• Tidak ada hasil yang ditemukan

X 2 Aksesbilitas pada Informas

6. RELASI GENDER RUMAHTANGGA PETANI SAYURAN DATARAN RENDAH

6.2 Hubungan Faktor-faktor Terpilih dengan Relasi Gender pada Rumahtangga Petani Sayuran Dataran Rendah

Relasi gender suatu hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki terlihat pada lingkup gagasan, praktik, dan representasi yang meliputi pembagian kerja, peranan, serta alokasi sumberdaya antara laki-laki dan perempuan. Konteks dalam relasi gender yang menjadi sorotan utama pada penelitian ini hanya terbatas pada pola pengambilan keputusan dalam rumahtangga petani, dikarenakan pola pengambilan keputusan akan lebih menggambarkan arus kekuasaan yang terjadi dalam rumahtangga.

Pola pengambilan keputusan juga dapat menggambarkan siapa yang melakukan apa, siapa yang memiliki tanggungjawab atas apa, dan siapa yang memiliki kekuasaan dalam mengambil keputusan atas apa. Masing-masing faktor dinilai memiliki hubungan yang signifikan terhadap relasi gender. Hal ini dibuktikan dengan melakukan uji korelasi spearman yang terlihat pada Tabel 21. Tabel 21. Hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi relasi gender dalam

rumahtangga petani sayuran di Desa Gempol Sari, 2009

Variabel Faktor yang Berhubungan Relasi Gender

X1 Karakteristik Pribadi Umur 0,776 ** Pendidikan 0,944 ** Lama berusahatani 0,858 ** Pendapatan 0,822 ** Tingkat kekosmopolitan 0,816 **

Tabel 21 (lanjutan)

Variabel Faktor yang Berhubungan Relasi Gender

X2 Aksesibilitas informasi petani 0,572 **

X3 Lingkungan

Budaya 0,609 **

Penguasaan asset akonomi 0,827 **

Interaksi petani dengan tokoh masyarakat 0,429 * Keterangan: * berhubungan nyata (p <0,05); ** berhubungan sangat nyata (p <0,01)

Berdasarkan data pada Tabel 21 terlihat bahwa hubungan yang dibentuk antara faktor pengaruh terhadap relasi gender memiliki hubungan yang sangat nyata serta nyata. Data tersebut menunujukkan bahwa masing-masing faktor yang diukur memiliki pengaruh terhadap perubahan relasi gender dalam rumahtangga petani sayuran di Desa Gempol Sari.

Pengaruh umur terhadap relasi gender ditunjukkan dengan nilai korelasi (rs) 0,776 dengan P – value < α (α = 0,01), (Tabel 21). Sesuai dengan data yang

diperoleh di lapangan bahwa umur yang dimiliki oleh petani berkisar antara 23 hingga 70 tahun dengan proporsi umur produktif (15 tahun hingga 65 tahun) lebih besar. Faktor umur yang tergolong produktif, menyebabkan keinginan untuk bekerja dan tanggungjawab yang dimiliki laki-laki terhadap keluarganya dikategorikan tinggi. Faktor budaya juga memiliki dampak yang cukup besar dalam mengembangkan pola pikir laki-laki. Budaya telah menggariskan tanggungjawab suami adalah menafkahi rumahtangganya serta memiliki kekuasaan penuh terhadap pengambilan keputusan dalam keluarga.

Pada umur petani yang lebih tua dari 65 tahun, petani lebih kooperatif dalam membagi peranan dalam rumahtangga. Mereka telah memberikan akses kepada istri untuk melakukan beberapa kegiatan usahatani dan membuka

kesempatan bagi istri untuk turut memberi masukan dalam pengambilan keputusan, walaupun dalam pengambilan keputusan akhir masih didominasi oleh laki-laki sebagai suami. Artinya adalah bukan berarti relasi yang terbentuk antara laki-laki dan perempuan dalam rumahtangga mengindikasikan bahwa rumahtangga petani telah sadar gender, namun lebih kepada terbukanya peluang yang diberikan kepada istri untuk ikut serta dalam menambah penghasilan rumahtangga.

