ini

12

(34)

21

menjadikan berbagai kerangka ilmu social-kemanusiaan kehilangan landasan

yang kuat untuk mempertahankan ide tentang agensi di tengah arus

kapitalisme global, yang tentunya ini tidak terlepas begitu saja dari pengaruh

pemikiran post-strukturalisme yang tak lagi mempercayai kemengadaan

subjek. Dalam situasi yang demikianlah Žižek hadir dengan ide subjek politik

radikalnya. Dengan mempertemukan psikoanalisa Lacanian bersama tradisi

Marxis dan menaruh keduanya dalam tataran filsafat melalui logika dialektis

Hegelian, Žižek telah membangun gagasan tentang ideologi dan subjek politik

yang bahkan melampaui pandangan Marxisme itu sendiri.13

Sejalan namun sedikit berbeda dengan emansipasi politik

Laclau-Moufee yang berkomitmen untuk membangun gerakan demokrasi

plural-radikal melalui rantai persamaan chain of equivalence) dalam suatu

medan politik , Žižek lebih fokus pada berbagai ragam subjektifitas dalam

dunia kontemporer, sembari menarik kembali ide tentang subjek politik

hingga pemaknaan yang radikal melalui perspektif Lacanian sebagai subjek

yang lack. Dari sanalah Žižek selanjutnya merekonstruksi pengertian tentang

ideologi yang dimulainya dengan melakukan evaluasi terhadap teori ideologi

Althusserian.

Bagi Althusser, ideologi selalu merupakan ideologi penguasa yang

bekerja melalui apa yang digagasnya dengan konsep Ideological State

Apparatus (ISA). Ideologi merupakan kekuatan yang dimaksudkan untuk

membentuk subjek melalui overdeterminasi, atau dengan cara memasukkan

13

(35)

22

subjek ke dalam golongan yang disapa (hail) atau diakuinya. Inilah subjek

dalam pandangan Althusser, bahwa subjek selalu merujuk pada sistem

pemaknaan di luar dirinya . Individu barulah bisa disebut sebagai subjek

setelah ia terinterpelasi, terpanggil oleh ideologi sehingga menjadi subjek

konkret dari ideologi penguasa.14 Pada saat yang sama, pengalaman menjadi subjek ini juga menghasilkan suatu kondisi yang disebut salah mengenali

(misrecognition), sehingga apa yang selanjutnya hilang dari subjek

masyarakat adalah being yang sebenarnya. Pandangan inilah yang

selanjutnya menempati posisi penting dalam tradisi pemikiran madzhab

Frankfurt, bahwa realitas masyarakat itu tak mungkin mampu mereproduksi

dirinya sendiri tanpa dukungan dari ideologi. Žižek memandang ini sebagai

paradoks, karena pandangan ini sama halnya dengan mengatakan bahwa

subjek atau masyarakat mampu mereproduksi dirinya hanya ketika ia berada

pada kondisi kesalahan dalam mengenali realitasnya. Dengan demikian

being sesungguhnya dari subjek pun menghilang, atau hadir dalam bentuk

lain.15

Berangkat dari evaluasi itu dan dengan menggunakan kerangka

identifikasi Lacanian, Žižek secara radikal menegaskan bahwa hal terpenting

yang harus dilihat dalam kerja ideologi adalah fantasi. Untuk itu ia telah

memberikan suatu pemahaman bahwa kritik klasik atas ideologi yang

berpijak pada frasa terkenal Marx yang berbunyi they do not know it but they

are doing it , bahwa ideologi adalah suatu kesadaran palsu (false

14

Ibid., hlm: 101.

(36)

23

consciousness) tidak lagi bisa diberlakukan, karena false yang merupakan

kesalahan dalam mengenali realitas tak lain adalah realitas itu sendiri.

