• Tidak ada hasil yang ditemukan

Buku Naskah lengkap Pendidikan Kendokteran Berkelanjutan XXIII.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Buku Naskah lengkap Pendidikan Kendokteran Berkelanjutan XXIII."

Copied!
231
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)

BUKU NASKAH LENGKAP

PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII

―LEADING INTERNAL MEDICINE TO BEST CARE OF PATIENT:

BASED ON NOVEL RESEARCH‖

Inna Grand Bali Beach Sanur, 05 - 07 November 2015

Editor:

Prof. Dr. dr. I Made Bakta, SpPD-KHOM, FINASIM

Prof. Dr. dr. IDN Wibawa, SpPD-KGEH, FINASIM

Dr. dr. Ketut Suega, SpPD-KHOM, FINASIM

(6)

KATA PENGANTAR

Om Swastyastu,

Ilmu Penyakit Dalam merupakan ilmu yang terus berkembang dan memiliki banyak variasi dalam aplikasi klinis, baik dalam hal teori, prosedur diagnostik, maupun terapi. Dokter dan tenaga paramedis lainnya memiliki tanggung jawab moral yang besar untuk dapat memberikan pelayanan di bidang kesehatan yang terbaik bagi pasien, sehingga klinisi dituntut untuk senantiasa memperbaharui keilmuan dan keahliannya sesuai standar global.

Tidak hanya ilmu kedokteran yang berkembang, sistem kesehatan pun berbenah seiring perkembangan informasi ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran, sehingga untuk dapat menghadapi semua tantangan tersebut, kami mengundang seluruh sejawat baik dokter spesialis penyakit dalam, dokter umum, dan tenaga kesehatan lainnya untuk memperdalam serta update kembali ilmu yang dimiliki melalui workshop dan simposium yang diselenggarakan dalam PKB Ilmu Penyakit Dalam dengan topik Leading Internal Medicine to Best Care of Patient : Based on Novel Research.

Semoga acara ini memberikan manfaat yang baik bagi kita semua untuk satu tujuan mulia; memberikan pelayanan kesehatan terbaik untuk pasien.

Om Cantih, Cantih, Cantih, Om Hormat Saya,

Ketua Panitia PKB XXIII

(7)

KONTRIBUTOR

Prof. DR. Dr. Ketut Suwitra, SpPD

Konsultan Ginjal Hipertensi, Divisi Ginjal Hipertensi, Departemen Ilmu Penyakit dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali

Prof. DR. Dr. Gde Raka Widiana, SpPD

Prof. DR. Dr. Tjok Raka Putra, SpPD

Prof. DR. Dr. Ketut Suastika, SpPD

(8)

Prof. DR. Dr. IMade Bakta, SpPD

Dr.Ni Made Reni A. Rena, SpPD

Divisi Hematologi-Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali

Prof. DR. Dr. I Wayan Wita, SpJP

Konsultan, Departemen Jantung dan

Prof. DR. Dr. IDN Wibawa, SpPD

(9)

Kamis, 05 November 2015

WORKSHOP EFFECT AND ACTION OF LIRAGLUTIDE INJECTION IN DIABETES

07.30 – 08.00 Registration

08.00 – 08.30 Opening Ceremony and Coffe Break

08.30 – 10.30 Effect and Action of Liraglutide Injection in Diabetes

10.30 – 11.30 Discussion

12.00 Closing Ceremony and Lunch

WORKSHOP THE INITIATION OF ARV ON DIFFERENT CASES, WHEN AND HOW?

07.30 – 08.00 Registration

08.00 – 08.30 Opening Ceremony and Coffe Break

08.30 – 10.00 INITIATION OF ARV ON DIFFERENT CASES, WHEN AND HOW? Case Study

Prof DR dr K. Tuti Parwati, Sp.PD-KPTI

dr. I Made Susila Utama, Sp.PD-KPTI

dr. I Ketut Agus Somia, Sp.PD-KPTI

dr. Anak Agung Yuli Gayatri, Sp.PD

dr. Ni Made Dewi Dian Sukmawati,Sp.PD

10.00-12.00 DIscussion

12.00 – Finish Closing Ceremony and Lunch

WORKSHOP ALERGI AND IMUNOLOGY

07.30 – 08.00 Registration

08.00 – 08.30 Opening Ceremony and Coffe Break

08.15 – 13.00 Updated Management in Type 1 Alergic Reaction With and Without Shock DR. dr. Ketut Suryana, Sp.PD KAI

Management of Shock: Focus on Fluid Resuscitation and Acid-Base Disbalance dr. Putu Andrika, Sp.PD KIC

11.30-12.30 Discussion

(10)

Jumat, 06 November 2015

07.30-08.00 Registration 08.00-08.15 Opening 08.15-08.45 Plenary Lecture 1

An Overview of Medical Emergency in Thrombosis

Speaker : Prof. DR. dr. I Made Bakta, SpPD-KHOM Coffee Break

09.00-10.00 Pre Lunch Sympo 1

Neuropathic Pain in Elderly: Role of Pregabalin

Moderator : dr. I Nyoman Astika, SpPD-KGer

The Importance to Manage Neurophatic Pain in Diabetic Elderly Patient

Speaker : Prof. DR. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD)

Pregabalin as the Cornerstone of Treating Neuropathic Pain

Speaker : DR. dr. Thomas Eko Purwata, SpS (K) 10.00-11.00 Pre Lunch Sympo 2

Update in Management of Geriatric Syndrome

Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS

Controversion of Using Antioxidant in Elderly Degenerative Disease

Speaker : dr. IGP Suka Aryana, SpPD-KGer

Nutrional Management in Frailty Elderly

Speaker : dr. I Nyoman Astika, SpPD-KGer 11.00-12.30 Lunch Sympo 1

The Role of Small Airways in Management of Asthma

Moderator: dr. IB Suta, Sp.P

The Role of Small Airways Management in Asthma

Speaker : Prof. DR. dr. IB Ngurah Rai, SpP (K)

Recent Management of Asthma

Speaker : dr. IGN Bagus Artana, SpPD 12.30-13.30 Lunch

13.30-14.30 Post Lunch Sympo 1

Current Issues in Chronic Cardiac Problems

Moderator : dr. IGN Putra Gunadhi, SpJP (K) FIHA

Current Issue in Management of Chronic Stable Angina

Speaker : Prof. DR. dr. I Wayan Wita SpJP (K) FIHA

Optimizing Management of Chronic Heart Failure

DR. dr. I Ketut Rina, SpPD, SPJP (K) FIHA 14.30-15.30 Post Lunch Sympo 2

Recent Management of Hematological Problems

Moderator : DR. dr . Ketut Suega, SpPD-KHOM

Updating in diagnostic of thrombocytopenia

Speaker : dr. I Wayan Losen, SpPD-KHOM)

An Approach to Medical Bleeding

(11)

Sabtu, 07 November 2015

08.15-08.45 Plenary Lecture 2

Update recommendation of Vaccination in Adult

Speaker : Prof. DR. dr. K. Tuti Parwati Merati, SpPD-KPTI 08.45-09.00 Coffee Break

09.00-10.00 Pre Lunch Sympo 3

Combined Drugs use on Hypertension treatment

Moderator : DR. dr. I Wayan Sudhana, SpPD-KGH

The Principal of Drug combination on Hypertension Treatment

Speaker : Prof. DR. dr. I Gde Raka Widiana, SpPD-KGH

Advantage of Valsartan and Amlodipine Combination on Hypertension treatment

Speaker : Prof. DR. dr. Ketut Suwitra, SpPD-KGH 10.00-11.00 Pre Lunch Sympo 4

Role of Vaccination in Elderly

Moderator: dr. Ni Ketut Rai Purnami, SpPD

Problems Regarding Herpes Zoster Infection in Elderly

DR. dr. RA. Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS

Evidence Based of Herpes Zoster Vaccination in Elderly

Speaker : dr. IGP Suka Aryana, SpPD-KGer 11.00-12.30 Lunch Sympo 2

Use of CCB on Hypertension Treatment : What’s new? Moderator : dr. Jodi S. Loekman, SpPD-KGH

Role of CCB on treatment of Hypertension

Speaker : Prof. DR. dr. Ketut Suwitra, SpPD-KGH

Long acting nifedipine (GITS system) on treatment of Hypertension

Speaker : DR. dr. Yenny Kandarini, SpPD-KGH 12.30-13.30 Lunch

13.30-14.30 Post Lunch Sympo 3

Update Management of Chronic Hepatitis B

Moderator : dr. IGA. Suryadharma, SpPD-KGEH

Immunobiology Immunotherapy Chronic Hepatitis B

Speaker : Prof. DR. dr. IDN Wibawa, SpPD-KGEH

Strategy Therapy Chronic Hepatitis B

Speaker : dr. Nyoman Purwadi, SpPD-KGEH 14.30-15.30 Post Lunch Sympo 4

Recent update in Rheumatology diseases

Moderator : dr. Pande Kurniari, SpPD

New Issue in Hyperuricemia and Gouty Arthritis

Prof. DR. dr. Tjokorda Raka Putra, SpPD-KR

The Role of ANA-IF and ANA-Profile Examination in SLE

(12)
(13)

Pregabalin as the Cornerstone of Treating Neuropathic Pain

Thomas Eko P, Putu Eka Widyadharma SMF/Bagian Neurologi

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana-RSUP Sanglah Denpasar

Abstrak

Nyeri Neuropatik (NN) merupakan salah satu bentuk nyeri kronik yang sulit diobati , obat-obatan penghilang rasa sakit dan anti inflamasi non steroid pada umumnya kurang responsif untuk mengobati NN.

