• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Kelainan Saluran Nafas Kecil dengan Keluhan Respirasi dan Karakteristik Klinis Asma

IB Ngurah Rai, IGN Bagus Artana

Divisi Paru, Departemen Ilmu Penyakit Dalam,

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana-RSUP Sanglah Denpasar

Pendahuluan

Asma terjadi pada berbagai belahan dunia serta berbagai kalangan dan status social ekonomi. Hingga saat ini asma masih menjadi salah satu penyakit non-infeksi dengan prevalensi tertinggi. Perkiraan global terbaru dari Global Asthma Network menunjukkan bahwa sebanyak 334 juta orang menderita asma di seluruh dunia. Angka ini diperkirakan akan terus meningkat. Sementara di Indonesia berdasarkan RISKESDAS 2013, prevalensi asma didapatkan 4,5% dari seluruh penduduk Indonesia. Asma menduduki peringkat pertama dari kategori prevalensi penyakit kronik tidak menular.1,2

Asma adalah penyakit heterogen, biasanya ditandai oleh inflamasi saluran napas kronik. Hal tersebut didefinisikan sebagai riwayat gejala respirasi seperti mengi, sesak napas, berat di dada dan batuk yang bervariasi dari waktu ke waktu serta intensitasnya, disertai variasi nilai hambatan aliran udara ekspirasi. Asma biasanya berhubungan dengan hiper-responsivitas saluran udara, serta berhubungan dengan inflamasi jalan nafas kronik. Kedua kondisi ini biasanya selalu didapatkan, walaupun pasien sudah tidak merasakan gejala asmanya serta dengan fungsi paru normal. Kondisi hiper-responsivitas dan inflamasi jalan nafas ini dapat dikendalikan dengan pemberian obat yang sesuai.1

Secara tradisional, asma dikaitkan dengan kelainan yang terjadi pada saluran nafas besar. Belakangan ini para ahli di dunia mulai melirik kelainan saluran nafas kecil pada patofisiologi asma. Hal ini terlihat dari peningkatan jumlah penelitian mengenai saluran nafas kecil pada asma sejak tahun 2009, dimana artikel ilmiah dengan topik ini meningkat dari kurang dari seratu menjadi 200 artikel lebih. Konsep tradisional ini diuji

dengan banyaknya bukti ilmiah yang menunjukkan abnormalitas jalan nafas kecil berperan dalam ekspresi klinis asma secara umum.3

Konsep mengenai peranan saluran nafas kecil pada asma memang masih baru dan masih banyak mengalami tentangan dari beberapa ahli. Tetapi dengan banyaknya bukti klinis yang telah dipublikasi baik dari tatanan review keilmuan maupun penelitian klinis, maka perkembangan peran jalan nafas kecil pada asma ini penting untuk dipahami. Berikut ini kami uraikan mengenai saluran nafas kecil serta pengaruhnya pada gejala dan karakteristik klinis kontrol asma.

Kelainan Saluran Nafas Kecil pada Asma

Secara tradisional, asma telah dianggap sebagai penyakit yang dominan melibatkan saluran udara besar. Sekitar satu dekade terakhir, konsep ini sedang diuji dimana semakin banyak bukti telah menunjukkan bahwa kelainan pada saluran udara kecil juga berkontribusi terhadap ekspresi klinis asma. Saluran udara kecil dapat dipengaruhi oleh peradangan, remodeling, dan perubahan-perubahan di jaringan sekitarnya. Semua proses ini berkontribusi pada terjadinya disfungsi jalan nafas kecil. Banyak ahli telah menulis review tentang disfungsi jalan nafas kecil dan perannya dalam memperburuk kontrol asma, meningkatkan jumlah serangan asma serta nocturnal asthma, perburukan hiper-responsivitas bronkus, serta respons fase lambat alergi.3

Keterlibatan saluran udara kecil dalam patogenesis asma dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) telah diperdebatkan untuk waktu yang lama. Namun, definisi yang tepat dari penyakit saluran napas kecil masih kurang jelas dan tidak ada biomarker atau parameter fungsional yang dapat diterima secara luas untuk menilai kelainan saluran napas kecil.4

Saluran udara kecil didefinisikan sebagai saluran udara dengan diameter internal <2mm dan tanpa tulang rawan (Gambar 1). Meskipun saluran udara kecil sedikit kontribusinya pada resistensi jalan nafas pada orang sehat, beberapa penelitian yang menggunakan teknik pengukuran invasive untuk menilai resistensi saluran napas telah menunjukkan bahwa saluran udara kecil adalah lokasi utama untuk terjadinya hambatan aliran

udara pada asma dan PPOK. Tetapi masalahnya, jalan nafas kecil sampai saat ini terbukti masih sulit untuk dieksplorasi dan dipelajari.4,5

Gambar 1. Saluran Nafas Manusia.