Dengan mengutip Peter Sloterdijk, Žižek mengajukan bahwa yang

terjadi adalah they know very well what they are doing, but still, they are

doing it 16: bahwa ilusi ideologi bukan terletak pada level pengetahuan

(knowing) atau pemahaman subjek akan realitas, melainkan pada level

tindakan (doing) subjek. Seseorang bisa benar-benar memahami apa yang

sesungguhnya ia lakukan (bahkan hingga resiko buruk atau

kesalahan-kesalahannya), akan tetapi ia bisa tetap melakukannya. Kondisi itu

disebabkan dalam aktivitas sosialnya ia telah dipandu oleh ilusi fetisistik.17

Inilah yang sebenarnya tidak ia pahami, yaitu bukan apa yang ia lakukan,

melainkan apa yang membuatnya melakukan itu. Žižek menyebutnya dengan

fantasi ideologis (ideological fantasy): bahwa level fundamental dari ideologi

bukanlah ilusi yang menutupi kebenaran dari ralitas sosial, melainkan adalah

fantasi yang menstrukturkan realitas sosial itu sendiri.18

Bagi Žižek, ideologi merupakan sesuatu yang lebih dari sekedar

seperangkat elemen-elemen yang berbeda yang dibentuk oleh nodal poin

tertentu, atau sekedar formasi diskursif yang meliputi ketidaklengkapan dan

ketidakmungkinan masyarakat. Berbeda dari keduanya, fantasi ideologi

adalah sesuatu yang bekerja sebagai alat yang mengatur kenikmatan

(jouissance) dalam kehidupan masyarakat, dalam artian bahwa kenikmatan

16

Ibid., 17

(37)

24

yang sebelumnya selalu terepresi mampu diraih kembali melalui jalur

fantasi. Fantasi adalah titik kenikmatan yang eksesif dan irasional, namun

mampu membuat masyarakat merekonstruksi kehidupannya, menjelaskan

ketidaklengkapannya dengan cara menjanjikan dan menghasilkan

kenikmatan.19

Ini memberikan pemahaman bahwa masyarakat yang mengalami

kesalahan dalam mengenali realitas dan kehilangan kondisi keberadaan

sesunggunhnya itu pun memperoleh keutuhannya dari fantasi. Dengan

demikian, kondisi kehilangan itu sendiri merupakan keharusan atau syarat

bagi subjek untuk sampai pada tataran ideologis, bahwa subjek akan mampu

melahirkan fantasi hanya jika ia telah mengalami overdeterminasi penguasa

atau secara Lacanian adalah momen kastrasi bahasa, dan menyebabkannya

menjadi subjek yang kehilangan. Maka jika hal terpenting yang harus dilihat

dari kerja ideologi adalah fantasi, pertanyaannya adalah bagaimana fantasi

itu bisa ditangkap dan dipahami? Pertanyaan tersebut pun menghadapkan

pembahasan tentang ideologi pada apa yang dikatakan Lacan sebagai

simptom, yaitu realitas yang bisa ditangkap dan dibaca sebagai representasi

dari sesuatu yang jauh terpendam dalam kehidupan masyarakat. Menurut

Žižek, inti ajaran Lacanian menekankan simptom sebagai hal terpenting

untuk dipahami secara mendalam, karena dari interpretasi simptomlah

semua kerja psikoanalisa dimulai.20

19

(38)

25

Jika ideologi bekerja bukan pada tataran pengetahuan (knowing)

melainkan pada tataran sikap atau perbuatan (doing), hal pertama yang

harus dilihat dari masyarakat tak lain adalah sikap atau perbuatannya.

Doing di sini tak lain adalah bahasa realitas, aktivitas sosial masyarakat

dalam menjalani hidup kesehariannya yang tidak mungkin diandaikan begitu

saja sebagai keberlangsungan yang niscaya tanpa didasari oleh dorongan

tertentu yang mengarahkan geraknya pada tujuan tertentu pula. Dengan kata

lain, bahasa realitas itulah simptom: gejala-gejala sosial patologis yang

merujuk pada konten terdalam dari suatu keberadaan subjek masyarakat. Itu

terjadi karena subjek selalu digerakkan oleh dorongan ketaksadaran untuk

merepresentasikan dirinya secara metaforikal melalui aktivitasnya dalam

tatanan Simbolik.