Penatalaksanaan NN masih merupakan tantangan , hanya sekitar 50% pasien yang diobati berkurang rasa nyerinya, itupun nyerinya tidak hilang total dan seringkali efek samping obat tidak dapat ditoleransi oleh pasien. Pendekatan terapi NN yang rasional adalah berdasarkan mekanisme terjadinya NN. Menejemen NN kronik idealnya dilakukan secara multidisiplin dan berdasarkan guideline (GL) dengan memperhatikan untung dan ruginya. Obat-obatan untuk NN yang mempunyai efikasi yang baik berdasarkan bukti klinik adalah analgesik adjuvan seperti misalnya : anti-konvulsan, anti-depresan, anestesi lokal dan lain-lainnya.

Pregabalin merupakan anti-konvulsan yang bekerja pada α2-δ subunit dari voltage gated calcium channel. Mekanisme kerjanya adalah memodulasi influks kalsium dan mengurangi pelepasan neuro-transmiter eksitatorik presinap seperti glutamat, substansi P, dan calcitonin gene-related peptide sehingga dapat mengurangi nyeri. Pregabalin memiliki efikasi dan keamanan yang baik. Semua organisasi Internasional merekomendasikan pregabalin sebagai obat lini pertama untuk terapi farmakologik hampir semua NN, kecuali untuk neuralgia trigeminal obat lini pertama adalah karbamasepin dan okskarbasepin.

(14)

Pendahuluan

Nyeri Neuropatik (NN) merupakan salah satu bentuk nyeri kronik yang sangat sulit ditangani, obat-obatan golongan analgesik dan anti inflamasi non steroid kurang mempan untuk mengobati NN. Nyeri neuropatik sering membuat frustasi baik pasien maupun dokternya, tidak jarang terjadi gangguan tidur, kecemasan dan depresi, sebagai akibatnya kualitas hidup pasien menurun.1 Survei epidemiologi menunjukkan bahwa banyak pasien NN belum mendapatkan penatalaksanaan yang memadai. Hal ini antara lain disebabkan karena kurangnya pengetahuan tentang diagnosis yang tepat, pemilihan terapi dan efikasi dari obat-obatan untuk NN.1-3

Gejala klinik NN sangat bervariasi dan individual. Pada penyakit yang sama gejala kliniknya dapat berubah dari waktu ke waktu dan pada individu yang satu gejalanya tidak selalu sama dengan individu yang lain, demikian pula respon pengobatannya sangat individual sehingga hal ini menyulitkan diagnosis dan terapinya.

Manajemen NN masih merupakan tantangan , hanya sekitar 50% pasien yang diobati berkurang rasa nyerinya, itupun nyerinya tidak hilang total dan seringkali efek samping obat tidak dapat ditoleransi oleh pasien.4 Pendekatan terapi NN yang rasional adalah berdasarkan mekanisme terjadinya NN.

Pregabalin merupakan anti-konvulsan yang bekerja pada α2-δ subunit dari voltage gated calcium channel. Mekanisme kerjanya adalah memodulasi influks kalsium dan mengurangi pelepasan neuro-transmiter eksitatorik presinap seperti glutamat, substansi P, dan calcitonin gene-related peptide sehingga dapat mengurangi nyeri. Pregabalin memiliki efikasi dan keamanan yang baik

(15)

sekarang masih belum ada obat-obatan yang memberikan hasil yang memuaskan.9

Definisi Nyeri Neuropatik

Definisi baru dari NN adalah nyeri yang berasal dari lesi atau penyakit yang mengenai sistem saraf somatosensoris.10 Prevalensi NN berkisar antara 7-10% pada populasi umum di negara maju.11 Penyakit yang termasuk NN antara lain : radikulopati servikal dan lumbal, neuropati diabetik, cancer related neuropathy, neuralgia pasca herpes, HIV-related painful polyneuropathy, cedera medula spinalis, central post stroke pain, neuralgia trigeminal, complex regional pain syndrome tipe 2 , nyeri

phantom dan lain-lainnya.12

Pregabalin.

Pregabalin (PGB) adalah substansi yang secara struktural analog

gamma aminobutyric acid (GABA) yang bersifat lipofilik namun secara fungsional tidak berhubungan dengan neuro-transmitter GABA.13 Berdasarkan bukti klinis PGB bermanfaat untuk mengobati epilepsi, gangguan psikiatri, fibromialgia dan NN.

Mekanisme kerja

Pregabalin adalah anti-konvulsan yang memiliki afinitas tinggi terhadap α2-δ subunit dari voltage gated calcium channel dan bertindak sebagai ligandα2-δ subunit . Terdapat 4 subtipe protein α2-δ, PGB hanya terikat dengan afinitas yang kuat pada subtipe 1 dan 2. Mekanisme utama kerjanya adalah memodulasi influks kalsium dan mengurangi pelepasan neuro-transmiter eksitatorik presinap seperti glutamat, substansi P, dan

calcitonin gene-related peptide sehingga dapat mengurangi nyeri. 13,14

Farmakokinetik

(16)

setelah pemberian dosis tunggal atau ganda dan keadaan steady state

dicapai dalam waktu 24-48 jam setelah pemberian dosis ulangan. 13

Bioavailabilitas PGB secara oral tinggi > 90% dan tidak tergantung dosis. Rerata waktu paruh PGB adalah 6,3 jam dan tidak tergantung dosis dan pemberian obat ulangan sehingga menjamin tingkat kepercayaan dosis-respon dalam praktek klinik. Efek klinik PGB tidak dipengaruhi oleh makanan sehingga dosis obat tidak dipengaruhi oleh makanan.13,15

Efikasi Pregabalin

Pregabalin terbukti efektif untuk mengurangi skala nyeri, memperbaiki gangguan tidur dan memperbaiki kualitas hidup penderita NN. Studi klinik PGB telah dilakukan secara luas pada berbagai macam penyakit antara lain: radikulopati servikal dan lumbal, neuropati diabetik,

cancer related neuropathy, neuralgia pasca herpes, HIV-related painful polyneuropathy, cedera medula spinalis, central post stroke pain, neuralgia trigeminal, complex regional pain syndrome tipe 2 , nyeri phantom dan lain-lainnya.6 Dari 25 placebo-controlled randomized trials didapatkan 18 studi PGB dengan dosis 150-600 mg/hari terbukti efektif dalam menurunkan skala nyeri dan terdapat response gradient dosis ( dosis 600 mg/hari responnya lebih tinggi daripada 300 mg/hari). Dua trial pada HIV-related painful polyneuropathy dengan respon plasebo yang tinggi hasilnya negatif. Gabungan number needed to treat (NNT) adalah 7.7 (95% CI 6,5-9,4) seperti terlihat pada gambar 1.8

Efikasi PGB dalam mengurangi nyeri pada pasienPainful Diabetic Neuropathy (PDN) dan PHN telah establish.7,16. Penurunan skala nyeri sudah dapat terlihat setelah 1 minggu terapi. Perbaikan fungsional dan kualitas hidup sebagai respon terhadap PGB berhubungan dengan semakin berkurangnya keluhan nyeri. Studi terbaru juga menunjukkan bahwa PGB memberikan efek pengobatan yang lebih baik dibandingkan dengan amitriptilin pada pasien dengan PHN.17 Kombinasi antara PGB dan Imipramin mempunyai efikasi yang lebih baik daripada obat tunggal.18

(17)

Gambar 1 Forest Plot Data dari Pregabalin. 8

NNT = number needed to treat. CPSP = centralpost-stroke pain. SCI = spinalcord injury pain. PPN = painfulpolyneuropathy. FDA= USFood and DrugAdministration. PHN= postherpeticneuralgia.PNI = peripheral nerve injury. PhRMA = Pharmaceutical Research and Manufacturers of America.

Keamanan Pregabalin

(18)

Pregabalin mempunyai kemampuan untuk menembus sawar darah otak secara cepat, sehingga mampu mempengaruhi aktivitas susunan saraf pusat. Metabolisme PGB dalam tubuh manusia hanya sedikit ( < 2% ) dan diekskresi dalam bentuk tidak berubah oleh ginjal. Pregabalin tidak berikatan dengan protein plasma, tidak mengalami metabolism di hati, tidak menginduksi atau menghambat enzim-enzim hati seperti sitokrom P450 sehingga PGB tidak menimbulkan farmakokinetik interaksi antar-obat. Ekskresi PGB melalui ginjal sehingga perlu penyesuaian dosis pada pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal, pada pasien dengan klirens kreatinin < 60 ml/menit.13,15 Pada pasien dengan klirens kreatinin 30-60 ml/menit , dosis harian dikurangi 50%. Penurunan dosis harian sampai 50% dianjurkan setiap penurunan klirens kreatinin 50%. Tambahan dosis PGB dianjurkan pada pasien yang menjalani hemodialis kronis. Dosis harian harus segera segera ditambahkan setelah setiap 4 jam sesi hemodialysis untuk menjaga konsentrasi plasma PGB stabil dalam rentang yang diinginkan.15

Menejemen Nyeri Neuropatik

Nyeri neuropatik merupakan salah satu bentuk nyeri kronik yang sangat sulit ditangani, meskipun pengetahuan kita tentang NN telah berkembang sangat pesat dengan diketemukannya sistem sinyal multipel dan peranan sel glia dalam mekanisme NN. Penemuan tersebut membawa kemajuan dalam terapi tetapi masih banyak pasien NN yang tidak mendapatkan pengurangan nyeri yang memadai dengan terapi yang ada pada saat ini.22 Pada NN kronik jarang dapat dilakukan terapi kausal sehingga pengobatan simtomatis masih merupakan pilihan yang terbaik.7

(19)

Tabel 1.Tahapan menejemen terapi farmakologik Nyeri Neuropatik.2,23

Tahap 1

 Assesmen nyeri dan tegakkan diagnosis NN, bila ragu-ragu rujuk ke ahli saraf atau spesialis nyeri.