Fakta diatas sejalan dengan data kualitatif yang diperoleh dari pengamatan terhadap beberapa informan. Menurut pengamatan dan wawancara yang dilakukan, menunjukkan bahwa perempuan dengan usia di atas 50 tahun memiliki peranan yang cukup besar dalam rumahtangga mereka. Hal ini dikarenakan sebagian dari mereka telah menjadi janda dan sebagian lagi memiliki suami dengan umur yang cukup tua. Di dalam rumahtangga mereka, istri dapat melakukan kegiatan di luar rumah dengan menjadi kuli cabut untuk menambah penghasilan rumahtangga. Pada umumnya perekonomian mereka juga kurang baik, sehingga istri juga dibebankan tanggungjawab tambahan disamping mengurus urusan rumahtangga.

Pendidikan merupakan faktor yang berpengaruh signifikan terhadap relasi gender dalam rumahtangga. Hal ini ditunjukkan oleh data pada Tabel 21, dimana hubungan antara pendidikan dan relasi gender memiliki nilai korelasi (rs) 0,944

dengan tingkat akurasi 99 persen. Kondisi ideal yang diharapkan adalah kesempatan mendapatkan pendidikan dengan proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Hal ini dapat meningkatkan kesejahteraan hidup bagi keduanya. Kesempatan yang sama ini akan berpengaruh terhadap relasi antara laki-laki dan

perempuan, dimana perempuan tidak lagi dinomorduakan serta dapat menjadi mitra dalam pengambilan keputusan. Akan tetapi, kenyataanya adalah pendidikan petani masih tergolong rendah. Rendahnya pendidikan menjadi faktor pendukung terus berkembangnya suatu pola pikir yang telah menjadi budaya bahwa perempuan hanya tokoh nomor dua dalam rumahtangga, yang harus patuh terhadap suami. Rendahnya pendidikan suami pun turut berpengaruh melanggengkan budaya patriarkhi. Hal ini dikarenakan mereka akan tetap terpengaruh didikan yang didapat dari orangtua dan keluarga mereka terdahulu tanpa dipengaruhi oleh pola pikir yang lebih maju. Pola yang lebih maju pikir seperti ini dapat mereka peroleh melalui jalur pendidikan formal.

Lama berusahatani juga memiliki hubungan yang nyata dengan relasi gender, hal ini ditunjukkan dengan hasil uji korelasi spearman yang bernilai (rs)

0,816 dimana tingkat kepercayaan 99 persen. Data ini mengindikasikan bahwa lama berusahatani memberikan pengaruh terhadap relasi gender di dalam rumahtangga petani sayuran di Desa Gempol Sari.

Petani sayuran di Desa Gempol Sari sebagian besar memulai usahatani mereka kurang dari 10 tahun. Sehingga pada umumnya petani sayuran kurang memiliki pengalaman dan pengetahuan mengenai usahatani sayuran. Difusi inovasi serta pengetahuan hanya terbatas pada kelompok tani, dan kelompok tani hanya didominasi kaum laki-laki. Perempuan tidak memiliki akses yang besar dalam kelompok tani, dikarenakan keterlibatan dalam kelompok tani membutuhkan alokasi waktu yang lebih besar dan hal ini sangat berpotensi mengurangi waktu mereka untuk melakukan kegiatan domestik. Sehingga laki- laki memutuskan untuk tidak melibatkan perempuan dalam kelompok tani.

Subfaktor tingkat kekosmopolitan petani juga memiliki hubungan yang sangat nyata berdasarkan hasil uji korelasi spearman dengan nilai korelasi (rs)

0,816 dan tingkat kepercayaan sebesar 99 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat kekosmopolitan petani memiliki pengaruh terhadap perubahan relasi gender dalam rumahtangga petani sayuran di Desa Gempol Sari.

Tingkat kekosmopolitan petani yang tergolong rendah merupakan salahsatu alasan kurangnya perolehan informasi dan keterbukaan petani terhadap informasi lain, termasuk permasalahan gender. Pengetahuan tentang permasalahan gender terikat pada interaksi dengan seseorang atau pihak lain yang memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang gender, umumnya hal tersebut berada di luar lingkungan petani.

