• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : MIFEE-MP3EI: MENCARI KEUNTUNGAN MELALUI KRISIS

A. MERAUKE DAN KERENTANAN PANGAN DUNIA

2. Menuju MIFEE

Sebagai masa depan Indonesia, Merauke tidaklah cukup jika hanya dihadirkan sebagai suatu gambaran atas akumulasi ekonomi. Lebih dari ekonomi, apa yang menjadi ancaman sesungguhnya adalah nasib manusia di masa yang akan datang. Sehingga wacana tentang Merauke sebagai masa depan tak hanya bekerja dalam konteks ekonomi, melainkan juga kemanusiaan.

a. Doktrin Krisis dan Empati Kemanusiaan Global

Krisis ini adalah krisis kita semua. Bukan akibat dari kegagalan produksi, melainkan tingginya harga pangan domestik, penurunan pendapatan dan peningkatan jumlah pengangguran . Itulah inti dari keseluruhan narasi tentang krisis yang ditekankan oleh lembaga-lembaga yang berkepentingan dalam mengelola pasar, perdagangan, dan ketahanan pangan (food security) internasional seperti FAO, International Fund for Agricultural Development (IFAD) dan International Institute for Environment and Development (IIED).77

Januari 2008, beberapa minggu seusai United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang diselenggarakan pada bulan Desember 2007 di Bali, dimana banyak Negara berbicara tentang perubahan iklim (climate change) dan pemanasan global (global warming) hingga

77

Laksmi A. Savitri. 2011. Politik Ruang dan Penguasaan Tanah untuk Pangan, Jurnal Wacana edisi 26 tahun XIII. Yogyakarta: Insistpress, hlm: 11.

68

menghasilkan Bali Road Map78 dan beberapa kebijakan, kesepakatan, serta rencana aksi dalam skala internasional termasuk skema Reducing Emission from Deforestation and Degradation (REDD);79 dunia kembali diguncangkan oleh krisis yang sering disebut sebagai krisis ganda yaitu food dan energy. Kondisi tersebut dimulai dengan kenaikan harga minyak yang melambung hingga USD.100/barrel pada awal tahun 2008 dan dirasa sangat membebani mayoritas Negara berkembang. Wacana tentang faktor penyebab kenaikan harga minyak ini bisa berbagai macam, dari kekisruhan politik Timur Tengah, berkurangnya cadangan minyak bumi yang menyebabkan berkurangnya produksi minyak dunia,80 hingga permainan harga oleh negara-negara penghasil bahan minyak mentah81 dan lain-lain.

Dino Patti Jalal, juru bicara kepresidenan RI melaporkan bahwa dalam KTT OKI ke-13 2008 di Senegal yang dihadiri juga oleh presiden SBY, banyak negara Afrika mengeluhkan kenaikan harga minyak tersebut, karena tak hanya krisis energi, kondisi tersebut ternyata juga memicu kenaikan harga pangan global hingga 35%. Adapun wacana tentang penyebab kenaikan harga pangan dunia memang bermacam-macam dan melebar: 1) peningkatan tajam harga BBM dunia; 2) penurunan stok pangan di pasar dunia sejak

78

UNDP. 2008. The Bali Road Map: Key Issues Under Negotiation. New York: UNDP Environment & Energi Group.

79 CIFOR. 2012. The Context of REDD+ in Indonesia: Divers, Agents and Institutions. Bogor: CIFOR.

80

Andistya Oktaning Listra, Ferry Prasetyia. 2012. Krisis Politik Timur Tengah Serta Implikasinya

Terhadap Perdagangan dan Fluktuasi Harga Minyak Dunia.

http://ferryfebub.lecture.ub.ac.id/files/2012/11/Krisis-Poltik-Timur-Tengah-dan-harga- Minyak-Dunia.pdf, diakses pada 21/02/2013.

