• Tidak ada hasil yang ditemukan

HIV/AIDS

Dalam dokumen Bahan ajar akbid LENGKAP (Halaman 95-100)

PERSETUBUHAN, KEBERSIHAN MANDI, IBADAH, MAKANAN DAN MINUMAN TERMASUK AS

C. PANDANGAN AGAMA TERHADAP TINDAKAN MEDIS KEBIDANAN

9. HIV/AIDS

Berikut ini perspektif agama-agama terhadap HIV/AIDS

Sejak awal epidemi HIV di Indonesia selalu muncul pernyataan yang dibalut dengan moral, seperti penanggulangan HIV/AIDS dengan agama, mencegah HIV dengan moral, dll. Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis artinya dapat diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran. Maka, cara pencegahannya pun dapat pula dilakukan dengan teknologi medis yang konkret.

Tapi, karena sejak awal pemerintah, dalam hal ini beberapa menteri kesehatan, selalu mengait-ngaitkan penularan HIV dengan norma, moral dan agama maka sampai sekarang anggapan itu tidak berubah. Bahkan, banyak kalangan yang menilai balutan norma, moral dan agama belakangan ini justru lebih kental daripada di awal-awal epidemi.

Kalau balutan norma, moral dan agama itu bisa menanggulangi epidemi HIV tentulah kasus kumulatif HIV/AIDS dan insiden infeksi baru tidak akan bertambah. Faktanya, sampai Desember 2010 Kemenkes sudah melaporkan 68.927 HIV dan 24.131 AIDS dengan 4.539 kematian. Sedangkan di Jakarta dilaporkan 3.995 AIDS dengan 576 kematian.

Begitu pola dengan anggapan yang mengaitkan sosialisasi kondom untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah akan mendorong laki- laki berzina ternyata dipupus oleh fakta kasus HIV/AIDS di kalangan ibu-ibu rumah tangga. Dilaporkan 1.970 ibu rumah tangga (istri) yang terdeteksi HIV/AIDS. Di Jakarta dilaporkan 12 persen dari kasus HIV/AIDS terdeteksi di kalangan ibu rumah tangga. Ini menunjukkan suami mereka tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan pasangan lain.

Pencegahan HIV dalam perspektif agama Buddha tidak konkret. Disebutkan penularan HIV terjadi (a). Melalui hubungan seksual (homo, maupun heteroseksual) dengan seseorang yang mengidap virus HIV. Tapi tidak ada pencegahan yang ditawarakan.

Disebutkan pula penularan HIV melalui (b). Transfusi darah yang mengandung virus HIV. Pencegahan yang ditawarkan adalah: (b). Tidak menerima transfusi/spesimen darah dari sumber yang tidak jelas dan (c). Bagi pengidap HIV jangan menjadi donor darah. Dari sumber yang dikenal pun bisa saja terjadi sumber yang dikenal itu sudah mengidap HIV karena orang-orang yang sudah tertular HIV tidak menunjukkan gejala khas AIDS sebelum masa AIDS (antara 5-15 tahun setelah tertular HIV). Pencegahan yang konkret adalah hanya menerima darah untuk transfusi dari PMI karena PMI sudah melakukan skrining HIV terhadap darah donor. Orang-orang yang sudah terdeteksi HIVmelalui tes yang sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku tidak akan mendonorkan darahnya. Yang jadi persoalan adalah donor dari orang-orang yang sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi karena ada masa jendela (jika donor menyumbangkan darah di bawah tiga bulan setelah tertular maka hasil skrining HIV di PMI bisa negatif palsu artinya HIV sudah ada di darah tapi tidak terdeteksi karena belum ada antibody HIV).

Sedangkan pencegahan untuk (d) Penularan virus dari ibu hamil yang mengidap virus HIV kepada bayinya disebutkan (a). Bagi wanita pengidap HIV dianjurkan untuk tidak hamil. Ini ngawur. Perempuan yang mengidap HIV sudah hamil tentulah pencegahan pada masa kehamilan bukan melarang perempuan hamil yang mengidap HIV itu hamil lagi. Pencegahan HIV pada penularan vertikal dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya adalah dengan pemberian obat antiretroviral (ARV) dan persalinan dengan operasi Caesar.

Pencegahan HIV dalam perspektif agama Buddha tidak konkret. Disebutkan penularan HIV terjadi (a). Melalui hubungan seksual (homo, maupun heteroseksual) dengan seseorang yang mengidap virus HIV. Tapi tidak ada pencegahan yang ditawarakan.

Disebutkan pula penularan HIV melalui (b). Transfusi darah yang mengandung virus HIV. Pencegahan yang ditawarkan adalah: (b). Tidak menerima transfusi/spesimen darah dari sumber yang tidak jelas dan (c). Bagi pengidap HIV jangan menjadi donor darah. Dari sumber yang dikenal pun bisa saja terjadi sumber yang dikenal itu sudah mengidap HIV karena orang-orang yang sudah tertular HIV tidak menunjukkan gejala khas AIDS sebelum masa AIDS (antara 5-15 tahun setelah tertular HIV). Pencegahan yang konkret adalah hanya menerima darah untuk transfusi dari PMI karena PMI sudah melakukan skrining HIV terhadap darah donor. Orang-orang yang sudah terdeteksi HIVmelalui tes yang sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku tidak akan mendonorkan darahnya. Yang jadi persoalan adalah donor dari orang-orang yang sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi karena ada masa jendela (jika donor menyumbangkan darah di bawah tiga bulan setelah tertular maka hasil skrining HIV di PMI bisa negatif palsu artinya HIV sudah ada di darah tapi tidak terdeteksi karena belum ada antibody HIV).