Berangkat dari pembacaan terhadap simptom, analisis ini bermaksud

untuk menemukan segala bentuk realitas masyarakat yang memungkinkan

untuk diidentifikasi sebagai bahasa dari ketaksadaran. Simptom dibaca dan

diposisikan sebagai pintu masuk menuju fantasi dan hasrat akan kenikmatan

yang dikonstruksinya, dimana upaya memasuki fantasi tersebut merupakan

jalan untuk sampai pada titik traumatik yang hadir dalam bentuk dorongan

ketaksadaran (drive). Dari sana analisis ini diharapkan mampu menemukan

momen sublimasi sebagai titik dimana subjek berhasil untuk melampaui

hasratnya. Kedalaman interpretasi terhadap simptom akan menentukan

sejauh mana analisis ini mampu menjelaskan paradoks dari tatanan Simbolik

yang sekaligus mengandung pelanggar yang mensubversinya, serta

(39)

26

penjelasan tentang suatu pendorong (the Thing) dari subversifitas

pergerakannya. Proses ini menunjukkan bahwa sebuah pelanggaran yang

Sloterdijk ungkapkan kata dalam frasanya dengan kata but still, tak lain

adalah apa yang menjadi akhir dari proses dorongan ketaksadaran. Akan

tetapi itu bukanlah hal yang mudah untuk dijelaskan. Pembahasan ini harus

terlebih dahulu menjelaskan tiga konsep dari psikoanalisa Lacanian yang

menempati posisi penting bagi seluruh analisis dalam kajian ini, yaitu konsep

identifikasi subjek, yang-Real dan sublimasi.

1. Identifikasi

Dalam proses identifikasi Lacanian, perkembangan subjek berjalan

dari fase Real ke fase Imajiner dan berakhir di fase Simbolik. Yang-Real yaitu

fase dimana seorang anak belum menyadari apapun dan berada dalam

keterpenuhan atau kesempurnaan. Kemudian masuk fase Imajiner dimana ia

sudah mampu menangkap adanya tubuh ibu (liyan primordial) yang menjadi

sumber dari segala kenikmatan yang dirasakannya. Pada titik inilah ikatan

primordial (priomordial interconnectedness) itu terjalin. Selanjutnya fase

Simbolik dimana seorang anak telah memasuki kehidupan bermasyarakat

(dunia bahasa), dunia yang memisahkannya dari kenikmatan primordial

karena menyadari bahwa sang Ibu ternyata juga bersandar pada fungsi

Simbolik sang Ayah. Seorang anak pun akhirnya menjadi subjek dalam artian

(40)

27

sebagai permintaan (demand). Subjek pun mengenali dirinya melalui

hukum-hukum bahasa yang tak lain adalah bahasa Liyan.

Pada momen ini subjek berada dalam jebakan lingkaran permintaan

(infernal circle of demand), mengalami dirinya sebagai kebenaran sekaligus

kesalahan yang sama-sama berasal dari Liyan. Kebenaran, karena secara

metonimik21 Liyan mampu menyimpulkan segala kebutuhannya yang

berserak dalam satu penanda permintaan; dan juga kesalahan, karena Liyan

tak mampu menjamin kebenaran tersebut selain hanya memasrahkannya

kepada hukum-hukum bahasa yang telah ada. Kondisi ini menyebabkan

subjek mengalami keterasingan, karena ternyata bahasa tak sepenuhnya

mampu menjawab kebutuhannya. Bahasa mengandung keterbelahan dalam

dirinya, dan selanjutnya membuat subjek juga menjadi terbelah, karena

ketika kebutuhan itu ditafsirkan melalui operasi penandaan, maka akan

selalu ada yang tertinggal (leftover) sebagai suara (voice) yang selanjutnya

semakin menjauh.22 Itu terjadi karena apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh

subjek adalah hal yang jauh lebih primordial dan tak tersentuh oleh bahasa,

sementara subjek hanya mampu mengenali kebutuhannya melalui bahasa

permintaan, bahasa sebagai satu-satunya kebenaran yang diajarkan oleh

Liyan. Itulah yang menyebabkan segala permintaan subjek selalu salah

(misrecognize), karena ketika ia meminta sesuatu, permintaannya akan

21

Secara linguistic, metonimi tercipta dari kesadaran untuk menggabungkan kata hingga menghasilkan makna dari hubungan antar kata tersebut yang bersifat logis. Oleh karena itu metonimi bersifat sintagmatik, yaitu bekerja untuk merangkai penanda-penanda yang mengambang kedalam satu pemaknaan, Lacan menyebutnya sebagai poin de capiton. Lihat: Sunardi (2002).

(41)

28

terbatas pada objek dalam tataran Simbolik, sementara nilai yang diandaikan

oleh subjek dari objek yang dimintanya tak pernah bisa tersimbolisasi.

Demikianlah subjek, melalui Liyan, ia akhirnya menjadi subjek bahasa yang

lack ($), terkastrasi, yang dengan mengusung trauma kecemasan dan

keterasingannya, ia beranjak mengarungi labirin jawaban dari pertanyaan

che vuoi? dalam samudera tatanan Simbolik.

Chevuoi?, atau apa yang kau mau?, itulah pertanyaan yang terlahir dari

situasi keterasingan dan kecemasan yang dialami oleh subjek, pertanyaan

yang datang dari Liyan setelah bahasa yang diajarkannya bukan hanya tak

mampu sepenuhnya menjamin kebutuhan yang diminta oleh subjek, bahkan

juga membuat subjek menjadi terasing. Jawaban yang diinginkan dari

pertanyaan itu bukanlah apa yang bisa dengan mudah dikatakan oleh subjek

sebagai apa yang ia minta, akan tetapi lebih pada hasrat (desire) di balik apa

yang dikatakan sebagai permintaan. Oleh karena itu pertanyaan yang

terkandung dalam che vuoi? tersebut pada dasarnya adalah: Kamu meminta

sesuatu dariku, tapi apa sebenarnya yang kamu minta, apa yang kamu tuju di

balik permintaan itu? . Pertanyaan inilah yang memperlihatkan kondisi

sesungguhnya dari permintaan di level Simbolik, memperlihatkan histeria

subjek dimana kondisi sesungguhnya dari permintaan tersebut adalah: Aku

meminta ini darimu, tapi apa yang sesungguhnya aku minta darimu adalah

agar kamu menyangkal permintaanku, karena [yang aku butuh sebenarnya]

bukan ini .23 Lalu apakah sebenarnya yang dimaui atau diminta oleh subjek?.

(42)

29

Subjek, yang tiba-tiba mendapati dirinya telah terintegrasi ke dalam

medan sosio-Simbolik yang sudah tersedia dengan segala mandat sosial yang

dipikulnya,24 hanya mampu menjawab che vuoi? tersebut dengan pertanyaan

histeris yang tak akan terjawab: Mengapa aku adalah aku sebagaimana yang

Liyan katakan tentangku? ,25 dengan begitu Apa sebenarnya yang diinginkan oleh Liyan dariku? . Pertanyaan histeris ini, sebagaimana dijelaskan Žižek,

memungkinkan subjek untuk menghindari kementokan dari apa yang

diinginkan oleh Liyan. Sayangnya pada saat yang sama subjek juga tidak

mampu menafsirkan keinginan Liyan itu ke dalam sebentuk panggilan positif

atau mandat dimana ia bisa mengidentifikasi diri,26 sehingga apa yang

diinginkan oleh Liyan itu selamanya tidak akan diketahui oleh subjek.