Sebagian besar penelitian patologi yang dilakukan pada subyek asma menggunakan teknik otopsi jaringan yang dikumpulkan dari pasien asma akut yang fatal. Penelitian-penelitian ini menunjukkan adanya sumbat-luminal yang luas akibat eksudat muko-inflamasi dan hyperplasia sel-sel goblet pada epitel jalan nafas besar dan kecil. Penebalan dinding jalan nafas dengan peningkatan massa otot polos dan infiltrasi sel-sel

inflamasi oleh limfosit T dan eosinofil juga didapatkan pada saluran udara besar dan kecil.5

Studi post-mortem juga juga menunjukkan bahwa diding luar jalan nafas kecil merupakan lokasi inflamasi utama (terutama oleh sel-sel eosinophil). Bahkan pada kasus asma berat dan fatal, inflamasi meluas hingga ke jaringan alveoli sekitarnya dan area perivaskular. Hilangnya

alveolar attachment juga didapatkan pada otopsi pasien asma yang fatal. Kondisi ini berkorelasi positif dengan inflamasi sel mast dan eosinofilik, yang menguatkan dugaan peranan sel-sel inflamasi ini pada kerusakan alveoli. Hilangnya alveolar attachment menurunkan elastic recoil dan mengakibatkan penutupan jalan nafas premature.6

Gangguan pada matriks ekstraseluler juga didapatkan pada kasus asma yang fatal. Hal ini berkontribusi pada terjadinya fibrosis jalan nafas akibat peningkatan jumlah dan fungsi transforming growth factor- . Perubahan molekul-molekul matriks pada otot polos jalan nafas juga akan memperburuk bronkokonstriksi serta memperberat efek eksudat muko- inflamasi pada obstruksi bronkus.5,6

Satu hal penting yang menjadi catatan pada studi-studi post- mortem ini adalah kenyataan bahwa pasien-pasien yang diikutkan pada studi patologi ini meninggal akibat serangan asma yang fatal dan tidak mendapat terapi. Hal ini menyulitkan dalam melihat bagaimana efek pemberian terapi pada jalan nafas kecil serta proses remodeling yang terjadi. Selain itu, pasien-pasien tersebut kemungkinan mengalami asma yang fatal akibat asma yang tidak terkontrol. Hal ini yang masih menyulitkan para ahli untuk mengekstrapolasi temuan pada jalan nafas kecil ini kepada pasien asma secara umum.5,7

Penelitian tentang pathogenesis pada pasien-pasien asma masih sangat sedikit, tidak sebanyak pada kasus PPOK. Sebagian besar terkendala pada teknik dalam menemukan kelainan jalan nafas kecil yang sebagian masih invasif. Para ahli belakangan ini mencoba mengeksplorasi peranan jalan nafas kecil pada pasien asma dengan menggunakan teknik pemeriksaan yang lebih non-invasif. Beberapa pemeriksaan yang dilakukan antara lain pengukuran ventilasi, air-trapping, nitric oxide (NO) alveolar, impedans respirasi, serta beberapa teknik imaging khusus.4,5

Niric Oxide (NO) belakangan ini diusulkan sebagai penanda keterlibatan jalan nafas kecil pada asma. Penelitian oleh Battaglia, dkk. merupakan salah satu tonggak awal penggunaan NO untuk tujuan tersebut. Battaglia, dkk. menggunakan single breath nitrogen washout pada pasien asma ringan. Para peneliti ini menyimpulkan bahwa NO ekshalasi memiliki hubungan yang positif dengan fungsi jalan nafas kecil. Pada perkembangannya, penyempurnaan pemeriksaan NO ini masih terus dilakukan untuk memberikan gambaran yang jelas tentang fungsi jalan nafas kecil pada asma.5,8

Selain menggunakan teknik NO, pemeriksaan faal paru dapat pula digunakan untuk menilai kelainan pada jalan nafas kecil. Pengembangan tes fungsi paru untuk menilai kelainan pada jalan nafas kecil telah maju pesat. Obstruksi pada jalan nafas kecil mempengaruhi distribusi gas saat ventilasi dan mengakibatkan penutupan jalan nafas kecil yang disertai oleh air-trapping. Pemeriksaan fungsi paru yang digunakan untuk menilai kelainan jalan nafas kecil dibagi menjadi tes yang mengukur aliran udara, resistensi jalan nafas, inhomogenitas distribusi ventilasi, penutupan jalan nafas, dan air-trapping.5

