• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

DAFTAR GAMBAR

2. PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka 1 Konsep Gender

2.1.2 Usahatani dan Rumatangga Pertanian

Definisi usahatani menurut Rifai dalam Soehardjo (1973) ialah setiap organisasi dari alam tenaga kerja dan modal, yang ditujukan pada produksi di lapangan pertanian. Ketatalaksanaan organisasi itu sendiri diusahakan oleh seseorang atau sekumpulan orang. Dari batasan itu dapat diketahui bahwa usahatani terdiri atas manusia petani (bersama keluarganya), tanah (bersama dengan fasilitas yang ada di atasnya seperti bangunan-bangunan, saluran air), dan tanaman ataupun hewan ternak. Usahatani merupakan unit usaha yang dilakukan oleh petani dalam mempengaruhi komponen agroekosistem dan interaksinya untuk mendapatkan hasil dalam bentuk tanaman, ternak, ikan baik di lahan basah maupun lahan kering, dimana hasilnya dimaksudkan untuk digunakan oleh keluarganya sendiri atau dijual untuk mencapai status sosial serta untuk konservasi tanah, air, dan keanekaragaman hayati (Baliwati 2001). Kemudian menurut Fardiyanti dalam Sunarso (2005) usahatani adalah kegiatan pertanian

yang mengorganisasikan alam, tenaga kerja, dan modal yang ditujukan untuk produksi di bidang pertanian. Usahatani merupakan kegiatan yang memanfaatkan faktor produksi (sumberdaya modal, tenaga kerja dan alam) dalam proses produksinya untuk diolah guna menghasilkan produk yang berguna bagi kelangsungan hidup manusia baik dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan secara subsisten ataupun secara komersil.

Menurut Moser dalam Soehardjo (1973) pengelolaan usahatani adalah kemampuan petani dalam menentukan, mengorganisasi, dan mengkoordinasi penggunaan faktor-faktor produksi seefektif mungkin sehingga produksi pertanian memberikan hasil yang lebih baik. Pengelolaan usahatani terdiri dari beberapa tahapan pengambilan keputusan. Selanjutnya, dalam pengambilan keputusan menurut Moser dalam Soehardjo (1973), petani dihadapkan pada berbagai prinsip usahatani yaitu:

1. Penentuan perkembangan harga.

Pengetahuan tentang harga faktor produksi dan komoditas yang akan diusahakan relatif penting karena keuntungan usaha tergantung pada harga yang berlaku.

2. Kombinasi beberapa cabang usaha.

Jika terdapat lebih dari satu cabang usaha, seorang petani akan dihadapkan pada pilihan kombinasi yang baik sehingga didapatkan keuntungan yang setinggi-tingginya dalam setahun.

3. Pemilihan cabang usaha.

Penentuan cabang usahatani, tipe usahatani, produktivitas tanah, persediaan tenaga kerja, biaya mendirikan cabang usaha, dan keadaan harga di waktu cabang usaha itu menghasilkan.

4. Penentuan cara produksi yang terdiri dari penentuan jumlah dan jenis pupuk yang digunakan, jarak tanam, cara bercocok tanam, dan sebagainya.

5. Pembelian saran produksi yang diperlukan.

Petani perlu menentukan apakah uang yang dimilikinya hendak digunakan untuk membeli makanan, pupuk, atau membeli peralatan.

6. Pemasaran hasil pertanian.

Masalah pemasaran yang sering dihadapi adalah waktu, tempat, cara penjualan, kualitas produksi, cara pengepakan yang efisien, alat yang digunakan, dan lain-lain.

7. Pembiayaan usahatani yaitu biaya jangka panjang (biaya pengembangan dan perluasan usaha) dan biaya jangka pendek (biaya pertanaman, biaya perbaikan alat, serta biaya hidup petani dan keluarganya selama menunggu musim panen).

8. Pengelolaan modal dan pendapatan.

Perubahan usahatani ke arah yang lebih komersil untuk memperoleh peningkatan pendapatan merupakan masalah karena kurangnya modal yang mereka miliki. Pendapatan yang diperoleh dari hasil produksi kebanyakan ditujukan untuk konsumsi keluarga.

