(Kasus Rumahtangga Petani Rawa Banteng, Desa Gempol Sari, Kecamatan
Sepatan Timur, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten)
SINTA RAHMI PUTRI
DEPARTEMEN
SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
Lowlands (Case of farmer households of Rawa Banteng, Gempol Sari Village, District of East Sepatan, Tangerang District, Banten Province) under guidance of AIDA VITAYALA S. HUBEIS)
Gender inequalities often occur tend to make women as subjects who are always harmed, particularly for rural women. More detailed study aims to look at and identify the factors associated with gender relations, and analyzing gender relations in peasant households in particular horticultural commodity vegetables. These factors are: farmers characteristic, farmers' accessibility to information, and environmental factors. While gender relations are analyzed by looking at the access, control, division of works and decision-making within households.
The method used is a quantitative approach that is supported by qualitative analysis to provide a broad picture of gender relations within households. Quantitative data obtained are processed by using Microsoft excel 2007, to tabulate the frequency, and SPSS 15.0 was used to measure the correlation between variables using Spearman rank analysis. While qualitative data are presented descriptively.
This research produced some gender inequalities in a flow amount of time charged to the women of 19.9 hours per day. In addition, women's limited access is clearly seen, where women are only given a chance in harvest period in whole the production process, in addition to their obligations in domestic activities. Most of the productive activities performed by men.
SINTA RAHMI PUTRI. Relasi Gender pada Rumahtangga Petani Sayuran Dataran Rendah. (Kasus Rumahtangga Petani Rawa Banteng, Desa Gempol Sari, Kecamatan Sepatan Timur, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten) (di bawah bimbingan AIDA VITAYALA S. HUBEIS)
Penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian tidak diimbangi dengan akses
dan kontrol perempuan terhadap sektor pertanian. Hal ini sejalan dengan beberapa
hasil penelitian yang menyatakan bahwa mayoritas perempuan di perdesaan
kurang memiliki akses terhadap sumberdaya pertanian seperti terbatasnya akses
dan hak atas lahan dan sumberdaya lainnya. Fakta lainnya adalah terdapatnya
ketimpangan terhadap perempuan dimana upah yang diterima oleh perempuan
hanya 70 persen dari upah laki-laki, kebanyakan rumahtangga miskin dikepalai
oleh perempuan, dan lebih dari 43 persen pengangguran di desa adalah
perempuan. Di samping itu, yang membebani perempuan adalah tanggungjawab
domestik menyebabkan perempuan perdesaan bekerja lebih lama dengan curahan
waktu rataan 16 jam perhari.
Ketimpangan dalam perlibatan laki-laki dan perempuan dalam usahatani
baik partisipasi dalam kegiatan maupun dalam pengambilan keputusan
menyebabkan salahsatu pihak yang kebetulan adalah perempuan ditempatkan
pada posisi subordinat, meskipun kebanyakan dari hal tersebut tidak disadari oleh
perempuan itu sendiri.
Penelitian ini mengkaji mengenai bagaimana relasi gender yang terdapat di
dalam rumahtangga petani sayuran di kawasan dataran rendah, Desa Gempol Sari.
Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
faktor-faktor yang berhubungan dengan relasi gender dalam rumahtangga petani sayuran,
dan menganalisis relasi gender petani dalam rumahtangga dengan melihat tiga
aspek penting yaitu, akses dan kontrol, pembagian kerja dan pengambilan
keputusan dalam rumahtangga.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif
informasi lebih jauh tentang cara masyarakat mengelola usahatani.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh rumahtangga petani yang
terdaftar ke dalam Poktan Rawa Banteng di Desa Gempol Sari, Kecamatan
Sepatan Timur, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten yakni sebanyak 45
rumahtangga. Responden adalah anggota rumahtangga petani baik laki-laki
(suami) atau perempuan (istri) yang terlibat dalam usahatani. Dari 45 anggota
Poktan Rawa Banteng tersebut, dipilih 31 rumahtangga petani secara acak
sederhana (simple random sampling) dengan menggunakan rumus Slovin dengan
nilai kritis sebesar 10 persen. Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan
menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif diolah dengan
menggunakan microsoft office excel 2007, untuk tabulasi frekuensi, kemudian SPSS 15.0 dengan memakai analisis Rank Spearman untuk mengukur korelasi antarvariabel. Data kualitatif disajikan secara deskriptif yang diperoleh dari
wawancara mendalam dan observasi langsung di lapangan. Analisis kualitatif
dilakukan untuk mendukung dan memperkuat analisis kuantitatif.
Hasil penelitian yang diperoleh adalah faktor-faktor terpilih seperti
karakteristik pribadi petani, aksesibilitas informasi dan lingkungan memiliki
hubungan yang sangat signifikan dan bernilai positif melalui uji korelasi
spearman dengan nilai nilai P – value < α, dimana uji berlaku pada tingkat kepercayaan 99 persen (α = 0,01).
Curahan waktu terbanyak dimiliki oleh perempuan dewasa dengan ranah
kegiatan reproduktif, produktif, dan sosial kemasyarakatan dengan rataan 19,9
jam perharinya. Curahan waktu ini mayoritas dihabiskan oleh perempuan di sektor
domestik dengan ragam kegiatan seperti mencuci, memasak, mengasuh anak, dan
menyiapkan keperluan suami atau melayani suami. Sedangkan keterlibatan
perempuan di kegiatan produktif sebagian besar terbatas pada mencabut dan
mengikat sayuran pada akhir periode tanam. Sedangkan, curahan waktu laki-laki
adalah 15,4 jam perharinya dengan mayoritas kegiatan yang dilakukan adalah di
sektor produktif yaitu mengelola lahan pertanian sayuran dengan memegang
Pola pengambilan keputusan yang terdapat di dalam rumahtangga petani
masih didominasi oleh laki-laki sebagai kepala keluarga. Perempuan hanya
memiliki dominasi kekuasaan dalam mengambil keputusan pada kegiatan
domestik. Meskipun demikian keputusan secara dominan masih dipegang oleh
(Kasus Rumahtangga Petani Rawa Banteng, Desa Gempol Sari,
Kecamatan Sepatan Timur, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten)
Oleh:
SINTA RAHMI PUTRI
I34053342
Skripsi
Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada
Fakultas Ekologi Manusia
DEPARTEMEN
SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN
MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia,
Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Aida Vitayala. S. Hubeis, MSc 19470928 197503 2 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS 19550630 198103 1 003
Tanggal Lulus:_______________________
Nama : Sinta Rahmi Putri
NRP : I34053342
Departemen : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Judul Skripsi Relasi Gender pada Rumahtangga Petani Sayuran
Dataran Rendah (Kasus Rumahtangga Petani
Rawa Banteng, Desa Gempol Sari, Kecamatan
Sepatan Timur, Kabupaten Tangerang, Provinsi
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL
”RELASI GENDER PADA RUMAHTANGGA PETANI SAYURAN DATARAN RENDAH (KASUS PETANI RUMAHTANGGA PETANI RAWA BANTENG, DESA GEMPOL SARI, KECAMATAN SEPATAN TIMUR,
KABUPATEN TANGERANG, PROVINSI BANTEN)” BELUM PERNAH
DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA LAIN
MENAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK
TERTENTU SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI
BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG
BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH
PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI RUJUKAN YANG DINYATAKAN
DALAM NASKAH.
Bogor, Januari 2010
juli 1987, sebagai anak ketujuh dari pasangan Bapak Thamrin Chan dan Ibu
Sumarni.
Pada tahun 1999 penulis menamatkan pendidikan dasar di SDN 07
Bukittinggi, Kecamatan ATTS. Kemudian pada tahun 2002 penulis juga
menamatkan pendidikannya di SLTPN 02 Bukittinggi, Kelurahan Tarok Dipo.
Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke SMUN 3 Bukitinggi
dan lulus pada tahun 2005.
Pada tahun yang sama penulis di terima menjadi mahasiswa Institut
Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada
Fakultas Ekologi Manusia, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat.
