• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendekatan Penderita Dengan Perdarahan

EVALUASI LABORATORIUM

6. Waktu thrombin (thrombin time/TT)

Tes ini menilai langkah terakhir dari hemostasis, yaitu konversi fibrinogen menjadi fibrin. Harga normal antara 9 – 35 detik tergantung pada pengenceran oleh thrombin. Pemanjangan dari TT relihat pada penderita dengan kadar fibrinogen yang rendah atau disfibrinogenemia serta kadar yang tinggi dari FDP. Sensitif untuk kelainan hati dan DIC.

LANGKAH-LANGKAH DIAGNOSIS PENDERITA DENGAN

PERDARAHAN 7

Evaluasi klinik penderita dengan perdarahan dapat dilakukan dengan pendekatan yang disebut 5 step algorithm. Pendekatan ini juga dapat merupakan dasar untuk rencana tatalaksana, termasuk keputusan untuk memberikan terapi komponen darah.

Langkah pertama : apakah ada masalah dengan trombosit pasien ?

Masalah tentang trombosit dapat diketahui secara kasar dalam hubungannya dengan penyakit tertentu. Penderita dengan kerusakan sumsum tulang akibat anemia aplastic, keganasan hematologic, atau pada paparan dengan obat terutama kemoterapi akan ditemukan dengan trombositopenia akibat berkurangnya produksi. Trombositopenia dapat juga dijumpai pada destruksi trombosit di perifir akibat proses imunologik seperti pada penyakit autoimun dan penyakit limfoproliferatif. Abnormalitas dari fungsi trombosit dapat bersifat herediter atau akibat paparan obat-obatan. Salah satu tanda penting dari gangguan trombosit adalah berupa petekhie. Tergantung pada beratnya trombositopenia, petekhie dapat terlokalisir hanya pada tangan atau kaki atau bahkan dapat meluas kesemua tubuh dan organ. Gejala lainnya dapat berupa easy bruising, perdarahan mukosa, epistaksis, menometroragia dan adanya oozing dari pembuluh darah kecil selama operasi.

Skrining tes untuk kecurigaan adanya gangguan trombosit adalah pemeriksaan jumlah trombosit dan BT apabila jumlah trombosit dalam batas normal. Tendensi adanya perdarahan pada penderita trombositopenia tidak hanya ditentukan oleh jumlah trombositnya. Meskipun pada orang normal hanya menunjukkan perdarahan minimal pada kadar trombosit 10.000/uL akan tetapi penderita dengan keganasan, komplikasi kehamilan, sepsis yang sedang berlangsung, dapat dijumpai perdarahan walaupun jumlah trombositnya masih sekitar 20.000/uL. Hal ini menunjukkan adanya kombinasi antara peranan fungsi disamping jumlah trombosit serta adanya kebutuhan yang meningkat akan trombosit akibat kerusakan dari sel endotel. Hal ini dapat dilihat pada kasus dengan trauma dan pembedahan, dimana perdarahan abnormal dapat terjadi pada kadar trombosit sekitar 50.000 u/L.

Secara klinik disfungsi trombosit dapat diketahui dengan BT. Tes ini kurang sensitive sehingga jarang digunakan sbagai tes skrining rutin. Pada penderita dengan sepsis, uremia atau mendapat obat yang menghambat fusngi trombosit dengan tes ini akan memberikan hasil yang abnormal. Pemeriksaan BT pada kasus-kasus seperti ini akan mengacaukan penilaian. Oleh karena itu pemeriksaan BT sebaiknya hanya digunakan pada pasien dengan dugaan adanya defek herediter dari fungsi trombosit seperti pada penyakit von Willebrand. 7, 14,15

Langkah kedua: apakah pasien mempunyai gangguan koagulasi yang herediter defisiensi faktor tunggal ?

Koagulopati herediter dapat diketahui dari presentasi kliniknya. Pada pasien dengan defisiensi faktor VIII dan factor IX ( hemophilia A dan B ) yang berat, akan muncul dengan riwayat perdarahan yang berulang yang dialami sejak baru lahir dan selama masa anak dan remaja. Apabila defisiensi tidak terlalu berat, pasien baru akan mengalami perdarahan apabila mendapat trauma atau operasi. Tidak seperti pasien dengan gangguan trombosit, penderita dengan gangguan protein koagulasi biasanya muncul dengan hemartrosis, hematom, perdarahan dari pembuluh darah besar.