Sehubungan dengan rumahtangga pertanian, Nurhilailah (2003) dalam

yang sekurang-kurangnya satu anggota rumahtangganya melakukan kegiatan bertani atau berkebun, menanam tanaman kayu-kayuan, budidaya ikan, melakukan perburuan atau penangkapan satwa liar, mengusahakan ternak seperti unggas atau berusaha dalam jasa pertanian dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya dijual atau untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan atas resiko sendiri. Rumahtangga petani monokultur sayuran adalah rumahtangga yang salahsatu atau lebih anggota rumahtangga memiliki kegiatan utama mengusahakan tanaman sayuran dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya dijual atau untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan atau resiko sendiri.

Roger dan Shoemaker dalam Hartomo (2007) menyatakan terdapat tiga karakteristik yang melekat pada masyarakat petani sebagai adopter inovasi yaitu status sosial ekonomi, kepribadian, dan perilaku komunikasi. Karakteristik sosial ekonomi meliputi umur, tingkat pendidikan, tingkat melek huruf, status sosial, mobilitas sosial, luas lahan, orientasi usaha, dan sikap terhadap kredit. Karakteristik kepribadian diantaranya empati, dogmatisme, sikap terhadap perubahan, sikap terhadap resiko, aspirasi (terhadap pekerjaan dan pendidikan), serta motivasi, sementara perilaku komunikasi mencakup partisipasi sosial, integrasi sosial, perilaku kosmopolit, serta kontak dengan penyuluh, dan media massa.

Berpijak dari konsep tersebut, maka karakteristik petani adalah ciri-ciri yang melekat pada individu petani yang dapat membedakannya dengan petani lainnya. Dalam penelitian ini karakteristik pribadi petani akan dibatasi pada lingkup: (1) pendidikan formal yang dialami petani, (2) umur, (3) pengalaman berusahatani, (4) pendapatan, dan (5) tingkat kekosmopolitan petani.

Istilah pendidikan yang dibatasi oleh Padmowihardjo (1994) dalam

Subagio (2008) adalah sebagai usaha mengadakan perubahan perilaku berdasarkan ilmu-ilmu dan pengalaman-pangalaman yang sudah diakui dan diterima oleh masyarakat. Lebih lanjut, Winkel (2006) dalam Subagio (2008) menyebutkan bahwa pendidikan merupakan proses pembentukan watak seseorang sehingga memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku. Pendidikan yang diperoleh secara garis besar meliputi pendidikan formal dan nonformal.

Umur seseorang dapat mempengaruhi tingkat kemampuan yang dimiliki dalam melakukan aktivitas atau usaha. Selanjutnya, pengalaman berusahatani dapat memiliki makna sebagai sesuatu yang pernah dirasakan, dialami, dan ditanggung oleh petani yang terkait dengan berbagai macam kegiatan pada pertanian dengan mengerahkan tenaga, pikiran, atau badan untuk mencapai tujuan usahatani yaitu memperoleh pendapatan bagi kebutuhan hidup petani dan keluarganya. Adapun tingkat kekosmopolitan menurut Murdikanto (1993) dalam

Subagio (2008) adalah tingkat hubungan seseorang dengan dunia luar di luar sistem sosialnya sendiri.

2.1.3 Relasi Gender dalam Usahatani

Status sosial perempuan tani dalam masyarakat dapat digambarkan sebagai suatu kedudukan sosial petani dalam kelompok sosial. Kedudukan sosial tersebut sangat berkaitan dengan lingkungan, prestise, hak, dan kewajiban. Talcott dalam

Sunarto (1988), mengemukakan beberapa macam sumber status, yaitu keanggotaan dalam famili, kualitas pribadi, prestasi, pemilikan wewenang, dan kekuasaan. Dalam masyarakat petani, biasanya status sosial dikaitkan dengan

jabatan atau kekuasaan seseorang dalam pemerintahan atau kepemimpinan suatu struktur masyarakat maupun pengakuan dalam masyarakat terhadap kelebihan- kelebihan yang dimiliki seseorang secara informal (kekayaan, kepribadian, kepandaian, atau prestasi dalam keagamaan). Semakin tinggi status sosial seseorang biasanya akan memiliki akses yang tinggi pula dalam berbagai kegiatan dalam pembangunan pertanian yang berdampak pada keberdayaan petani.