81 Narindra. 2008. Ulah Spekulan dan Mafia, Siapakah penentu harga minyak mentah dunia?. Multiply: http://mangeben.multiply.com/journal/item/169/Ulah-Spekulan-dan-Mafia- Siapakah-penentu-harga-minyak-mentah-

69

tahun 1982; 3) meningkatnya kebutuhan bahan pangan negara-negara yang sedang tumbuh ekonominya, seperti China dan India; 4) terjadinya bencana alam seperti kebanjiran, kekeringan dan badai, sebagai dampak perubahan iklim global; 5) kebutuhan sereal untuk bioenergi, serta; 6) peningkatan laju penduduk dunia yang mencapai sekitar 78,5 juta jiwa per tahun.82 Dari semua hal itu, bagaimana wacana yang berkembang seputar dampak dari krisis pangan? Maka lebih dalam FAO telah menyediakan jawaban dari pertanyaan itu.

Selama kurun waktu 2005-2009 FAO sangat setia dalam membombardir publik internasional dengan laporan tahunannya tentang wacana bencana kelaparan (world hunger) dan kerentanan pangan (food insecurity) dunia. Laporan tersebut secara umum menjelaskan bahwa kondisi kerentanan pangan terus meningkat pada tiap tahunnya hingga mencapai titik kerentanan tertinggi pada tahun 2009, ketika jumlah orang yang menderita kurang gizi (undernourishment) di dunia mencapai 1.02 milyar jiwa. Angka ini menunjukkan peningkatan jumlahnya melampaui angka kritis di tahun 1969-71 yaitu 875 juta jiwa dan selanjutnya naik menjadi 925 juta jiwa di tahun 2008, hingga meningkat drastis pada 2009.83 Data ini diperkuat oleh Presiden Bank Dunia Robert Zoellick yang memprediksi bahwa kenaikan harga pangan ini berpotensi menimbulkan kerusuhan ekonomi dan sosial di 33 negara berkembang di berbagai kawasan. Zoellick juga memperkirakan

82

Dino Patti Jalal. 2008. Mengubah Krisis Menjadi Peluang [2]. http://dinopattidjalal.com/id/article/17/mengubah-krisis-menjadi-peluang-[2].html, diakses pada 30/12/2009.

83

FAO. 2009a. The State of Food Insecurity in the World, Economic Crises – Impacts and Lessons Learned. FAO: ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/012/i0876e/i0876e.pdf, diakses pada 04/01/2013.

70

100 juta orang di seluruh dunia kembali jatuh ke jurang kemiskinan, dan jutaan lainnya terkena bencana kelaparan. Akibat krisis pangan ini, setiap hari, 25.000 orang di dunia meninggal dunia, dan setiap 5 detik, 1 orang anak tewas.84

Tak berhenti di situ, Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia (2009) memaparkan masalah krisis ini dalam Roadmap Pembangunan Ekonominya, bahwa krisis pangan dan energi (fossil fuel) ini selanjutnya juga menggiring terjadinya krisis finansial, melengkapi krisis ekonomi global yang dipicu oleh kasus subprime mortgage di Amerika Serikat pada akhir 2007. Alternatif pengembangan bahan bakar nabati (bio fuel) ternyata juga menimbulkan masalah baru yang tak kalah pelik. Komoditas pangan yang diolah menjadi energi alternatif membuat harga bahan makanan dan makanan ternak melonjak, ditambah dengan terjadinya perubahan moda harga komoditas, termasuk pangan, yang tak lagi ditentukan oleh interaksi antara permintaan dan penawaran fisik, namun mengikuti dinamika pasar finansial yang spekulatif. Jadi, bagi negara berkembang, krisis finansial global ini terasa lebih berat karena bersamaan dengan lonjakan harga minyak bumi dunia, fluktuasi harga pangan yang luar biasa tinggi, fenomena perubahan iklim yang mengacaukan ramalan produksi, serta variabilitas cuaca yang semakin tidak bersahabat. Apalagi dengan jumlah penduduk yang notabene lebih banyak dibanding dengan negara maju, negara berkembang, khususnya dalam bidang pangan dan pertanian, masih belum dapat melepaskan diri dari permasalahan struktural dalam sistem produksi dan konsumsi, ketahanan

71

pangan, kemiskinan, pengangguran, kualitas pendidikan dan lain‐lain.85 Itulah nasib negara miskin dan berkembang.