Selama menempuh kegiatan akademik, penulis pernah aktif sebagai staf
Divisi Research dan Pengembangan Masyarakat pada Himpunan Profesi
Mahasiswa, HIMASIERA pada tahun 2007. Kemudian penulis juga pernah
menjadi Wakil Bendahara Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ekologi
Manusia pada tahun 2008. Penulis juga aktif menjadi panitia kegiatan
kemahasiswaan di lingkungan fakultas. Selain itu, penulis juga pernah menjadi
asisten praktikum mata kuliah Komunikasi Bisnis selama dua semester pada tahun
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, karena atas segala rahmat
dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Relasi Gender pada Rumahtangga Petani Sayuran Dataran Rendah (Kasus
Rumahtangga Petani Rawa Banteng, Desa Gempol Sari, Kecamatan Sepatan
Timur, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten)”. Skripsi ini merupakan syarat
kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Skripsi ini menjelaskan mengenai relasi gender yang ada di dalam
rumahtangga petani hortikultura dengan komoditas tanaman sayuran. Relasi
gender dilihat dari akses, kontrol, pembagian kerja dan bagaimana pengambilan
keputusan dalam rumahtangga terkait kegiatan reproduktif, produktif dan sosial
kemasyarakatan.
Bogor, Januari 2010
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Populasi penduduk miskin menurut data BPS (2008) di Indonesia pada
bulan Maret 2008 adalah sebesar 34,96 juta orang (15,42%), dan jika
dibandingkan dengan penduduk miskin pada bulan Maret 2007 yang berjumlah
37,17 juta orang (16,58%), berarti terdapat penurunan sebesar 2,21 juta orang
(BPS 2008). Angka ini cukup menggembirakan dimana setiap tahunnya terjadi
pengurangan penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.
Analisis yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS)
mengenai penurunan angka kemiskinan yang terjadi diakibatkan oleh beberapa
faktor yang salahsatu diantaranya adalah sekitar 70 persen penduduk miskin
berada di daerah perdesaan dan bekerja di sektor pertanian, baik tanaman pangan
maupun tanaman hortikultura (sayuran, tanaman buah-buahan, hias, dan
obat-obatan). Hal ini didukung dengan data BPS (2006), dimana lapangan usaha yang
paling banyak menyerap tenaga kerja secara berturut-turut adalah pertanian,
perdagangan, dan industri dengan proporsi masing-masing sebesar 44,5 persen,
19,5 persen, dan 12,2 persen.
Pembangunan pertanian mempunyai peranan strategis dalam penyerapan
tenaga kerja di Indonesia, yaitu dengan tingginya penyerapan tenaga kerja sekitar
44 persen dari 91 juta penduduk yang bekerja (BPS 2004). Selanjutnya, data
Survai Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2009 menunjukkan bahwa dari
sejumlah 104 juta penduduk berumur 15 tahun ke atas, terdapat 43 juta orang
Pentingnya sektor pertanian dalam penurunan jumlah penduduk yang miskin dan
dalam penyediaan lapangan kerja menyebabkan banyaknya program-program
pemerintahan yang menunjang perkembangan sektor pertanian di tiap daerah.
Provinsi Banten merupakan salahsatu provinsi dengan sektor unggulan
pertanian yang mampu menunjang ekonomi wilayah yakni subsektor tanaman
pangan dengan hasil produksi padi dan tanaman hortikultura berupa sayuran.
Salahsatu agroekosistem pertanian yang sangat berperan dalam penyediaan
pangan masyarakat di Provinsi Banten adalah lahan sawah. Luas lahan sawah
pada tahun 2001 tercatat 202.970 ha, diantaranya seluas 113.219 ha merupakan
sawah irigasi dan 89.751 ha sawah tadah hujan (BPS 2002).
Jumlah penduduk di Kabupaten Tangerang tergolong paling tinggi yaitu
3.185.944 jiwa yang tersebar di 26 Kecamatan dan sebagian besar
menggantungkan hidup dari sektor pertanian baik tanaman pangan maupun
hortikultura dengan komoditas sayuran. Hal ini berkorelasi dengan ketersediaan
produksi untuk konsumsi penduduk yang cenderung mengalami peningkatan.
Sejak diberlakukannya otonomi daerah tahun 1999, Pemerintah Daerah
menghadapi tantangan untuk dapat meningkatkan nilai tambah (ekonomi) pada
sektor pertanian dengan cara menumbuhkan sistem usaha pertanian yang dapat
meningkatkan kesejahteraan petani, baik laki-laki maupun perempuan.
Permasalahannya adalah besarnya penyerapan tenaga kerja di sektor
pertanian ini tidak diimbangi dengan akses dan kontrol perempuan terhadap sektor
pertanian. Hal ini selaras dengan beberapa hasil penelitian terdahulu seperti
Fausia dan Prasetyaningsih (2005) yang sebagian besar menyatakan bahwa
pertanian seperti terbatasnya akses dan hak atas lahan dan sumberdaya lainnya.
Tanpa akses dan sumberdaya yang memadai perempuan perdesaan tidak dapat
menerima insentif yang cukup untuk mengelola sumberdaya alam dan
konsekuensinya pembangunan perdesaan akan terhambat (Rwelamira dalam
Hartomo 2007). Perbedaan akses antara laki-laki dan perempuan tersebut menjadi
penyebab terjadinya kesenjangan gender. Kondisi ini pada akhirnya berdampak
pada lemahnya kontrol, manfaat, dan partisipasi perempuan dalam kegiatan
usahatani secara keseluruhan.
Fakta lainnya terkait ketimpangan gender yang menurut Vitayala (2007) di
antaranya adalah terdapatnya ketimpangan terhadap perempuan dimana upah yang
diterima oleh perempuan hanya 70 persen dari upah laki-laki, kebanyakan
rumahtangga miskin dikepalai oleh perempuan, dan lebih dari 43 persen
pengangguran di desa adalah perempuan. Di samping itu, yang membebani
perempuan adalah tanggungjawab domestik menyebabkan perempuan perdesaan
bekerja lebih lama dengan curahan waktu rataan 16 jam perhari.
Keterlibatan seluruh keluarga dalam mengelola usahatani mutlak
dibutuhkan. Keterlibatan perempuan memiliki peran yang besar dalam keluarga
baik untuk kegiatan rumahtangga maupun kegiatan ekonomi yang dapat
menunjang pendapatan rumahtangga. Perempuan (istri petani) secara langsung
maupun tidak langsung terlibat dan ikut bertanggungjawab dalam mengelola
kegiatan usaha yang berhubungan dengan peningkatan kesejahteraan keluarga.
Selain itu, tidak saja laki-laki, bahkan perempuan juga dituntut mencurahkan
Sejak persiapan lahan sampai pada pemasaran hasil produksi, perhatian
terhadap perempuan masih rendah. Padahal peranan dan keterlibatan perempuan
dalam pengelolaan usahatani cukup besar, terutama dalam kegiatan pengelolaan
ternak, pemupukan tanaman dan pemasaran hasil (Setiani dalam Haryani 2004). Ketimpangan dalam pelibatan laki-laki dan perempuan dalam usahatani
baik partisipasi dalam kegiatan maupun dalam pengambilan keputusan
menyebabkan salahsatu pihak yang kebetulan adalah perempuan ditempatkan
pada posisi subordinat, meskipun kebanyakan dari hal tersebut tidak disadari oleh
perempuan itu sendiri.
Untuk itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana relasi gender
yang terjadi pada usahatani sayuran yang dimiliki oleh petani sayuran di daerah
dataran rendah dengan melihat potret petani di Desa Gempol Sari.
1.2 Masalah Penelitian
Banyaknya fenomena-fenomena ketimpangan relasi antara laki-laki dan
perempuan yang terjadi dalam kehidupan menyebabkan topik pembicaraan
mengenai relasi gender telah menjadi pembicaraan yang banyak diminati oleh
berbagai kalangan. Perempuan dalam berbagai peran cenderung selalu
ditempatkan dalam posisi yang tidak setara dalam pembangunan. Berkaitan
dengan hal tersebut, permasalahan yang perlu dijawab melalui penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Faktor-faktor apakah yang berhubungan dengan relasi gender dalam
rumahtangga petani sayuran di daerah dataran rendah?
2. Bagaimana relasi gender dalam rumahtangga petani sayuran di daerah
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini yaitu:
1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan relasi gender
dalam rumahtangga petani sayuran di daerah dataran rendah.
2. Menganalisis relasi gender dalam rumahtangga petani sayuran di daerah
dataran rendah.
1.4 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan baik bagi peneliti sebagai
upaya untuk menerapkan konsep dan teori gender dan pembangunan dalam
melihat dan memahami kehidupan sosial di dalam masyarakat.
Bagi akademisi yang meminati masalah gender, diharapkan dapat
memperkaya khasanah pengetahuan mengenai relasi gender yang terjadi di dalam
rumahtangga petani khususnya petani sayuran di daerah dataran rendah.