Status perempuan tani dalam keluarga dan rumahtangga, serta masyarakat luas berdasar peranannya yang banyak menurut Sajogyo (1985) dalam Palit (2009) adalah: (1) selain sebagai ibu rumahtangga dalam keluarga masing-masing, perempuan berperan juga sebagai tenaga kerja dalam keluarga (domestik) yang tidak mendatangkan hasil secara langsung. Namun demikian, perempuan dalam kedudukannya sebagai tenaga kerja dalam keluarga tersebut memberikan dukungan bagi anggota lain untuk mencari nafkah dengan memanfaatkan peluang kerja yang ada, (2) di lain pihak, sesuai dengan perkembangan masyarakat agraris, terlihat dengan nyata perempuan sebagai tenaga kerja di bidang pencarian nafkah mendatangkan hasil secara langsung.

Usahatani keluarga dipimpin oleh kepala keluarga yang pada umumnya adalah seorang laki-laki. Sebagai kepala keluarga laki-laki berperan memutuskan segala sesuatunya yang bersangkutan dengan operasi usahatani. Laki-laki memutuskan tanaman atau hewan apa yang akan diusahakan, kapan waktu bertanam, kapan menjual hasil, dan sebagainya. Disamping itu, sebagai kepala keluarga ia berkewajiban memimpin dan melindungi keluarganya. Dengan demikian tujuan usahataninya berhubungan erat dengan kepentingan hidup keluarganya. Akhirnya, petani juga adalah seorang manusia yang hidup di tengah-

tengah masyarakatnya. Sebagian besar usahatani keluarga tidak memiliki pemisah yang jelas antara pengeluaran untuk keperluan hidup rumahtangganya dengan keperluan usahataninya. Analisis pendapatan yang tepat sukar dilakukan pada usahatani yang demikian. Usahatani yang kompleks ini banyak terdapat di daerah- daerah dengan tanah usahatani sempit (Soehardjo 1973).

Mengacu kepada analisis gender yang digunakan dalam studi ini relasi gender dilihat dengan membahas tiga peranan dalam pertanian yang mencakup kegiatan reproduktif, produktif, dan kegiatan sosial. Hal ini lebih ditekankan pada: (1) pembagian kerja dan curahan waktu dalam kegiatan reproduktif, (2) pembagian kerja dan curahan waktu dalam kegiatan usahatani dengan rincian menurut komoditi yang diusahakan petani (dalam musim tanam) dan usaha ternak, (3) curahan waktu dalam kegiatan produktif (pertanian dan non-pertanian) serta kegiatan sosial dengan referensi waktu satu bulan, (4) akses dan kontrol terhadap beragam sumberdaya, dan (5) analisis ekonomi di tingkat rumahtangga petani (Fardiaz 1996).

Relasi gender dalam rumahtangga petani menurut penelitian Pudjiwati (1981), menyatakan bahwa nilai-nilai gender masih sangat kuat dianut masyarakat. Hal ini yang menyebabkan sebagian besar kegiatan reproduksi lebih didominasi oleh perempuan dalam hal curahan waktu.

Lebih jauh, Fardiaz (1996) mengemukakan bahwa usahatani hortikultura menyerap tenaga kerja laki-laki dan perempuan, baik dari dalam keluarga maupun di luar keluarga. Tingginya penggunaan tenaga kerja pada usahatani hortikultura ini, karena komoditi yang diusahakan berupa tanaman kentang, bunga kol, kol,

dan caisim yang selain intensif dalam penggunaan input produksi (pupuk dan pestisida) dan modal juga intensif dalam penggunaan tenaga kerja.