 Bila mungkin cari dan obati kausa NN, bila ragu-ragu rujuk ke spesialis terkait.

 Identifikasi komorbiditas yang relevan (misalnya penyakit jantung, ginjal, hati, depresi dll.) yang dapat diperberat oleh NN.

 Berikan penjelasan diagnosis dan rencana pengobatan pasien.

 Berikan penjelasan kepada pasien bahwa pengobatan NN memerlukan obat dengan awitan yang relatif lambat, berlangsung cukup lama dan kemungkinan dapat terjadi efek samping.

Tahap 2

 Terapi awal penyebab NN bila mungkin.

 Terapi awal gejala NN sesuai dengan guideline : TCA/SSNRI dan atau Gabapentin/Pregabalin.

 Pemilihan obat yang dipakai dengan memperhatikan jenis penyakit, khasiat dan efek samping obat, misalnya pada penderita dengan gangguan tidur dan cemas, obat pilihan adalah amitriptilin yang diberikan pada malam hari, kecuali ada kontra indikasi dengan obat tersebut.

 NN perifer terlokalisir : lidokain topikal secara tunggal atau kombinasi dengan obat lini pertama.

 Dimulai dengan dosis rendah dan titrasi setiap beberapa hari.

 Dosis dinaikkan sampai dosis optimal bila respon pengobatan kurang memadai dan efek samping obat dapat ditoleransi penderita.

 Untuk pasien NN akut, nyeri kanker, atau eksaserbasi episodik dari nyeri hebat dipertimbangkan terapi analgesik opiat atau tramadol secara tunggal atau kombinasi dengan obat lini pertama.

(20)

Tahap 3

 Assesmen ulang nyeri dan kualitas hidup pasien

 Bila terjadi penurunan nyeri yang memadai (misalnya rata-rata VAS

menjadi ≤ γ/10) dan efek samping obat dapat ditoleransi maka terapi

dilanjutkan.

 Bila nyeri berkurang sebagian (misalnya rata-rata VAS menjadi ≥ 4/10) tambahkan salah satu obat lini pertama dan penambahan obat ini dilakukan dengan titrasi dosis. Kombinasi obat kemungkinan lebih efektif daripada obat tunggal meskipun interaksi obat seringkali menimbulkan masalah.

 Untuk nyeri yang bersifat tajam dan menusuk, misalnya neuralgia trigeminal, maka pengobatan dapat dimulai dengan obat golongan antikonvulsan seperti karbamasepin atau okskarbasepin, gabapentin, fenitoin dan lain-lain.

 Untuk nyeri yang bersifat tumpul seperti terbakar dan sulit dilokalisir seperti neuralgia pasca herpes zoster maka pengobatan dapat dimulai dengan anti depresan seperti amitriptilin, nortriptilin, desipramin, duloksetin, venlafaksin, dan lain-lain.

 Bila respons tidak memadai ( misalnya penurunan skala nyeri < 30% ) ganti obat dengan obat lini pertama yang lain.

Tahap 4

 Bila obat tunggal dan kombinasi dari obat golongan lini pertama gagal pertimbangkan obat lini 2 dan 3 atau rujuk ke spesialis nyeri atau pusat nyeri multidisiplin.

____________________________________________________________ Keterangan : NN = nyeri neuropatik; TCA = tricyclic antidepressant; SSNRI = selective serotonin norepinephrine reuptake inhibitor. VAS = visual analog scale

Guideline (GL)

(21)

farmakologik NN.5-8 , tetapi GL ini mempunyai keterbatasan karena hanya fokus pada PDN dan PHN.

Terapi NN secara umum berdasarkan bukti klinis dan rekomendasi klinik terbaru GRADE ( Grading of Recommendations Assesment, Development, and Evaluation ) dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3.8 GRADE ini didasarkan pada systematic review dan meta-analysis dari seluruh obat yang dipakai untuk terapi NN baik yang dipublikasi maupun yang tidak dipublikasi dari Januari 1966 sampai April 2013.8

(22)

Tabel. 3 Ringkasan Rekomendasi GRADE

Pada semua GL yang dibuat oleh berbagai organisasi Internasional tersebut diatas pregabalin direkomendasikan sebagai obat line pertama untuk NN (kecuali pada neuralgia trigeminal).

RINGKASAN

Menejemen NN yang rasional adalah berdasarkan mekanisme terjadinya NN dan GL yang direkomendasikan oleh beberapa organisasi Internasional. Pregabalin merupakan anti-konvulsan yang bekerja pada α2

(23)

Semua organisasi Internasional sepakat merekomendasikan pregabalin sebagai obat lini pertama untuk terapi farmakologik NN, kecuali untuk neuralgia trigeminal.

Daftar Pustaka

1. Attal N, Lanteri-Minet M, Laurent B, Fermanian J, Bouhassira D.The specific disease burden of neuropathic pain: Results of a French nationwide survey. Pain 2011; 152: 2836–43.

2. Dworkin RH, Panarites CJ, Armstrong EP, Malone DC, Pham SV. Is treatment of postherpetic neuralgia in the community consistent with evidence-based recommendations? Pain2012; 153: 869–75.

3. Torrance N, Ferguson JA, Afolabi E, et al. Neuropathic pain in the community: more under-treated than refractory? Pain2013; 154:690–99. 4. O‘ Connor AB. Neuropathic Pain : a review of the quality of life impact.

Cost and cost effectiveness of therapy.

Pharmacoeconomic.2009;(3):143-9

5. Attal N, Cruccu G, Baron R, Haanpaa M et al, EFNS Guidelines on The Pharmacological Treatment of Neuropathic Pain, European J of Neurol 2010:17:1113-1123.

6. Attal N, Finnerup NB, Pharmacologic Management of Neuropathic Pain, Pain Clinical Updates 2010, 28(9).

7. Finnerup NB, Sindrup SH, Jensen TS . The evidence for pharmacological treatment of neuropathic pain. PAIN 2010;150 : 573– 581

8. Finnerup NB, Attal N., Haroutounian S, McNicol E, Baro R., Dworkin RH,et al.Pharmacotherapy for neuropathic pain in adults: a systematic review and meta-analysis. Lancet Neurol.2015; 162–7

9. Dworkin RH, O‘Connor AB, Audette J et al, Recommendations for the Pharmacological Management of Neuropathic Pain: An Overview and Literature Update.Mayo Clin Proc 2010;85(3)(suppl):S3-S14.

(24)

11. van Hecke O, Austin SK, Khan RA Smith BH, Torrance N. Neuropathic pain in the general population : a systematic review of epidemiological studies. Pain 2014:155;654-62

12. Gilron I, Watson CP, Cahill CM, Moulin DE. Neuropathic pain : a practical guide for the clinician. CMAJ 2006;175:265-75

13. Ben-Menachen E. Pregabalin Pharmacology and Its Relevance to Clinical Practice. Epilepsia 2004;45;(Suppl.6):13-18

14. Chen SR, Xu Z, Pan HL. Stereospecific Effect of Pregabalin on Ectopic Afferent Discharged and Neuropathic Pain Induced by Sciatic Nerve Ligation in Rats. Anesthesiology 2001;95:1473-9

15. Cada DJ, Levien T, Baker DE. Pregabalin, Hospital Pharmacy.2006;41(2):157-72

16. Freeman R, Durso-Decruz E, Emir B. Efficacy, safety, and tolerability of pregabalin treatment for painful diabetic peripheral neuropathy: findings from seven randomized, controlled trials across a range of doses. Diabetes Care 2008;31:1448–54.

17. Achar A, Chakraborty P, Bisai S. Comparative Study of Clinical Efficacy of Amytriptiline and Pregabalin in Postherpetic Neuralgia. Acta Dermatovenerol Croat, 2011; 20(2): 89-94.

18. Jakob VH, Flemming WB, Finnerup N, Brøsen K, Jensen TS, Sindrup SH. Imipramine and pregabalin combination for painful polyneuropathy: a randomized controlled trial.
Pain 2015;156 : 958–966

19. Simpson DM , Rice ASC, Emir B, Landen J, Semel D, Chew ML, Sporn J. A randomized, double-blind, placebo-controlled trial and open-label extension study to evaluate the efficacy and safety of pregabalin in the treatment of neuropathic pain associated with human immunodeficiency virus neuropathy Pain 2014;155:1943–1954

20. Kim JS, Bashford G, Murphy TK, Martin A , Dror V, Cheung R. Safety and efficacy of pregabalin in patients with central post-stroke pain
. Pain 2011;152: 1018–1023

21. Chong MS. Pregabalin in Painful Diabetic Peripheral Neuropathy. Drug. 2004;64(24):2821

(25)
(26)

KONTROVERSI PENGGUNAAN ANTIOKSIDAN

PADA USIA LANJUT

IGP SUKA ARYANA

Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam,

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, RSUP Sanglah Denpasar

ABSTRAK

Pada salah satu teori proses penuaan dinyatakan bahwa radikal bebas bertanggungjawab terhadap terjadinya proses penuaan yang terjadi sebagai akibat kerusakan pada tingkat sel maupun jaringan yang ditimbulkan. Dalam tubuh secara normal terdapat keseimbangan secara dinamis dan terus menerus antara oxidant/radikal bebas dan antioksidan. Apabila terjadi peningkatan radikal bebas melebihi kemampuan tubuh untuk memproduksi antioksidan secara endogen melawan aktifitas radikal bebas berkontribusi terhadap terjadinya penurunan fungsi sel. Kecepatan dari kerusakan dan penurunan fungsi sel menjadi dasar dari cepatnya proses penuaan dan munculnya berbagai jenis penyakit degeneratif. Walaupun saat ini telah banyak ada suplementasi antioksidan untuk menghambat proses tersebut tetapi sampai saat ini berbagai penelitian hasilnya masih belum memuaskan dan sering tidak konsisten. Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam meneliti efektifitas penggunaan suplementasi antioksidan adalah:1. Pengembangan konsep mekanisme oksidasi yang menjadi dasar proses penuaan, 2. Tentukan petanda yang tepat status oxidative damage dan antioksidan, 3. Temukan level dari