Itulah krisis global. Dari finansial, ekologi, energi, pangan, hingga ancaman permasalahan struktural sistem ketatanegaraan: suatu shock doctrine mencekam yang ditanamkan kepada publik dan menantang setiap hasrat kemanusiaan dengan mempromosikan bahwa sebagian dari masyarakat dunia, sebagian dari manusia yang tinggal di bumi tercinta ini, bahkan sebagian dari kita , sedang terancam kehidupannya. Dengan kata lain, ini adalah suatu darurat, suatu tatanan baru yang selanjutnya menjadi status (state) ekonomi-politik pemerintah Indonesia sejak Presiden SBY pada awal tahun menyatakan bahwa yang kita hadapi ini adalah krisis global, dan untuk menanganinya perlu ada solusi global .86

Selanjutnya demi realisasi dari kata-katanya, pada 27 Maret 2008 Presiden SBY menulis surat kepada Sekjen PBB Ban Ki-moon demi mendorong agar secepatnya Ki-Moon menyelenggarakan konferensi untuk mencari solusi global terhadap krisis energi dan pangan. Seminggu kemudian, SBY juga menyurati Presiden Bank Dunia Robert Zoellick dan menyatakan dukungannya terhadap gagasan new deal for global food policy ,

serta menghimbau agar Zoellick tidak membuang waktu dalam mengambil inisiatif untuk mewujudkan visinya ke arah kondisi pangan global yang lebih baik. Belum puas, SBY juga menulis surat kepada Perdana Menteri Jepang

85

KADIN. 2009. Roadmap Pembangunan Ekonomi Indonesia 2009-2014. KADIN: http://www.kadin-

indonesia.or.id/id/doc/Roadmap_Pembangunan_Ekonomi_Indonesia_2009_2014.pdf, diakses pada 28/01/2013.

72

Yasuo Fukuda selaku Ketua KTT G-8 yang akan diadakan di Hokkaido awal Juli 2008, dan mengusulkan agar pertemuan khusus negara-negara G-8 dengan 8 negara yang berperan penting dalam perubahan iklim (termasuk Indonesia) juga membahas krisis pangan, karena keterkaitan isu ini dengan masalah perubahan iklim. Belum puas juga, awal bulan Mei SBY menulis surat kepada Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong selaku Ketua

ASEAN Standing Committe, juga kepada seluruh pemimpin ASEAN, perihal krisis yang sama, dan mengusulkan agar segera diadakan pertemuan khusus para pemimpin ASEAN untuk membahas respon bersama ASEAN dalam mengatasi krisis energi dan pangan.87

Dalam semua korespondensi ini, Presiden SBY selalu menekankan bahwa Indonesia, berbeda dengan negara lainnya, tidak mengalami krisis pangan. Produksi beras Indonesia mencukupi, bahkan surplus. Menurut Jalal, inisiatif SBY ini lebih didorong oleh empati dan keprihatinan yang mendalam atas dampak krisis pangan terhadap stabilitas internasional. Dan karena itu pula, pada tanggal 17 April 2008, SBY mengundang sejumlah Menteri, BUMN, KADIN, Kepala BPN Joyo Winoto dan sejumlah tokoh industri energi dan pangan Indonesia ke Gedung Agung di Yogyakarta untuk melakukan

brainstorming. SBY langsung memberi paparan panjang berjudul Meningkatkan Produksi dan Produktivitas Pangan, Energi dan Mineral guna Meningkatkan Ekonomi Indonesia: From Crisis to Keuntungan . Dua minggu

kemudian, pertemuan selanjutnya dilakukan pada tanggal 30 April 2008 dimana SBY menekankan beberapa hal, yaitu: 1) situasi pangan 2008 aman;