Pemeriksaan PT dan aPTT merupakan tes skrining yang cukup bernilai untuk mendeteksi adanya kelainan itu. Sebaiknya penilaian ini dilakukan secara berpasangan selalu antara PPt dan aPTT. Apabila PT memanjang secara bermakna dan aPTT normal, pasien yang bersangkutan mungkin menderita defisiensi factor VII. Namun apabila aPTT sangat memanjang dan PT normal maka terjadi gangguan pada jalur instrinsik, utamanya factor VIII dan IX. Penilaian ini hanya akan berlaku benar apabila didukung oleh klinik pasien yang sesuai, pasien tidak sedang mendapat obat antikoagulan, pasien tidak dengan penyakit liver atau yang mengalami konsumtif koagulopati (DIC). Pemeriksaan PT sangat sensitive untuk penilaian jalur bersama (common pathway). Oleh karena itu pada PT yang memanjang dan aPTT normal dapat juga dijumpai pada pasien yang mendapat terapi warfarin atau dengan penyakit liver. Sebaliknya aPTT lebih sensitif untuk mendeteksi adanya heparin dan antikoagulan patologik yang beredar dalam darah. SEmua kemungkinanini harus mendapatkan pertimbangan sebelum menyimpulkan adanya kelainan yang bersifat tunggal . 7,16

Langkah ketiga: apakah pasien mempunyai kelainan faktor multiple?

Baik warfarin maupun penyakit liver akan menyebabkan gangguan factor yang multiple yang melibatkan jalur ekstrinsik dan jalur bersama. Pada penyakit liver juga dapat ditemukan gangguan produksi fibrinogen baik jumlahnya ataupun fungsinya . sehingga perlu untuk selalu mengevaluasi fungsi liver pada penderita dengan perdarahan. Jenis dari perdarahannya juga ikut memberi petunjuk penting, dimana perdarahan yang sering dijumpai adalah kombinasi antara easy bruising, purpura yang luas, perdarahan mukosa atau saluran makan. Pada penderita dengan penyakit liver yang berat tidak jarang muncul dengan perdarahan saluran makan atas yang sangat dramatic. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan disini adalah PT, aPTT, TT, fibrinogen assay. Seperti telah diutarakan, PT sangat sensitive untuk penurunan kadar dari factor-faktor yang tergantung pada vitamin K, yaitu VII, IX, X, V, protrombin. Disini akan dijumpai pemanjangan dari PT dengan aPTT yang relative normal. Akan tetapi pada kasus dengan fungsi liver yang sangat jelek maka akan terjadi

pemanjangan sari PT, aPTT, TT. Hal ini oleh karena adanya disfibrinogenemia dan FDP yang dapat menghambat fungsi thrombin. 7,16,17

Langkah keempat: Apakah ada anti koagulan yang beredar dalam darah?

Pemberian antikoagulan akan dapat menimbulkan perdarahan. Pemberian heparin ataupun antikoagulan jenis lain sebagai terapi thrombosis baik vena maupun arteri sering kita jumpai terutama penderita yang dirawat di ruang intensif. Jika kontrolnya kurang, maka akan dapat mengakibatkan pemanjangan aPTT dan TT. Selain itu keberadaan anti koagulan patologik seperti antibody antifosfolipd juga harus diwaspadai. Hal ini akan mengakibatkan pemanjangan aPTT jauh melebihi PT. Munculnya inhibitor terhadap faktor VIII dan IX juga dapat menyebabkan perdarahan abnormal. Adanya antibody antifosfolipid maupun inhibitor dapat diketahui dengan cara melakukan pemeriksaan aPTT ulangan dan mencampurkan dengan plasma normal, perbandingan 1:1. Apabila hasil tes aPTT terkoreksi dengan baik parsial ataupun total, berarti kemungkinan keberadaan antikoagulan dapat disingkirkan. 7,16,17

Langkah kelima: apakah pasien dengan koagulopati konsumtif?