2.1.4 Analisis Gender

Kajian terhadap konsep analisis gender dalam pembangunan secara berkesinambungan dimulai dari pembahasan perempuan dalam pembangunan menuju gender dan pembangunan; peran ganda gender (pembagian gender pekerja, tanggungjawab, sumberdaya dan hubungan gender), pembagian data (rumah tangga, tempat kerja, dan komunitas) (Handayani 2002). Analisis gender adalah analisis sosial (mencakup ekonomi, budaya, dan sebagainya) yang melihat perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi; (1) kondisi (situasi), dan (2) kedudukan (posisi) di dalam keluarga dan komunitas atau masyarakat. Fokus utama analisis situasi gender adalah (1) pembagian kerja atau peran, (2) akses dan kontrol (peluang penguasaan terhadap sumberdaya serta manfaat), serta (3) partisipasi dalam kelembagaan dan pengambilan keputusan di dalam keluarga. Hasil analisis situasi gender adalah (1) identifikasi kepentingan praktis yaitu: kepentingan laki-laki dan perempuan yang perlu diperhatikan, (2) kepentingan strategis yaitu: penyetaraan status, peran, akses, dan kontrol antara laki-laki dan perempuan (Prasodjo dkk 1993).

Profil akses dan kontrol merupakan alat untuk mempertimbangkan apa akses yang dimiliki perempuan dan laki-laki terhadap sumberdaya produktif, kontrol apa yang mereka miliki terhadap sumberdaya tersebut, dan siapa yang memperoleh keuntungan dari penggunaan sumberdaya tersebut (siapa memiliki apa) misalnya siapa yang mengontrol pendapatan yang dikeluarkan, siapa yang memiliki dan menggunakan aset-aset yang ada (Overholt dkk 1985 dalam

Handayani 2002). Teknik analisis gender merupakan suatu teknik yang mampu menggambarkan tentang adanya perbedaan saling ketergantungan antara laki-laki dan perempuan dalam proses pembangunan, serta adanya perbedaan tingkat manfaat yang diperoleh antara laki-laki dan perempuan dari hasil pembangunan. Sebagai suatu alat, analisis gender tidak hanya melihat peran, aktivitas, tetapi juga hubungan, sehingga pertanyaan yang diajukan tidak hanya pada siapa mengerjakan apa, tetapi juga meliputi siapa yang membuat keputusan, dan siapa menggunakan sumberdaya pembangunan seperti tanah, kredit, serta siapa yang menguasai sumberdaya pembangunan, dan kemudian faktor-faktor apa yang mempengaruhi hubungan tersebut, apakah faktor hukum, ekonomi, atau sosial.

Teknik analisis Harvard merupakan teknik analisis gender yang digunakan untuk melihat sutau profil gender dari suatu kelompok sosial dan peran gender dalam proyek pembangunan, yang mengutarakan perlunya tiga komponen yaitu: profil aktivitas, profil akses dan profil kontrol (Overholt dkk 1985 dalam

Handayani 2002).

Analisis kebutuhan praktis dan strategis berguna untuk melihat dan menimbang pemenuhan kebutuhan yang dirasakan oleh laki-laki dan perempuan. Kebutuhan praktis biasanya berhubungan dengan keadaan hidup yang tidak memuaskan, misalnya kurangnya sumberdaya atau tidak dipenuhi kebutuhan dasar, contoh: masalah air minum pangan, dan kesehatan. Selanjutnya, dapat diidentifikasi karena langsung dirasakan, dapat dipenuhi dalam waktu relatif pendek melalui intervensi tertentu, misalnya membangun sumur, menjalankan posyandu; sedangkan kebutuhan strategis berkaitan dengan peranan dan kedudukan di masyarakat yang dipengaruhi oleh faktor struktural seperti ekonomi,

sistem politik, perundang-undangan, kebijakan kesejahteraan, norma-norma sosial dan budaya. Kebutuhan strategis juga menyangkut peluang dan kekuasaan (akses dan kontrol) terhadap sumberdaya dan kesempatan untuk memilih dan menentukan cara hidup. Pada umumnya kebutuhan strategis ini menyangkut kepentingan hampir semua perempuan dan dapat dipenuhi melalui suatu proses yang memakan waktu yang panjang (Moser dalam Prasodjo, et al 1993).

2.2 Kerangka Pemikiran

Penelitian relasi gender pada kelompok tani tanaman hortikultura dataran rendah, kasus rumahtangga petani Rawa Banteng, Desa Gempol Sari, Kecamatan Sepatan Timur, Kabupaten Tangerang ini, didasarkan atas berbagai konsep yakni konsep usahatani yang dikaitkan dengan relasi gender untuk mendeskripsikan relasi gender dalam pengelolaan usahatani yang diawali dengan proses praproduksi hingga pascapanen (pemasaran).