(27)

PENDAHULUAN

Ada banyak teori yang berusaha menjelas tentang proses penuaan tetapi belum dapat memuaskan. Teori radikal bebas satu-satunya teori yang paling mendekati dasar mekanisme proses penuaan tersebut. Teori ini berkembang yang menyatakan pengaruh radikal bebas akan dimodifikasi oleh faktor genetik dan lingkungan. Radikal bebas bertanggung jawab terhadap rusaknya sel dan jaringan akibat proses oksidasi dari molekul biologi lemak, protein dan asam nukleat. Pada tahun 1972 diketahui bahwa mitokondria bertanggungjawab terhadap reaksi radika bebas dalam sel. Umur dinyatakan ditentukan oleh lajukerusakan mitokondria oleh radikal bebas. Mitokondria akan terus menerus menghasilkan radikal bebas sepanjang hidup mitokondria tersebut sampai akhirnya DNA mitokondria ini diserang dan dirusak yang mengakibatkan kematian sel. Sel untuk hidupnya selalu menggunakan oksigen tetapi membawa konsekuensi menghasilkan radikal bebas Reactive Oxygen Species (ROS) dan memacu terbentuknya antioksidan endogen untuk menetralkan efek oksidan tersebut.

Pada proses penuaan sepertinya terjadi ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dan pertahanan antioksidan dalam sekala besar. Untuk menghambat proses tersebut maka diperlukan usaha-usaha untuk menurunkan produksi radikal bebas dan meningkatkan antioksidan yang ada dalam tubuh. Hal ini yang menjadi landassan banyaknya penelitian yang mencoba mengevaluasi efektifitas suplementasi antioksidan untuk menghambat proses penuaan dan mencegah munculnya penyakit degeneratif sehingga umur harapan hidup menjadi lebih panjang. Studi-studi di negara barat masih mendapatkan hasil yang tidak konsisten.

OXIDATIVE DAMAGE

(28)

oksidasi tersebut sebaiknya menggunakan pengukuran kuantitas asa nukleat dan kerusakan yang ditimbulkannnya dengan menggunakan Comet Assay. Comet assay merupakan akhir produk dari peroksidase lipid atau oksidasi protein.

Radikal bebas adalah suatu molekul atau rantai molekul yang mengandung satu atau lebih rantai yang tidak berpasangan yang orbit putaran atomnya berada paling luar sehingga dapat bebas menempel dengan atao/molekul lain. ROS adalah turunan dari oksigen berupa radical oksigen sedangkan RNS adalah non reaktif radikal tetapi dapat mengoksidasi atom/molekul lain dan bersifat sangat mudah menjadi radikal. Beberapa contoh radikal bebar antara lain: superoxide (O2•-), hydroxyl (OH-), peroxyl (RO2•), hydroperoxyl (HO2•), alkoxyl (RO•), peroxyl

(ROO•), nitric oxide (NO•), nitrogen dioxide (NO2•) and lipid peroxyl (LOO•)

and non radicals like hydrogen peroxide (H2O2), hypochlorous acid

(HOCl), ozone (O3), singlet oxygen (1Δg), peroxynitrate (ONOO-), nitrous acid (HNO2), dinitrogen trioxide (N2O3), lipid peroxide (LOOH).Dalam tubuh kita terdapat sumber radical bebas yang bersumber dari dalam tubuh (endogen ataupun luar tubuh (exogen).

Gambar 1. Gambar pembentuk reactive oxygen spesies (ROS) dan Reactive nitrogen species (RNS).

(29)

free transition metals (e.g. Fe++, Cu+ etc.) dan radiasi dari lingkungan (seperti. radon, UV, dan lain-lain) dapat pula mengakibatkan tingginya kadar oksidan tubuh. Molekul oksigen reaktif seperti superoxide (O2, OOH•), hydroxyl (OH•) dan peroxyl (ROOH•) berperan besar dan penting sebagai oksidatif stress dalam pathogenesis berbagai penyakit. Radikal bebas ini dihasilkan oleh:

1. mitochondria (superoxide radical and hydrogen peroxide);

2. phagocytes (generators of nitric oxide and hydrogen peroxide during

the „respiratory burst‟ that takes place in activated phagocytic cells in

order to kill bacteria after phagocytosis);

3. peroxisomes or microbodies (degrade fatty acids and other substances yielding hydrogen peroxide); and

4. cytochrome P450 enzymes, responsible for many oxidation reactions of endogenous substrates

Gambar 2. Efek oxidative stress pada semua organ

AKTIFITAS FISIK

(30)

yang memicu pelepasan besi dari myoglobin, dan inflamasi yang terjadi akibat gangguan fungsi lekosit.Tetapi masih sedikit data yang meneliti pengaruh akut dan kronik latihan fisik terhadap proses penuaan baik pada binatang maupun manusia.

Aktifitas fisik dan latihan sangat direkomendasi untuk menjaga optimalnya kesehatan dan mencegah penyakit degeneratif. Aktifitas fisik pada usia pertengahan, berhenti merokok, jaga tekanan darah, dan hindari obesitas adalah faktor yang secara independen berhubungan dengan penurunan kejadian kardiovaskular dan menurunkan mortalitas secara keseluruhan. Aktifitas fisik yang teratur dapat mengembalikan komposisi tubuh usia lanjut dimana masa otot meningkat dan masa lemak berkurang dan mencegah beberapa penyakit seperti diabetes, hipertensi, kanker dan osteoporosis. Aktiftas fisik ternyata walaupun menyebabkan produksi radikal bebas tetapi dilain pihak ternyata memacu proses adaptasi sel untuk meningkatkan produksi antioksidan endogen. Aktifitas fisik dapat meningkatkan aktiftas produksi antioksidan endogen baik pad a usia muda maupu usia lanjut. Walaupun aktifatas antioksidan dapat ditingkatkan dengan latihan fisik tetapi secara keseluruhan proses penuaan menyebabkan semakin turunnya aktifitas antioksidan. Aktiftas fisik mendadak dapat meningkatak aktiftas antioksitas di otot rangka, jantung dan hati dengan kualitas yang berbeda beda baik untuk golongan enzim antioksida maupun nonenzimatik antioksidan. Aktifitas latihan fisik secara batahap dan terus menurun dapat aktifitas enzim antioksidan walaupun pada otot yang sudah menua.

AGING

(31)

gangguan gen secara perlahan akibat seleksi alam atau respon adaptasi gen terhadap perubahan lingkungan seperti perubahan kualitas asupan makanan.

Gambar 3. Pengaruh faktor genetik dan lingkungan terhadap proses penuaan

(32)

Tabel 1. Perbedaan pengaruh radikal bebas pada usia muda dan dewasa

(33)

efek tersebut. Konsumsi sayur dan buah-buahan yang tinggi dapat menurunkan kadar radikal bebas dalam tubuh yang akan merusak DNA tetapi terapi suplemen dengan askorbat, vit E, dan beta karotein ternyata tidak dapat menurunkan kerusakan DNA yang terjadi. Studi terkenal lainnya adalah CHAOS yang dapat membuktikan bahwa suplemen vit E sebagai proteksi terhadap kejadian kardiovaskular tetapi hal ini tidak dapat dibuktikan pada studi GISSI Prevention Trial.

Ada 2 hal yang dapat menjelaskan kontroversi ini yaitu:

1. Efek proteksi yang dimiliki oleh diet tidak sama dengan efek dengan terapi suplemen.

2. Sebagaian besar radikal bebas memerlukan antioksidan yang bekerja menurunkan efek oksidan. Kekuatan menurunkan efek oksidan secara invitro adalah kekuatan total antioksidanya.

Proses keseimbangan antioksidan dan radikal bebas terjadi secara dinamis dalam tubuh. Rendahnya kadar antioksidan dapat menstimulus proliferasi sel. BIla oksidasi meningkat dapat terjadi apoptosis sedangkan bila kadar terlalu tinggi dapat menghentikan apoptosis melalui enzim caspase.

PERANAN ANTIOKSIDAN

Antioksidan adalah substran yang dapat menghambat atau memperlambat prose oksidasi. Antioksidan endogen ada dalam bentuk

(34)

plasma (mikronutrien, ensim, antioksidan lain), tetapi harus diingat bahwa hal tersebut hanyalah kandungan dalam aliran darah belum tentu sama dengan di tingkat sel dan jaringan. Hal lain yang harus diwaspai adalah ternyata pemberian anti oksidan nutrisional ada risiko menjadi pro-oksidan. Beberapa studi telah membuktikan hal tersebut terjadi. Antioksidan suplementasi harus digunakan berhati-hati, sebaiknya digunakan pada saat ada kecurigaan adanya radikal bebas yang berlebih baik oleh karena paparan lingkungan maupun penyakit.

