• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : TANAH DAN IDENTITAS PRIMORDIAL MARIND

A. MANUSIA ADALAH TANAH DAN BAHASA

2. Marind Anim-Ha : Mitos dan Identitas

Apa yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya adalah realitas kehidupan yang penulis anggap sedikit banyak telah merepresentasikan perjuangan identitas suatu masyarakat. Hal yang tersisa dari represi masuknya agama dan pemerintah, bahkan penyakit, terhadap segala bentuk keadatan Marind memang masih merupakan jejak-jejak dari dorongan primordial yang tak pernah selesai atau tak sepenuhnya terlihat. Karena itu apa yang mendasari hidupnya semua aturan dan semangat keadatan Marind tersebut adalah sesuatu yang sangat sulit digali. Namun penting untuk memahami bagaimana identitas ke-marind-an itu dibentuk, walaupun jebakan-jebakan untuk menjadi esensialis sangatlah kuat dan tidak mudah untuk disadari. Oleh karena itu penulis memilih untuk langsung menjelaskan tentang konsep-konsep yang terkait dengan pembentukan identitas primordial masyarakat Marind.

Jika ditanya siapa sesungguhnya kamu? , maka semua laki-laki dewasa Marind akan menjawab saya Anim-Ha . Namun masalahnya adalah,

sebagai sebuah konsep, apa yang dimaksud sebagai Manusia Sejati dalam bahasa Marind Anim-Ha itu sama sekali susah dijelaskan, bahkan oleh Masyarakat Marind sendiri. Yang bisa didapatkan hanyalah penjelasan yang selalu tidak utuh, atau sekedar pelebaran makna dari kata Ha dalam bahasa Indonesia, yaitu Sejati, Baik, Benar, Betul, Utuh, Sungguh dan Perkasa. Lebih dari itu, keSejatian, keBaikan, keBenaran, keBetulan, keUtuhan, keSungguhan

120

dan kePerkasaan seperti apa yang terkandung dalam Ha, jawabannya tidak pernah purna (fix).

Satu-satunya hal yang dengan mudah bisa dijelaskan hanyalah bahwa keSejatian itu bukan sekedar direpresentasikan oleh bagaimana kehadiran Marind secara fisik, sebagaimana yang banyak diwacanakan dalam laporan antropologis bahwa Marind adalah masyarakat yang gemar menghias tubuh, memiliki penampilan fisik yang tinggi besar dengan busur panah dan segala macam bentuk benda-benda atribut simbolik yang dikenakannya, sesuai dengan marga, totem dan Dema masing-masing. Marind juga dikenal sebagai suku pengayau kepala yang ditakuti di kawasan pantai selatan Irian Jaya, yang mendiami kawasan padang savana dengan gundukan-gundukan pasir yang kering, serta di daerah pedalaman hutan yang lebat dengan banyak rawa-rawa.144 Namun, Anim-Ha lebih dari manusia sebagai fisik dan materi. Anim-Ha meliputi gagasan kompleksitas kedirian yang kepenuhannya bisa dicapai hanya dengan pengakuan atas kekurangannya, dan keharusan pelibatan Liyan, yaitu Dema.

Pada saat ini tidak akan dijumpai lagi masyarakat Marind tampil dengan segala macam atributnya secara penuh sebagaimana bisa dilihat dalam foto-foto Raymond Corbey.145 Akan tetapi bukan berarti apa yang disebut sebagai Anim-Ha itu tidak ada lagi. Apa yang telah dilucuti oleh misionarisme di era kolonial, apa yang hilang dari penampilan Marind saat ini, hanya sekedar materialitasnya saja. Sementara semangat dari ke-Anim-

144

Jan Boelaars. 1986. Manusia Irian: Dahulu-Sekarang-Masa Depan. Jakarta: Gramedia, hlm: 4. 145 Raymond Corbey. 2010. Headhunters from the Swamps. Leiden: KITLV Press.