Adapun variabel yang digunakan meliputi variabel bebas (independent) dan variabel tidak bebas (dependent). Relasi gender dalam rumahtangga petani digunakan sebagai variabel tidak bebas. Relasi gender yang akan dibahas diberi indikator peubah seperti akses, kontrol, pembagian kerja, peranan, dan alokasi sumberdaya yang dilihat dalam setiap kegiatan usahatani pada rumahtangga petani, kelompok tani Rawa Banteng (praproduksi, produksi dan pascaproduksi) serta pola pengambilan keputusan kegiatan usahatani di dalam rumahtangga petani. Keberadaan variabel ini dipengaruhi oleh tiga variabel bebas terpilih yakni: X1 karakteristik petani, X2 aksesibilitas pada informasi, dan X3 faktor

Pola tanam hortikultura (komoditas sayuran) sangat beragam dan selalu berubah-ubah dalam penanaman komoditas sehingga perlu dianalisis siapakah yang memiliki akses dan kontrol dalam menentukan pola tanam dan jenis tanaman yang dipilih. Analisis ini akan dilihat pada kegiatan praproduksi yang meliputi penentuan pemilihan komoditas, dan pemilihan saprotan. Demikian juga dengan kegiatan produksi dan kegiatan panen, melihat bagaimana kontribusi masing- masing (laki-laki dan perempuan) perolehan hasil panen yang dibawa ke pasar.

Aksesibilitas pada informasi yang dimaksud disini adalah sumber yang diperoleh masyarakat terkait usahatani dan informasi mengenai permasalahan gender. Hal ini diukur dengan melihat ketersediaan sumber informasi yang dapat dipercaya secara baik dan ketersediaan informasi yang berkaitan dengan pengetahuan petani terhadap usahatani dan pengetahuan gender. Aksesibilitas ini dihubungkan dengan variabel Y dengan maksud melihat keterkaitan dan bagaimana akses rumahtangga petani terhadap informasi dan bagaimana penerimaan informasi dalam rumahtangga.

Karakteristik petani terdiri dari tingkat pendidikan, umur, lama berusahatani, tingkat pendapatan dan tingkat kekosmopolitan. Hal ini adalah variabel yang penting dalam menganalisis karakterisitik rumahtangga petani yang ada pada kelompok petani Rawa Banteng karena ini merupakan variabel yang melekat langsung pada pribadi petani yang membedakan petani yang satu dengan yang lain. Kemudian, faktor lingkungan yang terdiri dari; budaya, penguasaan aset ekonomi, interaksi petani dengan tokoh masyarakat dan interaksi dengan penyuluh. Kebudayaan masyarakat setempat dapat memberikan informasi mengenai cara masyarakat menilai peran perempuan dan bagaimana masyarakat

memberi penilaian terhadap peran laki-laki dalam berusahatani, dan bagaimana interaksi petani dengan tokoh masyarakat.

Mempengaruhi

* Dianalisis dengan Pendekatan Kualitatif Gambar 1. Kerangka Pemikiran

2.3 Hipotesis

Berdasarkankerangka berpikir penelitian diajukan hipotesis berikut : 1. Karakteristik petani memiliki hubungan positif dengan relasi gender dalam

usahatani.

2. Aksesibilitas pada informasi memiliki hubungan positif dengan relasi gender dalam usahatani.

X2 Aksesbilitas pada Informasi X1 Karakteristik Petani X1.1Umur(dalam tahun) X1.2Pengalaman X1.3Berusahatani(tahun) X1.4Tingkat kekosmopolitan X1.5Lama pendidikan formal X1.6Tingkat pendapatan petani Y. Relasi Gender dalam Usahatani (hubungan penguasaan sumberdaya) • Akses, kontrol* • Pembagian kerja

(profil aktivitas dan curahan waktu)* • Pola pengambilan

keputusan X3 Faktor Lingkungan

X3.1Budaya

X3.2Interaksi dengan Tokoh Masyarakat

X3.3Penguasaan aset ekonomi

2.4 Definisi Operasional

1. Karakteristik pribadi petani (X1) adalah ciri-ciri yang melekat bagi

seseorang sebagai pelaku utama yang berkaitan erat dengan kesiapannya untuk mengembangkan diri. Karakteristik ini meliputi:

X1.1 Umur petani, waktu sejak lahir hingga dilakukan penelitian yang dihitung dalam satuan tahun.