73

2) perlunya ditumbuhkannya large scale farmers; 3) perlunya go beyond self sufficiency on food and energi; 4) masih ada 1,7 juta hektar HGU yang telah diberikan izin tetapi belum digarap; 5) mengajak pihak swasta (BUMP) berpartisipasi dalam program public-private partnership, terutama dalam hal infrastruktur; 6) khusus untuk pangan perlu dipikirkan untuk mendirikan

Special Agricultural Zone (untuk agrobisnis dan agroindustri, mungkin berjumlah 5 buah) di berbagai daerah di Indonesia (untuk menjadi sentra- sentra produksi pangan), dan; 7) perlu memperbaiki supply chain management atau distribusi, dan perlu koordinasi lintas sektoral.88

Maka jadilah peluang keuntungan (opportunity) sebagai kenyataan yang terbuka lebar di depan mata pemerintah Indonesia untuk menjawab segala permasalahan krisis, dari global hingga domestik, dari dunia hingga manusia. Wacana tentang keuntungan selanjutnya dijadikan sebagai jawaban yang menjanjikan tanggungjawab moral tak hanya membaiknya masa depan Negara-negara miskin di dunia, namun terutama juga masa depan rakyat Indonesia hingga tingkat domestik, tingkat keluarga. Tak hanya akan mengatasi krisis finansial global dan pengentasan kemiskinan, jauh melebihi itu adalah juga perhatian mendalam terhadap pendapatan harian rumah tangga sebagai satu-satunya hal yang mampu menjamin tersedianya makanan sehari-hari, menjamin keberlangsungan hidup setiap individu dalam keluarga.89 Itulah keuntungan; itulah kemanusiaan.

88

Ibid., 89

Susilo Bambang Yudoyono. 2008. Pidato Presiden, Sambutan Konferensi Nasional Kesadaran Perempuan dalam Ketahanan Pangan Keluarga. Sekretariat Kepresidenan:

74

b. Liberalisasi Komoditi Pangan dalam KADIN Feed the World Seminar 2010 Feed the World merupakan tajuk dari FAO pada Expert Meeting on How to Feed the World in 2050 di Roma pada 24-26 Juni 2009, dalam rangka membayangkan terwujudnya keamanan pangan (food security) pada tahun 2050, termasuk juga teratasinya persoalan bio energi dan perubahan iklim. Hasil dari pertemuan itu tertuang dalam 6 poin sebagai berikut: 1) Investasi,

dibutuhkannya a code of conduct guna mengatur investasi internasional

skala besar bidang pertanian di Negara berkembang; 2) Akses, penitikberatan pada isu-isu ketersediaan dan perkembangan pangan secara global, peningkatan produktifitas serta perbaikan akses pangan; 3) Perdagangan, liberalisasi perdagangan dan pemberlakuan Lingkaran Doha, serta memperlancar kebijakan pertanian di Negara-negara Organization for Economic Co-operation and Development (OECD); 4) Afrika, menarik pertanian tradisional skala kecil ke dalam pertanian komersial yang lebih luas; 5) Perubahan iklim, bioenergi dan teknologi, pemanfaatan dan penyiapan regulasi untuk GMO demi meningkatkan dan menstabilkan hasil panen, dan; 6) Institusi, revolusi institusional demi melancarkan distribusi pendanaan bagi petani dan pihak-pihak lain dalam lingkaran ekonomi.90

Kurang dari setahun kemudian, konferensi yang diselenggarakan oleh KADIN pada 28-31 Januari 2010 untuk membahas kemungkinan jalan keluar, lebih tepatnya adalah peluang, dari segala krisis yang sedang melanda dunia, http://www.presidensby.info/index.php/pidato/2008/11/13/1055.html, diakses pada 10/01/2013.

90

FAO. 2009b. Report of the Fao Expert Meeting on How to Feed the World in 2050.