Antioksidan nutrisional sering diindikasikan untuk meningkatkan status kesehatan dan memperpanjang umur harapan hidup. Tetapi masih sangat jarang studi yang membuktikan efek proteksi micronutrien atau antioksidan nutrisional secara spesifik. Ternyata juga masih belum jelas dapat dibuktikan bahwa manfaat diet yang tinggi sayur dan buah-buahan untuk kesehatan dapat digantikan oleh suplementasi antioksidan. Beberapa kendala penting yang dihadapi untuk dapat membuktikan peranan antioksidan dalam proses penuaan adalah masih sedikitnya leteratur tentang bagaimana mekanisme kerja dari oksidan dan bagaimana mengevaluasi petanda keberhasilan terapi antioksidan. Terapi antioksidan mungkin perlu diberikan lebih awal. Perbedaan studi antara observasional dan uji klinis akan menyebabkan perbedaan lama paparan terhadap diet antioksidan. Hal penting lainnya adalah studi pada percobaan binatang yang walaupun studinya berbasis mekanisme biologi tetapi bila diterapkan pada manusia akan terjadi prubahan atau translasi hasil. Antioxidan memiliki dosis terapi (therapeutic window) secara sendiri-sendiri, dan pemberian kombinasi mungkin akan mengubah therapeutic window. Dosis terapi belum dapat dipastikan, dosis yang berlebih malah dapat menimbulkan efek yang berlawanan.

(35)

antioksidan primer dan endogen. Studi yang baik sangat diperlukan untuk menguji efektifitas antioksidan ini. Hal yang harus disiapkan adalah 1) harus memahami mekanisme dasar dari proses penuaan, 2) bagaimana hubungan saling terkaitnya antar antioksidan yang berbeda, 3) hubungan antara faktor antioksidan dan pro-oksidan, 4) patogenesis oksidasi menimbulkan kerusakan sel dan penyakit, dan 5) ditemukannya petanda oksidan dan antioksidan yang dapat dipercaya berperan dalam proses yang sesungguhnya.

DAFTAR RUJUKAN

1. Fusco D, Colloca G, Monaco MLR, Cesari M, Effects of antioxidant supplementation on the aging process, Clinical Interventions in Aging 2007:2(3) 377–387

2. T. B. L. Kirkwood, Understanding Ageing From An Evolutionary Perspective. Blackwell Publishing Ltd Journal of Internal Medicine 2008: 263; 117–127

3. Couteur DGL, McLachlan AJ, Quinn JJ, Simpson SJ, and Cabo R, Aging Biology and Novel Targets for Drug Discovery. J Gerontol A Biol Sci Med Sci. 2012 February;67A(2):168–174

4. Kregel KC and Zhang HJ. An integrated view of oxidative stress in aging: basic mechanisms, functional effects, and pathological considerations. Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol 2007; 292: R18–R36

5. Cutler RG. Antioxidants and aging. Am J Clin Nutr 199 l;53:373S-9S. 6. Mandal S, Yadav S , Yadav S, Nema RK. Antioxidants: A

Review.Journal of Chemical and Pharmaceutical Research, 2009, 1 (1):102-104.

7. Jones DP. Radical-free biology of oxidative stress. Am J Physiol Cell Physiol 295: C849–C868, 2008.

8. Shinde A , Ganu J , Naik P. Effect of Free Radicals & Antioxidants on Oxidative Stress: A Review. Journal of Dental & Allied Sciences 2012;1(2):63-66

(36)

10. J.G. Scandalios. Oxidative Stress: Molecular Perception And Transduction Of Signals Triggering Antioxidant Gene Defenses. Brazilian Journal of Medical and Biological Research (2005) 38: 995-1014.

11. Stephens NG, Parsons A, Schofield PM, et al. Randomised controlled trial of vitamin E in patients with coronary disease: Cambridge Heart Antioxidant Study (CHAOS). Lancet 1996; 347: 781–86.

12. GISSI-Prevenzione Investigators. Dietary supplementation with n-3 polyunsaturated fatty acids and vitamin E after myocardial infarction: results of the GISSI-Prevenzione trial. Lancet 1999; 354: 447–55. 13. Fraga CG, Motchnik PA, Wyrobek AJ, Rempel DM, Ames BN. Smoking

and low antioxidant levels increase oxidative damage to sperm DNA. Mutat Res 1996; 351: 199–203.

14. Benzie IF, Strain JJ. Ferric reducing/antioxidant power assay: direct measure of total antioxidant activity of biological fluids and modified version for simultaneous measurement of total antioxidant power and ascorbic acid concentration. Meth Enzymol 1999; 299: 15–27.

15. Joe Beckman. The ABC‘s of the Reactions between Nitric Oxide, Superoxide, Peroxynitrite and Superoxide Dismutase. Oxygen'99: 1;13 16. Barry Halliwell. The antioxidant paradox. Lancet 2000; 355: 1179–80 17. Sujogya Kumar Panda. Assay Guided Comparison for Enzymatic and

(37)

Nutritional Management in

Frailty

Elderly

I Nyoman Astika

Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam,

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, RSUP Sanglah Denpasar

Pendahuluan

Frailty merupakan sekumpulan gejala yang sering ada pada usia tua dan memiliki peranan besar dalam meningkatkan risiko morbiditas termasuk risiko jatuh, ketidakmampuan, ketergantungan, kebutuhan untuk rawat inap hingga mortalitas pada pasien usia tua. Kesulitan lain yang dihadapi pada frailty terkait peningkatan risiko rawat inap akhirnya dapat meningkatkan isolasi sosial dan menurunkan kualitas hidup pasien usia tua(1).

Estimasi prevalensi dari sindrom ini adalah 7% diantara penduduk laki-laki dan perempuan yang berumur 65 tahun atau lebih, dan mencapai 25-40% pada yang berumur 80 tahun atau lebih. Suatu studi melaporkan bahwa prevalensi frailtypada masyarakat sangat bervariasi (berkisar 4,0-59,1%). Prevalensi keseluruhan dari frailtyyang dilaporkan adalah 10,7%. Prevalensi untuk frailtyfisik adalah 9,9% dan 13,6% untuk prevalensi

frailtydengan fenotipe luas. Prevalensi meningkat seiring dengan usia dan lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki (2).

Data di Indonesia, didapatkan dari penelitian oleh Setiati dkk, kondisi pre-frail sebesar 71,1 % sedangkan frailty sebesar 27,4% (3).

Melihat tren epidemiologi yang meningkat demikian tajam, terapi dan pencegahan terhadap frailty merupakan tantangan besar yang harus segera mendapatkan perhatian penting. Untuk mengetahui penyebab dan bagaimana perjalanan dari frailty sendiri sangat penting untuk bagi para klinisi untuk mencari faktor risiko yang terkait sehingga dapat dilakukan manajemen dan pencegahan yang tepat(4).

(38)

malnutrisi sendiri termasuk penyebab utama kondisi sarkopenia, baik under nutrisi atau over nutrisi(4).

Oleh karena patogenesis malnutrisi dan frailty yang terkait dan seringnya gejala ini muncul secara bersama-sama maka diperlukan manajemen nutrisi yang baik untuk mencegah ataupun terapi pada frailty

itu sendiri.

Definisi Frailty

Frailty merupakan status klinis dimana terjadi peningkatan kerentanan akibat suatu proses penuaan dan kemunduran sistem fisiologis. Saat ini belum ada baku emas yang dapat digunakan untuk menegakkkan diagnosis frailty. Frailty secara operasional didefinisikan oleh Fried dkk sebagai pertemuan tiga dari lima kriteria fenotipik : (1) penurunan berat badan secara progresif, (2) kecepatan berjalan melambat, (3) kekuatan cengkeraman tangan menurun, (4) keletihan atau daya tahan menurun, dan (5) tingkat aktivitas fisik yang rendah. Apabila seseorang menunjukkan

tiga gejala atau lebih disebut ―frailty‖, apabila hanya menunjukkan satu atau dua gejala disebut ―pre-frailty‖, sedangkan tidak menujukkan gejala apapun

disebut ―tak frailty‖. Ketiga level tersebut tergantung pada usia, kondisi penyakit kronis, fungsi kognitif, dan gejala depresif (4)

Patofisiologi Frailty

Menurut Ferrucci dan Ruggiero, diperlukan energi dalam jumlah besar untuk mempertahankan ekuilibrium homeostatik. Sejumlah energi ini dinamakan laju metabolisme basal. Bukti terkini menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi laju metabolisme basal tidak hanya faktor-faktor fisiologis tetapi juga komponen patologis. Selain energi minimum yang diperlukan untuk homeostasis, terdapat kuota energi tambahan untuk menyeimbangkan homeostasis tidak stabil yang disebabkan oleh patologi. Energi ekstra ini dapat kita sebut dengan ―usaha

homeostatik‖. Pada individu yang sehat usaha homeostatik ini dapat

(39)

Dikatakan gangguan ini terjadi pada tingkat mitokondria dimana terjadi pembelahan sel (5).