Biasanya muncul pada pasien dengan kondisi DIC. Pada pasien dengan koagulopati konsumtif biasanya muncul perdarahan sistemik. Pemeriksaan laboratorium yang bisa dilakukan adalah hitung platelet, PT, aPTT, TT, fibrinogen assay, tes untuk FDP, hapusan darah tepi untuk melihat fragmentasi eritrosit, d-dimer, AT III dan αβ-antiplasmin yang memberikan informasi tentang pembentukan klot dan fibrinolisis . 7,16,17

RINGKASAN

Pendekatan diagnosis dan penatalaksanaan penderita dengan perdarahan masih merupakan tantangan bagi para klinisi. Banyaknya kasus perdarahan dengan penyebab, manifestasi klinis dan hasil laboratorium yang bervariasi menuntut para klinisi untuk mengambil keputusan yang sistematis dan efektif dalam bekerja. Evaluasi klinis seperti pengambilan anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan teliti serta menganalisa data laboratorium yang ada sangat dibutuhkan. Gangguan hemostasis dapat dikelompokkan menjadi gangguan yang didapat dan

diturunkan. Berdasarkan komponen yang terganggu dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu gangguan pada vaskuler, platelet dan faktor koagulasi.

Algoritme ―5 langkah‖ dapat membantu klinisi untuk menentukan penyebab

perdarahan. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan baik untuk penapisan maupun pemeriksaan spesifik.

Tabel 3. Evaluasi penderita dengan perdarahan 7

Langkah Gangguan Hemostasis Pemeriksaan Penunjang Langkah 1 Gangguan Platelet ?

Trombositopeni atau Defek fungsi trombosit

Hitung platelet Waktu perdarahan

Langkah 2 Defisiensi Faktor Koagulasi tunggal? Faktor VII, VIII, IX, X, V, XI, fibrinogen

PT, PTT

Langkah 3 Defisiensi Faktor Koagulasi multiple? Defisiensi vitamin K, penyakit hati, terapi warfarin

PT,PTT,TT

Fibrinogen assay

Langkah 4 Antikoagulan di sirkulasi?

Heparin, antibody faktor VIII atau IX, lupus antikoagulan

PTT dengan 1:1 mix TT

Langkah 5 Koagulopati konsumtif? TTP, HUS, vasculitis, sepsis, komplikasi obstetri, trauma, penyakit hati Penapisan DIC: Hitung platelet PT,PTT,TT Fibrinogen, AT III, αβ-antiplasmin, d dimer, hapusan darah tepi

DAFTAR RUJUKAN

1. Rodgers GM, Lehman CM. The Diagnostic approach to the bleeding disorders. In: Pine JW, Paraskevas F, Greer JP, Rodgers GM, Arber DA, Glader BG, et al,. editors. Disorders of Hemostasis. 13th ed. Baltimore: Lippincott Williams&Wilkins, 2014, p 1043-57.

2. Disorders of Coagulation, Platelets, and vessel wall. In: Marder VJ, William CA, Bennet JS, Schulman S, White GC, editors. Hemostasis and Thrombosis. Basic Principles & Clinical Practice. 6th ed. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins, 2013, p641-7.

3. Quiroga T, Mezzano D. Is my patient a bleeder? A diagnostic framework for mild bleeding disorders. American Society of Hematology. Hematology 2012, p 466-74.

4. Isbister JP, Pittigglio DH. Gagal Hemostatik. Dalam: Kartini A, Hartawan B, Mander LI, editor. Hematologi Klinik. Pendekatan Berorientasi Masalah. Cetakan I. Jakarta: Hipokrates; 1999, p140-65.

5. Tambunan KL, Marcel, Syafrizal, Zubairi, Muthalib, Harryanto. Pendekatan Diagnosis Klinis Kelainan Hemostasis. Dalam: Setiabudy RD, editor. Hemostasis dan Trombosis. Edisi keempat. Jakarta: FKUI; 2009, p 16-33.

6. Saito H. Normal hemostatic mechanism. In: Ratnoff OD, Forbes CD, editors. Disorders of Hemostasis. 3rd ed. Philadelpia:W.B Saunders Company, 1996, p 23-52.

7. Hillman RS, Ault KA. Clinical Approach to Bleeding Disorders. In: Hematology Clinical Practice. 3rd ed. New York: McGraw-Hill 2002, p 308-16.

8. Triplett DA. Coagulation and Bleeding Disorders: Review and Update. Clinical Chemistry 2000: 46:8(B), p 1260-1269.

9. Williams WJ. Classification and Clinical Manifestations of disorders of hemostasis. In: Williams WJ, Beutler E, Erslev AJ, Lichtman MA, editors. Haematology. 7th ed. New York: McGraw-Hill, 2007,p.1338-70. 10. Jawarkar AV. Laboratory Approach to Bleeding Disorders. Available at

www.pathologybasics.wix.com. Access on October 2015.