Pengukuran aliran udara pada jalan nafas kecil menggunakan angka forced expiratory flow saat 50% kapasitas vital (FEF 50%) dan saat 25%-75% kapasitas vital (FEF 25%-75% ). Pengukuran resistensi jalan nafas menggunakan impulse oscillometry (IOS). Obstruksi jalan nafas kecil berhubungan dengan peningkatan resistensi, khususnya pada frekuensi yang lebih rendah (frequency-dependence resistance). Distribusi ventilasi yang tidak homogeny dapat diukur dengan tes multiple-breath nitrogen washout dan single breath nitrogen washout (SBNW) setelah inhalasi oksigen 100%.4,5,9

Air-tapping dan penutupan jalan nafas dinilai dengan pengukuran flow-volume paru statis dan dinamis. Penurunan FVC dapat menunjukkan adanya air-trapping. Tes provokasi dengan metacholin juga dapat menggambarkan adanya air-trapping, yaitu konsentrasi provokasi yang menimbulkan penurunan FEV1 20% (PC20).Rasio FVC/SVC (forced vital capacity/Slow inspiratory vital capacity) juga dapat menjadi penanda kolaps jalan nafas kecil. Sedangkan untuk menilai volume paru statis yang berhubungan dengan air-trapping dan hiperinflasi paru, dapat dilihat dari

functional residual capacity, residual volume (RV), total lung capacity (TLC), dan rasio RV/TLC.4,5

Beberapa teknik imaging seperti high resolution CT (HRCT) scan dan MRI dengan inhalasi gas hiperpolarisasi dapat digunakan secara tidak langsung untuk mengevaluasi tanda-tanda obstruksi jalan nafas kecil (inhomogenitas ventilasi dan air-trapping) yang berhubungan dengan proses remodeling.

Masing-masing pemeriksaan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan (Tabel 1). Hingga saat ini tidak ada jenis pemeriksaan dan manuver yang dapat memenuhi semua hal yang diperlukan untuk mendiagnosis, menilai derajat, serta memonitor kelainan jalan nafas kecil pada praktek klinis sehari-hari. Kombinasi pemeriksaan yang paling solid dan sensitif adalah alveolar exhaled NO dan pengukuran air-trapping dengan CT scan. Tetapi tetap saja ada kekurangannya, dimana teknik ini tidak tersedia luas dan belum tentu dapat diakses oleh semua pasien.5 Tabel 1. Overview Beberapa Tes untuk Menilai Obstruksi Jalan Nafas Kecil5

Jenis Tes Kemampuan mendeteksi abnormalitas jalan nafas

kecil

Reprodusibilitas Beban bagi pasien ΔFVC pada PC20 Berhubungan dengan:  Derajat kelainan  MCh-induced air trapping (CT scan)  maximal airway response (gas trapping) reprodusibilitas dapat dibandingkan dengan PC20 Reprodusibilitas dalam 1-minggu baik

Bronchial challenge test cukup melelahkan melakukan manuver FVC 2X memakan waktu cukup lama (20- 60 menit) FVC/SVC deteksi dan monitor kelainan

jalan nafas kecil pada bronkiolitis obliterans setelah transplantasi paru

reprodusibilitas 1minggu buruk

non-invasif murah dan cepat (5 menit) FEF 25%-75% berkaitan dengan:

 air trapping(CT scan)  FEF 25%-75% sering

normal bila FEV1/FVC ≥75%

variasi antar subyek 5% pada orang sehat

non-invasif murah tidak memakan waktu (5 menit) Impulse oscillometry berhubungan dengan:  FEF 25%-75%  MCh-induced air-

trapping with CT scan

reprodusibilitas sedang non-invasif relative murah relative memakan waktu (30 menit)

SBNW test: closing volume

berkaitan dengan: NO alveolar pada asma berat

closing volume meningkat pada pasien yang sering mendapat serangan reprodusibilitas dalam 1 minggu buruk non-invasif, cepat relative murah sulit dikerjakan bila tanpa flow restrictor MCh-induced air-trapping with CT scan berkaitan dengan: ΔFVC pada PC20

FEF 25%-75% and FEF 50%

bronchial NO RV/TLC

reprodusibilitas dalam 6 minggu baik

paparan radiasi relative mahal makan waktu lama (70 menit) RV/TLC berhubungan dengan:

NO alveolar pada asma berat

air trapping (CT scan)

reprodusibilitas cukup non-invasif cukup memakan waktu (30 menit) Alveolar and bronchial NO Alveolar NO berkaitan :  RV/TLC dan closing

volume pada asma berat

 heterogenisitas ventilasi pada asma stabil

bronchial NO berkaitan dengan air trapping (CT scan) koefisien intrakelas tinggi (95%-99%) reprodusibilitas harian baik non-invasif cukup memakan waktu (20 menit)

Beberapa waktu belakangan diperkenalkan teknologi Hydrofluoroalkane (HFA) yang menjanjikan penetrasi lebih dalam. Sebuah device HFA pressurised-MDI dapat mengantarkan partikel obat dengan MMAD yang lebih kecil secara signifikan, sehingga dapat mengantarkan partikel obat melewati jalan nafas besar dan kecil> Hal tersebut secara signifikan meningkatkan deposisi obat pada jalan nafas perifer.