Bagi pemangku kepentingan atau pemerintah penelitian ini diharapkan
dapat menambah masukan dalam kebijakan terkait kepentingan laki-laki dan
2. PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Konsep Gender
Gender menurut pendapat Wood (2001) yang dicuplik oleh Mugniesyah
(2005) merupakan suatu bentukan atau kontruksi sosial mengenai perbedaan
peran, fungsi, serta tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan serta
bagaimana laki-laki berperilaku maskulin dan perempuan berperilaku feminin
menurut budaya yang berbeda-beda. Relasi gender secara lebih luas dapat
dikatakan sebagai sebuah faktor penentu yang dapat menentukan akses terhadap
pendidikan, pekerjaan, sumberdaya, kesehatan, harapan hidup, dan kebebasan
dalam bergerak dan kebebasan dalam menentukan pilihan. Relasi gender dapat
berubah dan berbeda dari satu budaya, kawasan dan wilayah tertentu. Istilah
gender merupakan penafsiran masyarakat tentang perbedaan peranan, fungsi, dan
tanggungjawab antara perempuan dan laki-laki yang merupakan bentukan yang
terjadi dalam waktu yang lama mengikuti perkembangan zaman dan lingkungan
masyarakat sehingga menjadi suatu kebudayaan yang kerapkali mempengaruhi
interaksi antar-masyarakat (laki-laki dan perempuan) (Fakih 1996).
Konsep gender diartikan sebagai perbedaan-perbedaan (dikotomi) sifat
perempuan dan laki-laki yang dikontruksikan oleh sistem nilai budaya dan
struktur sosial dimana perempuan dan laki-laki menjadi anggotanya dan kemudian
menentukan peranan dan status perempuan dan laki-laki dalam kehidupan pribadi,
keluarga, masyarakat, dan bernegara. Sehubungan dengan hal tersebut, analisis
gender perlu dilakukan dalam tingkatan keluarga, masyarakat, dan negara. Di
kerja antara perempuan dan laki-laki dalam kegiatan produktif, reproduktif, dan
pengelolaan kelembagaan masyarakat serta curahan waktu dalam kegiatan
tersebut, (2) akses dan kontrol perempuan terhadap sumberdaya keluarga (lahan,
anak, harta, dan pendidikan). Di tingkat masyarakat, analisis gender menyoroti
akses dan kontrol laki-laki serta perempuan terhadap sumberdaya yang mencakup
informasi, kredit, teknologi, pendidikan/penyuluhan/ pelatihan, sumberdaya alam,
peluang bekerja, dan berusaha, sementara di tingkat negara atau pemerintahan
dapat dipelajari melalui kebijaksanaan pembangunannya (Connel 1988; Feldstein
dan Poats 1989; FAO 1990; Anonymous (1991) dalam Mugniesyah 2002)). Perbedaan gender sesungguhnya tidak menimbulkan permasalahan
sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun,
yang menjadi persoalan adalah jika perbedaan gender telah melahirkan berbagai
ketidakadilan baik bagi kaum laki-laki maupun perempuan. Ketidakadilan gender
merupakan sistem dan struktur dimana baik laki-laki maupun perempuan menjadi
korban dalam sistem tersebut. Perbedaan gender dapat menimbulkan
permasalahan seputar ketidakadilan gender yang mencakup stereotipe, beban
kerja, subordinasi, marjinalisasi, dan kekerasan. (Fakih 1996). Menyusul
pernyataan tersebut, Mugniesyah mengatakan bahwa perbedaan jenis kelamin
telah mempengaruhi manusia untuk memberi persepsi identitas peranan gender
atau mengakibatkan perbedaan peranan gender (Mugniesyah 2006).
Perbedaan seks seringkali menjadi landasan masyarakat untuk
mengotakkan peran perempuan dan laki-laki. Seorang perempuan yang berperan
sebagai ibu dengan kemampuan reproduktif untuk melahirkan dan menyusui
pengasuhan yang berkorelasi dengan ”ibu”. Sedangkan laki-laki diberikan status
sebagai ”si pencari nafkah”. Status ini mewajibkan mereka untuk berupaya
terhadap pemenuhan nafkah keluarga yang kemudian menjadikan peran produktif
dekat dengan laki-laki (Mugniesyah 2006).
Peran dan Relasi Gender
Peran gender adalah peranan yang dilakukan perempuan dan laki-laki
sesuai status, lingkungan, budaya, dan struktur masyarakatnya. Adapun yang
dimaksud dengan peranan gender adalah perilaku yang diajarkan pada setiap
masyarakat, komunitas, dan kelompok sosial tertentu yang menjadikan aktivitas,
tugas-tugas, dan tanggungjawab tertentu dipersepsikan sebagai peran perempuan
dan laki-laki. Moser (1993) berpendapat seperti yang telah dicuplik oleh
Mugniesyah (2006) mengemukakan adanya tiga kategori peranan gender yaitu:
1. Peranan produktif, yakni peranan yang dikerjakan perempuan dan laki-laki
untuk memperoleh bayaran/upah secara tunai atau sejenisnya. Termasuk
produksi pasar dengan suatu nilai tukar, dan produksi rumahtangga/subsisten
dengan nilai guna, tetapi juga suatu nilai tukar potensial. Contohnya: kegiatan
bekerja baik di sektor formal maupun informal.
2. Peranan reproduktif, yakni peranan yang berhubungan dengan tanggungjawab
pengasuhan anak dan tugas-tugas domestik yang dibutuhkan untuk menjamin
pemeliharaan dan reproduksi tenaga kerja yang menyangkut kelangsungan
tenaga. Contoh: melahirkan, memelihara dan mengasuh anak, mengambil air,
memasak, mencuci, membersihkan rumah, memperbaiki baju, dan lain
3. Peranan pengelolaan masyarakat dan politik. Peranan ini dibedakan ke dalam
dua kategori berikut:
a. peranan pengelolaan masyarakat (kegiatan sosial), yang mencakup
semua aktivitas yang dilakukan dalam tingkat komunitas sebagai
kepanjangan peran reproduktif, bersifat sukarela (volunteer), dan tanpa
upah.
b. pengelolaan masyarakat politik, yakni peranan yang dilakukan pada
tingkat pengorganisasian komunitas pada tingkat formal secara politik,
biasanya dibayar (langsung ataupun tidak langsung), dan
meningkatkan kekuasaan atau status.
Peranan gender berhubungan dengan relasi gender yang menurut Agarwal
(1994) dalam Mugniesyah (2006) diartikan sebagai suatu hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki yang terlihat pada lingkup gagasan, praktik dan
representasi yang meliputi pembagian kerja, peranan, dan alokasi sumberdaya
antara laki-laki dan perempuan.
Grijins dkk (1992) menegaskan bahwa pembagian kerja antara laki-laki
dan perempuan masih dipengaruhi oleh nilai dan norma masyarakat, dimana
semua jenis pekerjaan yang bersifat domestik atau feminin yang menggunakan
teknologi tradisional yang tidak memerlukan tenaga kerja yang kuat dominan
dikerjakan oleh perempuan.
Kesetaraan dan Keadilan Gender
Menurut konsep ILO dalam Mugniesyah (2007), pengertian tentang keadilan gender (gender equity) merupakan keadilan perlakuan bagi laki-laki dan
setara atau perlakuan yang berbeda akan tetapi dalam koridor pertimbangan
kesamaan dalam hak-hak, kewajiban, kesempatan-kesempatan, dan manfaat.
Selanjutnya, kesetaraan gender (gender equality) adalah suatu konsep yang
menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kebebasan untuk
mengembangkan kemampuan personal mereka dan membuat pilihan-pilihan tanpa
pembatasan oleh seperangkat stereotipe, prasangka, dan peran gender yang kaku.
Dalam hal ini kesetaraan gender bukanlah berarti laki-laki dan perempuan
menjadi sama, akan tetapi pada hak-hak, tanggungjawab, dan kesempatan mereka
yang tidak ditentukan karena mereka terlahir sebagai laki-laki dan perempuan
(ILO 2001 dalam Mugniesyah 2007).
2.1.2 Usahatani dan Rumatangga Pertanian
Definisi usahatani menurut Rifai dalam Soehardjo (1973) ialah setiap organisasi dari alam tenaga kerja dan modal, yang ditujukan pada produksi di
lapangan pertanian. Ketatalaksanaan organisasi itu sendiri diusahakan oleh
seseorang atau sekumpulan orang. Dari batasan itu dapat diketahui bahwa
usahatani terdiri atas manusia petani (bersama keluarganya), tanah (bersama
dengan fasilitas yang ada di atasnya seperti bangunan-bangunan, saluran air), dan
tanaman ataupun hewan ternak. Usahatani merupakan unit usaha yang dilakukan
oleh petani dalam mempengaruhi komponen agroekosistem dan interaksinya
untuk mendapatkan hasil dalam bentuk tanaman, ternak, ikan baik di lahan basah
maupun lahan kering, dimana hasilnya dimaksudkan untuk digunakan oleh
keluarganya sendiri atau dijual untuk mencapai status sosial serta untuk
konservasi tanah, air, dan keanekaragaman hayati (Baliwati 2001). Kemudian
yang mengorganisasikan alam, tenaga kerja, dan modal yang ditujukan untuk
produksi di bidang pertanian. Usahatani merupakan kegiatan yang memanfaatkan
faktor produksi (sumberdaya modal, tenaga kerja dan alam) dalam proses
produksinya untuk diolah guna menghasilkan produk yang berguna bagi
kelangsungan hidup manusia baik dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan
secara subsisten ataupun secara komersil.