11. Goodninght SH, Hathaway WE. Evaluation of Bleeding Tendency in the outpatient Chid and Adukt. In Seils A, McCullough K, Edmonson KG,

editors. Disorders of Hemostasis and Thrombosis. A Clinical Guide. 2nd ed. Lancaster: McGraw-Hill, 2001, p 58-69.

12. Karnath BM. Easy Bruising and Bleeding in the Adult Patient: A Sign of Underlying Disease. Hospital Physician. Jan 2005;p 35-9.

13. Hayward CPM. Diagnosis and Management of Mild Bleeding Disorders. Hematology 2005;p423-8.

14. Ballas M, Kraut EH. Bleeding and Bruising: A Diagnostic Work-up. Am Fam Physician 2008:77(8);p 1117-24.

15. Bowie EJW, Owen CA. Clinical and laboratory diagnosis of hemorraghic disorders. In: Ratnoff OD, Forbes CD, editors. Disorders of Hemostasis. 3rd ed. Philadelpia:W.B Saunders Company, 1996, p 53-78.

16. Mehta AB, Hoffbrand AV. Normal Haemostasis. In: Haematology at a Glance. 2nd ed. Oxford: Blackwell Science Ltd 2005, p68-77.

17. Hoffbrand AV, Petit JE, Moss PAH. Platelets, Blood Coagulation and Haemostasis. In: Essential Haematology. 5th ed. Oxford: Blackwell Science Ltd, 2006, p 264-277

.UPDATE REKOMENDASI IMUNISASI PADA DEWASA

Tuti Parwati Merati

Divisi Ilmu Penyakit Tropik dan Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, RSUP Sanglah Denpasar Pendahuluan

Vaksinasi bukanlah hanya untuk bayi dan anak-anak. Dengan bertambahnya usia menjadi dewasa dan usia lanjut, tidak berarti kebutuhan untuk imunisasi berhenti. Tanpa memandang usia, kita semua perlu daya tahan tubuh yang kuat untuk menjaga tubuh dari berbagai penyakit yang serius dan bahkan fatal. Pada orang dewasa, imunisasi dapat membantu untuk mencegah seseorang terkena penyakit dan menularkan penyakit yang berakibat kondisi kesehatan yang buruk, sakit-sakitan, biaya pengobatan membengkak dan tidak dapat menjaga keluarga. Mungkin saja vaksinasi yang diperoleh saat kanak-kanak masih tetap bertahan sepanjang waktu, tapi masih ada risiko ancaman penyakit infeksi baru baik

new/emerging and reemerging infectious diseases. Disamping itu dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran saat ini pembuatan vaksin terus berkembang untuk beberapa penyakit infeksi yang sebelumnya belum ada vaksinnya atau ada pembaharuan dari vaksin yang sudah ada.

Perlu diketahui bahwa setiap tahun, the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) memperbaharui jadwal imunisasi dewasa yang direkomendasikan untuk memastikan bahwa jadwal imunisasi sekarang adalah jadwal yang sesuai untuk kondisi terbaru saat ini dan dengan vaksin yang telah berlisensi. Karena itu kita perlu mengenal update dari rekomendasi imunisasi pada dewasa.

Update rekomendasi vaksinasi pada dewasa

Semua orang dewasa perlu mendapat vaksin influenza setiap tahun dengan vaksin terbaru yang ada. Dalam rekomendasi baru, pemberian vaksin influenza direvisi untuk memberikan informasi lebih detail dalam pemilihan vaksin dan cara pemberiannya. Live attenuated influenza vaksin (LAIV) di setujui untuk diberikan hanya untuk orang sehat yang tidak

hamil, usia 2 – 49 tahun. Untuk usia 18 – 64 tahun dapat diberikan produk vaksin influenza inaktif (IIV) intra muskuler atau intradermal, termasuk vaksin rekombinan (RIV3). Untuk usia 65 tahun atau lebih, dapat diberikan dosis standar IIV, dosis tinggi IIV atau RIV3.