Dengan demikian subjek akhirnya melihat Liyan juga mengalami lack,

karena tidak pernah mampu menjelaskan keinginannya secara gamblang.

Karena itu subjek selanjutnya berhasrat untuk menambal kekurangan (lack)

Liyan dengan menjadikan dirinya sebagai objek dari hasrat Liyan, dan secara

bersamaan subjek juga melihat sesuatu yang ia cari ada di dalam Liyan.

Sesuatu inilah yang Lacan sebut sebagai objek a (petit objet a), suatu objek

yang menyebabkan subjek mengalami hasrat, menjadi subjek hasrat (subject

of desire) yang menginginkan sesuatu lebih di balik sesuatu yang ia minta;

hasrat yang di dalamnya mengandung makna desire is the desire of the Other.

24

Ibid., hlm: 123. 25

(43)

30

Oleh karena itu Lacan menyebut objek a itu, termasuk di dalamnya adalah

hasrat Liyan, sebagai penyebab (cause) hasrat.27

Yang penting untuk diketahui adalah bahwa objek a bukanlah sebuah

objek Imajiner yang bisa diidentifikasi secara indrawi, tidak juga objek

Simbolik yang bisa dipahami melalui bahasa. Objek a adalah semacam nilai

atau kualitas yang tanpa sadar ditangkap oleh subjek dalam objek Imajiner

atau Simbolik yang membungkusnya, dimana sifat dari kualitas tersebut

sama sekali tidak stabil dan tak bisa dinilai secara objektif, atau nilai yang

dikandungnya berada di luar objektifitas. Setiap kali objek itu dijelaskan

secara rasional, yang muncul hanyalah rasionalisasi dari irasionalitanya,

karena rujukan dari objek a itu adalah yang-Real, sesuatu yang sesungguhnya

dimaui oleh subjek namun selalu berada dalam ketaksadaran. Dengan

menyinggung masalah rasionalisasi, maka subjek telah masuk ke dalam

dunia fantasi Lacanian, yaitu semacam gambaran (gaze) yang bekerja sebagai

rasionalisasi yang menjembatani gap antara subjek sebagai pertanyaan dan

objek a sebagai jawaban. Oleh karena itu fantasi ini disimbolkan dengan

$◊a), yaitu ketika subjek berhadapan dengan objek a.

Berhadapan dengan objek a, berarti subjek sedang berhadapan

dengan sesuatu yang irasional, yang tanpa sadar telah menjadi pusat dan

menyita sebagian besar perhatiannya. Dalam hal ini Žižek menjelaskan

bahwa sebagai narasi, fantasi memiliki tujuh cara kerja dalam menggiring

subjek merasionalisasi objek a dan menjawab che vuoi?. Ketujuh cara kerja

27

(44)

31

fantasi inilah yang menempatkan jawaban Aku mau ini dari subjek pada

posisi sebagai simptom yang mensubtitusi Aku mau kamu menolak

kemauanku, karena sesungguhnya bukan itu yg aku mau. Dengan kata lain

yang ingin dibahasakan dalam simptom itu adalah dalam kemauanku, yang

aku mau adalah lebih dari sekedar kemauan. Inilah paradoks dari simptom:

kemunculannya selalu dengan jalan merusak tatanan Simbolik subjek, tetapi

jika simptom itu ditiadakan maka seketika subjek kehilangan segala yang ia

miliki.28 Dan justru karena itu, kerja fantasi adalah demi memediasi segala

hal yang tak mampu tertampung oleh simptom, termasuk di dalamnya adalah

subversi dari yang-Real.