Menurut Moser dalam Soehardjo (1973) pengelolaan usahatani adalah kemampuan petani dalam menentukan, mengorganisasi, dan mengkoordinasi
penggunaan faktor-faktor produksi seefektif mungkin sehingga produksi pertanian
memberikan hasil yang lebih baik. Pengelolaan usahatani terdiri dari beberapa
tahapan pengambilan keputusan. Selanjutnya, dalam pengambilan keputusan
menurut Moser dalam Soehardjo (1973), petani dihadapkan pada berbagai prinsip usahatani yaitu:
1. Penentuan perkembangan harga.
Pengetahuan tentang harga faktor produksi dan komoditas yang akan
diusahakan relatif penting karena keuntungan usaha tergantung pada harga
yang berlaku.
2. Kombinasi beberapa cabang usaha.
Jika terdapat lebih dari satu cabang usaha, seorang petani akan dihadapkan
pada pilihan kombinasi yang baik sehingga didapatkan keuntungan yang
3. Pemilihan cabang usaha.
Penentuan cabang usahatani, tipe usahatani, produktivitas tanah, persediaan
tenaga kerja, biaya mendirikan cabang usaha, dan keadaan harga di waktu
cabang usaha itu menghasilkan.
4. Penentuan cara produksi yang terdiri dari penentuan jumlah dan jenis pupuk
yang digunakan, jarak tanam, cara bercocok tanam, dan sebagainya.
5. Pembelian saran produksi yang diperlukan.
Petani perlu menentukan apakah uang yang dimilikinya hendak digunakan
untuk membeli makanan, pupuk, atau membeli peralatan.
6. Pemasaran hasil pertanian.
Masalah pemasaran yang sering dihadapi adalah waktu, tempat, cara
penjualan, kualitas produksi, cara pengepakan yang efisien, alat yang
digunakan, dan lain-lain.
7. Pembiayaan usahatani yaitu biaya jangka panjang (biaya pengembangan dan
perluasan usaha) dan biaya jangka pendek (biaya pertanaman, biaya perbaikan
alat, serta biaya hidup petani dan keluarganya selama menunggu musim
panen).
8. Pengelolaan modal dan pendapatan.
Perubahan usahatani ke arah yang lebih komersil untuk memperoleh
peningkatan pendapatan merupakan masalah karena kurangnya modal yang
mereka miliki. Pendapatan yang diperoleh dari hasil produksi kebanyakan
ditujukan untuk konsumsi keluarga.
Sehubungan dengan rumahtangga pertanian, Nurhilailah (2003) dalam
yang sekurang-kurangnya satu anggota rumahtangganya melakukan kegiatan
bertani atau berkebun, menanam tanaman kayu-kayuan, budidaya ikan,
melakukan perburuan atau penangkapan satwa liar, mengusahakan ternak seperti
unggas atau berusaha dalam jasa pertanian dengan tujuan sebagian atau seluruh
hasilnya dijual atau untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan atas resiko
sendiri. Rumahtangga petani monokultur sayuran adalah rumahtangga yang
salahsatu atau lebih anggota rumahtangga memiliki kegiatan utama
mengusahakan tanaman sayuran dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya
dijual atau untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan atau resiko sendiri.
Roger dan Shoemaker dalam Hartomo (2007) menyatakan terdapat tiga karakteristik yang melekat pada masyarakat petani sebagai adopter inovasi yaitu
status sosial ekonomi, kepribadian, dan perilaku komunikasi. Karakteristik sosial
ekonomi meliputi umur, tingkat pendidikan, tingkat melek huruf, status sosial,
mobilitas sosial, luas lahan, orientasi usaha, dan sikap terhadap kredit.
Karakteristik kepribadian diantaranya empati, dogmatisme, sikap terhadap
perubahan, sikap terhadap resiko, aspirasi (terhadap pekerjaan dan pendidikan),
serta motivasi, sementara perilaku komunikasi mencakup partisipasi sosial,
integrasi sosial, perilaku kosmopolit, serta kontak dengan penyuluh, dan media
massa.
Berpijak dari konsep tersebut, maka karakteristik petani adalah ciri-ciri
yang melekat pada individu petani yang dapat membedakannya dengan petani
lainnya. Dalam penelitian ini karakteristik pribadi petani akan dibatasi pada
lingkup: (1) pendidikan formal yang dialami petani, (2) umur, (3) pengalaman
Istilah pendidikan yang dibatasi oleh Padmowihardjo (1994) dalam
Subagio (2008) adalah sebagai usaha mengadakan perubahan perilaku
berdasarkan ilmu-ilmu dan pengalaman-pangalaman yang sudah diakui dan
diterima oleh masyarakat. Lebih lanjut, Winkel (2006) dalam Subagio (2008) menyebutkan bahwa pendidikan merupakan proses pembentukan watak seseorang
sehingga memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku.
Pendidikan yang diperoleh secara garis besar meliputi pendidikan formal dan
nonformal.
Umur seseorang dapat mempengaruhi tingkat kemampuan yang dimiliki
dalam melakukan aktivitas atau usaha. Selanjutnya, pengalaman berusahatani
dapat memiliki makna sebagai sesuatu yang pernah dirasakan, dialami, dan
ditanggung oleh petani yang terkait dengan berbagai macam kegiatan pada
pertanian dengan mengerahkan tenaga, pikiran, atau badan untuk mencapai tujuan
usahatani yaitu memperoleh pendapatan bagi kebutuhan hidup petani dan
keluarganya. Adapun tingkat kekosmopolitan menurut Murdikanto (1993) dalam
Subagio (2008) adalah tingkat hubungan seseorang dengan dunia luar di luar
sistem sosialnya sendiri.
2.1.3 Relasi Gender dalam Usahatani
Status sosial perempuan tani dalam masyarakat dapat digambarkan sebagai
suatu kedudukan sosial petani dalam kelompok sosial. Kedudukan sosial tersebut
sangat berkaitan dengan lingkungan, prestise, hak, dan kewajiban. Talcott dalam
Sunarto (1988), mengemukakan beberapa macam sumber status, yaitu
keanggotaan dalam famili, kualitas pribadi, prestasi, pemilikan wewenang, dan
jabatan atau kekuasaan seseorang dalam pemerintahan atau kepemimpinan suatu
struktur masyarakat maupun pengakuan dalam masyarakat terhadap
kelebihan-kelebihan yang dimiliki seseorang secara informal (kekayaan, kepribadian,
kepandaian, atau prestasi dalam keagamaan). Semakin tinggi status sosial
seseorang biasanya akan memiliki akses yang tinggi pula dalam berbagai kegiatan
dalam pembangunan pertanian yang berdampak pada keberdayaan petani.
Status perempuan tani dalam keluarga dan rumahtangga, serta masyarakat
luas berdasar peranannya yang banyak menurut Sajogyo (1985) dalam Palit (2009) adalah: (1) selain sebagai ibu rumahtangga dalam keluarga masing-masing,
perempuan berperan juga sebagai tenaga kerja dalam keluarga (domestik) yang
tidak mendatangkan hasil secara langsung. Namun demikian, perempuan dalam
kedudukannya sebagai tenaga kerja dalam keluarga tersebut memberikan
dukungan bagi anggota lain untuk mencari nafkah dengan memanfaatkan peluang
kerja yang ada, (2) di lain pihak, sesuai dengan perkembangan masyarakat agraris,
terlihat dengan nyata perempuan sebagai tenaga kerja di bidang pencarian nafkah
mendatangkan hasil secara langsung.