75

juga menjadikan tajuk tersebut sebagai judul dari seminar nasionalnya, yaitu

Seminar Nasional Pasok Dunia: Feed The World . Sebagai tindak lanjut dari

wacana FAO serta berbagai rapat presiden bersama segenap petinggi Negara sebelumnya, konferensi tersebut menghadirkan perwakilan dari Angkatan Laut (AL), Bank Rankyat Indonesia (BRI), Bank Indonesia (BI), Badan Urusan Logistik (Bulog), DPR, beberapa bidang kementrian yang meliputi Kementrian Keuangan, Perhubungan, PU, Pertanian, Kehutanan, Kelautan dan Perikanan, Mendagri, Perdagangan, Perindustrian, Ristek, BUMN, BKPM, BPN, BAPPENAS, beberapa kepala daerah yang menjadi ujung tombak dari terwujudkannya industri pangan skala besar, yaitu Gubernur Jatim, Gubernur Kalteng dan Bupati Merauke, serta tidak lupa juga perwakilan dari FAO dan Bank Dunia.

Sebagai penyelenggara, secara singkat Ketua Umum KADIN menjelaskan bahwa tema Feed The World berangkat dari keresahan pemerintah Indonesia terhadap rantai krisis yang melanda dunia dan mengakibatkan bencana kelaparan sebagaimana dijelaskan dalam laporan FAO 2009. Sementara Indonesia sebagai Negara yang merasa tidak terpengaruh oleh dampak dari krisis tersebut akhirnya dihadapkan pada suatu tantangan moral kemanusiaan, sekaligus tantangan peningkatan dan pengembangan perekonomian nasional, mengingat sebagian besar dari 1 juta ha. wilayah pertanian Indonesia belum tergarap secara optimal. Menjadi penting untuk membangun sinergi antara dunia usaha, pemerintah dan masyarakat, guna memfokuskan prioritas pembangunan pertanian pada upaya untuk mewujudkan ketahanan Pangan Nasional, sekaligus menjadi

76

negara pemasok kebutuhan pangan dunia. Dengan demikian masa depan Indonesia sebagai pemasok pangan dunia pun menjadi orientasi yang sangat logis dan sesuai dengan tema dari acara tersebut yaitu Menuju Swasembada yang Kompetitif dan Berkelanjutan serta Mendorong Produk-produk Unggulan Menjadi Primadona Dunia .91

Dalam sambutan pembukanya, Presiden SBY menekankan bahwa yang lebih dulu harus diutamakan adalah masyarakat Indonesia, baru selanjutnya beranjak menuju masyarakat di tingkat dunia. SBY menghendaki perubahan tajuk dari Feed The World menjadi Feed Indonesia and Feed The World. Dalam rangka mewujudkan rencana besar ini, SBY menekankan delapan hal yang dianggap sebagai kunci keberhasilan industrialisasi pangan dan energi di Indonesia, yaitu: 1) prioritas pengembangan ketersediaan pangan pada peningkatan produktifitas lima komoditas penting yaitu beras, jagung, tebu, dan kedelai serta sapi; 2) peningkatan kualitas faktor pendukung produksi yang terdiri dari ketersediaan lahan, modal finansial, tenaga kerja dan infrastruktur (dengan public private partnership92 sebagai konsep pembangunannya); 3) peningkatan teknologi dan inovasi dengan berlandaskan kajian-kajian ilmiah; 4) menjadikan kemitraan [multi pihak] sebagai strategi kerja yang sinergis dan kolaboratif; 5) menjadikan pertanian berkelanjutan dan ramah lingkungan sebagai konsep dasar aktivitas produksi. Untuk itu dibutuhkan penataan ruang sebaik-baiknya di seluruh

91

Adi Putra Tahir. Ibid.,

92 Konsep Public-Private Partnership ini diusung oleh SBY dari design kemitraan publik-swasta yang merupakan agenda pembangunan infrastruktur penunjang arus ekonomi dalam

Comprehensive Asia Development Plan (CADP): sebuah program konektifitas perekonomian di tingkat regional.