Keberhasilan teknologi HFA mencapai jalan nafas kecil menyisakan satu pertanyaan lagi mengenai keuntungan klinis pemberian obat yang mencapai jalan nafas kecil. Berbagai penelitian dilakukan untuk menjawab masalah tersebut. Salah satunya adalah penelitian Goldin, et al. yang membandingkan efikasi beclomethasone propionate dengan tenologi HFA (HFA-BDP) dengan obat yang sama dengan teknologi standar (CFC-BDP) dengan metode HRCT scan. Penelitian ini membuktikan setelah 4 minggu pengobatan, HFA-BDP memberikan efikasi yang lebih baik dibandingkan CFC-BDP.11

Berbagai penelitian lain yang dilakukan relatif serupa dengan penelitian oleh Goldin, et al. tadi, tetapi dengan metode pengukuran atau metode penelitian yang berbeda. Verbanck, et al. menggunakan metode penelitian switch-over antara obat dengan teknik ekstra-fine (HFA) dengan DPI standar. Penelitian oleh Juniper, et al. menggunakan kuesioner kualitas hidup (Asthma Quality of Life Questionnaire-AQLQ). Hasil-hasil penelitian tersebut konsisten menunjukkan keunggulan obat dengan partikel ekstra-fine (HFA) dalam hal efikasi dan kualitas hidup pasien asma.5

Ringkasan

Asma merupakan penyakit saluran nafas yang dapat diderita oleh setiap orang di seluruh dunia. Peranan kelainan jalan nafas kecil pada asma makin menarik perhatian para ahli. Para ahli menemukan hubungan kelainan jalan nafas kecil dengan status control pasien asma dan karakteristik klinisnya. Temuan ini mengarahkan tatalaksana asmma menuju era baru, yaitu era partikel ekstra-fine. Penggunaan teknologi ekstra-fine (HFA) ini terbukti memberikan perbaikan kontrol asma yang lebih baik pada kasus asma.

Daftar Pustaka

1. FitzGerald JM, Bateman ED, Boulet L-P, et al. Global Initiative for Asthma (GINA) Global Strategy for Asthma Management and Prevention (2015 update).

2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar (RISKERDAS) 2013.

3. van der Wiel, ten Hacken NH, Postma DS, van den Berge M. Small- airways dysfunction associates with respiratory symptoms and clinical features of asthma: a systematic review. .J Allergy Clin Immunol. 2013;131(3):646-57.

4. Burgel PR. The role of small airways in obstructive airway diseases. Eur Respir Rev 2011; 20(119):23-33.

5. van den Berge M, ten Hacken NHT, Cohen J. Small Airway Disease in Asthma and COPD: Clinical Implications. CHEST 2011; 139(2): 412 – 423

6. Contoli M, Kraft M, Hamid Q, et al. Do small airway abnormalities characterize asthma phenotypes? In search of proof. Clin Exp Allergy. 2012;42(8):1150-60.

7. Bakakos P, Loukides S, Kostikas K. The great expectations of small airways. PNEUMON. 2012;25(1):15-20.

8. Contoli M1, Bousquet J, Fabbri LM, et al. The small airways and distal lung compartment in asthma and COPD: a time for reappraisal. Allergy. 2010;65(2):141-51.

9. Usmani OS. Small Airways Dysfunction in Asthma: Evaluation and Management to Improve Asthma Control. Allergy Asthma Immunol Res. 2014;6(5):376-388.

10. Postma DS, Brightling C, Fabbri L, et al. Unmet needs for the assessment of small airways dysfunction in asthma: introduction to the ATLANTIS study. Eur Respir J 2015; 45: 1534–1538.

11. Goldin JG, Tashkin DP, Kleerup EC, et al. Comparative effects of hydrofluoroalkane and chlorofluorocarbon beclomethasone dipropionate inhalation on small airways: assessment with functional helical thin- section computed tomography. J Allergy Clin Immunol 1999; 104: S258–S267.

Manajemen Asma Jangka Panjang pada Pelayanan Kesehatan