Hal yang sama juga ditunjukkan oleh hubungan antara tingkat pendapatan dan relasi gender. Tingkat pendapatan berdasarkan hasil uji korelasi spearman

memiliki hubungan yang sangat nyata dengan nilai korelasi (rs) sebesar 0,822

dengan tingkat kepercayaan sebesar 99 persen.

Hal di atas berarti nilai pengukuran variabel tingkat pendapatan yang rendah dari petani, berhubungan positif dengan relasi gender. Apabila terjadi kenaikan pada salah satu variabel, maka akan berdampak pada naiknya variabel pembanding. Data tersebut juga ditunjang oleh fakta di lapangan bahwa sebagian besar petani sayuran di Desa Gempol Sari memiliki pendapatan yang rendah, sehingga akan berpengaruh pada tingkat pendidikan serta tingkat kekosmopolitan mereka. Kedua hal inilah yang dapat menjadi faktor positif terhadap penurunan pemahaman tentang relasi gender.

Angka koefisien peringkat spearman (rs) yang bertanda positif,

menunjukkan bahwa terdapat hubungan searah antara tingkat aksesibilitas informasi petani (pada usahatani dan gender) dengan relasi gender dalam rumahtangga. Tingginya frekuensi terhadap akses serta kedekatan petani terhadap informasi menjadi faktor penentu dari keharmonisan relasi gender dalam rumahtangga mereka.

Selain itu, ketersediaan media informasi seperti televisi dan radio belum dimanfaatkan secara maksimal. Suami lebih banyak menghabiskan waktu mereka di lahan pertanian untuk melakukan kegiatan produksi, sedangkan istri selalu disibukkan dengan kegiatan rumahtangga dimulai dari menyiapkan persiapan suami ke sawah, mempersiapkan keperluan anak-anak, menyediakan makanan, melakukan kegiatan sehari-hari di rumah seperti menyetrika, mencuci baju dan sebagainya. Menyalakan televisi biasanya dilakukan pada sore hari, dimana televisi hanya sekedar dijadikan sarana hiburan guna melepas lelah. Tidak terdapat upaya mereka untuk menggali informasi dari media televisi maupun radio, padahal cukup banyak informasi yang dapat menunjang kegiatan mereka termasuk pula informasi yang akan memberi pemahaman tentang relasi gender.

Menurut data hasil uji spearman pada Tabel 21 terlihat bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara berbagai faktor, dengan relasi gender. Nilai rata-rata pengukuran hubungan tersebut yaitu p – value 0,000 dengan tingkat kepercayaan 99 persen (α = 0,001). Namun, pada sub-faktor interaksi dengan tokoh masyarakat p – value yang diperoleh adalah 0,016 dengan tingkat kepercayaan 95 persen (α = 0,05). Data ini menunjukkan adanya kedekatan antara responden dengan tokoh masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan dengan

kedekatan yang relatif tinggi. Akan tetapi, kedekatan yang tinggi tersebut tidak bersamaan dengan kenaikan keharmonisan relasi gender dalam rumahtangga. Hal ini dikarenakan kedekatan mereka dengan tokoh masyarakat hanya sebatas pada saling mengenal, saling berinteraksi dan mengadakan pertemuan, tidak ada pertukaran informasi yang mampu meningkatkan pemahaman dan pengetahuan terkait permasalahan gender.

Keharmonisan relasi gender dalam rumahtangga berhubungan oleh budaya yang berkembang dan mengikat pada masyarakat secara umum. Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti, terlihat bahwa kedudukan perempuan sangat terikat dengan kesibukan domestik yang telah menjadi kewajiban bagi mereka. Budaya juga menghambat perempuan untuk mendapatkan akses bahkan kontrol terhadap berbagai sumberdaya yang tersedia.

Hal lain yang terlihat pada penelitian ini yaitu terdapat hubungan sangat nyata antara luas lahan, dengan keterlibatan perempuan dalam berusaha tani. Semakin besar luas lahan yang dimiliki oleh petani maka semakin besar kesempatan bagi perempuan untuk terlibat dalam usahatani. Hal ini dikarenakan banyaknya pengeluaran yang dibutuhkan petani seiring besarnya luas lahan, sehingga perempuan dilibatkan dengan tujuan untuk mengurangi biaya produksi.

7. KESIMPULAN DAN SARAN