77

Indonesia; 6) pelibatan kalangan koperasi dan usaha kecil/menengah; 7) peningkatan kesejahteraan petani (ketika prospek agrobisnis sudah bisa meningkat baik), dan; 8) memastikan tercukupinya pasokan pangan cukup dengan harga yang tetap terjangkau dan stabil.93

Selain Presiden SBY dan Ketua Umum KADIN, dalam acara tersebut semua perwakilan dari setiap lembaga dan instansi yang hadir memiliki kesempatan dalam seminar untuk menyampaikan gagasan masing-masing dalam mendukung ide Feed Indonesia and Feed The World. Namun, meskipun semua perwakilan menyampaikan gagasannya dari perspektif yang pastinya berbeda, kesemuanya tetap berorientasi pada Merubah Krisis Menjadi Peluang ini dengan segala kemungkinan penyediaan lahan, membangun infrastruktur, membuka peluang investasi selebar-lebarnya, peningkatan teknologi dan inovasi, serta berbagai rencana besar sesuai dengan bidang masing-masing.94 Konferensi ini pun jelas menjadi sejalan dengan usulan Bank Dunia dan lembaga-lembaga internasional seperti FAO, International Fund for Agricultural Development (IFAD) dan International Institute for Environment and Development (IIED) mengenai peningkatan investasi sebagai panasea krisis pangan. Mereka menengarai bahwa kelaparan bisa terjadi karena persoalan distribusi, dan mekanisme distribusi bisa

93

Susilo Bambang Yudoyono. 2010. Pidato Presiden, Sambutan Pembukaan Seminar dan Pameran Pangan Nasional Pasok Dunia. Sekretariat Kepresidenan: http://www.presidensby.info/index.php/pidato/2010/01/29/1324.html, diakses pada 10/01/2013.

94

KADIN. 2010. Mate i Pe i a a Se i a Nasio al Pasok Du ia: Feed The Wo ld . KADIN: http://www.kadin-indonesia.or.id/id/ftw_materi.php, diakses pada 14/08/2010.

78

diselesaikan oleh pasar melalui investasi, pertumbuhan dan peningkatan daya beli.95

Dalam publikasinya yang berjudul How to Feed the World in 2050, FAO menjelaskan bahwa terdapat tiga prasyarat utama dalam visi dunia bebas kelaparan di tahun 2050, yaitu: Pertama, investasi pada bidang pertanian di Negara-negara berkembang harus ditingkatkan minimal 60% di atas tingkatan yang ada saat ini; Kedua, memberikan kesempatan seluas-luasnya pada penelitian, pengembangan serta perluasan layanan pertanianan; Ketiga, pasar global harus berfungsi secara efektif sebagai titik ketahanan pangan demi mengatasi meningkatnya jumlah Negara yang akan bersandar pada perdagangan dan akses internasional demi kestabilan persediaan bahan- bahan impor. FAO juga menjelaskan bahwa untuk bisa mewujudkan ketiga hal itu, di level nasional, setiap Negara berkembang harus menempatkan

political will sebagai landasan terbaik untuk memberantas kelaparan dimana

good governance, termasuk reformasi institusional, akan ditempatkan pada prioritas tertinggi. Good governance harus mencapai penyediaan kebutuhan mendasar masyarakat, termasuk di dalamnya stabilitas politik, penegakkan hukum, dihormatinya HAM, pemberantasan korupsi dan efektifitas pemerintahan. Oleh karena itu reformasi institusional dibutuhkan untuk menyediakan institusi-institusi yang efektif agar bisa memastikan bahwa daerah-daerah pertanian dan pedesaan dapat mendukung perkembangan

95 Laksmi A. Savitri. Ibid.,

79

dan ketahanan pangan, semua anggota masyarakatnya bisa terorganisir secara memadai dan terwakili dalam proses kebijakan.96

Hal ini secara ringkas disampaikan juga dalam konferensi KADIN tersebut oleh FAO Representative di Indonesia Man Ho So. Yang dibutuhkan (baca: yang harus dilakukan) oleh Negara berkembang adalah:

[I]ncreased investment to sustain productivity growth in technology, infrastructure and institutions also environmental services, sustainable resource management; increase access to food, incomes not just in agriculture, but in other sectors as well; improve ability to adapt and respond to new pressures and uncertainties, [and] improve global governance of food security.97

Jadi, apa yang dimaksud sebagai Feed The World pada ujungnya adalah liberalisasi komoditi pangan yang menghendaki pengembangan sektor pertanian dan energi demi mendukung percepatan dan perluasan perekonomian nasional. Wacana yang berkembang dalam seminar nasional KADIN 2010 tersebut pada akhirnya hanyalah merupakan kampanye dari apa yang telah digagas oleh KADIN dalam roadmap 2009-2015, dimana isu- isu yang digulirkan oleh FAO cukup berperan di dalamnya. Peningkatan inovasi teknologi pada sistem produksi dan pembangunan infrastruktur menjadi prasyarat dari tercapainya target ketahanan pangan hingga surplus untuk memasok dunia, sementara kedua hal tersebut tak mungkin bisa

96

FAO. 2009c. How to Feed the World in 2050. FAO: http://www.fao.org/fileadmin/templates/wsfs/docs/expert_paper/How_to_Feed_the_World _in_2050.pdf diakses pada 19/12/2012.

97

Man Ho So. 2010. Food Security: Current Situation and Long-Term Perspectives. KADIN: http://www.kadin-indonesia.or.id/id/doc/FAO.pdf, diakses pada 28/01/2013.

80

diwujudkan tanpa adanya dukungan yang memadai dari produk-produk kebijakan terkait dan peningkatan iklim investasi internasional.98

c. Arah Kebijakan menuju MIFEE

Dalam arena kebijakan, jalan menuju realisasi gagasan Food and Energy Estate selanjutnya bisa lebih meyakinkan dengan melihat bagaimana isu atau wacana ini tak berjalan sendiri, melainkan bersamaan dan berkorelasi dengan arah dari kebijakan pembangunan Nasional dan Daerah. Hasrat menuju keuntungan ini secara sistematis juga telah terbagun dalam rute produk kebijakan yang memperkuat sandaran legal-formal bagi setiap langkah pemerintah menuju implementasi dan perwujudan di tingkat managerial maupun praksis.

Berangkat dari revisi terhadap UU Penataan Ruang No.24/1992, UU No.26/2007 tentang Penataan Ruang diterbitkan dan dinyatakan bahwa kesadaran atas perkembangan kondisi sosial-ekonomi-politik di Indonesia menuntut dirumuskannya penataan ruang yang baru dan relevan dengan konteks desentralisasi, dimana pemerintah daerah memegang peranan penting dalam tercapainya visi pembangunan nasional berkelanjutan. Demi mewujudkan hal itu, kewenangan nemerintah daerah pun harus disesuaikan dengan arah dari pembangunan nasional. Secara eksplisit ini telah tercantum sebagai pertimbangan dari ditetapkannya UU tersebut:

98 KADIN. Ibid.,

81

[B]ahwa untuk memperkukuh Ketahanan Nasional berdasarkan Wawasan Nusantara dan sejalan dengan kebijakan otonomi daerah yang memberikan

kewenangan semakin besar kepada pemerintah daerah dalam

penyelenggaraan penataan ruang, maka kewenangan tersebut perlu diatur demi menjaga keserasian dan keterpaduan antar daerah dan antara pusat dan daerah agar tidak menimbulkan kesenjangan antar daerah.99

Poin ini menunjukkan hirarki yang terdapat dalam admistrasi Nasional dan proses perencanaan yang top-down, dimana segala bentuk penetapan fungsi ruang – sebagaimana dalam pasal-20 – harus mengacu pada keputusan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.100 Sementara merujuk pada Undang- undang ini, Peraturan Pemerintah No.26/2008 tentang Penataan Ruang yang

Dokumen terkait