Setiap orang dewasa seharusnya mendapat vaksinasi tetanus, diphteri dan pertussis (Tdap) bila sebelumnya dia tidak pernah mendapatkannya, terutama untuk mencegah pertussis. Selanjutnya setiap 10 tahun perlu mendapat booster vaksin tetanus dan diphteri. Disamping itu untuk wanita hamil, vaksinasi Tdap diberikan setiap dia hamil, sebaiknya pada kehamilan 27 – 36 minggu.

Vaksinasi varicella diberikan dua dosis selama periode dewasa usia 19 – lebih dari 65 tahun.Vaksin lain yang diperlukan pada orang dewasa, akan ditentukan dari beberapa faktor antara lain usia, gaya hidup, kondisi kesehatan, pekerjaan, perjalanan internasional dan riwayat vaksinasi sebelumnya dan indikasi lainnya.Vaksin tersebut adalah vaksin hepatitis A, hepatitis B, hemofilus influenza tipe B (Hib), meningococal, vaksin pneumococal, vaksin human papiloma virus (HPV) dan vaksin herpes zoster (VZV). Disamping itu rekomendasi juga memberi catatan informasi tambahan mengenai vaksin khusus termasuk untuk wisatawan.

Untuk vaksin tetanus, difteri, dan pertusis aselular (Tdap) dan vaksin tetanus, difteri (Td) ada catatan dalam rekomendasi yang baru. Vaksin Tdap dianjurkan khusus untuk orang yang berhubungan dekat dengan bayi usia kurang dari 12 bulan (misalnya, orang tua, kakek nenek, dan petugas perawatan anak) dan mereka yang belum menerima Tdap sebelumnya. Namun, pada tahun 2011, ACIP merekomendasikan wanita hamil secara khusus diberikan vaksinasi Tdap dalam kehamilan usia lebih 20 minggu kehamilan. Orang dewasa lainnya yang berhubungan dekat dengan bayi usia kurang dari 12 bulan tetap dianjurkan untuk menerima dosis satu kali vaksin Tdap.

Rekomendasi terbaru untuk human papillomavirus (HPV) dan hepatitis B berdasarkan rekomendasi yang dibuat pada pertemuan ACIP bulan Oktober 2011. Rekomendasi vaksin HPV telah diperbarui untuk memberikan vaksinasi rutin dari laki-laki usia 11-12 tahun, dan untuk laki- laki usia 13-21 tahun. Vaksin HPV juga dianjurkan untuk pria yang

immunocompromised, atau yang dites positif human immunodeficiency virus (HIV), atau yang berhubungan seks dengan pria (LSL). Sebelumnya, rekomendasi hanya untuk perempuan usia 19 – 26 . Vaksin herpes zoster yang telah disetujui oleh Food and Drugs Administration (FDA) dipakai sejak 2006 dan direkomendasikan untuk diberikan pada usia 60 tahun atau lebih.

Rekomendasi vaksin hepatitis B untuk dewasa usia kurang dari 60 tahun yang menderita diabetes, diberikan segera setelah didiagnosis diabetes. Untuk orang dewasa dengan diabetes yang berusia 60 tahun atau lebih vaksinasi hepatitis B dianjurkan berdasarkan kebutuhan kemungkinan pasien dalam pemantauan glukosa darah, kemungkinan tertular hepatitis B, dan kemungkinan respon kekebalan terhadap vaksinasi.

Catatan untuk vaksin campak, gondok, rubella (MMR) disederhanakan untuk fokus hanya pada penggunaan rutin vaksin pada orang dewasa, informasi tentang penggunaan vaksin untuk pengendalian wabah telah dihapus. Informasi tambahan diberikan tentang penggunaan vaksin konjugasi quadrivalent meningokokus (MCV4) dan vaksin polisakarida meningokokus (MPSV4) untuk usia tertentu dan kelompok risiko, tentang vaksin varicella, dan vaksin pneumokokus polisakarida (PPSV).

Referensi

1. CDC: 24/7 Saving lives, Protecting people. www.cdc.gov/vaccines 2. Recommended Adult Immunization Schedule — United States, 2015

http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/mm6104a9.htm

3. Adults schedule vaccination di

http://www.cdc.gov/vaccines/recs/schedules/adult-schedule.htm

4. Pernyataan ACIP untuk vaksin tertentu di

Gambar 1. Recommended Adult Immunization Schedule — United States, 2015 Sumber:http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/mm6104a9.htm

Gambar 2. Recommended Adult Immunization Schedule — United States, 2015 Sumber: http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/mm6104a9.htm