121

Ha-an itu masih tersimpan dan menampakkan jejak-jejaknya melalui momen-momen terpisah, yang untuk menjelaskannya harus merangkainya seperti puzzle, dan bila rangkaian itu jadi maka bentuk yang terlihat adalah alam/tanah.

Maka apa yang bisa dipahami dari gagasan eksistensial tersebut adalah ketidakmungkinannya untuk tercapai tanpa keturutsertaan Dema

yang terwujud dalam totem. Dalam hal ini Boelaars mengatakan bahwa dibalik semua kegagahan itu, Marind menyembunyikan suatu perasaan takut yang dalam: ketakukan terhadap Dema.

a. Totem dan Dunia Dema

Jika secara sosial Marind telah mengatur sistem tenurial demi terpenuhinya kebutuhan pangan dan kekerabatan sehari-hari, maka dalam konteks spiritual manusia Marind terhubung erat dengan nilai-nilai yang terkandung dalam simbolisme benda-benda atau alam yang melingkupi hidup mereka sehari-hari, yaitu totem. Totem diyakini mengandung roh dari

Dema, asal mula dari kehidupan Marind. Nilai yang terkandung dalam totem- totem tersebut bergerak di dalam sistem bahasa dan menandai adanya suatu kepercayaan yang berjalan dalam kehidupan masyarakat Marind, melahirkan mekanisme keterikatan dengan alam dan sesama, serta menghubungkan mereka dengan Dema.

122

Boelaars menjelaskan bahwa dunia Dema oleh Marind dianggap sebagai dunia awal moyang yang gelap (baca: tidak bisa diketahui) yang telah mati dan tidak memiliki kuasa apapun atas manusia [selain kegelapan itu sendiri]. Dema dianggap telah mati namun tak sepenuhnya mati, karena rohnya bersatu dengan benda-benda, tumbuhan, serta peristiwa alam. Ia merupakan asal-usul manusia Marind, mencipta dan mengatur, tetapi dianggap tidak lagi berpengaruh secara langsung, kecuali pada kanak-kanak sebelum berlalunya masa yang disebut oleh Boelaars dengan istilah

pendahuluan mitis .146 Menurut bapak Martinus Ndiwaend selaku ketua adat Mayo kampung Makaling, ini merupakan masa-masa pertama dari kehidupan manusia Marind yang sedang dalam proses pembebasan diri dari kungkungan kegelapan. Bahwa setiap manusia berasal dari kegelapan dan sedikit demi sedikit harus dibebaskan dari pengaruhnya yang bekerja melalui bentuk kasih sayang seorang ibu. Oleh karena itu pada akhirnya seorang anak harus menjalani ritual pengukuhan, agar kemudian menjadi manusia adat betul.147

Dalam tradisi maskulinnya, laki-laki Marind menganggap kehidupannya tak ubahnya seperti matahari: terbit dari kegelapan, bersinar terang di siang hari, lalu kembali tenggelam ditelan gelap di malam hari. Cahaya dan kegelapan menjadi simbolisasi kedirian Marind dalam memaknai hubungan antara kesadarannya dan sesuatu yang tidak terjangkau. Sebagaimana matahari, manusia terlahir dari kegelapan, tumbuh menjadi

146

Jan Boelaars. Ibid.,

123

kuat, perkasa dan mencapai titik kesejatian, namun tetap saja ia akan tenggelam di senja hari: kematian. Di sini kematian berlaku dan selalu datang sebagai yang-Gelap, yang menakutkan dan tak bisa dihindari atau dikuasai. Oleh karena itu harus didamaikan dan didekati dengan jalan ritual, dan salah satunya adalah mengawini perempuan, sesuatu yang dianggap sebagai pukauan yang menyeret ke dalam kegelapan.