Sedangkan pencegahan untuk (d) Penularan virus dari ibu hamil yang mengidap virus HIV kepada bayinya disebutkan (a). Bagi wanita pengidap HIV dianjurkan untuk tidak hamil. Ini ngawur. Perempuan yang mengidap HIV sudah hamil tentulah pencegahan pada masa kehamilan bukan melarang perempuan hamil yang mengidap HIV itu hamil lagi. Pencegahan HIV pada penularan vertikal dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya adalah dengan pemberian obat antiretroviral (ARV) dan persalinan dengan operasi Caesar.

Penularan dan Pencegahan HIV Perspektif Hindu

Pencegahan HIV dalam perspektif agama Hindu sama sekali tidak menyebutkan cara-cara yang konkret untuk mencegah penularan HIV yang disebutkan.

Penularan dan Pencegahan HIV Perspektif Islam

Pencegahan HIV dalam perspektif agama Islam juga tidak menyebutkan cara pencegahan melalui hubungan seksual. Sedangkan mencegah (d) Penularan virus dari ibu hamil yang mengidap virus HIV kepada bayinya disebutkan (a). Bagi wanita pengidap HIV dianjurkan untuk tidak hamil. Perempuan yang mengidap HIV sudah hamil tentulah pencegahan pada masa kehamilan bukan melarang perempuan hamil yang mengidap HIV itu hamil lagi. Pencegahan HIV pada penularan vertikal dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya adalah dengan pemberian obat antiretroviral (ARV) dan persalinan dengan operasi Caesar.

Penularan dan Pencegahan HIV Perspektif Katolik

Pencegahan HIV dalam perspektif agama Katolik mengandung mitos. Disebutkan penularan HIV (2). Melalui cairan kelamin (air mani, cairan vagina dalam hubungan seksual) dengan cara pencegahanya adalah: (1). Hindari hubungan seks di luar nikah dan berganti-ganti pasangan, dan (2). Gunakan kondom bagi mereka yang mempunyai pasangan HIV positif. Tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dan hubungan seks di luar nikah. Penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual) jika salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama (kondisi hubungan seksual). Buktinya, 12 persen kasus HIV/AIDS di Jakarta terdeteksi pada ibu rumah tangga. Mereka tertular dari suaminya melalui hubungan seksual di dalam ikatan pernikahan yang sah.

Penuaran dan Pencegahan HIV Perspektif Khonghucu

Pencegahan HIV dalam perspektif agama Konghucu juga tidak komprehensif. Tidak ada cara pencegahan untuk penularan Dari ibu hamil positif HIV kepada bayinya serta Melalui transfusi darah yang mengandung HIV.

Sedangkan cara pencegahan untuk penularan HIV Melalui hubungan seksual yang berisiko dengan pasangan yang terinfeksi HIV disebutkan: Hindari hubungan seksual sebelum menikah, Bersikap saling setia pada pasangan yang sah, Gunakan kondom jika salah satu

pasangan terinfeksi HIV atau infeksi menular seksual. Ini juga mitos karena penularan HIV tidak terkait dengan sifat hubungan seksual. Sesudah menikah pun tetap ada risiko tertular HIV jika dilakukan tanpa kndom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti- ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial atau pelaku kawin-carai.

Penularan dan Pencegahan HIV Perspektif Kristen

Pencegahan HIV dalam perspektif agama Kristen juga tidak konkret. Disebutkan penularan HIV (2). Melalui cairan kelamin (air mani, cairan vagina dalam hubungan seksual) dengan cara pencegahanya adalah: (1). Hindari hubungan seks di luar nikah dan berganti-ganti pasangan, dan (2). Gunakan kondom bagi mereka yang mempunyai pasangan HIV positif. Tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dan hubungan seks di luar nikah.

Pada perspektif agama Katolik dan Kristen disebutkan melalui kontak darah seperti pada facial wajah. Belum ada kasus penularan HIV melalui facial wajah. Padahal, faktor risiko (mode of transmission) HIV secara nasional dan global didominasi oleh hubungan seksual di dalam dan di luar nikah. Pertanyaannya adalah: Mengapa (anjuran) pencegahan tidak menukik ke faktor risiko hubungan seksual?

Bertolak dari fakta tentang pencegahan HIV berdarakan persektif agama seperti yang ada pada leaflet maka bisa dipastikan masyarakat luas tidak akan (pernah) mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan yang konkret. Maka, tidak mengherankan kalau kemudian insiden penuaran HIV baru, terutama di kalangan laki-laki dewasa akan terus terjadi, Ini dapat dipantau dari kasus HV/AIDS pada ibu rumah tangga yang terdeteksi.

Daftar Pustaka

Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2004.

Budiyono, A.P, Membina Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama 1, Jakarta, Kanasius. Smith, Huston. 2004. Agama-agama Manusia. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia

https://id.wikipedia.org/wiki/Kekristenan

Hadikusuma, Hilman. 1983. Antropologi Agama. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Hadiwijono, Harun. 2010. Agama Hindu dan Buddha. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.

Dalam dokumen Bahan ajar akbid LENGKAP (Halaman 95-100)