Peningkatan beban kerja akan menyebabkan individu merasa lelah. Ambang dimana lelah mulai dirasakan dipengaruhi oleh faktor-faktor biologis (inflamasi, stress oksidatif, hormonal, metabolisme anaerob), fisiologis dan psikologis. Efesiensi aktivitas fisik dan kognitif juga mempengaruhi kegiatan yang dapat dilakukan sebelum seorang individu merasa kelelahan. Jika ambang batas lelahnya rendah, ia cenderung tidak beraktivitas. Pada jangka panjang keadaan lebih banyak diam ini akan mengurangi energi total yang dapat diproduksi dan memicu penurunan fungsi fisik secara progresif. Pada akhirnya respon homeostatik akan menjadi sangat tidak efisien sehingga mekanisme homeostatik normal tidak akan kembali dan muncul mekanisme lain yang kurang kuat dan efisien. Menurut pendekatan ini fenotip dari kerapuhan mewakili status ekuilibirium terbaik yang mungkin pada individu spesifik pada berbagai fungsi fisiologis (5).Beberapa patofisiologi frailty dapat dilihat pada skema di bawah ini :

(40)

Gambar 2. Etiologi dan Risiko Frailty (7)

Sarkopenia

Sarkopenia atau kehilangan massa otot akibat proses penuaan diduga merupakan manifestasi utama dari kerapuhan. Seorang geriatri dikatakan sarkopenik jika massa tubuhnya di bawah dua standar deviasi jika dibandingkan dengan rata-rata pada sampel individu muda yang sehat .Sarkopenia akan terjadi secara fisiologik setelah usia sekitar 35 tahun. Jika diperberat oleh berbagai penyakit dan undernutrisi kronik, kehilangan massa otot dapat mencapai lebih dari 50% dan diganti jaringan ikat atau lemak. Hilangnya massa otot ini akan menyebabkan penurunan kekuatan dan toleransi olahraga, kelemahan, kelelahan dan penurunan kemampuan untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari (8)

Derajat sarkopenia bervariasi pada penderita usia lanjut dan tergantung pada banyak faktor, antara lain: olahraga, berbagai penyakit akut dan kronik, obat-obatan, sekresi hormon pertumbuhan dan faktor-faktor neuroendokrin. Penderita lanjut usia dengan jumlah jaringan otot yang paling sedikit akan merupakan penderita yang lebih rapuh terhadap berbagai morbiditas lain (9)

(41)

karotenoid, dan PUFA) berkontribusi terhadap kejadian sarkopenia dan penurunan fungsi fisik pada geriatri(10).

Nutrisi pada Geriatri (11)

Kebutuhan nutrisi mengalami perubahan seiring bertambahnya usia. Pada geriatri perubahan ini dapat berkaitan dengan proses penuaan normal, kondisi medis, atau gaya hidup. Nutrisi merupakan determinan penting pada status kesehatan lansia. Penilaian status nutrisi merupakan hal yang penting untuk mencegah berbagai penyakit akut dan kronis dan juga untuk kesembuhan. Seiring bertambahnya usia terjadi berbagai perubahan pada tubuh yang dapat mempengaruhi status nutrisi seorang lansia. Masalah yang umumnya terjadi adalah kehilangan densitas tulang yang meningkatkan risiko osteoporosis. Sarkopenia juga adalah suatu perubahan yang terkait usia. Kehilangan massa otot berkibat pada meningkatnya massa lemak. Kehilangan massa otot ini dapat terjadi juga pada mereka yang sehat, yang menunjukkan bahwa perubahan metabolik terjadi merupakan sesuatu yang universal. Terjadi penurunan kekuatan, fungsional, daya tahan, dan penurunan total air kandungan air tubuh. Beberapa perubahan terjadi di sepanjang sistem pencernaan. Terdapat penurunan sekresi asam lambung yang menghambat penyerapan besi dan vitamin B12, penurunan produksi saliva yang memperlambat peristaltik dan konstipasi, disregulasi nafsu makan dan rasa haus. Perubahan sesnsoris mempengaruhi nafsu makan dalam banyak hal. Sebagai contoh, hilangnya daya penglihatan membuat masak dan makan lebih sulit, daya perasa dan penciuman yang menurun membuat makanan menjadi lebih tawar dan tidak menarik sehingga nafsu makan semakin menurun, asupan nutrisi berkurang dan timbul berbagai masalah kesehatan.

(42)

jatuh dan fraktur. Sebagai tambahan, malnutrisi akan mengakibatkan kehilangan nafsu makan lebih jauh sehingga membuat masalah yang ada menjadi lebih sulit.

Sebagian besar pasien geriatri memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadinya malnutrisi jika dibandingkan dengan populasi dewasa. Diperkirakan 2%-16% geriatri memiliki masalah defisiensi nutrisi dalam protein dan kalori. Jika defisiensi vitamin dan mineral diikutkan dalam estimasi ini, malnutrisi pada geriatri dapat mencapai angka 35%. Pasien geriatri yang sakit berat, yang memiliki demensia atau kehilangan berat badan adalah yang paling rentan terhadap akibat buruk malnutrisi. Malnutrisi sering disebabkan oleh kombinasi dari berbgai faktor. Faktor-faktor sosial kemiskinan, ketidakmampuan berbelanja, ketidakmampuan menyiapkan dan memasak makanan, ketidakmampuan makan sendiri, hidup sendiri, isolasi sosial, atau kurangnya jaringan pendukung social, kegagalan memesan makanan sesuai budaya. Faktor-faktor psikologis seperti alkoholisme, kehilangan, depresi , demensia, fobia kolesterol, mual/muntah: antibiotik, opiat, digoksin, teofilin, OAINS, anoreksia: antibiotik, digoksin , berkurangnya cita rasa: metronidazol, calcium channel blockers, ACE inhibitor, metformin, mudah kenyang: antikolinergik, simpatomimetik , berkurangnya kemampuan makan: sedatif, opiat, psikotropik, disfagia: suplemen potasium, NSAIDs, bifosfonat, prednisolon. konstipasi: opiat, suplemen besi, diuretic, diare: laksans, antibiotic, Hipermetabolisme: tiroksin, efedrin.

Penyebab kurangnya berat badan pada orang tua sering diingkat sebagai MEALS ON WHEELS, yaitu

• Medications (digoxin, theophylinne, psychotropica)

• Emotions (depression)

• Alcoholism, anorexia tardive

• Late-life paranoia

• Swallowing problems

• Oral problems

• No money (poverty)

• Wandering (dementia)

• Hyperthyroidism, Hyperparathyroidism

(43)

• Eating problems

• Low-salt, low-cholesterol diet

• Shopping problems

9D penyebab kurangnya asupan makanan dan penurunan berat badan pada geriatri: Depresi, drug, demensia, disfagia, disgeusia,disfungsi, diare. Yang tersering adalah depresi, gastrointestinal (ulkus peptikum atau gangguan motilitas) dan kanker.

Gambar 4. Masalah nutrisi dan hubungannya dengan frailty (12)

Manajemen Nutrisi pada Frailty

(44)

bulan terakhir, kondisi berat badan berlebih atau kurang yang signifikan ( 20% ), meningkatnya catabolisme, meningkatnya kehilangan nutrisi ( diare, malabsobsi ), riwayat operasi pada saluran pencernaan, radioterapi, obat- obatan, ketergantungan alkohol, penurunan albumin serum dan penurunan jumlah limfosit pada darah pelifer(13).

Pada usia lanjut, terdapat perubahan pada traktus gastrointestinal dan perubahan lain yang meningkatkan terjadinya anoreksia pada penuaan (gambar 4)

Gambar 3. Patogenesis terjadinya anoreksia akibat penuaan (14)

Kuosioner dasar yang tervalidasi pada geriatri untuk mendiagnosis malnutrisi adalah MNA (Mini Nutritional Assessment). Versi lengkapnya memuat 18 pertanyan yang memuat pengukuran antropometrik, penilaian umum, diet, dan self assessment. Selama analisis MNA dan frailty pada geriatri, terdapat perbedaan statistik signifikan antara risiko malnutrisi dan terjadinya sindrom frailty. Terdapat risiko malnutrisi pada 2,2% pasien non-frail, 12,2% pada pre-frail dan 46.9% pasien frail (p < 0.001).

Piramida makanan sehat yang disarankan untuk geriatri disebut

(45)

• Ca, vitamin D, dan B12 yang adekuat

• Karbohidrat kompleks pada dasar piramid

• Protein dengan lemak hidrogenasi sebagian dan tersaturasi ada di atas piramid sedangkan lemak monounsaturated dan polyunsaturated omega-3 fats ada di bawah.

• Ikan, kacang, minyak sayur harus dikonsumsi lebih banyak dari daripada daging merah dan mentega.

Diet mediterranean terkenal sebagai diet sehat dimana pasien yang menjalani diet ini memiliki insiden frailty yang lebih rendah setelah follow up selama 6 tahun. Diet ini terinspirasi dari pola makan populasi di Yunani, Italia Selatan dan Spanyol. Prinsip diet ini adalah konsumsi minyak zaitun yang tinggi, kacang-kacangan, sereal, sayur dan buah-buahan, konsumsi ikan sedang sampai tinggi dan konsumsi produk susu sedang (yoghurt dan keju)(12).

Manajemen nutrisi yang baik dapat menghindarkan seorang geriatri dari terjadinya demensia . Beberapa nutrisi yang disarankan antara lain omega 3 (DHA), vitamin A, C, D, E (14). Asupan mikronutrien pada geriatri yang harus diperhatikan adalah

• Besi- besi yang berlebihan akan bertindak sebagai prooksidan. Besi hanya diberikan jika memang terdapat anemia defisiensi besi. Rekomendasi asupan perhari pada wanita di atas usia 51 tahun menurun, yaitu 8 mg (15).

• Seringkali terjadi defisiensi vitamin B12 karena asam lambung yang menurun. Asam lambung yang menurun sering disebabkan gastritis atrofi yang merupakan kondisi inflamasi kronik pada geriatri. Defisiensi B12 akan menyebabkan anemia pernisiosa, kerusakan saraf dan kemunduran kognitif. Rekomendasi asupan perhari 2ug/ hari. B12 di suplemen akan diabsorpsi lebih baik daripada di makanan (16).

(46)

tahun pada wanita women, 1200 mg setelah usia 70 pada laki laki. Asupan vitamin D yang disarankan adalah 20u/hari untuk usia di atas 70 tahun (17).

Penelitian juga menunjukkan bahwa defisiensi mikronutrien dan beta karoten serum yang rendah merupakan faktor risiko signifikan untuk

frailty (18) ditemukan perbedaan konsentrasi mikronutrien (vitamin D, A, E, B6, B12, folat, zinc, dan selenium) yang signifikan antara pasien frail dan non-frail .