Dengan tujuan itu setiap laki-laki Marind harus kawin, menghadapi kegelapan yang bersemayam dalam keperempuanan sebagai yang-Gelap, yang tak terjangkau. Maka dalam tradisi Marind, ketakterjangkauan dalam keperempuanan itulah yang mengharuskan keluarga dari mempelai laki-laki ikut menemani pengantin laki-laki pada malam pertama. Menurut seorang guru di kampung Bupul, kehadiran keluarga mempelai laki-laki bertugas untuk menjaga dan memastikan (ritual) bahwa ia berhasil melakukan penyatuan dan tidak terlena atau bahkan tersesat dalam misteri keperempuanan istrinya yang hadir sebagai kegelapan:148 vagina sebagai penanda dari yang-Gelap.

Meskipun demikian, bukan berarti laki-laki akan terbebas begitu saja, karena pada dasarnya setiap Marind menderita kegagalan abadi untuk melepaskan diri sepenuhnya dari yang-Gelap. Penis sebagai simbol kelaki- lakian selamanya tidak mungkin sepenuhnya terbebas dari vagina, oleh karena itu harus didamaikan. Proses pendamaian telah menjadi sebuah bentuk negosiasi Marind dengan yang-Gelap. Gelap yang tak hanya tersimpan

124

di balik keperempuanan, tapi juga di balik seluruh kehidupan alam sebagai persemayamannya. Marind meyakini bahwa gelap itu akan selamanya menjadi Gelap dan menakutkan jika kegelapannya tidak didekati dan dikenali. Itulah dunia Dema, dunia leluhur yang berada di luar keterjangkauan, gelap dan menakutkan.149

Bagi Marind, segala sesuatu selalu bisa menjadi gelap selama ia belum terjangkau atau terpahami, baik itu alam (benda, binatang, tumbuhan, dan peristiwa) ataupun manusia. Misalnya sebagaimana secara eksplisit disampaikan oleh bapak ketual LMA kampung Ndumande bahwa hubungan sosial yang terjadi antara sesama masyarakat Marind pada dasarnya adalah juga hubungan spiritual, karena ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain, dia juga berinteraksi dengan Demanya. Apa yang selalu gelap, tidak terjangkau dan menakutkan dari orang lain adalah Dema yang menyertainya, karena menghina atau menyinggung orang lain adalah juga membuat marah

Demanya.150

Sampai disini telah terlihat bagaimana Masyarakat Marind meyakini bahwa titik terjauh dari segala kehidupan ini adalah Dema dengan segala ketakterjangkauannya, yang demi menegakkan diri sejati seperti matahari, jalan satu-satunya adalah mengenali dan memposisikan materialitasnya (totem) dalam struktur kehidupan sosial. Dari sinilah segala pemaknaan realitas yang ada dan terjadi dalam kehidupan Marind berasal, dimana totemisme menempati posisinya.

149

Jan Boelars. Ibid.,

125

Menurut Natalis Basik-basik dari kampung Zanegi, setiap marga terkait langsung secara simbolik dengan totemnya masing-masing yang berbeda namun justru saling melengkapi dan menjaga. Bagi mereka setiap benda, binatang, tumbuhan dan peristiwa alam merupakan perwujudan dari

Dema yang mereka percaya. Adapun totemisme yang terbagi dan terkait sesuai dengan empat marga inti yang telah disebut di atas adalah sebagai berikut; Gebze: Tanah, manusia, kelapa, pisang, tumbuh-tumbuhan hutan, kangguru, tebu, umbi-umbian; Kaize: Api, wati, kasuari; Mahuze: Orang laki- laki, matahari, bulan purnama, anjing, cendrawasi, elang, ular hitam, lipan, sagu, bambu, bulu tuyu (sejenis bambu kecil sebesar rotan yang biasa digunakan sebagai senjata perang); dan Basik-basik: Air, perempuan, ayam hutan, ikan, buaya, halilintar/petir, bulan sabit.151

Hubungan yang terjalin antara masyarakat Marind dengan totem- totemnya tersebut telah melahirkan suatu mekanisme timbal-balik dengan alam dan sesama anggota masyarakat. Natalis Basik-basik juga mengatakan bahwa orang tidak boleh sembarangan menebang tumbuhan atau membunuh binatang tanpa minta izin atau melapor kepada kepala marga terkait, karena yang ia tebang atau bunuh bukan sekedar tumbuhan atau binatang, melainkan juga dema dari marga yang bersangkutan.152 Contoh lain dari kampung yang sama adalah bapak Bonesius Gebze, ketika ia ingin