X1.2 Lama berusahatani yang dilakukan dengan menghitung jumlah tahun mulai berusahatani hingga waktu penelitian dilakukan.

X1.3 Lamanya pendidikan formal: waktu yang dibutuhkan oleh responden dalam mengikuti pendidikan formal hingga penelitian dilakukan, yang dihitung dalam tahun.

X1.4 Tingkat pendapatan: terbagi dua yaitu pendapatan dalam usahatani dan luar usahatani yang dihitung dalam satuan rupiah.

X1.5 Tingkat kekosmopolitan: tingkat keterbukaan petani dalam menerima inovasi, mobilitas petani dan kemudahan petani dalam menjalin hubungan dengan dunia di luar lingkungannya. Misal: pergaulan petani dengan petani dan masyarakat lain, jumlah waktu yang digunakan untuk media informasi, keaktifan mencari informasi. Penghitungannya adalah dengan memberikan skor pada sebagai berikut:

1= tingkat kekosmopolitan rendah, skor 7 2= tingkat kekosmopolitan sedang, skor 8 - 14 3= kekosmopolitan tinggi, skor > 14

2. Aksesibilitas pada informasi (X2), adalah kesempatan dan aktivitas yang

dilakukan oleh petani dalam upaya meraih pengetahuan (pesan) terkait dengan usahatani dan pengetahuan tentang gender. Aksesibilitas ini diukur dengan melihat ketersediaan sumber informasi dan kedekatan responden dengan sumber informasi. Skor dalam penghitungan aksesibilitas ini dibagi menjadi tiga yakni:

1 = aksesibilitas rendah, skor 8 2 = aksesibilitas sedang, skor 9 - 14 3 = aksesibilitas tinggi, skor >14

3. Faktor Lingkungan (X3) adalah individu atau kelompok individu dan

sistem kemasyarakatan yang telah menjadi tradisi dan atau kelembagaan yang mengandung nilai dan norma serta pemanfaatan keberadaannya mempengaruhi pola pikir dan tindakan petani dalam melaksanakan usahatani.

X.3.1 Penguasaan aset ekonomi dilakukan dengan mengukur luas lahan garapan petani baik berupa sewa, milik, maupun kontrak yang diukur dalam satuan m2 (meter persegi). Kemudian berdasarkan sebaran yang diperoleh dikategorikan menjadi rendah (<4133,33m2), sedang (4133,33m2 hingga 8266.67m2), dan tinggi (>8266.67m2).

X.3.2 Budaya: pada penelitian ini; hal-hal yang diperoleh oleh manusia sebagai anggota masyarakat, pola pikir, merasakan dan bertindak terkait dengan tingkat keharmonisan relasi gender yang dimiliki masyarakat setempat1. Pengukuran budaya ini dilakukan dengan melihat pandangan laki-laki terhadap perempuan. Dan sebaliknya, serta kebiasaan masyarakat setempat dalam mengatur relasi gender yang sebaiknya di masyarakat.

1 = rendah, nilai skor 0 - 12 2 = sedang, nilai skor 13 - 24 3 = tinggi, nilai skor 24- 36

X.3.3 Interaksi dengan tokoh masyarakat: tingkat dukungan tokoh formal terhadap petani, tingkat dukungan tokoh non-formal terhadap petani, tingkat kekerapan pertemuan dengan tokoh formal dan non-formal terkait pandangan mengenai relasi gender. Interaksi tersebut diukur sebagai berikut.

1 = rendah, skor 5 2 = sedang, skor 6 - 10 3 = tinggi, skor > 10 4. Y. Relasi gender yang terdiri dari:

Y.1Akses yaitu kesempatan atau peluang anggota rumahtangga (laki-laki dan perempuan) dalam memperoleh serta ikut dalam berbagai kegiatan usahatani (produktif), kegiatan

1

Robert L. Sutherland dkk, Introductory Sociology, edisi ke-6, J.B. Lippincott Company, Chicago, Philadelphia, New York, 1961, halaman 30-31 dalam Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, 1990, halaman 173

rumahtangga (reproduktif), dan kemasyarakatan. Akses diukur dengan melihat kekutsertaan rumahtangga (suami atau istri) dalam setiap kegiatan (reproduktif, produktif, dan sosial kemasyarakatan).