Diet efektif dengan memperhatikan kebutuhan protein, mikronutrien, disertai dengan program latihan yang efektif memberikan perbaikan signifikan pada frailty yang diukur dengan perbaikan massa, kekuatan otot dan performa klinis. Pada beberapa literatur, didapatkan kebutuhan protein yang disarankan berupa 10–20 g protein perhari, ada juga yang menyarankan asam amino esensial 12 gram/hari atau 6 gram/hari, dan metabolit leusin HMB ,3 gram /hari dimana ketiga sudi ini memberikan hasil yang sama baiknya. Untuk vitamin D, pemberian suplementasi pada studi digunakan bolus 100.000 U diikuti dengan suplemen perminggu 50.000 U selama 8 minggu atau 400 IU perhari selama 9 bulan dimana keduanya memberikan hasil yang sama baik (19).

Secara keseluruhan, piramida makanan sehat yang disarankan

untuk geriatri disebut sebagai ―Modified Food Pyramid‖ yang terdiri dari

(20):

• 8 gelas

• Ca, vitamin D, dan B12 yang adekuat

• Karbohidrat kompleks pada dasar piramid

• Protein dengan lemak hidrogenasi sebagian dan tersaturasi ada di atas piramid sedangkan lemak monounsaturated dan polyunsaturated omega-3 fats ada di bawah.

• Ikan, kacang, minyak sayur harus dikonsumsi lebih banyak dari daripada daging merah dan mentega.

Daftar Pustaka

(47)

2. Qu, T., et al., 2009. Upregulated Monocytic Expression Of CXC Chemokine Ligand 10 (CXCL-10) And Its Relationship With Serum Interleukin-6 Levels In The Syndrome Of Frailty. Cytokine. 46(3): 319– 324

3. Setiati S, Seto E, Sumantri S. Frailty profile of elderly outpatient in Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta. In press. 2013.

4. Dorner T, Lackinger C. Haider S, et al. Nutritional Intervention and Physical Training in Malnourished Frail Community-dwelling Elderly

Persons Carried out by Trained Lay ―buddies‖: Study Protocol of a

Randomized Controlled Trial. BMC Public Health. 2013:13;1232;1471-2458.

5. Weiss Carlos O, Capolla Anne R, et al. Resting Metabolic Rate Among Old-Old Women With and Without Frailty: Variability and Estimation of Energy Requirements. J Am Geriatr Soc. 2012; 60(9): 1695–1700. 6. Fried LP Watson, J Ferruci, Luigi. Frailty. In: Halter Jeffrey B, Ouslander

Joseph G, Tinetti Mary E, Studenski Stephanie, High Kevin E, Asthana

Sanjay eds Hazzard‘s Geriatric Medicine and Gerontology. 6th

ed. New York: MCGraw-Hill; 2009. pp 631-646.

7. Morley JE, Kim MJ, Haren MT, et al. Frailty and the aging male. Aging Male 2005;8:135–40.

8. Morley JE, Baumgartner RN, Roubenoff R, et al. Sarcopenia. J Lab Clin Med 2001;137: 231–43.

9. Janssen I, Heymsfield SB, Ross R. Low relative skeletal muscle mass (sarcopenia) in older persons is associated with functional impairment and physical disability. J Am Geriatr Soc 2002;50:889–96

10. Amarya Shilpa , Singh Kalyani, Sabharwal Manisha. Changes during aging and their association with malnutrition. Journal of Clinical Gerontology & Geriatrics. 2015:6; 78-84.

11. Jaroch A, Kedziora K. Nutritional Status of Frail Elderly. Prog Health Sci. 2014;4;2;145-149

12. Walston J. Frailty. J Am Geriatr Soc. 2006;54:991-1001.

(48)

14. M. Hasan Mohajeri, Barbara Troesch, Peter Weber. Inadequate supply of vitamins and DHA in the elderly: Implications for brain aging and Alzheimer-type dementia. Nutrition. 2015:31;261-275

15. Hui Sian Tay, Roy L. Soiza. Systematic Review and Meta-Analysis: What Is the Evidence for Oral Iron Supplementation in Treating Anaemia in Elderly People? Drugs and Aging. 2015: 32; 149-158

16. Karen Appold. Dangers of Vitamin B12 Deficiency. Aging Well. 2012:5;30

17. Smit E, Winters-Stone K, Loprinzi P, Tang A, Crespo C. Lower Nutritional Status and Higher Food Insufficiency in Frail Older US Adults. Br J Nutr. 2013: 110(1);172-8

18. Shardell M, Hicks G, Miller R, Kritchevsky S, Andersen D, Bandinelli S, Cherubini A, Ferrucci L. Association of Low Vitamin D Levels with the

Frailty Syndrome in Men and Women. J Gerontol A Biol Sci Med Sci. 2009 Jan;64(1):69-75

19. Hayley J Denison, Cyrus Cooper, Avan Aihie Sayer, Sian M Robinson. Prevention and optimal management of sarcopenia: a review of combined exercise and nutrition interventions to improve muscle outcomes in older people.Clinical Interventions in Aging. 2015:10; 859– 869

(49)

Hubungan Kelainan Saluran Nafas Kecil dengan

Keluhan Respirasi dan Karakteristik Klinis Asma

IB Ngurah Rai, IGN Bagus Artana

Divisi Paru, Departemen Ilmu Penyakit Dalam,

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana-RSUP Sanglah Denpasar

Pendahuluan

Asma terjadi pada berbagai belahan dunia serta berbagai kalangan dan status social ekonomi. Hingga saat ini asma masih menjadi salah satu penyakit non-infeksi dengan prevalensi tertinggi. Perkiraan global terbaru dari Global Asthma Network menunjukkan bahwa sebanyak 334 juta orang menderita asma di seluruh dunia. Angka ini diperkirakan akan terus meningkat. Sementara di Indonesia berdasarkan RISKESDAS 2013, prevalensi asma didapatkan 4,5% dari seluruh penduduk Indonesia. Asma menduduki peringkat pertama dari kategori prevalensi penyakit kronik tidak menular.1,2

Asma adalah penyakit heterogen, biasanya ditandai oleh inflamasi saluran napas kronik. Hal tersebut didefinisikan sebagai riwayat gejala respirasi seperti mengi, sesak napas, berat di dada dan batuk yang bervariasi dari waktu ke waktu serta intensitasnya, disertai variasi nilai hambatan aliran udara ekspirasi. Asma biasanya berhubungan dengan hiper-responsivitas saluran udara, serta berhubungan dengan inflamasi jalan nafas kronik. Kedua kondisi ini biasanya selalu didapatkan, walaupun pasien sudah tidak merasakan gejala asmanya serta dengan fungsi paru normal. Kondisi hiper-responsivitas dan inflamasi jalan nafas ini dapat dikendalikan dengan pemberian obat yang sesuai.1

(50)

dengan banyaknya bukti ilmiah yang menunjukkan abnormalitas jalan nafas kecil berperan dalam ekspresi klinis asma secara umum.3

Konsep mengenai peranan saluran nafas kecil pada asma memang masih baru dan masih banyak mengalami tentangan dari beberapa ahli. Tetapi dengan banyaknya bukti klinis yang telah dipublikasi baik dari tatanan review keilmuan maupun penelitian klinis, maka perkembangan peran jalan nafas kecil pada asma ini penting untuk dipahami. Berikut ini kami uraikan mengenai saluran nafas kecil serta pengaruhnya pada gejala dan karakteristik klinis kontrol asma.

Kelainan Saluran Nafas Kecil pada Asma

Secara tradisional, asma telah dianggap sebagai penyakit yang dominan melibatkan saluran udara besar. Sekitar satu dekade terakhir, konsep ini sedang diuji dimana semakin banyak bukti telah menunjukkan bahwa kelainan pada saluran udara kecil juga berkontribusi terhadap ekspresi klinis asma. Saluran udara kecil dapat dipengaruhi oleh peradangan, remodeling, dan perubahan-perubahan di jaringan sekitarnya. Semua proses ini berkontribusi pada terjadinya disfungsi jalan nafas kecil. Banyak ahli telah menulis review tentang disfungsi jalan nafas kecil dan perannya dalam memperburuk kontrol asma, meningkatkan jumlah serangan asma serta nocturnal asthma, perburukan hiper-responsivitas bronkus, serta respons fase lambat alergi.3

Keterlibatan saluran udara kecil dalam patogenesis asma dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) telah diperdebatkan untuk waktu yang lama. Namun, definisi yang tepat dari penyakit saluran napas kecil masih kurang jelas dan tidak ada biomarker atau parameter fungsional yang dapat diterima secara luas untuk menilai kelainan saluran napas kecil.4

(51)

udara pada asma dan PPOK. Tetapi masalahnya, jalan nafas kecil sampai saat ini terbukti masih sulit untuk dieksplorasi dan dipelajari.4,5

Gambar 1. Saluran Nafas Manusia.