151 Natalis Basik-Basik. 21/07/2011. Rincian dari pembagian totem setiap marga ini belumlah lengkap dan masih membutuhkan pencarian serta pendalaman lebih lanjut. Proses penggalian data tentang totem-tote i i ukup sulit kare a ter e tur se a a ta u , siste kepercayaan adat yang tidak menghendaki hal ini dibicarakan secara sembarangan, dan hanya orang-orang tertentu yang boleh atau berhak menyampaikannya, karena ini berkaitan langsung dengan dema.Wawancara. Merauke: Zanegi.

126

menanam sagu untuk cadangan masa depan pangan cucu-cucunya, ia mengundang dan meminta restu bapak Leo Mahuze selaku ketua marga Mahuze.153 Di kampung Ndumande, ketika beberapa penebang pohon PT. Rajawali membunuh seekor biawak yang tiba-tiba berada di atas motornya, Fredy Ndiken mengatakan bahwa mereka nantinya akan mendapatkan celaka, karena yang mereka bunuh itu moyang. Tuan tanah itu .154

Dengan demikian, baik binatang atau tumbuhan bukan saja hadir secara material, namun spiritual, karena keberadaannya dipandang secara lebih sebagai bentuk dari kehadiran apa yang tak mampu mereka jangkau namun diyakini ada dan menyaksikan kehidupan Marind dari waktu ke waktu. Totem bekerja sebagai pengikat antara Marind ke-gelapan-an yang berujung pada Dema. Kalaupun hubungan tersebut pada prakteknya menghasilkan suatu sistem yang bisa disebut sebagai pelestarian lingkungan, hal itu hanyalah konsekuensi logis saja. Lebih dari itu, perhatian penuh manusia Marind terhadap benda, binatang, tumbuhan dan peristiwa alam yang menjadi totemnya adalah suatu ritus pemaknaan pada suatu jalinan antara mereka dengan sesuatu yang diyakini menjadi asal-usulnya. Dengan totem sebagai penandanya, identitas Marind pun tak lain adalah sebuah kesatuan yang terstruktur tak hanya meliputi realitas yang tertangkap, melainkan juga apa yang mereka yakini sebagai sesuatu yang mengisi spiritualitas primordial mereka, yaitu Dema.

153

Bonesius Gebze. 01/03/2012. Wawancara. Merauke: Zanegi. 154 Fredy Ndiken. 18/03/2012. Wawancara. Merauke: Ndumande.

127 b. Tanah dan Tuan Tanah

Dari penjelasan sebelumnya, hal yang selanjutnya menjadi pertanyaan adalah apa arti tanah dan tuan tanah bagi masyarakat Marind? Lagi-lagi jawaban dari pertanyaan ini harus dirangkai dari ungkapan atau penjelasan yang terpisah dalam nalar bahasa masyarakat Marind.

Sebagaimana tanah yang memiliki makna lebih dari sekedar fungsi materialnya, istilah tuan tanah pun juga demikian. Jika dalam disiplin sejarah dan sosiologi istilah ini sering digunakan untuk menunjuk kepada seseorang yang menguasai suatu kawasan tanah yang luas di masa kolonial, maka definisi tersebut tidak berlaku dalam nalar bahasa Marind. Istilah tuan tanah dalam pemahaman Marind memiliki makna lain, yaitu makna yang ambigu karena menunjuk kepada manusia dan Dema pada saat bersamaan, namun justru dalam ambiguitasnya itu ia menjadi purna (fix).