Usahatani keluarga dipimpin oleh kepala keluarga yang pada umumnya
adalah seorang laki-laki. Sebagai kepala keluarga laki-laki berperan memutuskan
segala sesuatunya yang bersangkutan dengan operasi usahatani. Laki-laki
memutuskan tanaman atau hewan apa yang akan diusahakan, kapan waktu
bertanam, kapan menjual hasil, dan sebagainya. Disamping itu, sebagai kepala
keluarga ia berkewajiban memimpin dan melindungi keluarganya. Dengan
demikian tujuan usahataninya berhubungan erat dengan kepentingan hidup
tengah-tengah masyarakatnya. Sebagian besar usahatani keluarga tidak memiliki pemisah
yang jelas antara pengeluaran untuk keperluan hidup rumahtangganya dengan
keperluan usahataninya. Analisis pendapatan yang tepat sukar dilakukan pada
usahatani yang demikian. Usahatani yang kompleks ini banyak terdapat di
daerah-daerah dengan tanah usahatani sempit (Soehardjo 1973).
Mengacu kepada analisis gender yang digunakan dalam studi ini relasi
gender dilihat dengan membahas tiga peranan dalam pertanian yang mencakup
kegiatan reproduktif, produktif, dan kegiatan sosial. Hal ini lebih ditekankan pada:
(1) pembagian kerja dan curahan waktu dalam kegiatan reproduktif, (2)
pembagian kerja dan curahan waktu dalam kegiatan usahatani dengan rincian
menurut komoditi yang diusahakan petani (dalam musim tanam) dan usaha
ternak, (3) curahan waktu dalam kegiatan produktif (pertanian dan non-pertanian)
serta kegiatan sosial dengan referensi waktu satu bulan, (4) akses dan kontrol
terhadap beragam sumberdaya, dan (5) analisis ekonomi di tingkat rumahtangga
petani (Fardiaz 1996).
Relasi gender dalam rumahtangga petani menurut penelitian Pudjiwati
(1981), menyatakan bahwa nilai-nilai gender masih sangat kuat dianut
masyarakat. Hal ini yang menyebabkan sebagian besar kegiatan reproduksi lebih
didominasi oleh perempuan dalam hal curahan waktu.
Lebih jauh, Fardiaz (1996) mengemukakan bahwa usahatani hortikultura
menyerap tenaga kerja laki-laki dan perempuan, baik dari dalam keluarga maupun
di luar keluarga. Tingginya penggunaan tenaga kerja pada usahatani hortikultura
dan caisim yang selain intensif dalam penggunaan input produksi (pupuk dan
pestisida) dan modal juga intensif dalam penggunaan tenaga kerja.
2.1.4 Analisis Gender
Kajian terhadap konsep analisis gender dalam pembangunan secara
berkesinambungan dimulai dari pembahasan perempuan dalam pembangunan
menuju gender dan pembangunan; peran ganda gender (pembagian gender
pekerja, tanggungjawab, sumberdaya dan hubungan gender), pembagian data
(rumah tangga, tempat kerja, dan komunitas) (Handayani 2002). Analisis gender
adalah analisis sosial (mencakup ekonomi, budaya, dan sebagainya) yang melihat
perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi; (1) kondisi (situasi), dan (2)
kedudukan (posisi) di dalam keluarga dan komunitas atau masyarakat. Fokus
utama analisis situasi gender adalah (1) pembagian kerja atau peran, (2) akses dan
kontrol (peluang penguasaan terhadap sumberdaya serta manfaat), serta (3)
partisipasi dalam kelembagaan dan pengambilan keputusan di dalam keluarga.
Hasil analisis situasi gender adalah (1) identifikasi kepentingan praktis yaitu:
kepentingan laki-laki dan perempuan yang perlu diperhatikan, (2) kepentingan
strategis yaitu: penyetaraan status, peran, akses, dan kontrol antara laki-laki dan
perempuan (Prasodjo dkk 1993).
Profil akses dan kontrol merupakan alat untuk mempertimbangkan apa
akses yang dimiliki perempuan dan laki-laki terhadap sumberdaya produktif,
kontrol apa yang mereka miliki terhadap sumberdaya tersebut, dan siapa yang
memperoleh keuntungan dari penggunaan sumberdaya tersebut (siapa memiliki
apa) misalnya siapa yang mengontrol pendapatan yang dikeluarkan, siapa yang
Handayani 2002). Teknik analisis gender merupakan suatu teknik yang mampu
menggambarkan tentang adanya perbedaan saling ketergantungan antara laki-laki
dan perempuan dalam proses pembangunan, serta adanya perbedaan tingkat
manfaat yang diperoleh antara laki-laki dan perempuan dari hasil pembangunan.
Sebagai suatu alat, analisis gender tidak hanya melihat peran, aktivitas, tetapi juga
hubungan, sehingga pertanyaan yang diajukan tidak hanya pada siapa
mengerjakan apa, tetapi juga meliputi siapa yang membuat keputusan, dan siapa
menggunakan sumberdaya pembangunan seperti tanah, kredit, serta siapa yang
menguasai sumberdaya pembangunan, dan kemudian faktor-faktor apa yang
mempengaruhi hubungan tersebut, apakah faktor hukum, ekonomi, atau sosial.
Teknik analisis Harvard merupakan teknik analisis gender yang digunakan
untuk melihat sutau profil gender dari suatu kelompok sosial dan peran gender
dalam proyek pembangunan, yang mengutarakan perlunya tiga komponen yaitu:
profil aktivitas, profil akses dan profil kontrol (Overholt dkk 1985 dalam
Handayani 2002).
Analisis kebutuhan praktis dan strategis berguna untuk melihat dan
menimbang pemenuhan kebutuhan yang dirasakan oleh laki-laki dan perempuan.
Kebutuhan praktis biasanya berhubungan dengan keadaan hidup yang tidak
memuaskan, misalnya kurangnya sumberdaya atau tidak dipenuhi kebutuhan
dasar, contoh: masalah air minum pangan, dan kesehatan. Selanjutnya, dapat
diidentifikasi karena langsung dirasakan, dapat dipenuhi dalam waktu relatif
pendek melalui intervensi tertentu, misalnya membangun sumur, menjalankan
posyandu; sedangkan kebutuhan strategis berkaitan dengan peranan dan
sistem politik, perundang-undangan, kebijakan kesejahteraan, norma-norma sosial
dan budaya. Kebutuhan strategis juga menyangkut peluang dan kekuasaan (akses
dan kontrol) terhadap sumberdaya dan kesempatan untuk memilih dan
menentukan cara hidup. Pada umumnya kebutuhan strategis ini menyangkut
kepentingan hampir semua perempuan dan dapat dipenuhi melalui suatu proses
yang memakan waktu yang panjang (Moser dalam Prasodjo, et al 1993).
2.2 Kerangka Pemikiran
Penelitian relasi gender pada kelompok tani tanaman hortikultura dataran
rendah, kasus rumahtangga petani Rawa Banteng, Desa Gempol Sari, Kecamatan
Sepatan Timur, Kabupaten Tangerang ini, didasarkan atas berbagai konsep yakni
konsep usahatani yang dikaitkan dengan relasi gender untuk mendeskripsikan
relasi gender dalam pengelolaan usahatani yang diawali dengan proses
praproduksi hingga pascapanen (pemasaran).
Adapun variabel yang digunakan meliputi variabel bebas (independent)
dan variabel tidak bebas (dependent). Relasi gender dalam rumahtangga petani
digunakan sebagai variabel tidak bebas. Relasi gender yang akan dibahas diberi
indikator peubah seperti akses, kontrol, pembagian kerja, peranan, dan alokasi
sumberdaya yang dilihat dalam setiap kegiatan usahatani pada rumahtangga
petani, kelompok tani Rawa Banteng (praproduksi, produksi dan pascaproduksi)
serta pola pengambilan keputusan kegiatan usahatani di dalam rumahtangga
petani. Keberadaan variabel ini dipengaruhi oleh tiga variabel bebas terpilih
yakni: X1 karakteristik petani, X2 aksesibilitas pada informasi, dan X3 faktor
Pola tanam hortikultura (komoditas sayuran) sangat beragam dan selalu
berubah-ubah dalam penanaman komoditas sehingga perlu dianalisis siapakah
yang memiliki akses dan kontrol dalam menentukan pola tanam dan jenis tanaman
yang dipilih. Analisis ini akan dilihat pada kegiatan praproduksi yang meliputi
penentuan pemilihan komoditas, dan pemilihan saprotan. Demikian juga dengan
kegiatan produksi dan kegiatan panen, melihat bagaimana kontribusi
masing-masing (laki-laki dan perempuan) perolehan hasil panen yang dibawa ke pasar.