Situasi ini sebagaimana yang juga dijelaskan oleh Žižek bahwa salah

satu dari kedudukan fantasi adalah sebagai pelanggar inheren (inherent

transgression) dari struktur Simbolik yang menaunginya.29 Pelanggaran ini

terjadi ketika secara bersamaan fantasi juga menjelaskan bahwa tatanan

Simbolik pada dasarnya adalah ajakan kosong (empty gesture), yaitu pilihan

yang hadir untuk meniadakan dirinya sendiri dengan cara menyembunyikan

makna sesungguhnya dari pilihan tersebut.30 Inilah gap yang memisahkan

antara kebebasan yang dijamin oleh aturan Simbolik dengan fantasi yang tak

hanya memperlihatkan bahwa kebebasan itu hanyalah semu, bahkan

menjelaskan juga kemungkinan pilihan yang sesungguhnya. Gap ini hanya

bisa diatasi dengan jalan melampaui fantasi (traversing the fantasy), yaitu

penerimaan terhadap fakta ketertutupan radikal (pilihan sesungguhnya)

28

Sla o Žižek. Ibid., hlm: 85. 29

(45)

32

yang traumatis. Karena hanya dengan demikian subjek bisa terintegrasi

dengan masyarakat. Jika fase ini mampu dilewati dengan baik, dalam arti

subjek berhasil malampaui fantasinya, pada saat itulah ia mulai memasuki

domain dari dorongan,31 dan subjek pun berubah dari subjek yang

dikendalikan oleh hasrat (subject of desire) menjadi subjek yang dikendalikan

oleh dorongan (subject of drive).

Dorongan yang dimaksud disini adalah dorongan kematian (death

drive) Freudian, yaitu suatu dorongan dari ketaksadaran untuk mencapai

kepuasan, kepuasan yang dijelaskan oleh Lacan lebih dari sekedar seksual

(tubuh secara natural), karena seksualitas yang dihasrati subjek selalu adalah

hasil dari integrasinya dengan tatanan Simbolik. Lebih dari itu, kepuasan

yang menjadi tujuan dari dorongan adalah cinta (the Other s love), yang

berada di luar konseptualisasinya sendiri, dimana aktivitas seksual hanya

sebagai bagian dari upaya subjek untuk mengobati lack-nya.32 Žižek

menjelaskan dimensi penting dari dorongan ini dengan mengaitkannya

bersama teori eternity Nietzschean, bahwa dorongan ini tak lain adalah

semacam detakan singular yang melawan keterbatasan hasrat, dimana

kepuasannya hanya akan mungkin terwujud dari sifat pengulangannya yang

tiada henti (abadi). Oleh karena itu bagi Žižek dorongan bekerja dengan

melakukan pengulangan terus menerus, menerima pengulangan sebagai

satu-satunya solusi radikal dari pertentangan antara dua dimensi fantasi

31

Ibid., hlm: 40 32

Referensi

Dokumen terkait

Kesatuan luar (external entity) merupakan kesatuan dilingkungan luar system yang dapat berupa orang, organisasi, atau sistem lainnya yang akan memberikan input

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa upaya perlawanan yang dilakukan oleh sebagian birokrat Pemkot Tegal untuk melawan tindakan wali kota, sebenarnya juga sekaligus merupakan

Menghubung-hubungkan elemen-elemen yang ada di laporan keuangan ini sering disebut analisis rasio keuangan” Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa analisis rasio

Klorin yang terdapat pada beras sebenarnya dapat hilang dengan pencucian yang berulang-ulang. Klorin akan larut di dalam air cucian

Sesuai dengan qanun Aceh nomor 5 tahun 2003 pasal 1 tentang pemerintah gampong disebut bahwa: Gampong adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi

Daur ulang adalah proses untuk menjadikan suatu bahan bekas menjadi bahan baru dengan tujuan mencegah adanya sampah yang sebenarnya dapat menjadi sesuatu yang

Contoh elemen-elemen pencahayaan yang dapat menciptakan kesan atau suasana yang berbeda-beda dalam interior restoran dan café adalah cahaya yang menyiram dinding (wall washer)

Proses editing adalah salah satu elemen penting dalam sinematografi yang tidak dapat dipisahkan dalam dunia broadcasting. Namun apa sebenarnya