Y.2Kontrol yaitu kemampuan dan kekuasaan yang dimiliki oleh anggota rumahtangga responden dalam mengambil keputusan dalam kegiatan usahatani, rumahtangga, dan kegiatan kemasyarakatan. Kontrol diukur dengan melihat setiap kesempatan bagi rumahtangga (suami atau istri) dalam memiliki kekuasaan seperti dengan mengambil keputusan, atau tanggung jawab atas setiap kegiatan (reproduktif, produktif, dan sosial kemasyarakatan).

Y.3Pembagian kerja yaitu profil seluruh aktivitas yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan dalam rumahtangga selama sehari. Analisis pembagian kerja dalam rumatangga petani dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang mencakup kegiatan reproduktif, produktif (usahatani), dan sosial kemasyarakatan. Hal ini diukur dengan melihat curahan waktu yang diberikan oleh anggota rumahtangga (suami, istri, dan anak) dalam setiap kegiatan rumahtangga (reproduktif, produktif, dan sosial kemasyarakatan).

Y.4Pola pengambilan keputusan yaitu siapa yang lebih dominan (laki-laki dan perempuan) untuk melakukan

sesuatu atau tidak melakukan sesuatu kegiatan. Untuk kepentingan peneliti diperoleh tiga variasi dalam pengambilan keputusan yaitu:

1 = pengambilan keputusan hanya dilakukan oleh suami sendiri atau istri sendiri

2 = pengambilan keputusan dilakukan bersama oleh suami dan istri namun salahsatunya dominan

3 = pengambilan keputusan dilakukan bersama oleh suami dan istri setara

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif melalui metode survai. Menurut Singarimbun dan Effendi (1989), penelitian survai adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data. Pendekatan kualitatif juga dilakukan dengan wawancara mendalam (indepth-interview) terhadap informan terpilih untuk memperoleh informasi lebih jauh tentang cara masyarakat mengelola usahatani.

3.2 Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada sentra hortikultura dataran rendah di Kabupaten Tangerang yang merupakan salahsatu pemasok sayuran ke DKI Jakarta. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sepatan Timur dengan mengambil kasus petani-petani Rawa Banteng di Desa Gempol Sari yang merupakan petani yang berdasarkan Keputusan Bupati Tangerang Nomor 520/Kep.599-Huk/2008 tanggal 21 November 2008 memperoleh bantuan modal Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) Kabupaten Tangerang Tahun Anggaran 2008. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Desember 2009 dengan tahap kegiatan sebagai berikut:

1. Tahap persiapan penelitian. Pada tahap ini dilakukan survai awal (bekerjasama dengan PSW-LPPM IPB) yang dilanjutkan dengan penyusunan proposal penelitian. Tahap ini dilakukan dari April – 13 Mei 2009.

2. Tahap pelaksanaan penelitian, penelitian dimulai pada tanggal 25 Mei 2009 hingga Agustus 2009. Data digali dan didapat selama pelaksanaan penelitian.

3. Tahap penyusunan laporan, dilakukan pada bulan Agustus hingga Desember 2009.

3.3 Penentuan Sampel dan Responden

Responden dan informan penelitian ditetapkan sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian. Unit analisis dalam penelitian ini adalah rumahtangga petani hortikultura dengan jenis komoditas tanaman sayuran yang merupakan anggota kelompok tani Rawa banteng. Unit analisis rumahtangga digunakan untuk menganalisis relasi gender dalam pembagian kerja atau peranan, akses dan kontrol terhadap sumberdaya dalam rumahtangga petani, serta pola pengambilan keputusan dalam rumahtangga petani.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anggota kelompok tani Rawa Banteng yang berjumlah 54 orang. Anggota kelompok tani yang telah berumahtangga adalah sebanyak 45 orang. Atas dasar keterbatasan waktu, biaya dan tenaga maka dipilihlah responden pada penelitian ini sebanyak 31 orang