(52)

inflamasi oleh limfosit T dan eosinofil juga didapatkan pada saluran udara besar dan kecil.5

Studi post-mortem juga juga menunjukkan bahwa diding luar jalan nafas kecil merupakan lokasi inflamasi utama (terutama oleh sel-sel eosinophil). Bahkan pada kasus asma berat dan fatal, inflamasi meluas hingga ke jaringan alveoli sekitarnya dan area perivaskular. Hilangnya

alveolar attachment juga didapatkan pada otopsi pasien asma yang fatal. Kondisi ini berkorelasi positif dengan inflamasi sel mast dan eosinofilik, yang menguatkan dugaan peranan sel-sel inflamasi ini pada kerusakan alveoli. Hilangnya alveolar attachment menurunkan elastic recoil dan mengakibatkan penutupan jalan nafas premature.6

Gangguan pada matriks ekstraseluler juga didapatkan pada kasus asma yang fatal. Hal ini berkontribusi pada terjadinya fibrosis jalan nafas akibat peningkatan jumlah dan fungsi transforming growth factor- . Perubahan molekul-molekul matriks pada otot polos jalan nafas juga akan memperburuk bronkokonstriksi serta memperberat efek eksudat muko-inflamasi pada obstruksi bronkus.5,6

Satu hal penting yang menjadi catatan pada studi-studi post-mortem ini adalah kenyataan bahwa pasien-pasien yang diikutkan pada studi patologi ini meninggal akibat serangan asma yang fatal dan tidak mendapat terapi. Hal ini menyulitkan dalam melihat bagaimana efek pemberian terapi pada jalan nafas kecil serta proses remodeling yang terjadi. Selain itu, pasien-pasien tersebut kemungkinan mengalami asma yang fatal akibat asma yang tidak terkontrol. Hal ini yang masih menyulitkan para ahli untuk mengekstrapolasi temuan pada jalan nafas kecil ini kepada pasien asma secara umum.5,7

(53)

Niric Oxide (NO) belakangan ini diusulkan sebagai penanda keterlibatan jalan nafas kecil pada asma. Penelitian oleh Battaglia, dkk. merupakan salah satu tonggak awal penggunaan NO untuk tujuan tersebut. Battaglia, dkk. menggunakan single breath nitrogen washout pada pasien asma ringan. Para peneliti ini menyimpulkan bahwa NO ekshalasi memiliki hubungan yang positif dengan fungsi jalan nafas kecil. Pada perkembangannya, penyempurnaan pemeriksaan NO ini masih terus dilakukan untuk memberikan gambaran yang jelas tentang fungsi jalan nafas kecil pada asma.5,8

Selain menggunakan teknik NO, pemeriksaan faal paru dapat pula digunakan untuk menilai kelainan pada jalan nafas kecil. Pengembangan tes fungsi paru untuk menilai kelainan pada jalan nafas kecil telah maju pesat. Obstruksi pada jalan nafas kecil mempengaruhi distribusi gas saat ventilasi dan mengakibatkan penutupan jalan nafas kecil yang disertai oleh air-trapping. Pemeriksaan fungsi paru yang digunakan untuk menilai kelainan jalan nafas kecil dibagi menjadi tes yang mengukur aliran udara, resistensi jalan nafas, inhomogenitas distribusi ventilasi, penutupan jalan nafas, dan air-trapping.5

Pengukuran aliran udara pada jalan nafas kecil menggunakan angka forced expiratory flow saat 50% kapasitas vital (FEF 50%) dan saat 25%-75% kapasitas vital (FEF 25%-75% ). Pengukuran resistensi jalan nafas menggunakan impulse oscillometry (IOS). Obstruksi jalan nafas kecil berhubungan dengan peningkatan resistensi, khususnya pada frekuensi yang lebih rendah (frequency-dependence resistance). Distribusi ventilasi yang tidak homogeny dapat diukur dengan tes multiple-breath nitrogen washout dan single breath nitrogen washout (SBNW) setelah inhalasi oksigen 100%.4,5,9

(54)

functional residual capacity, residual volume (RV), total lung capacity (TLC), dan rasio RV/TLC.4,5

Beberapa teknik imaging seperti high resolution CT (HRCT) scan dan MRI dengan inhalasi gas hiperpolarisasi dapat digunakan secara tidak langsung untuk mengevaluasi tanda-tanda obstruksi jalan nafas kecil (inhomogenitas ventilasi dan air-trapping) yang berhubungan dengan proses remodeling.

Masing-masing pemeriksaan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan (Tabel 1). Hingga saat ini tidak ada jenis pemeriksaan dan manuver yang dapat memenuhi semua hal yang diperlukan untuk mendiagnosis, menilai derajat, serta memonitor kelainan jalan nafas kecil pada praktek klinis sehari-hari. Kombinasi pemeriksaan yang paling solid dan sensitif adalah alveolar exhaled NO dan pengukuran air-trapping dengan CT scan. Tetapi tetap saja ada kekurangannya, dimana teknik ini tidak tersedia luas dan belum tentu dapat diakses oleh semua pasien.5

Tabel 1. Overview Beberapa Tes untuk Menilai Obstruksi Jalan Nafas Kecil5

Jenis Tes Kemampuan mendeteksi FVC/SVC deteksi dan monitor kelainan

(55)

SBNW test:

Beberapa waktu belakangan diperkenalkan teknologi Hydrofluoroalkane (HFA) yang menjanjikan penetrasi lebih dalam. Sebuah device HFA pressurised-MDI dapat mengantarkan partikel obat dengan MMAD yang lebih kecil secara signifikan, sehingga dapat mengantarkan partikel obat melewati jalan nafas besar dan kecil> Hal tersebut secara signifikan meningkatkan deposisi obat pada jalan nafas perifer.

(56)

Berbagai penelitian lain yang dilakukan relatif serupa dengan penelitian oleh Goldin, et al. tadi, tetapi dengan metode pengukuran atau metode penelitian yang berbeda. Verbanck, et al. menggunakan metode penelitian switch-over antara obat dengan teknik ekstra-fine (HFA) dengan DPI standar. Penelitian oleh Juniper, et al. menggunakan kuesioner kualitas hidup (Asthma Quality of Life Questionnaire-AQLQ). Hasil-hasil penelitian tersebut konsisten menunjukkan keunggulan obat dengan partikel ekstra-fine (HFA) dalam hal efikasi dan kualitas hidup pasien asma.5

Ringkasan

Asma merupakan penyakit saluran nafas yang dapat diderita oleh setiap orang di seluruh dunia. Peranan kelainan jalan nafas kecil pada asma makin menarik perhatian para ahli. Para ahli menemukan hubungan kelainan jalan nafas kecil dengan status control pasien asma dan karakteristik klinisnya. Temuan ini mengarahkan tatalaksana asmma menuju era baru, yaitu era partikel ekstra-fine. Penggunaan teknologi ekstra-fine (HFA) ini terbukti memberikan perbaikan kontrol asma yang lebih baik pada kasus asma.

Daftar Pustaka

1. FitzGerald JM, Bateman ED, Boulet L-P, et al. Global Initiative for Asthma (GINA) Global Strategy for Asthma Management and Prevention (2015 update).

2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar (RISKERDAS) 2013.

3. van der Wiel, ten Hacken NH, Postma DS, van den Berge M. Small-airways dysfunction associates with respiratory symptoms and clinical features of asthma: a systematic review. .J Allergy Clin Immunol. 2013;131(3):646-57.

(57)

5. van den Berge M, ten Hacken NHT, Cohen J. Small Airway Disease in Asthma and COPD: Clinical Implications. CHEST 2011; 139(2): 412 – 423

6. Contoli M, Kraft M, Hamid Q, et al. Do small airway abnormalities characterize asthma phenotypes? In search of proof. Clin Exp Allergy. 2012;42(8):1150-60.

7. Bakakos P, Loukides S, Kostikas K. The great expectations of small airways. PNEUMON. 2012;25(1):15-20.

8. Contoli M1, Bousquet J, Fabbri LM, et al. The small airways and distal lung compartment in asthma and COPD: a time for reappraisal. Allergy. 2010;65(2):141-51.

9. Usmani OS. Small Airways Dysfunction in Asthma: Evaluation and Management to Improve Asthma Control. Allergy Asthma Immunol Res. 2014;6(5):376-388.

10. Postma DS, Brightling C, Fabbri L, et al. Unmet needs for the assessment of small airways dysfunction in asthma: introduction to the ATLANTIS study. Eur Respir J 2015; 45: 1534–1538.

Gambar

Gambar 3. Pengaruh faktor genetik dan lingkungan terhadap proses penuaan
Tabel 1. Perbedaan pengaruh radikal bebas pada usia muda dan dewasa
Gambar 1. Peranan disfungsi mitokondria pada frailty (6)
Gambar 1. Saluran Nafas Manusia.
+7

Referensi

Dokumen terkait

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Bioekonomi untuk Pengelolaan Sumber Daya ikan tembang (Sardinella

Hasil uji statistik ini berarti terdapat perbedaan ataupun pengaruh yang signifikan antara mean MAP pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol sesudah diberikan

58 THAILAND 5504016 PRIMARY 1 ANGLO SINGAPORE INTERNATIONAL SCHOOL JATURAPHAT,JARASTHANES SILVER AWARD. 58 THAILAND 5504029 PRIMARY 1 ANGLO SINGAPORE INTERNATIONAL SCHOOL

Berdasarkan hasil perhitungan fuzzy AHP maka dapat dilihat bahwa kriteria yang paling berpengaruh yaitu kriteria keuangan diikuti proses bisnis internal dan pelanggan

Dalam Bahan Belajar Mandiri ( BBM) ini pertama anda akan mempelajari dasar-dasar statistika yang mencakup pengertian statistik dan statistika, macam-macam data,

NAMA DAN NILAI AMBANG KUANTITAS (NAK) BAHAN KIMIA BERBAHAYA.. NAMA BARANG NILAI AMBANG

Pada penelitian ini, subyek penelitian yang digunakan sebanyak 3 anak jalanan yang diasuh oleh JKJT (Jaringan Kemanusian Jawa.. Timur) dengan jenis kelamin laki-laki

Catatan : Surabaya Utara, Rayon (Indrapura, Polos, Kenjeran, Tandes, Embong Wungu) : Surabaya Selatan, Rayon (Darmo Permai, Dukuh Kupang, Ngagel, Rungkut, Gedangan) :