Aksesibilitas pada informasi yang dimaksud disini adalah sumber yang
diperoleh masyarakat terkait usahatani dan informasi mengenai permasalahan
gender. Hal ini diukur dengan melihat ketersediaan sumber informasi yang dapat
dipercaya secara baik dan ketersediaan informasi yang berkaitan dengan
pengetahuan petani terhadap usahatani dan pengetahuan gender. Aksesibilitas ini
dihubungkan dengan variabel Y dengan maksud melihat keterkaitan dan
bagaimana akses rumahtangga petani terhadap informasi dan bagaimana
penerimaan informasi dalam rumahtangga.
Karakteristik petani terdiri dari tingkat pendidikan, umur, lama
berusahatani, tingkat pendapatan dan tingkat kekosmopolitan. Hal ini adalah
variabel yang penting dalam menganalisis karakterisitik rumahtangga petani yang
ada pada kelompok petani Rawa Banteng karena ini merupakan variabel yang
melekat langsung pada pribadi petani yang membedakan petani yang satu dengan
yang lain. Kemudian, faktor lingkungan yang terdiri dari; budaya, penguasaan
aset ekonomi, interaksi petani dengan tokoh masyarakat dan interaksi dengan
penyuluh. Kebudayaan masyarakat setempat dapat memberikan informasi
memberi penilaian terhadap peran laki-laki dalam berusahatani, dan bagaimana
interaksi petani dengan tokoh masyarakat.
Mempengaruhi
* Dianalisis dengan Pendekatan Kualitatif
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
2.3 Hipotesis
Berdasarkankerangka berpikir penelitian diajukan hipotesis berikut :
1. Karakteristik petani memiliki hubungan positif dengan relasi gender dalam
usahatani.
2. Aksesibilitas pada informasi memiliki hubungan positif dengan relasi
gender dalam usahatani. X2 Aksesbilitas pada
Informasi
X1 Karakteristik Petani
2.4 Definisi Operasional
1. Karakteristik pribadi petani (X1) adalah ciri-ciri yang melekat bagi
seseorang sebagai pelaku utama yang berkaitan erat dengan kesiapannya
untuk mengembangkan diri. Karakteristik ini meliputi:
X1.1 Umur petani, waktu sejak lahir hingga dilakukan penelitian
yang dihitung dalam satuan tahun.
X1.2 Lama berusahatani yang dilakukan dengan menghitung
jumlah tahun mulai berusahatani hingga waktu penelitian
dilakukan.
X1.3 Lamanya pendidikan formal: waktu yang dibutuhkan oleh
responden dalam mengikuti pendidikan formal hingga
penelitian dilakukan, yang dihitung dalam tahun.
X1.4 Tingkat pendapatan: terbagi dua yaitu pendapatan dalam
usahatani dan luar usahatani yang dihitung dalam satuan
rupiah.
X1.5 Tingkat kekosmopolitan: tingkat keterbukaan petani dalam
menerima inovasi, mobilitas petani dan kemudahan petani
dalam menjalin hubungan dengan dunia di luar
lingkungannya. Misal: pergaulan petani dengan petani dan
masyarakat lain, jumlah waktu yang digunakan untuk
media informasi, keaktifan mencari informasi.
Penghitungannya adalah dengan memberikan skor pada
1= tingkat kekosmopolitan rendah, skor 7
2= tingkat kekosmopolitan sedang, skor 8 - 14
3= kekosmopolitan tinggi, skor > 14
2. Aksesibilitas pada informasi (X2), adalah kesempatan dan aktivitas yang
dilakukan oleh petani dalam upaya meraih pengetahuan (pesan) terkait
dengan usahatani dan pengetahuan tentang gender. Aksesibilitas ini diukur
dengan melihat ketersediaan sumber informasi dan kedekatan responden
dengan sumber informasi. Skor dalam penghitungan aksesibilitas ini
dibagi menjadi tiga yakni:
1 = aksesibilitas rendah, skor 8
2 = aksesibilitas sedang, skor 9 - 14
3 = aksesibilitas tinggi, skor >14
3. Faktor Lingkungan (X3) adalah individu atau kelompok individu dan
sistem kemasyarakatan yang telah menjadi tradisi dan atau kelembagaan
yang mengandung nilai dan norma serta pemanfaatan keberadaannya
mempengaruhi pola pikir dan tindakan petani dalam melaksanakan
usahatani.
X.3.1 Penguasaan aset ekonomi dilakukan dengan mengukur luas
lahan garapan petani baik berupa sewa, milik, maupun
kontrak yang diukur dalam satuan m2 (meter persegi).
Kemudian berdasarkan sebaran yang diperoleh
dikategorikan menjadi rendah (<4133,33m2), sedang
X.3.2 Budaya: pada penelitian ini; hal-hal yang diperoleh oleh
manusia sebagai anggota masyarakat, pola pikir, merasakan
dan bertindak terkait dengan tingkat keharmonisan relasi
gender yang dimiliki masyarakat setempat1. Pengukuran
budaya ini dilakukan dengan melihat pandangan laki-laki
terhadap perempuan. Dan sebaliknya, serta kebiasaan
masyarakat setempat dalam mengatur relasi gender yang
sebaiknya di masyarakat.
1 = rendah, nilai skor 0 - 12
2 = sedang, nilai skor 13 - 24
3 = tinggi, nilai skor 24- 36
X.3.3 Interaksi dengan tokoh masyarakat: tingkat dukungan tokoh
formal terhadap petani, tingkat dukungan tokoh non-formal
terhadap petani, tingkat kekerapan pertemuan dengan tokoh
formal dan non-formal terkait pandangan mengenai relasi
gender. Interaksi tersebut diukur sebagai berikut.
1 = rendah, skor 5
2 = sedang, skor 6 - 10
3 = tinggi, skor > 10
4. Y. Relasi gender yang terdiri dari:
Y.1Akses yaitu kesempatan atau peluang anggota rumahtangga
(laki-laki dan perempuan) dalam memperoleh serta ikut
dalam berbagai kegiatan usahatani (produktif), kegiatan
1
rumahtangga (reproduktif), dan kemasyarakatan. Akses
diukur dengan melihat kekutsertaan rumahtangga (suami
atau istri) dalam setiap kegiatan (reproduktif, produktif, dan
sosial kemasyarakatan).
Y.2Kontrol yaitu kemampuan dan kekuasaan yang dimiliki
oleh anggota rumahtangga responden dalam mengambil
keputusan dalam kegiatan usahatani, rumahtangga, dan
kegiatan kemasyarakatan. Kontrol diukur dengan melihat
setiap kesempatan bagi rumahtangga (suami atau istri)
dalam memiliki kekuasaan seperti dengan mengambil
keputusan, atau tanggung jawab atas setiap kegiatan
(reproduktif, produktif, dan sosial kemasyarakatan).
Y.3Pembagian kerja yaitu profil seluruh aktivitas yang
dilakukan oleh laki-laki dan perempuan dalam rumahtangga
selama sehari. Analisis pembagian kerja dalam rumatangga
petani dilakukan dengan menggunakan pendekatan
kualitatif yang mencakup kegiatan reproduktif, produktif
(usahatani), dan sosial kemasyarakatan. Hal ini diukur
dengan melihat curahan waktu yang diberikan oleh anggota
rumahtangga (suami, istri, dan anak) dalam setiap kegiatan
rumahtangga (reproduktif, produktif, dan sosial
kemasyarakatan).
Y.4Pola pengambilan keputusan yaitu siapa yang lebih
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu kegiatan. Untuk
kepentingan peneliti diperoleh tiga variasi dalam
pengambilan keputusan yaitu:
1 = pengambilan keputusan hanya dilakukan oleh suami
sendiri atau istri sendiri
2 = pengambilan keputusan dilakukan bersama oleh suami
dan istri namun salahsatunya dominan
3 = pengambilan keputusan dilakukan bersama oleh suami
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif
melalui metode survai. Menurut Singarimbun dan Effendi (1989), penelitian
survai adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan
menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data. Pendekatan kualitatif
juga dilakukan dengan wawancara mendalam (indepth-interview) terhadap
informan terpilih untuk memperoleh informasi lebih jauh tentang cara masyarakat
mengelola usahatani.
3.2 Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada sentra hortikultura dataran rendah di
Kabupaten Tangerang yang merupakan salahsatu pemasok sayuran ke DKI
Jakarta. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sepatan Timur dengan mengambil
kasus petani-petani Rawa Banteng di Desa Gempol Sari yang merupakan petani
yang berdasarkan Keputusan Bupati Tangerang Nomor 520/Kep.599-Huk/2008
tanggal 21 November 2008 memperoleh bantuan modal Pengembangan Usaha
Agribisnis Perdesaan (PUAP) Kabupaten Tangerang Tahun Anggaran 2008.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Desember 2009 dengan tahap
kegiatan sebagai berikut:
1. Tahap persiapan penelitian. Pada tahap ini dilakukan survai awal
(bekerjasama dengan PSW-LPPM IPB) yang dilanjutkan dengan
penyusunan proposal penelitian. Tahap ini dilakukan dari April – 13 Mei
2. Tahap pelaksanaan penelitian, penelitian dimulai pada tanggal 25 Mei
2009 hingga Agustus 2009. Data digali dan didapat selama pelaksanaan
penelitian.