Apa yang dikatakan (pada bagian sebelumnya) oleh Fredy Ndiken bahwa seekor biawak yang dibunuh oleh para penebang pohon dari PT. Rajawali itu adalah tuan tanah , hanya merupakan salah satu contoh dari ungkapan masyarakat tentang hal yang sama. Dalam berbagai kesempatan lain, istilah ini seringkali muncul digunakan untuk menunjuk pada kehidupan yang menghuni hutan, yaitu moyang, leluhur atau Dema. Dalam kesempatan yang berbeda kepala distrik Okaba Jeremias Ndiken mengatakan bahwa :

Sebelum kita mendapat pengertian tentang hutan dari pemerintah, Marind ini su banyak pengertian sendiri. Hutan ini jiwa dorang. Orang bisa jadi

Anim-Ha gagah perkasa karena dia ambil perhiasan-perhiasan itu dari hutan, dari laut juga ada. Saya ini anak Marind. Saya ini biar su sekolah dan berpendidikan juga tetap berhutan dan berburu. Memang disini [distrik

128

Okaba] saya tidak punya hak tanah, karena asal saya dari Ngguti. Tapi saya tidak akan lepas, karena kalau saya lepas juga saya akan dapat balasan dari leluhur yang punya tanah.155

Perkataan kepala distrik Okaba tersebut menegaskan bahwa tanah adalah kehidupan, dimana segala keberadaan benda-benda, binatang dan tumbuhan sebagai perhiasan-perhiasan (atribut totemik) disandarkan, menjadi syarat bagi bangunan primordialitas yang menopang dan meneguhkan ke-Anim-Ha- an. Primordialitas yang mengaitkan dirinya dengan leluhur yang punya tanah , yang bahkan tak mungkin tertampung oleh dunia pendidikan.

Penjelasan kepala distrik tersebut menempatkan leluhur sebagai yang punya tanah , sedangkan keberadaan masyarakat saat ini merupakan pemegang tanggungjawab, atas apa yang telah dititpkan oleh yang punya tanah kepadannya. Jelaslah bahwa sehubungan dengan tanah penjelasan tersebut menempatkan manusia yang hidup pada saat ini hanya sebagai pembawa amanat, tanggungjawab yang dititipkan oleh para leluhur sebagai pemiliknya. Akan tetapi penjelasan ini menemui keterbatasannya ketika tidak jarang juga penulis mendapati anggota warga masyarakat yang mengatakan baik dalam pertemuan atau wawancara bahwa kami ini tuan tanah , bahkan terkadang sambil menunjuk ke beberapa ranting daun tanaman angginyang diikat dibahunya. Dengan demikian, istilah tuan tanah

ini bekerja sebagai metafor dari keyakinan tentang identitas ke-Marind-an, yang menampung suatu hubungan primordial antara manusia dan Dema

yang melekat dalam tanah sebagai pengikatnya.

Dalam Sidang Makaling seorang warga mengatakan:

129

Tidak ada sejarah bahwa ini tanah Makaling. Yang disebut Makaling itu adalah manusia. Jadi itu tidak salah kalau ada orang bilang itu tanah dan manusia sudah dijual. Dimana orang Makaling, Makaling dimana? Makaling

itu adalah manusia dan bahasa. Oh itu Makaling , itu bahasa [sambil menunjuk mulut sendiri], tapi itu manusia ini yang disebut. Oh itu Sanggase [nama kampung] , itu tidak ada, Sanggase itu manusianya, dan bahasa.

Identitas itu dua untuk orang Marind.156

Ungkapan yang disampaikan dalam kontek penolakan terhadap MIFEE tersebut terkandung penjelasan bahwa sebagai sebuah objek, tanah yang akan direbut oleh MIFEE memang merupakan sebuah keberadaan material yang secara logis bisa diperhitungkan struktur, bentuk dan segenap materialitasnya. Akan tetapi di balik status tersebut, tanah mempunyai makna yang lebih dari bentuk material, karena kehadirannya merupakan penanda bagi suatu identitas, yang tak mungkin bisa dijelaskan lebih selain hanya bisa dengan menghadirkan kata tanah , sehingga menjual tanah berarti adalah menjual manusia. Dengan demikian, apa itu tanah dan tuan tanah bagi Marind tak lain adalah sebuah representasi dari apa yang mereka sebut sebagai identitas.

Dokumen terkait