3. Tahap penyusunan laporan, dilakukan pada bulan Agustus hingga
Desember 2009.
3.3 Penentuan Sampel dan Responden
Responden dan informan penelitian ditetapkan sesuai dengan masalah dan
tujuan penelitian. Unit analisis dalam penelitian ini adalah rumahtangga petani
hortikultura dengan jenis komoditas tanaman sayuran yang merupakan anggota
kelompok tani Rawa banteng. Unit analisis rumahtangga digunakan untuk
menganalisis relasi gender dalam pembagian kerja atau peranan, akses dan kontrol
terhadap sumberdaya dalam rumahtangga petani, serta pola pengambilan
keputusan dalam rumahtangga petani.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anggota kelompok tani Rawa
Banteng yang berjumlah 54 orang. Anggota kelompok tani yang telah
berumahtangga adalah sebanyak 45 orang. Atas dasar keterbatasan waktu, biaya
dan tenaga maka dipilihlah responden pada penelitian ini sebanyak 31 orang
dengan menggunakan rumus Slovin dengan total jumlah populasi penelitian
sebanyak 45 orang (yang telah memiliki rumahtangga). Berikut rumus Slovin
yang digunakan:
2 1 Ne
N
2
Responden adalah anggota rumahtangga petani baik laki-laki (suami) dan
perempuan (istri) sebanyak 17 orang. Perempuan (istri) ini merupakan sumber
informasi yang berguna untuk memeriksa dan mendukung data yang diperoleh
dari laki-laki (suami) dari sudut pandang perempuan. Sebanyak 14 orang
perempuan (istri) lainnya enggan untuk dilibatkan dalam wawancara.
Selain responden, juga dipilih informan yang terdiri dari tokoh masyarakat
yakni Bapak Aca selaku ketua RT, Bapak Kartono sebagai petugas PPL, Bapak
Herman sebagai ketua kelompok tani dan masyarakat setempat beserta beberapa
ibu-ibu kuli cabut, guna memberikan informasi yang lebih mendalam dan
menyeluruh mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan topik penelitian.
3.4 Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer
mencakup semua data yang berkaitan dengan variabel bebas (independent
variable) dan tidak bebas (dependent variable) yang tertera dalam bagan kerangka
pemikiran (Gambar 1). Data primer juga mencakup informasi yang diperoleh dari
hasil wawancara dan observasi. Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat
Statistik, Aparat Desa, dan BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian), serta
3.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan menggunakan metode
kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif diolah dengan menggunakan microsoft office excel 2007, untuk tabulasi frekuensi, kemudian SPSS 15.0 dengan memakai analisis rank spearman untuk mengukur korelasi antarvariabel.
Data kualitatif disajikan secara deskriptif yang diperoleh dari wawancara
mendalam dan observasi langsung di lapangan. Analisis kualitatif dilakukan untuk
4. PROFIL DESA GEMPOL SARI
4.1 Lokasi dan Kondisi Geografis
Desa Gempol Sari terletak di Kecamatan Sepatan Timur, Kabupaten
Tangerang, Provinsi Banten. Desa Gempol Sari berbatasan dengan beberapa desa
yaitu: sebelah utara dengan Desa Kiara Payung, sebelah selatan Desa Kedaung
Barat, sebelah barat dengan Desa Sangiang dan Desa Jati Mulya, dan sebelah
timur dengan Desa Pondok Kelor dan Desa Kampung Kelor. Desa Gempol Sari
terdiri dari 20 Rukun Tetangga (RT) dan delapan Rukun Warga (RW). Sedangkan
kelompok tani Rawa Banteng terdapat pada RT 03 RW 02.
Gambar 2. Peta Desa Gempol Sari, 2009
4.2 Lokasi dan Kondisi Geografis Pertanian
Desa Gempol Sari termasuk agroekosistem lahan sawah semi intensif.
dengan musim tanam dua kali dalam setahun dilakukan pada bulan November
hingga Juli, dan Agustus hingga Oktober.
Penggunaan pupuk di lahan sawah masih cukup rendah, masa tanam dan
varietas padi masih cukup beragam. Sebagian sawah digunakan sebagai kebun
sayuran bayam, kangkung, caisim atau sawi, terung, pepaya, singkong dan
kemangi.
Penanaman sayuran dilakukan secara bergilir sepanjang tahun dan pada
musim kemarau dilakukan pengairan dengan sistem springkel. Tanah permukiman, seperti pekarangan atau kebun campuran merupakan jenis tanah
Aquic Eutrudepts, terhambat, dalam, berliat, masam/agak masam, kesuburan rendah-sedang (Tabel 1). Pekarangan atau kebun campuran ditanami kelapa,
pisang, nangka, mangga, jambu air, dan lain-lain. Usahatani ternak terdiri dari
kambing atau domba, itik, dan ayam.
Tabel 1. Klasifikasi tanah di lokasi prima tani Kecamatan Sepatan Kabupaten Tangerang, 2006
No Landform Tanah Landuse Komoditas (PRA)
1
Desa Gempol Sari memiliki tipe agroekosistem lahan sawah intensif
dengan topografi datar hingga bergelombang dengan elevasi <6 persen, pH tanah
5,7 dengan jenis tanah aluvial, ketinggian 5–10m dpl. Selanjutnya berdasarkan
tipe iklim tergolong tipe E dengan suhu udara 25-30ºC dan kelembaban 70 persen.
Tabel 2. Karakteristik tanah di Desa Gempol Sari, 2006
Uraian Keterangan
Sumber: Hasil PRA Program Prima Tani Tangerang, Banten tahun 2006
4.2.1 Iklim dan Pola Tanam
Informasi mengenai aspek biofisik yaitu perilaku curah hujan (CH) dan
hari hujan (HH) sangat berhubungan erat dengan pola tanam maupun jenis
komoditas yang diusahakan oleh petani setempat. Rata-rata curah hujan selama 5
tahun terakhir masing-masing adalah 139,4 mm, sedangkan hari hujan 7,5 HH
per tahun.
Curah hujan dan hari hujan tertinggi berada pada bulan Januari dan
terendah pada bulan Agustus. Musim tanam pertama (MT 1) pada bulan Januari
hingga April dan musim tanam kedua (MT 2) pada bulan Juni hingga September.
Sedangkan pada lahan sawah setengah teknis pola tanam yang dilakukan
sepanjang tahun adalah sayuran dengan komoditas utama bayam, kangkung, sawi
Tabel 3. Pola tanam setahun di Desa Gempol Sari, 2006 – 2008
Komoditas Bulan ke-
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Padi (MT I) √ √ √ √
Padi (MT II) √ √ √ √
Kangkung √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Bayam √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Caisim √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Kemangi √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Sumber: Hasil PRA Program Prima Tani Tangerang, Banten tahun 2006 - 2008
Jenis lahan yang tersedia di Desa Gempol Sari terdiri dari lahan sawah
irigasi 155 hektar, dan lahan kering atau lahan darat yang terdiri dari lahan
pekarangan 1807 hektar serta kebun 68 hektar. Hasil penelusuran lokasi (transect)
menunjukkan bahwa tanaman yang ditemukan pada lahan kebun adalah pisang,
kemangi, kelapa, pepaya, jarak, jambu mete, terong, dan melinjo.
Sebagian besar tanaman padi diusahakan petani pada lahan sawah irigasi
teknis dan sebagian kecil pada lahan sawah irigasi setengah teknis. Namun
demikian, di sebagian besar lahan setengah teknis juga diusahakan tanaman
sayuran seperti kangkung, bayam, caisim, terong, daun singkong, dan daun
pepaya. Selanjutnya pada permukiman dan pekarangan terdapat tanaman
buah-buahan seperti belimbing, mangga, jambu biji, kedondong, dan nangka. Tanaman
lainnya adalah melinjo, pisang hias, palem tupai, bougenville, dan sereh.
4.3 Keragaan Produksi Pertanian
Jenis komoditas yang ditanam di Desa Gempol Sari berupa padi dengan
produksi 360 ton, sayuran kangkung, bayam, caisim sebagai tanaman utama
dengan produksi 9.000 ton (Tabel 4), sedangkan tanaman terong, daun singkong,
adalah ayam buras, kambing, dan itik masing-masing sebanyak 120, 200, dan
1.200 ekor.
Tabel 4. Luas lahan, produksi dan populasi ternak, di Desa Gempol Sari dan Kecamatan Sepatan, 2005
Uraian Desa Gempol Sari Kecamatan Sepatan
Jenis lahan
Sumber : Kabupaten Tangerang dalam Angka, 2005
4.3.1 Sayuran
Secara umum petani sayuran melakukan pengolahan tanah dengan cangkul
karena rata-rata luas kepemilikan lahan relatif kecil. Komoditas utama sayuran
yang diusahakan adalah kangkung, bayam dan caisim. Benih yang digunakan
adalah benih lokal berlabel dengan pergantian benih setiap musim tanam.
Penanaman dilakukan dengan sistem sebar tanpa jarak tanam. Pupuk anorganik
yang digunakan adalah urea dengan dosis 200 kg per hektar, sedangkan pupuk
organik yang digunakan berasal dari kotoran ayam dengan dosis 1,25 ton
perhektar. Pestisida yang biasa dikenal petani adalah pestisida dengan merk
rusban, sempurna, ucatron dan lain-lain. Pestisida yang digunakan ini, cukup
4.3.2 Ternak
Ternak yang umum dipelihara oleh petani adalah itik dan kambing. Jumlah
kepemilikan itik rata-rata 10 - 20 ekor dengan teknologi budidaya yang masih
bersifat tradisional terutama dalam sistem perkandangan, pakan, dan
pemeliharaan. Hanya sebagian kecil petani itik yang menggunakan komposisi
pakan menir dan keong mas. Sebagian besar petani membudidayakan itik dengan
tujuan memperoleh produksi daging dengan umur 5 bulan. Dan sebagian kecil
ternak itik lainnya dipelihara untuk memperoleh produksi telur yang kemudian
diolah menjadi telur asin. Hasil rata-rata yang diperoleh adalah sebanyak 120 butir
per hari dari 150 ekor itik.
Pemeliharaan ternak kambing masih dilakukan dengan cara yang sangat
sederhana, terutama dalam sistem perkandangan, pakan. Kambing dipelihara
dengan cara (dilepas pada siang hari dan dikandangkan pada malam hari).
Umumnya kambing dipelihara untuk dibudidayakan sebagai simpanan atau aset
bagi rumahtangga petani. Kambing-kambing yang dipelihara petani
sewaktu-waktu juga dapat dijual jika petani membutuhkan uang untuk keperluan yang
mendesak dalam rumahtangga.
4.4 Karakteristik Sosial Ekonomi 4.4.1 Kependudukan
Jumlah penduduk Desa Gempol Sari dan Kecamatan Sepatan tercatat
2.365 KK dan 27.090 KK. Berdasarkan tingkat pendidikan, secara umum jumlah
penduduk yang mendominasi di desa Gempol Sari adalah penduduk yang tidak
atau belum bersekolah, sedangkan jumlah penduduk yang menempuh pendidikan
Tabel 5 Penduduk menurut usia, pendidikan dan mata pencaharian di Desa Gempol Sari dan Di Kecamatan Sepatan, 2004
Uraian Desa Gempol Sari Kecamatan Sepatan
Jumlah Penduduk
Kepala Keluarga 2.365 27.090
Tingkat Pendidikan
Sumber: Data Potensi Wilayah Kecamatan Sepatan, Programa Penyuluh 2004
Selanjutnya, berdasarkan mata pencaharian, maka penduduk di Desa
Gempol Sari terdiri dari 22,19 persen petani, 29,58 persen pedagang, 39,63 persen
karyawan, 2,69 persen wiraswasta dan 5,92 persen PNS atau TNI Polri. Bila
dilihat dari usaha pertanian di tingkat desa maupun kecamatan, tanaman pangan
4.4.2 Status dan Luas Lahan Garapan
Luas total lahan sawah irigasi di Desa Gempol Sari tercatat 155 hektar.
Sedangkan lahan kering berupa permukiman 18 hektar, tegalan 3 hektar, kebun 3
hektar dan lain-lain 68 Ha. Di Kecamatan Sepatan luas lahan total sawah irigasi
tercatat 2.321 hektar. Sedangkan lahan kering berupa permukiman 949 hektar,
tegalan 97 hektar, dan kebun 90 hektar.
Tabel 6. Jenis lahan garapan di Desa Gempol Sari dan di Kecamatan Sepatan, 2004
Uraian Desa Gempol Sari Kecamatan Sepatan
Agroekosistem
A Sawah irigasi (hektar) Luas Persentase Luas Persentase
- pengairan teknis 50 32,26 2.321 90,84
- pengairan ½ teknis 105 67,74 221 8,65
- tadah hujan 0 0 13 0,51
Total 155 100,000 2.555 100,00
b Lahan kering atau darat Luas Persentase Luas Persentase
- Perumahan dan Pekarangan 18 19,57 949 83,54
Sumber: Data Potensi Wilayah Kecamatan Sepatan, Programa Penyuluh 2004
Berdasarkan data pada Tabel 7 sebagian besar pemilik lahan terlibat
langsung dalam penggarapan lahan mereka masing-masing. Jumlah petani
penggarap yang tidak memiliki lahan di Desa Gempol Sari juga terbilang cukup
banyak yakni sebanyak 331 jiwa. Selanjutnya, lahan garapan yang diupayakan
oleh petani pada umumnya adalah lahan pertanian yang tergolong sempit, yaitu 84
Tabel 7. Status petani menurut luasan lahan garapan di Desa Gempol Sari dan di Kecamatan Sepatan, 2004
Uraian Desa Gempol Sari Kecamatan Sepatan
Status Petani Jumlah
Sumber: Data Potensi Wilayah Kecamatan Sepatan, Programa Penyuluh 2004
Tabel 8. Pengelompokkan petani menurut luasan garapan di Desa Gempol Sari
Sumber: Data Potensi Wilayah Kecamatan Sepatan, Programa Penyuluh 2004
4.5 Profil Kelompok Tani Rawa Banteng
Kelompok tani Rawa Banteng yang berlokasi di RT 03 RW 02, Desa
Gempol Sari didirikan pada bulan Juni tahun 2004. Produk unggulannya adalah
bawang merah umbi dan biji. Luas lahan yang merupakan garapan anggota Poktan
sebanyak 1,2 hektar dan sebagian besar lahannya ditanami oleh tanaman
hortikultura jenis sayur-sayuran yaitu caisim, kangkung, bayam, kenikir, bawang,
dan singkong.
Poktan memiliki jalinan kerjasama dalam pemasaran dan pengadaan
usaha budidaya Poktan bekerjasama dengan pasar-pasar tradisional seperti (a)
Pasar Sepatan (b) Pasar Anyer, dan (c) Pasar Kampung Melayu. (2) Untuk
saprotan bekerjasama dengan CV. Rijal Yahya di Kecamatan Sepatan.
Fasilitas-fasilitas usahatani Poktan, di antaranya adalah (1) kendaraan roda
tiga untuk mengangkut sayuran, (2) tempat penampungan sayuran sebnayak 1
unit, (3) hand sprayer sebanyak 4 unit, dan (4) komputer sebanyak 1 unit. Sedangkan sumber informasi dan teknologi yang tersedia bagi petani adalah
BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) Banten dan Dinas Pertanian dan
Peternakan Kabupaten Tangerang.
Berdasarkan Keputusan Bupati Tangerang Nomor 520 atau Kep.599-Huk
atau 2008 tanggal 21 November 2008 memperoleh bantuan modal Pengembangan
Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) Kabupaten Tangerang Tahun Anggaran
2008. Bantuan ini merupakan pinjaman yang diberikan kepada Poktan untuk
mengembangkan usahatani sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan masyarakat
setempat. Pola penyaluran pinjaman dibagi menjadi dua kepentingan yakni sarana
produksi pertanian seperti pengadaan pupuk dan benih dan kemudian untuk
simpan pinjam anggota. Pupuk dan benih yang disediakan dijual kepada petani
melalui kios Poktan dan diperkirakan menghasilkan keuntungan sebesar 10 persen
dengan pembagian 5 persen untuk pengelola dan 5 persen untuk keperluan
pengembangan Poktan. Simpan pinjam untuk budidaya hortikultura diberikan
selama 6 bulan dan kemudian harus dikembalikan.
Pertemuan antara ketua kelompok tani dan anggota kelompok tani
dilakukan sebanyak satu kali dalam sebulan dengan agenda rapat evaluasi